Thursday, November 24, 2005

MENGHARGAI ALIRAN KEPERCAYAAN, MELESTARIKAN ALAM

PENGANTAR

Kehancuran ekosistem global sudah sampai kepada titik yang sangat menguatirkan eksistensi kehidupan di bumi. Penghancuran terus menerus terjadi seolah conditio sine qua non, sesuatu yang harus terjadi dan tidak ada yang bisa mengendalikan dan menghentikannya. Pemanasan global, kopongnya lapisan ozon yang fungsinya menjaga bumi dari panas matahari, krisis hutan, air dan makanan, hingga bencana bencana lintas negara yang terjadi akhir akhir ini seperti tsunami dan badai menjadi realitas yang terus menerus menerpa bumi.

Ribuan tahun umur peradaban manusia ternyata hanya menghasilkan kehancuran dirinya sendiri. Segala sesuatu bermakna terbalik. Pembangunan ternyata adalah penghancuran, kemajuan adalah kemunduran, dan kemajuan peradaban adalah kebiadaban. Tidak terkecuali agama-agama besar saat ini yang umurnya juga setua peradaban, perannya tidak terlihat dalam sejarah untuk menjaga kualitas kehidupan ke arah yang lebih baik, sebaliknya seringkali ikut dalam melegitimasi proses penghancuran kehidupan di bumi secara tidak langsung.

Proses penyebaran agama-agama besar ke seluruh dunia termasuk Indonesia utamanya seperti kristen dan islam, harus diakui ikut ambil bagian dalam proses ini, sementara komunitas lokal (native), masyarakat adat atau yang akrab disebut dengan indigenous people yang hidup selaras alam semakin kritis kondisinya. Padahal, sebagai komunitas yang langsung berinteraksi sehari-hari dengan alam dan hutan, merekalah juru kunci lenyap tidaknya sisa sisa hutan, peninggalan kejayaan alam dan peradaban masa lalu . Pelibatan masyarakat yang masih memiliki keyakinan, kearifan, dan nilai nilai luhur terhadap alam dan lingkungan hidup ini adalah salah satu hal terpenting dan mendesak saat ini, namun tidak berarti peran dan pelibatan agama-agama dominan dalam memulai mencintai dengan tulus alam dan lingkungan hidup sebagai sesuatu yang kurang penting.

NASIB KEYAKINAN MASYARAKAT LOKAL

Sudah menjadi hal yang umum bahwa upaya melestarikan lingkungan hidup berkaitan erat dengan wacana pelibatan masyarakat lokal, atau indigenous people. Namun, pelibatan keyakinan-keyakinan dasar dan kepercayaan yang mereka anut mengenai kehidupan alam yang dianggap suci dan sakral jarang menjadi wacana yang dieksplorasi dalam bingkai pelestarian alam dan lingkungan hidup. Kelihatannya masyarakat lokal juga hampir punah seiring dengan punah dan hancurnya kehidupan ekologi. Stigmatisasi yang negatif acap terjadi terhadap keyakinan mereka karena berbeda dengan agama –agama dominan.

Di negara Indonesia, orang yang memiliki dan menganut kepercayaan diluar lima agama yang direstui negara, disebut sebagai penganut aliran kepercayaan. Bahkan lebih jauh, acap kali penganut aliran kepercayaan dicap sebagai aliran sesat, tentunya versi agama-agama dominan itu. Ini adalah sebuah ironi, disatu sisi ada upaya membangkitkan kembali partisipasi masyarakat lokal dalam melestarikan lingkungan, tetapi disisi lain, keyakinan-keyakinannya yang mendasar tidak mendapat tempat untuk ditumbuh kembangkan. Usaha partikularisasi ini tentunya akan menimbulkan keterasingan bagi komunitas lokal, sementara penghormatan terdalam pada lingkungan hidup tempat mereka berinteraksi sehari-hari dapat diwujudkan atas dasar keyakinan yang telah dimiliki secara turun temurun untuk menghormati dan menjaga keutuhan alam.

Tentu ini adalah bias dari agama-agama besar yang ditopang oleh negara dalam mendefenisikan keyakinan atau kepercayaan kepada sesuatu yang transenden. Stigma ”aliran kepercayaan” atau bahkan lebih jauh ”animisme” yang dibuat sejak rejim orde baru berkuasa ini tentunya adalah pembodohan dan pembohongan, oleh karenanya memerlukan koreksi dan rehabilitasi, untuk menghentikan diskriminasi yang telah terjadi kepada penganut keyakinan lokal ini selama puluhan tahun. Secara administratif, mereka akan selalu kesulitan berhadapan dengan pemerintah karena Kartu Tanda Penduduk yang sulit diurus. Terkadang mereka harus memasukkan salah satu agama besar yang diakui oleh pemerintah demi kelancaran urusan adminstrasi, walaupun mereka tidak tahu sama sekali apa ajaran agama yang dicantumkan itu.

Ini adalah hal lain yang menyangkut persoalan struktural yang memerlukan perhatian dan pemecahan struktural pula dari pemerintah. Disisi yang lain, agama agama dominan juga sering menunjukkan ketidak-akrabannya dengan keyakinan keyakinan masyarakat lokal, seperti mencap animisme, sinkritis, atau sesat. Dinamika ditingkat agama-agama dominan juga menunjukkan perubahan terhadap pemaknaan masyarakat lokal dan lingkungan hidup

PERTOBATAN AGAMA DOMINAN

Fakta historis tidak bisa memungkiri bahwa agama-agama dominan punya andil dalam hancurnya lingkungan hidup yang dialami seluruh umat manusia di bumi ini. Legitimasi teologis yang diberikan agama-agama dominan, atau barangkali lebih tepat pemanfaatan dan manipulasi agama telah menjadi sertifikat penguasaan dan penjajahan bumi dan segala isinya secara rakus dan tanpa kendali oleh para penganutnya. Kerugian dan kerusakan alam yang tidak terkira ini tentunya juga telah menimbulkan kesadaran sebagaian agama-agama dominan atas perilakunya, sehingga buru-buru mencari dasar teologis baru yang lebih bersahabat dengan alam.

Tidak hanya agama,sesungguhnya ilmu dan filsafat pengetahuan juga pada awalnya ikut andil dalam melegitimasi eksploitasi alam yang tanpa ampun, dengan menempatkan manusia sebagai mahluk yang dianggap bernilai dan memiliki kelas spesies tertinggi dalam strata mahluk hidup. Sebelum pertobatan agama agama dominan ini, kiranya penting untuk menelisik secara umum seperti apa hubungan pengrusakan alam dengan keyakinan yang berkembang dan terlegitimasi selama ribuan tahun di lingkungan agama-agama dominan yang memiliki persfektif bias terhadap alam dan lingkungan.

Bencana banjir bahorok tahun 2004 yang menelan korban jiwa setengah juta orang disebut sebagai murka Tuhan terhadap warga yang sudah banyak melakukan dosa. Kotbah seperti ini acapkali kita dengar oleh tokoh tokoh agama besar ditelevisi. Padahal, ditemukan ternyata penggundulan hutan akibat legal logging dan illegal logging telah terjadi dengan sangat merajalela. Demikian juga peristiwa tsunami dan gempa di Aceh dan Nias. Alangkah malangnya nasib para korban, sudah jatuh ketimpa tangga dan cat pula, sudah ketimpa bencana, dicap pendosa lagi oleh kotbah kotbah para tokoh tokoh agama. Sesungguhnya cap itu harus ditempelkan dikening para penjarah hutan, koruptor dan aparat yang membeking para perampok berdasi itu. Sikap dan paradigma agama-agama dominan juga dapat disaksikan dari aktivitasnya yang cenderung karitatif dalam menanggapi persoalan lingkungan hidup. Memberikan bantuan karitatif tidak salah, tetapi tidak cukup untuk menjawab masalah yang memerlukan gagasan yang komprehensif.

Manusia dilihat sebagai strata tertinggi dan penguasa alam yang memanfaatkan alam untuk kemakmuran manusia. Dalam persfektif agama dominan, Allah memberi kewenangan penuh kepada manusia untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingannya. Tradisi berfikir barat yang tidak bisa lepas dari agama dominan juga mengukuhkan bahwa manusia adalah mahluk yang istimewa dibanding mahluk lainnya yang lebih rendah. Manusia memiliki jiwa, bisa berpikir, dan menciptakan sejarah, sementara binatang adalah mahluk mekanisitis yang tidak bisa melakukan meditasi terhadap dirinya sendiri. Pandangan yang seperti inilah yang disebut sebagai antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang istimewa sehingga layak melakukan apa saja terhadap objek alam untuk kepentingan dirinya sebagai subjek. Pandangan antroposentrisme inilah yang mendominasi pandangan agama-agama dominan selama ribuan tahun.

Disadari oleh kalangan penganut agama agama dominan bahwa telah terjadi kesalahan tafsir atas alam, sehingga mulai merekonstruksi tafsir baru yang lebih bersahabat dan menghargai lingkungan. Tahun 1986, untuk pertama kalinya tokoh tokoh agama besar melakukan pertemuan di Italia yang dikenal dengan deklarasi assisi. Dari pertemuan itu ditemukan bahwa ternyata agama-agama dominan seperti Kristen, Islam, Hindu dan Budha memiliki basis teologis kesadaran tentang lingkungan hidup. Tokoh tokoh agama menyampaikan pernyataan pernyataan diambil dari kitab masing masing, sebagai keberpihakan kepada lingkungan hidup dan genderang perang terhadap perusak lingkungan hidup.

Posisi dan peran agama dominan dapat menjadi sinergis dengan lingkungan hidup serta seluruh kehidupan yang terkait dengannya secara utuh. Upaya menghabisi ’agama’masyarakat lokal bisa bergeser ke arah saling menghargai dan saling menghormati. Dalam berbagai hal dapat bekerjasama dan bergandengan tangan dalam rangka menghempang laju kehancuran alam dan hutan yang masih tersisa.

’AGAMA’ MASYARAKAT LOKAL DAN LINGKUNGAN HIDUP

Sulit menemukan data yang pasti tentang jumlah penganut aliran kepercayaan di nusantara ini. Mengikuti publikasi The World Factbook(2001), dari 230 juta penduduk Indonesia terdapat 96 % jumlah penganut agama agama dominan seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Data ini mengisyaratkan bahwa jumlah penganut aliran kepercayaan bisa mencapai 4 % atau sekitar 9,2 juta jiwa. Namun dalam bingkai pelestarian alam, jumlah ini jauh lebih penting karena komunitas komunitas mereka yang setidaknya bersentuhan atau berinteraksi langsung dengan alam. Eksistensi mereka sangat tergantung terhadap kehidupan dan keberlangsungan lingkungan alam. Mereka tidak saja berkepentingan atas kehidupan yang bersumber dari alam dan hutan, tetapi berkepentingan atas lestari dan eksisnya hutan sebagaimana adanya, sebab eksistensi keduanya adalah saling hubungan yang tidak terpisahkan.

Bisa dikatakan bahwa komunitas lokal sekitar hutan menghargai hukum yang berlaku dengan alam lingkungannya, jauh dari logika ekonomi untung rugi para perambah hutan yang datang jauh dari luar komunitas mereka, katakanlah dari masyarakat perkotaan yang materialistis, dan memandang hutan dari kacamata dollar, bukan dari kacamata lingkungan alam sebagai entitas yang memiliki sirkulasi kehidupan yang harus dihormati dan dijaga hak-haknya untuk hidup dan lestari. Letak kesucian dan kesakralan yang dimiliki oleh alam –sebagaimana diyakini komunitas lokal- tidak mendapat tempat bagi logika dagang saudagar kota yang haus dengan keuntungan sesaat.

Kita tidak pernah mendengar gundulnya hutan ratusan hektar oleh karena komunitas tradisional yang tinggal dihutan. Namun kita selalu mendengar illegal logging yang dilakukan masyarakat kota yang memandang segala sesuatu dari segi keuntungan ekonomi sesaat. Jika ada orang orang dari masyarakat lokal yang terlibat dan tersubordinasi dalam rantai penggundulan hutan, sesungguhnya hal itu berakar pada ekspansi dan penjajahan nilai yang dilakukan oleh peradaban kota yang kapitalistis. Komunitas lokal tidak memandang alam sebagai sesuatu yang harus diekslpoitasi. Komunintas lokal yang seringkali di cap sebagai orang orang yang memeluk animisme atau aliran kepercayaan memiliki hubungan yang simbiosis dengan alam secara langsung, berbeda dengan masyarakat kota yang lebih merasa teralienasi dengan kehidupan alam.

Disekitar lereng gunung Sinabung di Sumatera Utara dikenal masyarakat Karo yang sebagian kecil masih menganut kepercayaan tradisional yang dikenal dengan Pemenah, dan disekitar gunung Pusuk Buhit di Samosir dikenal masyarakat Batak Toba yang sebagian masih menganut aliran kepercayaan Parmalim. Interaksi keselarasan hidup dengan alam dan hutan dapat diteladani dari mereka, setidaknya ritual mereka menggambarkan tingginya penghormatan terhadap hutan sekitarnya.

Aliran kepercayaan yang ada di Nusantara ini sebenarnya jauh lebih ramah lingkungan dari agama agama besar yang ada saat ini. Katakanlah aliran kepercayaan Parmalim di Tanah Batak, hutan yanh disebut tombak, adalah sesuatu yang sakral dan harus dijaga kehidupannya, karena merupakan air susu kehidupan bagi manusia. Mata air atau sumber air adalah homban, yang berarti suci dan haram hukumnya untuk dikotori. Demikian juga suku anak dalam yang hidup di propinsi Jambi. Mereka semakin terjepit dengan perambahan hutan yang diganti menjadi areal perkebunan. Bagi suku anak dalam yang hidupnya sangat erat dengan rimba, perkebunan monokultur sama dengan gurun pasir, karena tidak bisa memberikan kehidupan apapun bagi mereka. Masyarakat yang masih menganut aliran –aliran kepercayaan diluar agama besar masih banyak di seluruh nusantara, namun tidak ada perhatian untuk melestarikan faham dan nilai-nilai yang mereka miliki, ironisnya justru agama-agama besar acapkali melakukan ekspansi yang gencar terhadap faham dan nilai-nilai yang mereka anut.

Dari sudut pandang etika ekologi, keyakinan dan nilai nilai selaras alam yang dimiliki komunitas lokal lebih mendekati apa yang disebut Arne Naess(1973) dengan deep ecology, sebuah varian dari teori ekosentrisme yang berkembang sebagai antitesis terhadap antroposentrime yang dianggap telah menghancurkan alam selama ribuan tahun. Sintesa Naess menarasikan tidak sekedar keyakinan-keyakinan terhadap lingkungan, tetapi mencakup filsafat kearifan terhadap lingkungan atau ecosophy, serta gerakan ekonomi dan aksi politik selaras alam.

Tidak seperti faham antroposentrime yang memandang persoalan lingkungan hidup sebagi persoalan teknis, persoalan lingkungan hidup menyangkut paradigma dan watak berfikir yang harus diobah tentang alam. Alam adalah salah satu subyek yang memiliki hak untuk hidup dan bertumbuh sama dengan manusia. Disinilah letak relevansi aliran kepercayaan yang dimiliki komunitas-komunitas lokal untuk menjaga keutuhan dan kelestarian alam. Menganggap alam dan hutan sebagai sesuatu yang suci, yang tidak bisa dikotori dan dirusak, tidak beda jauh dengan maksud subyektifikasi terhadap alam sebagaimana dimaksudkan oleh Arne Naess.

PENUTUP

Pelibatan masyarakat lokal dalam menjaga dan mengembalikan kehidupan alam dan lingkungan hidup, tidak akan akan berjalan dengan baik tanpa pelibatan mereka secara utuh, menyangkut institusi sosial, ekonomi, politik, dan terutama pelibatan keyakinan keyakinannya terhadap alam dan lingkungan. Keyakinan-keyakinan yang nota-benenya adalah ’agama’ masyarakat lokal ini menjadi hal yang penting untuk digaris bawahi.

Agama-agama dominan yang pada masa lalu punya andil dalam pengrusakan alam, terlepas dari kekeliruan atau manipulasi ayat ayat dari masing masing agama, sudah seharusnya memberikan kontribusi penghargaan terhadap lingkungan hidup dan segala kehidupan didalamnya, termasuk menghargai dan mendorong kemajuan keyakinan-keyakinan masyarakat lokal yang bersahabat dengan lingkungan hidup. Apresiasi terhadap keyakinan keyakinal lokal menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam upaya menanggulangi persoalan lingkungan hidup.

Dari sudut kebijakan, pemerintah sudah saatnya mengakhiri diskriminasi terhadap masyarakat lokal yang memiliki keyakinan diluar agama-agama besar yang selama ini diakui. Klasifikasi penganut agama dan penganut kepercayaan termasuk kebijakan orde baru yang melanggar hak asasi manusia untuk bebas untuk menentukan keyakinan. Terakhir, kepada masyarakat lokal harus diberikan akses yang memadai untuk melestarikan keyakinan-keyakinannya, utamanya dalam melindungi alam dan lingkungan hidup. Setiap komunitas lokal memiliki kearifan lokal, nilai sendiri, metode sendiri, serta aksi aksi yang secara alami dimiliki untuk memecahkan persoalan dirinya sendiri tanpa intervensi dari luar komunitasnya.

saurlin siagian/ nopember 2005


Thursday, October 13, 2005

Carut Marut Dana Kompensasi

Pencairan dana kompensasi sudah dimulai minggu ini. Seperti diduga sebelumnya, akan terjadi berbagai konflik seputar pendataan, hingga pencairan kepada masyarakat yang dinyatakan sebagai kategori miskin dan layak diberikan dana kompensasi BBM. Diberbagai daerah, rakyat perduyun duyun datang ke kantor BPS melakukan unjuk rasa karena diperlakukan tidak adil. Faktual, masalah yang muncul dengan kehadiran dana kompensasi BBM ini antara lain adanya warga yang tidak memanipulasi identitas untuk mendapatkan surat miskin, adanya pegawai pemerintah dan pensiunan yang nota benenya memiliki pendapatan yang cukup, tetapi memiliki kartu miskin. Ironisnya, terdapat banyak orang miskin yang tidak memiliki kartu miskin.

Masalah inilah yang menimbulkan luapan kemarahan rakyat dimana-mana. Dana yang diharapkan dan direncanakan untuk orang orang miskin itu, ternyata salah sasaran menjadi dana kompensasi orang kaya. Dinegeri ini, susah setengah ampun jadi orang miskin, dan alangkah enak dan senangnya jadi orang kaya. Sudah mampu, diberi kompensasi pula. Kita tidak dapat mengerti pikiran aparatur yang memberi peluang dan mengamini perilaku itu, sepertinya kaki di kepala, kepala di kaki, kata salah satu lirik lagu pop yang sedang populer saat ini. Untuk sekedar melihat ke latar belakang, kita perlu telusuri ide dana kompensasi ini dari asal usul dan penganjurnya.

Konsep pemberian subsidi cash kepada warga negara yang miskin sudah lama diterapkan negara negara yang menganut welfare state. Hampir seluruh negara negara di Eropa menerapkan kebijakan subsidi kepada rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Santunan berupa uang cash diberikan pemerintah secara langsung setiap bulannya melalui aparat setingkat kelurahan. Namun, pengalaman negara-negara welfare state itu ada semacam rasa malu masyarakat meminta dana tersebut dari pemerintah setempat, karena mereka dipulikasikan, didata dan diberikan identitas sebagai orang yang tidak bisa mandiri. Orang orang yang tergantung itu sendiri, secara umum memiliki stigma tersendiri sebagai orang yang tidak memiliki aturan hidup, urakan dan tidak biasa dalam pergaulan dan etika masyarakat. Kenyataannya, orang-orang yang mengambil dana dari kantor pemerintah itu, segera setelah mengambil uang cash tersebut justru menggunakan yangnya untuk membeli kebutuhan yang tidak primer, misalnya mereka menggunakan uang itu untuk membelikan minuman keras dan mabuk-mabukan. Ini menjadi dilemma tersendiri dinegara-negara maju.

Dinegeri kita yang pernah terkenal dengan budaya, etika dan kebiasaan-kebiasaan terhormat ini, justru lain. Disatu sisi, orang tidak akan pernah percaya bahwa bangsa ini sedang krisis, karena setiap mobil termewah, terbaru dan termahal akan selalu kita saksikan dengan plat toko melintas dijalan raya. Disisi yang lain, orang akan segera berkesimpulan semua orang di negeri ini adalah orang miskin, karena ketika ada dana kompensasi BBM, semua orang berlomba mengurus surat miskin, berlomba untuk mendapatkan santunan sebesar Rp.100.000 dari pemerintah. Jika benar orang miskin, barangkali mereka berfikir, lumayan untuk menyambung hidup seminggu dengan beli beras. Jika ternyata orang kaya, barangkali mereka berfikir, lumayan, untuk beli pulsa handphone. Kita berharap, semoga jika yang terakhir salah. Kita tentu tidak mau disebutkan sebagai bangsa sakit jiwa, kita tidak mau masyarakat Indonesia ini disebut memiliki kepribadian ganda

Tuesday, October 11, 2005

gempa ..

Gempa Pakistan dan Kita

Gempa beberapa hari yang lalu di Pakistan dan negara- negara tetangganya menewaskan lebih dari 30.000 jiwa dan puluhan ribu lainnya luka-luka, mengingatkan kita kembali pada luka baru yang masih segar dalam ingatan, bencana tsunami dan gempa Aceh dan Nias, di negara kita. Korban di negara kita bahkan masih jauh lebih banyak, tercatat sekitar 220 ribu tewas, dan ratusan ribu lainnya terluka, kehilangan rumah dan mata pencaharian dilanda ‘mega bencana’ itu. Bencana-bencana yang terjadi kembali mengingatkan kita bahwa alam memiliki siklus yang harus terus menerus diwaspadai oleh manusia di bumi ini.

Selain Pakistan yang mengalami kerusakan terparah dan korban terbanyak yang diakibatkan oleh gempa berkekuatan 7,6 skala richter itu, tercatat Afganistan dan India juga terkena guncangan dan menderita kerusakan yang parah. Satu minggu sebelumnya negara Adidaya Amerika Serikat juga dilanda bencana alam badai Katrina yang menewaskan ratusan orang. Hal ini juga mengingatkan kita bahwa tidak ada satu negara pun yang bisa luput dari bencana alam, termasuk negara adi daya.

Tidak ada satu negarapun yang bisa luput dari bencana alam, oleh karena siklus dan pergerakan lapisan bumi yang terus menerus terjadi. Sekedar mengingatkan, negeri China beberapa kali diguncang gempa hebat yang menewaskan 235 ribu jiwa tahun 1920, 200 ribu pada tahun 1927, dan 242 ribu tahun 1976. Ditempat lain, yakni tahun 1923, Jepang juga pernah dilanda gempa hebat, melebihi korban oleh karena bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, dan menewaskan 140 ribu jiwa. Bencana yang berdekatan sebanyak tiga kali terjadi diberbagai belahan dunia yang sama sama tidak mampu diantisipasi teknologi manusia, yakni badai tsunami di negeri kita Indonesia, badai angin topan Katrina di Amerika Serikat, dan gempa bumi di Pakistan.

Kita disadarkan bahwa ternyata dengan kemajuan luar biasa teknologi manusia, tidak ada satupun yang mampu mengontrol alam. Kita malah lebih sedih karena kemajuan teknolgi umat manusia ini lebih menonjol dibidang persenjataan militer yang selalu dipamerkan negara-negara maju supaya dibeli oleh negara negara lain. Walhasil, bumi ini hanya memproduksi alat-alat teknologi yang cenderung menghancurkan bumi itu sendiri, sementara teknologi yang mensejahterakan, atau singkatnya mengendalikan bencana tidak terlalu dipikirkan di dunia. Kita mengenal teknologi militer yang berkembang luar biasa seperti pesawat tempur siluman, bom atom, kapal induk yang menyerupai kota ditengah laut karena bisa bertahan bertahun tahun di tengah laut.

Saatnya dunia untuk berfikir lebih arif untuk memulai secara komprehensif ditingkat global untuk menciptakan teknologi yang berhubungan dengan penyelamatan, pencegahan, dan penanganan umat manusia dari bencana besar yang tidak mengenal ras, agama, politik dan negara ini. Lebih arif dan bijaksana kiranya jika umat manusia ini lebih menyediakan anggaran negara dan anggaran lembaga internasional untuk mengendalikan, memprediksi dan menjinakkan bencana bencana gigantik ini, dibanding menghabiskan anggarannya untuk menciptakan persenjataan pemusnah massal, atau anggaran untuk membangun kekuatan militernya.

Manusia seharusnya tidak hanya bisa saling curiga, antara satu negara dengan negara lain, antara satu agama dengan agama lain, dan lain sebagainya. Saatnya belajar dari bencana bencana global sepanjang abad umur bumi ini, bahwa jika tidak ada penanganan yang serius, bumi ini juga akan terus menceritakan bencana bencana besar yang akan selalu datang mengancam eksistensi umat manusia

ttg mafia peradilan

Quo Vadis Lembaga Peradilan

Kita dikejutkan dengan skandal yang diduga kuat terjadi ditingkat Mahkamah Agung, lembaga tertinggi yang dipercaya sebagai tumpuan terakhir benteng keadilan di negeri ini. Sangat ironis, jika lembaga yang diharapkan sebagai penegak keadilan justru menjadi akar sesungguhnya dari kebobrokan penegakan keadilan. Banyak kalangan saat ini mendesak agar ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan segera non-aktif. Beberapa anggota DPR RI menilai, dugaan penyuapan yang dialamatkan kepadanya telah menghancurkan marwah lembaga tertinggi peradilan Indonesia tersebut. Kita tidak tahu lagi kemana rakyat harus mencari keadilan, jika lembaga tertinggi saja tidak lagi memberikan keadilan. Uang menjadi ukuran keadilan bagi rakyat

Suara lantang juga telah datang dari senayan. Beberapa anggota DPR telah meminta supaya ketua MA mengundurkan diri dari jabatannya karena telah mencoreng wajah keadilan negri ini. Selayaknya ketua MA mempertimbangkan suara dewan yang antara lain disampaikan oleh Abdillah Thoha dari fraksi PAN itu. Inisiatif mengundurkan diri diharapkan datang dari ketua MA, untuk mengurangi atau memulihkan citranya yang sudah rusak dihadapan publik saat ini.

Walaupun kita harus menghormati asas praduga tidak bersalah, sejak lama telah menjadi konsumsi publik, atau lebih tepatnya rahasia publik, bahwa perkara apapun bisa diatur dengan sejumlah uang. Orang batak memberikan ungkapan yang terkenal “hepeng do mangatur negara on”. Sejak lama mafia peradilan adalah sesuatu yang nyata walaupun sangat sulit membuktikannya dengan data-data formil. Sudah sejak lama wajah peradilan ini buram, jauh sebelum Bagir Manan menjabat sebagi ketua MA. Ketua MA saat ini hanya melanjutkan system yang telah terbentuk selama puluhan tahun, yakni budaya suap.

Adagium yang mengatakan, ikan busuk pertama kali dari kepalanya layak menjadi contoh yang mendekati. Memberantas mafia peradilan harus diawali dari kepalanya. Jika unsur kepala ini bisa dibersihkan maka, akan lebih mudah melakukan pemberantasan suap dan mafia dijajaran kejaksaan dan kehakiman di seluruh Indonesia. Jika unsure kepala ini tidak dibersihkan, maka upaya apapun akan sia-sia dalam memberantas mafia peradilan ini. Selain itu, kode etik kejaksaan juga menegaskan jika ada aparaturnya yang terlibat masalah hukum, harus dinonaktifkan untuk mempermudah pemeriksaan.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah lembaga apa yang berhak melakukan pemeriksaan terhadap MA. Di era Megawati dan SBY, telah terbentuk Komisi Yudisial menjadi instrument yang dapat secara konstitusional memeriksa aparatur di Mahkamah Agung, walaupun lembaga ini adalah sama sama lembaga tinggi negara. Sementara urusan menonaktifkan pejabat tinggi negara itu, berada ditangan presiden sebagai lembaga eksekutif.

Presiden perlu mengambil langkah-langkah bijak, mengingat negara ini sedang dilanda seribu satu macam masalah yang mengancam tenggelamnya republik yang kita cintai ini. Kita berharap bahwa salah satu masalah mendasar kita adalah korupnya lembaga peradilan yang tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi rakyat. Ditengah segala kesulitan ini, rakyat akan sedikit terobati hatinya jika elit-elit yang masih saja tega-teganya melakukan ketidak-adilan dan korupsi, diadili dan berikan hukuman yang seberat-beratnya. Semoga.

favorit

Mengaktifkan Koter, untuk Apa?

BERMULA dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada HUT TNI ke-60, 5 Oktober lalu, bahwa TNI diminta berperan dalam perang melawan terorisme di Indonesia, wacana mengaktifkan kembali komando teritorial (koter) mulai menghangat dan ramai dibicarakan banyak pihak, yang pro maupun kontra. Apalagi, pada acara yang sama Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan bahwa “Komando teritorial bisa kami aktifkan kembali tanpa ada institusi lain yang merasa tersinggung.”
Awal dari itu semua adalah kasus pengeboman di Jimbaran dan Kuta Bali pada Sabtu (1/10) yang menewaskan sekurangnya 22 orang dan mencederai ratusan lainnya. Peristiwa itu membuat semua pihak segera menuding bahwa intelijen kita lemah, dan kebobolan yang kesekian kalinya. Pandangan yang menuding intelijen kita lemah ada benarnya, karena bila kita membandingkan dengan kemampuan jajaran intelijen pada masa lalu (baca Orde Baru), apa yang ada sekarang tidak ada artinya. Namun, harus diingat bahwa jajaran intelijen pada masa itu tulang punggungnya adalah komando teritorial yang dimiliki oleh TNI.
Peran dan fungsi intelijen itu rantainya dimulai dari Panglima ABRI, Kasospol, Asospol di berbagai Kodam, dan terus ke bawah hingga Korem, Kodim, dan Babinsa sebagai ujung tombak di desa-desa. Di jajaran pemerintahan sipil di tingkat provinsi sampai ke kabupaten/kota juga ada struktur dinas sosial dan politik (sospol) sebagai mitra komando teritorial. Kemudian, masih ada lembaga Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dengan para Panglima Kodam sebagai Pelaksana Khusus Daerah Kopkamtib (Laksusda) yang punya otoritas menangkap, menahan dll.
Dalam sejarahnya, koter adalah bagian dari sistem pertahanan rakyat semesta yang dibentuk semasa Perang Kemerdekaan (1945-1949), guna melancarkan perang gerilya. Terbukti efektif mengusir Belanda, para senior TNI mengembangkan terus konsep ini sebagai konsep baku pertahanan dan keamanan rakyat semesta dengan mengandalkan TNI (AD) sebagai tulang punggungnya.
Harus diakui, struktur ini sangat berhasil dalam membersihkan PKI dan para pengikutnya. Selanjutnya, oleh Presiden Soeharto struktur teritorial ini juga digunakan membantu memenangkan Golongan Karya dalam setiap pemilihan umum. Sebagai pembina teritorial untuk pertahanan dan pembinaan keamanan wilayah, koter mampu mendata potensi konflik dan sumber ancaman keamanan, sehingga mudah melacak para pelakunya. Oleh rezim Orde Baru, komando teritorial sangat efektif memata-matai rakyat dan menindas siapa saja yang bersikap kritis dan oposan. Apalagi, pada masa itu berlaku UU Anti Subversi.
Di era Reformasi, dan dengan adanya UU TNI No 34 tahun 2004, peran dan fungsi komando teritorial ini harus dihapuskan bertahap dalam kurun lima tahun. Jadi, fungsi koter seperti apa yang akan dikembangkan untuk melawan terorisme ini, harus dirumuskan dengan sangat baik, dan harus sama sekali berbeda dengan konsep semasa Orde Baru. Artinya, benar bahwa intelijen kita “kecolongan” karena memang mereka tidak lagi memiliki struktur hingga ke tingkat desa seperti pada masa lalu, sementara itu, intelijen kepolisian juga tidak terlatih menangani masalah-masalah yang terkait dengan gerakan politik berbau makar yang bisa berujung pada aksi terorisme. Juga benar bahwa berbagai lembaga intelijen yang ada belum bergerak dalam satu komando di Badan Intelijen Negara (BIN).
Pertanyaan yang mendasar: siapakah yang akan menggunakan koter itu? Kita ingatkan jangan sampai ia kembali digunakan untuk mendukung pemerintahan Yudhoyono-Kalla yang makin tidak populer hari-hari ini.
Menurut hemat kita, bila ingin menggunakan unsur-unsur komando teritorial dalam perang melawan terorisme maka, pertama-tama harus dirumuskan dengan tegas dan jelas apakah yang dimaksud dengan terorisme, supaya tidak diselewengkan. Kedua, komando teritorial itu dalam membantu peran intelijen tersebut tetap bergerak di bawah supremasi sipil, bahkan kalau perlu ia hanya menjadi konsultan lembaga-lembaga sipil seperti pemerintahan daerah atau Polri.
Dalam menghadapi terorisme, kita tidak setuju bila yang dikedepankan hanyalah pendekatan keamanan. Persoalan ini harus dihadapi bersama oleh segenap aparatur negara, termasuk TNI. Artinya, berbagai instansi pemerintah lainnya (di luar TNI dan Polri) yang punya peran penegakan hukum seperti Imigrasi, Bea Cukai, kependudukan dll juga harus terlibat dan bersama-sama bergerak dalam koordinasi yang baik dan padu, bukannya saling tak acuh. Penting sekali untuk menghidupkan kembali berbagai kearifan di masyarakat seperti dialog dan musyawarah antar tokoh masyarakat, pimpinan daerah hingga ke desa-desa, demi menciptakan suasana kondusif guna menangkal terorisme.

artikel favorit

Wertheim : Soeharto Dalang G30S ?

Prof. Dr. W.F. Wertheim

Pengantar: Cuplikan berita dari harian Republika edisi Jum'at 28 Juli: "Bagaimana dengan mantan Kolonel A. Latief yang kabarnya telah mengajukan grasi lima tahun silam? Menjawab pertanyaan ini, Moerdiono tak banyak komentar kecuali secara diplomatis mengatakan bahwa grasi merupakan hak prerogatif Presiden. A. Latief yang kini mendekam di LP Cipinang, ketika terjadinya pemberontakan G-30-S/PKI, menjabat sebagai Komandan Brigif I Kodam Jaya. Mahkamah Militer Luar Biasa menyatakan ia terlibat G-30-S/PKI dan dijatuhi hukuman seumur hidup. Ia duduk sebagai orang inti di dalam Dewan Revolusi yang dibentuk Letkol Untung yang melakukan kudeta." Demikian cuplikan berita itu.

Pertanyaan "Bagaimana dengan mantan Kolonel A. Latief yang kabarnya telah mengajukan grasi lima tahun silam?" itu sebaiknya dikemukakan kepada Prof. W.F.Wertheim, yang kini menetap di Wageningen, Negeri Belanda, sebab sejak tahun 1967 beliau sudah siap dengan jawabannya. Bagi yang belum tahu, Prof. Wertheim (1907) pernah menjabat gurubesar pada Rechtshogeschool di Batavia (sekarang FHUI). Sesudah itu, dari tahun 1946 sampai 1972 menjadi gurubesar pada Universiteit van Amsterdam. Dan berikut ini jawaban Prof. Wertheim soal Latief yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan sebagai suplemen pada majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23 September 1990 di Amsterdam. Selamat membaca, semoga memberi penerangan dan mungkin membangkitkan niat untuk berdiskusi lebih lanjut dalam berbagai net anda!

SEJARAH TAHUN 1965 YANG TERSEMBUNYI

Oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim

Para hadirin yang terhormat!

Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki.

Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokon terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain.

Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!" Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat.

Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir kup 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?.

Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara dengan saya.

Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang terkemuka.

Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah Sjam double agent?" Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan.

Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu: "Aneh sekali: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen.

Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan. Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story".

Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenarnya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah". Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya pengakuan ini dari Soeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' - the missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.

Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka - tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto menceritakan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht van de staatsgreep?" (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada malam kup?).

Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia" tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum."

Masa, heran - seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili.

Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' dan tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa. Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding. Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda, tahun 1949.

Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.

Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: "Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Soeharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan.

Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto, menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, melainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya hukumannya dikurangi.

Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana. Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak langsung' dalam peristiwa 30 S!

Jadi, sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta.

Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu.

Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim.

Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan-perundingan dan pertemuan-pertemuan, lagi pula tidak bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas perintah Aidit.

Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan DIA yang memberi perintah untuk membunuhi jenderal-jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya - tetapi ia tambah seolah-olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya' kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono dan Bono.

Agak jelas bahwa pada malam 30 September dua-dua, Soekarno dan Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.

Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA. Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu, kalu peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Soekarno.

Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi. Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal Sukendro.

Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Soekarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan KOTRAR. Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya. Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorongi supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal. Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada.

Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman-Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperiti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono. Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu analisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" pada tahun 1979.

Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme.

Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Belanda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).

Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari kedutaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga.

Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan 'de-classified', jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barang-barang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S. ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65.

Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965?

Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia.

Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.

Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta.

Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiarkan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggungjawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!".

Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan-akan mereka dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI 'terlibat dalam peristiwa G30S-PKI'. Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih.

Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI'. Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan. Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu. Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan.

Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh 'terlibat persitiwa G30S/PKI'. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.

Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965.

Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal-jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderal-jenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.

Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka. Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu.

Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu.

Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!" Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi.

Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka. Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan bangga diri.

Terima kasih!

Tuesday, October 04, 2005

HAM DAN KRISIS LISTRIK*)

Sejak Mei 2005, rakyat Sumatera Utara faktual menderita krisis listrik. Pemadaman bergilir, serta pemadaman tiba-tiba menimbulkan kerugian yang luar biasa terhadap segala aktivitas rakyat yang tergantung secara langsung maupun berhubungan dengan listrik. Lebih dari itu, banyak pelanggan listrik juga mengeluhkan padamnya listrik walaupun hanya memakai voltase yang biasa dipakai sehari-hari di rumah, sehingga patut diduga dan patut diteliti lebih lanjut kemungkinan adanya pengurangan voltase setiap rumah secara merata secara sepihak tanpa regulasi publik yang transparan.

Tidak ada penjelasan yang komprehensif dari pemerintah sebagai pertanggungjawaban publik atas terjadinya krisis listrik selain berita sepotong-sepotong di media tentang terjadinya kerusakan pembangkit listrik di beberapa tempat di Sumatera Utara. Bahkan sebelumnya, PT. PLN memperkirakan bahwa Total Daya Mampu listrik masih berada diatas Beban Puncak Sistem per tahun ( Majalah Bisnis Internasional, edisi Februari-Maret 2005, hal. 50), misalnya total daya mampu tahun 2005 sebesar 1.132 MW, sementara Beban Puncak Sistem diperkirakan hanya mencapai 1.108 MW.

Bukan menguraikan penyebab krisis listrik, pemerintah malah lebih menjelaskan akibat-akibat krisis, seperti mengeluhkan bahwa investor asing yang ingin membangun industri pengolahan logam harus mundur karena tidak adanya jaminan ketersediaan listrik ( Sumut Pos, 22 Juli 2005). Dari persfektif hak asasi manusia, pemerintah dapat disebutkan telah gagal untuk memenuhi (obligation to fullfil) kebutuhan dasar rakyat, mengingat listrik adalah alat produksi vital yang dimonopoli dan dikuasai negara untuk kebutuhan rakyat banyak sebagai amanat konstitusi. Sebaliknya, bahkan rakyat diminta untuk memaklumi jika hak dasarnya tidak mampu dipenuhi oleh negara.

Walaupun belum ada ketentuan HAM yang secara khusus dan langsung mengenai hak atas energi listrik sebagai hak asasi, namun berbagai hal menyangkut hak hak dasar atas sumber sumber kehidupan telah telah tercakup dalam konvensi hak hak ekonomi dan sosial budaya ( ekosob) dan hak-hak atas pembangunan. Walaupun kovenan dan deklarasi ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, pemerintah berkewajiban menghormati hukum internasional yang otomatis berlaku universal sebagai konsekuensi telah diratifikasinya hukum tersebut oleh hampir seluruh negara-negara di dunia.

Ditingkat nasional, hak-hak ekosob secara umum juga terkandung dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam UU HAM tersebut, tragedi listrik ini setidaknya dapat dihubungkan dengan beberapa pasal menyangkut hak atas pekerjaan (pasal 6), hak atas kehidupan yang layak ( pasal 40) dan hak atas jaminan sosial ( pasal 41). Mungkirnya pemerintah terhadap hak ekosob dapat dilihat pada pasal 11 ayat 1 kovenan ekosob tentang standar kehidupan yang layak dan berkecukupan serta langkah langkah pewujudannya, hak atas jaminan sosial ( pasal 9), dan hak atas pekerjaan ( pasal 6).

Kaitannya secara sederhana adalah bahwa upaya rakyat dalam mencari nafkah sehari-hari dan akses serta hubungan hubungan sosial dasar hampir seluruhnya berhubungan dengan pemanfaatan tenaga listrik; seperti lampu listrik rumah tangga, televisi, komputer, alat pendingin, dll. Lebih jauh alat-alat yang berhubungan dengan listrik juga mengalami kerusakan karena listrik yang tidak stabil.

Dengan demikian terdapat setidaknya dua aspek hak hak dasar yang lalai dipenuhi oleh pemerintah. Pertama adalah aspek memenuhi (obligation to fulfil). Pemerintah telah gagal memenuhi hak hak dasar dalam hal ini listrik sebagai kebutuhan dasar rakyat. Kedua, Aspek kewajiban untuk mengambil langkah langkah pemenuhan ( The duty to fulfil which requires the state to take appropriate measures towards the full realization of the right ) sebagai hak-hak dalam pembangunan( HRD, UNDP,2004). Dalam hal ini pemerintah telah gagal dalam melakukan langkah-langkah yang memastikan atau menjamin bahwa hak yang diabaikan akan segera dipenuhi. Sebaliknya justru yang dilakukan adalah penjelasan supaya rakyat memaklumi terjadinya krisis, bukan langkah-langkah produktif untuk menyediakan listrik yang cukup.

Persfektif ini diharapkan dapat membuka kesadaran pemerintah atas kelalaiannya memenuhi hak-hak dasar warganya, sebagai kegagalan utamanya dengan bercermin pada kovenan hak-hak ekonomi sosial budaya ( ekosob), yang telah dianggap menjadi hukum universal yang berlaku bagi setiap bangsa manapun di dunia.

*Saurlin siagian/ Divisi Studi- Bakumsu/okt/05

Tuesday, September 20, 2005

aku jarang nulis cerpen, tapi aku beranikan aja..heheee

Sebuah Cerpen:
Memperingati Jatuhnya Soeharto

REVOLUSI, DARI DAN UNTUK TOILET
By : Saurlin

Gemuruh api semangat yang membakar ribuan mahasiswa Indonesia tidak diduga sebelumnya akan menjatuhkan rejim otoriter pimpinan Jenderal besar Soeharto, enam tahun yang lalu. Anak-anak bau kencur yang motivasinya bermacam-macam itu, sedang turun kejalan. Ada yang ikut karena gerah dengan rutinitas kuliah, ada yang merasa turun kejalan itu nampak seolah olah patriotis –pahlawan, ada yang sekedar lihat-lihat pasangan, atau sekedar mendengar orasi dan berteriak-teriak meluapkan emosi yang terpendam sewaktu diruang kuliah, atau dalam keluarga yang mengekang. Tapi salah seorang dari ribuan itu sedang bermaksud, itu adalah sebuah rencana revolusioner meruntuhkan sebuah rejim yang kejam kepalang. Tampaknya tak salah lagi, setelah aku pikir-pikir, salah seorang –saja- dari semua mereka yang berpikir seperti itu. Jika –pun- benar sekelompok orang, maka sesungguhnya adalah satu- dua orang dari sekelompok kecil itu yang menggerakkan wacana, menggerakkan logistik, dan menggerakkan langkah turun kejalan.
Di Medan tempatku kuliah, dua tahun sebelum peristiwa 21 Mei 1998, masih teringat jelas dibenakku aksi-aksi mahasiswa secara tidak teratur dilakukan sekelompok kecil mahasiswa yang berjumlah sepuluh orang hingga lima belas orang. Tidak pernah enam belas. Dari lima belas itu, tiga belas adalah ikut-ikutan, yang dua orang lagilah pahlawannya, atau tepatnya merasa –pula- sebagai pahlawannya. Kalau kedua orang itu tak setuju, kegiatan kelompok akan gagal, kalau kedua orang itu tidak datang diskusi, biasanya diskusi dibatalkan karena terasa kurang seru. Atribut orang penting ini akrab dengan asesoris berlogo Che Guevara, Karl Marx, atau kaos yang disablon berisikan kata-kata patriotis, minimal kata-kata “Stop ini, atau stop itu…”. Rambut gondrong, celan jeans robek diberbagai sudut seperti dengkul, paha atau pantat. Diskusi-diskusi seru selalu melibatkan nama-nama besar itu, nama yang sangat jauh di belahan dunia asing, tanpa nama itu serasa kurang terpelajar. Belajar tentang Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien atau Panglima Polim terasa kuno dan tidak modern sehingga tidak mendapat porsi dalam diskusi. Romantisme yang dibangun adalah revolusi Prancis, revolusi Bolsevik di Rusia, atau gerakan kiri baru mahasiswa di Jerman.
Mengingat cara berfikir ini, saya jadi teringat pula tulisan Takashi Shiraisi yang berjudul “Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa”. Sesungguhnya Kolonialisme tidak bisa menundukkan Hindia (Jawa), jika para pemimpinnya tidak terbias oleh rasionalisme dan modernisme barat. Alur berfikir inlander mulai diperiksa dan diberikan racun ilmu barat, sehingga dengan sangat mudah, kultur dan sistem lokal berhasil dihancurkan bukan oleh kaun kolonial, tetapi oleh kaum inlander sendiri yang kepalanya berisi ilmu barat, mulai dari Boedi Utomo, RA. Kartini, Soekarno, Tan Malaka dan para pemikir yang sudah terinveksi ilmu-ilmu barat, begitu kata bukunya. Ini benar-benar sejarah yang memalukan dan mengerikan, penjinakan ini sulit disadari juga oleh saya sendiri, dan sekarang saya sedang berada pada fase-fase penjinakan ini?
Kembali ke aksi lima belas orang tadi, aksi turun kejalan-yakni satu-satunya aksi yang diketahui pada masa itu- tergolong monoton, dibanding aksi –aksi pasca 98 yang sudah bermacam-macam, mulai dari aksi mogok makan siang, aksi gantung diri –tapi tak sampai mati, hingga aksi telanjang bulat, mewarnai aksi –aksi belakangan ini.
Setiap aksi ini setidaknya mengeksploitasi secara berulang beberapa hal. Pertama peserta aksi yang diikuti oleh lebih kecil dari enam belas orang itu, kedua, biasanya memakai satu buah spanduk bekas -yang telah berulang kali digunakan, ketiga , berlokasi di tiga pilihan tempat; kampus, bundaran SIB, dan Gedung DPRD, keempat, selalu saja memakai kata langganan sebagai awal kalimat: TOLAK, atau STOP, kata-kata yang paling merasakan eksploitasi masa itu, mulai dari isu global; tolak Globalisasi, Neoliberalisme, Stop campur tangan WB, IMF , hingga isu lokal; stop PHK, Tolak Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), stop Illegal Logging, dan tolak Soeharto.
Biarpun dengan metode monoton, aksi itu biasanya mendapat perhatian publik dan media, celakanya terkadang mendapat perhatian serius dari aparat, sehingga harus digiring ke kantor polisi atau militer terdekat. Dipukul sekali –dua kali supaya bertobat kemudian dilepaskan, dengan harapan teman mahasiswa yang dipukuli tadi akan memberitahukan kengerian itu kepada teman-temannya yang lain dan kemudian jera. Efeknya ada mahasiswa yang jadi semakin jinak, tetapi ada yang tetap berlawan, utamanya satu – dua orang yang aku sebutkan tadi.
Mengingat soal jinak menjinakkan ini, saya teringat dengan tulisan Jan Breman berjudul “ Sang Koeli”, yang membahas metode penjinakan dengan cara mempertontonkan kekejaman yang luar biasa kepada publik, dengan harapan rakyat jadi semakin hormat dan takut kepada kaum kolonial. Cara-cara sadistik ini antara lain dengan membuat acara khusus hukuman gantung, pancung, memotong kaki, tangan atau alat kelamin bagi siapa yang melanggar peraturan kolonial. Metode ini berlangsung ratusan tahun di wilayah Hindia Belanda, yakni Indonesia sekarang. Tidak berlebihan kalau aku sebut “jinak” telah menjadi watak, sesuatu yang laten sekaligus manifes. Menjadi jinak adalah harapan pemerintah terhadap rakyatnya, sekaligus manusia jinak adalah keinginan setiap orang tua kepada anak-anaknya, jinak menjinakkkan menjadi tradisi bangsa. Mencoba melepaskan diri dari situasi jinak, yang dilakukan satu –dua orang itu, menjadi semacam usaha gila, memang adalah gila kalau diantara seluruh rakyat, ada satu-dua orang yang “lain”, tidak jinak adalah ide gila sekaligus perilaku gila.
Cerita pendek ini saya tuliskan adalah dedikasi kepada yang gila-gila itu saja, yakni satu dua orang itu, yang saya bayangkan kemarin telah susah payah membangun kelompok diskusi dan menggerakkan aksi mahasiswa, yang mungkin sadar atau tidak berusaha sedang dijinakkan terus menerus oleh lingkungannya. Beginilah ceritanya usaha mereka kemarin untuk membangun kelompok dan mengusahakan perubahan.
Tersebutlah di kota Medan sebuah kelompok diskusi yang sedang asyik masyuk merencanakan suatu aksi. Pertemuan yang dihadiri lima belas orang itu adalah usaha susah payah yang dilakukan oleh satu orang, dibantu satu orang temannya untuk mengundang teman-teman lainnya yang kelihatannya sudah bosan berdiskusi. Perdebatan ada diseputar itu juga, ada yang bosan diskusi saja tanpa aksi yang tidak pernah lagi dilakukan dalam beberapa waktu terakhir, tetapi ada yang berpendapat diskusi adalah salah satu bagian terpenting dari rangkaian aksi. Akhirnya disepakatilah aksi turun kejalan. Seperti biasa, dilakukan penggalian pikiran-brain storming- dan sharing isu menentukan agenda aksi, kemudian dihunjuklah pimpinan aksi, urusan logistik, urusan pers dan urusan persiapan statemen, spanduk, serta lokasi aksi ditentukan. Tidak ada yang keberatan dengan aksi itu, semua setuju-setuju saja, sebagian menyebutkan sekalian olah raga untuk menyehatkan badan yang keseringan masuk angin karena begadang. Persiapan akan dilakukan disalah satu rumah kost anggota kelompok, untuk mengecek TOA-pengeras suara, memperbanyak statemen, dan mengambil spanduk-spanduk bekas milik LSM, -bekas seminar-seminar yang mereka pakai di hotel-hotel - untuk dicuci kembali dan dicat ulang.
Sampailah pada hari H minus satu, yakni hari untuk merampungkan segala persiapan. Seperti biasa yang pertama hadir adalah yang satu orang yang saya ceritakan tadi, kedua adalah pemilik kamar kost itu yang adalah anggota kelompok diskusi juga. Menunggu terlalu lama membuat yang seorang ini mendahulukan diri bekerja menghapus kata-kata “Selamat Datang...” yang ada di spanduk-sapnduk itu, diganti kata STOP…, di kamar mandi temannya tadi. Biarpun dia sebenarnya ditugaskan sebagai pimpinan aksi, tetapi dia mau mengerjakan tugas yang seharusnya telah disepakati bagian pekerjaan petugas logistik itu . Untuk menghibur diri, dia sebutkan kepada temannya yang satu lagi,” Revolusi barangkali harus dimulai dari toilet ini, toilet ini menjadi saksi pertaruhan nasib bangsa”, katanya sambil tertawa dan membilas spanduk itu hingga bersih. Ditahap ini belum ada juga muncul batang hidung petugas yang telah ditetapkan membilas spanduk, sehingga dilanjutkanlah mencat satu demi satu huruf diatas spanduk yang telah dikeringkan sebelumnya. Komitmen, janji, dan kesepakatan adalah absurd, gumamnya dalam hati. Hingga siap tulisan spanduk itu, tidak satupun dari ketiga belas temannya yang datang. Biarpun demikian, oleh karena entah hantu ideologi apa yang ada dalam pikirannya, pada malam hari diapun masih bersedia mengunjungi satu demi satu rumah anggota yang ketiga belas itu untuk memastikan kehadirannya esok hari untuk turun kejalan. Akhirnya, jadi juga ke lima belas orang itu melakukan aksi turun ke jalan dipimpin oleh orang yang satu tadi . Semua peserta aksi dengan semangat mengikuti atau menyambut apa saja yang disebutkan pimpinan aksi. Kesadaran kolektif barangkali juga absurd, pikir sang pimpinan aksi. Begitulah berbagai aksi yang senantiasa terus menerus digerakkan oleh satu – dua orang itu.
Tidak terasa aksi terus berlanjut hingga melewati tahun demi tahun, dan alam bawah sadar masif juga terbentuk tentang makin busuknya kakek Jenderal purnawirawan Soeharto di Istana Merdeka, yang telah terlalu berlama-lama mengatur –ngatur dengan tangan besi. Saya yakin, bahwa aksi mahasiswa di Medan tanggal 21 Mei 1998 adalah yang terbesar -dari segi jumlah tentunya- bahkan mengalahkan jumlah aksi buruh Medan 14 April 1994, aksi buruh berjumlah sekitar 5000 orang yang terkenal di Indonesia dan menjadi monumen perjuangan buruh . Lebih dari 10.000 orang mahasiswa turun kejalan dari seluruh Universitas, Institut, STIE, STMIK, dan Politeknik di Medan turun kejalan dan menuju tujuan yang sama yakni gedung DPRDSU. Aksi ini tidak mendapat perhatian yang besar dari media, karena terpusat pada proses politik yang terjadi di Jakarta, yakni turunnya sang kakek, Jenderal purnawirawan Suharto dari kursi Presiden.
Entah kesadaran apa yang menggerakkan seluruh mahasiswa, dari mulai kelompok kecil tadi, hingga tukang gelek dan tukang judi di kampus turun ke jalan dan menuju DPRDSU yang bukan istana presiden itu, menuntut Soeharto mundur jauh di Istana merdeka Jakarta sana. Sulit dibayangkan memang soal alam bawah sadar, namun faktanya ribuan orang telah bergerak oleh susah payah gagasan satu orang dan dibantu satu orang temannya, terlepas dari nasib yang satu orang ini juga lebih malang, karena hasil perjuangannya dicuri oleh elit kini. Tragisnya, mereka harus kembali juga ke toilet kini. Perjuangan yang dimulai dari toilet itu telah diakhiri dengan kembali keasalnya, toilet. Saya mendapat inspirasi dan kesadaran soal yang ini ketika sedang berak dan melamun di toilet.


Saurlin
Written on Medan, 20 Mei 2004
Memperingati 6 tahun jatuhnya Suharto, 21 Mei 1998 – 21 Mei 2004