Thursday, September 25, 2014

peradaban yang menua

Eropah menghadapi persoalan pelik lansia. angka penduduk lansia di eropah telah melampaui batas yang pernah ada, sementara angka penduduk diangkatan kerja sangat kecil, termasuk angka kelahiran yang semakin terus menurun.
seorang lansia memperhatikan jadwal kereta di den haag central

Ini menjadi beban tersendiri bagi angkatan kerja, karena pendapatan mereka harus dibagi kepada para penduduk lansia itu. di berbagai negara di eropah, usia pensiun sudah dinaikkan. paling mencolok adalah di negara swedia dengan usia pensiun 75 tahun.  Prancis menerapkan usia pensiun di usia 62 tahun, jerman 65 tahun, dan belanda 67 tahun.

hmmm...mungkin eropah semakin tidak manusiawi hanya karena krisis ekonomi. Perlu dibuat konvensi ham tentang bentuk bentuk pekerjaan terburuk bagi lansia.




Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Saturday, September 20, 2014

musim gugur

sejak 2007, entah kenapa, saya selalu berada di eropah pada musim sejuk ini. dua tahun pertama karena sekolah, tiga tahun berikutnya karena undangan, dan sisanya karena dapat pekerjaan. tidak terasa sudah tujuh tahun. Juga, hampir pasti musim gugur yang akan datang saya juga akan ke sini karena pekerjaan regular tiga tahun ini. temperaturnya ideal sekali buat berfikir dan bekerja, mirip di puncak gunung negara tropis. temperaturnya sekitar 15 sd 20 derajat.

musim ini adalah transisi dari musim panas ke musim dingin. pada musim ini panen holtikultura yang tanpa rumah kaca harus dipanen. kalau tidak, akan gugur dan membusuk karena tidak tahan musim dingin yang segera datang.

a view from my room
ya...seperti namanya, pohon pohon akan membiarkan daunnya gugur supaya mampu menghadapi musim dingin tanpa matahari. itulah sebabnya hutan di eropah tidak menjalankan fungsinya sebagai penghasil oksigen dan penyerap karbon pada musim ini, tidak seperti hutan tropis yang menjalankan fungsi ini sepanjang bulan dan tahun.

pada musim ini segala kehidupan terlihat ceria. bukan hanya burung burung, binatang, dan tumbuhan hijau  yang menunjukkan kecantikannya. secara psikologis manusia juga menunjukkan wajah yang lebih cerah dan bersahabat dimusim ini. kalau mau bangun bisnis dengan orang eropah mulailah dimusim ini..hehehehee..

kemarin malam, ada pesta petasan di botanical garden, sekitar 3 menit jalan kaki dari rumah, pertanda pembukaan eksibisi kupu-kupu. butterfly yang asalnya dari negara negara tropis ini dikumpulkan dalam sebuah rumah kaca besar, diberikan makanan dan pohon-pohonan yang semuanya berasal dari negara tropis, suhu disesuaikan sekitar 25 - 30 derajat. untuk masuk kerumah kaca ini, setiap pengunjung bayar 1 euro. teman saya berkelakar..halah...kenapa kita harus bayar hanya untuk lihat kupu-kupu, di kampung kita sana kupu kupu itu bahkan datang kerumah dan kita usir....:)

@botanicalgarden, wuppertal, sep 20,2014

Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Sunday, August 03, 2014

Borong Tarigan, Kegelisahan atas Kemiskinan Desa

*) Tulisan tahun 2007 ini sengaja saya tampilkan ulang, mengenang kembali karya Almarhum yang meninggal hari ini Minggu 3 Agustus 2014 sekitar pukul 15.00 WIB di Taman Jubileum, GBKP Gelora Kasih, Sukamakmur, Bandar Baru, Deli Serdang, Sumatera Utara.

                                                                         ************

”Saya sering menatap dari atas (bukit) di Bandar Baru tempat saya sebagai pendeta Jemaat, saya pandang ke bawah. Ada dua yang berbeda kontras antara bandar baru dengan desa desa disekelilingnya. Semua rumah yang beratap seng, pasti bungalow-bungalow itu, dan semua rumah yang beratap daun rumbia, pasti rumah penduduk desa. Petani yang benar-benar bekerja susah payah, sangat miskin, sementara orang yang tidak susah payah kerja, kaya. Ini menjadi kegelisahan tersendiri bagi saya setelah menjadi pendeta untuk 13 desa se kecamatan Bandar Baru”

Kutipan ini sepertinya sudah bisa menceritakan semuanya, mengapa Pdt. Borong ingin melakukan pemberdayaan pedesaan. Namun jika ditelisik lebih jauh, ternyata kesadaran akan persoalan pedesaan ini sudah terbentuk sejak lama. Borong adalah anak desa terpencil, bernama Selakkar, kecamatan Bandar Baru, sekitar 15 kilometer dari ibukota kecamatan Bandar Baru, desa yang sangat kesulitan secara ekonomi. Satu momentum penting bagi Borong muda adalah ketika bertemu dengan ”agama-agama’ sewaktu menempuh sekolah menengah atas di Kabanjahe. Borong memiliki kelompok diskusi, 5 orang teman satu kost, yang mendiskusikan agama-agama yang menurut mereka hal yang baru dan menarik saat itu, kemudian mereka sendiri akan memilih agama yang menurut mereka menarik. Mereka, yang semuanya menganut pemenah itu merencanakan untuk mendiskusikan agama satu persatu. Rencananya giliran pertama adalah membaca kitab agama kristen, kemudian dilanjutkan dengan membaca kitab Alquran.

Selesai diskusi tentang agama Kristen, diskusi tentang Alqur-an tidak dilanjutkan karena kesulitan bahan. Akhirnya Borong masuk kristen bersama teman temannya, segera pergi ke gereja dan minta didaftarkan. Rupanya syaratnya, Borong harus melepaskan jimat-jimat yang dikantonginya, sebagai penjaga badan yang  diberikan oleh orang tua. Hingga kini, Borong masih ingat dengan mantra-mantra yang diajarkan kepadanya, bahkan Borong sempat sudah bisa mengobati penyakit dan keracunan dengan hanya membaca mantra.  ”Tidak apalah, katanya”,kemudian Borong menjadi Kristen. Tahun 1960, Borong dibaptis.

Setelah melanjutkan studi ke Fakultas teknik Universitas Sumatera Utara, tahun 1962, Borong muda langsung aktif ke gereja, bahkan menjadi guru sekolah minggu dan pembaca ’ting-ting’(pengumuman) di gereja GBKP Batang Serangan, tempat Selamat Barus sebagai pimpinan gereja, yang belakangan menjadi koleganya di Parpem. Di kampus USU yang saat itu masih di Jalan Gandhi, Borong juga sempat memasuki GMNI, under bow-nya PNI. Tetapi tidak bisa merasa tenang, karena konflik yang tinggi di kampus antara organisasi-organisasi mahasiswa seperti CGMI, GMNI, GMKI, Masyumi dan HMI. Terkadang Borong merasa kiamat sudah dekat, karena setiap hari ada saja demo besar besaran, saling unjuk kekuatan antara massa yang satu dengan massa yang lain, termasuk ormas-ormas besar saat itu. Oleh karena itu Borong semakin tertarik membaca alkitab, khususnya Wahyu.

Ketika terjadi peristiwa G 30 S, terjadi perubahan besar di Indonesia yang berdampak luas termasuk ke Sumatera Utara. Tepat pada saat kejadian ini, bersama TB. Simatupang, Borong sedang berada di Nias melakukan kerja bakti yang disebut dengan Kelompok Kerja Oikumene (KKO), dimana Borong sebagai salah satu utusan dari gerejanya.
”Tahun 1965 saya ikut Tim Kerja Oikumene di Nias, disitu pertama kali saya ketemu dengan TB Simatupang, disitu pula terjadi G 30 S. Pas Jubileum 100 tahun BNKP. Pada waktu itu mau di perkuatlah gereja ini begitu. Kami di sana membuat jembatan di Teluk Dalam. T.B. Simatupang mendapat kabar bahwa terjadi pembunuhan terhadap petinggi militer di Jakarta, yang kemudian dikenal dengan G 30 S.(Oleh karena itu) harus pulang segera ke Jakarta, tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Tapi sudah kira kira cemas cemas lah”.
Dimana mana terdapat penghakiman massal terhadap orang orang yang dituduh terlibat PKI. Ini juga punya dampak terhadap agama-agama. Kristen salah satu yang mendapat keuntungan. Banyak yang masuk ke Kristen, bukan persoalan mereka terlibat atau tidak dengan persoalan politik, tetapi dengan memiliki agama resmi, warga merasa lebih aman. Dengan demikian terjadi kekurangan para pelayan gereja untuk melayani orang orang yang mau masuk kristen itu.

Di gereja GBKP Batang Serangan, Borong termasuk salah satu yang diminta untuk ikut dalam pelayanan. Oleh karena itu Borong harus ikut pelatihan yang lamanya sekitar 2 minggu. Disitu diajari bagaimana cara membabtis orang, dan sebagainya. Pelatihnya Pdt. Boden Grafen, seorang Belanda yang datang dari Papua.
”Saya kursus oleh Pdt. Bodergrafen, tapi sebelumnya saya sudah guru sekolah minggu GBKP dulu. Setelah pelatihan itu, pergi ke kampung kampung mengajari orang. G 30 S masih berkecamuk. Saya juga ke Langkat,jalan kaki puluhan kilometer, disana ada perkampungan komunis, semuanya ditangkap, romobongan Beheng Keliat, ada perkampungan 5 hektar disitu. Dikampung itu saya mengajar orang untuk naik sidi. Hanya 1 bulan, dan langsung bisa dibabtis begitu, heheee. Seberanya, jalan yang parah menuju desa-desa itu menjadi pergumulan khusus bagi  saya”.
Setelah itu Borong terlibat ke desa-desa untuk melakukan pelayanan. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah susahnya masuk desa, sungai tanpa jembatan, sehingga harus berenang, serta memprihatinkannya kehidupan masyarakat desa saat itu.
Kampus USU saat itu tidak berjalan dengan baik, sementara Borong sudah aktif dalam pelayanan di Gereja. Akhirnya dengan konsekuensi diputus dana dari kampung, Borong  memutuskan untuk mendaftar di sekolah pendeta ke Siantar, STT HKBP Nommensen, dan meninggalkan USU pada tahun 1967. Orang tua sangat menentang keputusan ini dan pada akhirnya tidak membiayai kuliah Borong lagi.

Setelah diterima sebagai mahasiswa STT, proses selanjutnya adalah mencari biaya kuliah dan akomodasi. Tidak jauh dari Kampus, terdapat sebuah rumah kosong, yang ternyata adalah rumah salah seorang dosen asing yang ada di STT Siantar. Borong bersama seorang temannya, Usman Meliala, mengajukan permohonan untuk tinggal dirumah itu.

Permohonan itu diterima pemilik rumah, dengan syarat mereka harus memotong rumput halaman dan kebun rumah yang tergolong luas, juga melayani tamu yang datang ke rumah tersebut. Rumah itu ternyata hanya dipakai jika ada pertemuan pertemuan saja. Seperti mendapat durian runtuh, mereka juga akhirnya mendapat uang pengganti lelah memotong rumput sebanyak Rp. 7000 setiap bulan. Menurut ukuran tahun 70-an, tentu uang itu sudah lebih dari cukup buat mereka. Sebagian dari uang itu mereka berikan kepada mahasiswa yang kesulitan ekonomi.

Dikampus, terdapat dua dosen yang dianggap Borong cukup berkesan, Bayern dan Pdt. F. Siregar. Bayern, dosen berkewarganegaraan Jerman dan perwakilan VEM pada saat itu, memiliki pemahaman teologi yang menurut Borong sangat menarik perhatiannya. Belakangan, Bayern memiliki peran besar atas terbangunnya kerjasama besar antara EZE dengan Parpem GBKP.  Secara sederhana, Borong menyebut teologi itu dalam satu kalimat : ”Keselamatan itu sudah ada, tetapi harus diperjuangkan, tidak ada perubahan tanpa perjuangan”. Sementara itu, Pdt. F Siregar memiliki daya tarik diberikannya kebebasan akademik kepada mahasiswa, yakni dibebaskan kotbah apa saja bagi mahasiswa, sebelum pelajaran dimulai. 

Tahun 1971, menjadi tahun yang berkesan khususnya bagi Borong Tarigan dan Usman Meliala. Rumah tempat mereka melayani menjadi salah satu penginapan peserta Sidang Raya DGI VII yang diselenggarakan di Siantar. Peserta yang menginap dirumah itu kebetulan adalah orang kunci dalam sidang tersebut, diantaranya SAE Nababan (Sekjen DGI), dan TB Simatupang. Sehari-hari mereka mendapat kesempatan untuk cerita di rumah pada pagi hari dan malam hari. Perdebatan di sidang-sidang DGI tentunya menjadi topik pembahasan di rumah. Borong dan Usman tentu menguasai wacana di sidang, karena mereka, sebagai senior di kampus, adalah sebagai panitia lokal sidang raya tersebut. Cerita tentang teologi sosial, peran sosial gereja dan pembangunan menjadi wacana yang akrab bagi mereka. 

Asal Usul jabatan ”Kepala Padat Karya”

Tahun 1971, Borong diangkat menjadi pendeta yang ke 30-an di GBKP segera setelah menamatkan sekolahnya dari STT. Modal keterlibatan masyarakat yang sudah sering dilakoni sebelumnya menjadi sangat berharga dan memberikan warna berbeda dalam melakukan kerja kependetaan ke desa-desa se-kecamatan Sibolangit. Waktu lebih banyak dihabiskan dengan diskusi di Jambur desa daripada di altar gereja. Masalah desa ditemukan melalui media diskusi jambur. Muncullah jawaban-jawaban atas masalah masalah kongkrit yang dihadapi, yang menuntut tindak lanjut penyelesaian kongkrit. Ternyata, masalah pada waktu itu terpusat pada kesuntukan masyarakat pada kebutuhan fisik dan fasilitas umum yang tidak memadai seperti akses jalan ke desa, air minum, listrik dan masalah pertanian mereka. Tentu Borong juga merasakan hal yang sama sebagai pendeta yang tinggal sehari-hari bersama-sama dengan warga desa.

Salah satu kegiatan yang paling berkesan adalah ketika diputuskannya gotong royong secara terus menerus dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah bersama tersebut. Ketiga dilakukan gotong royong untuk membangun jalan sepanjang lebih dari 4 kilometer, kondisi desa saat itu sedang carut marut dilanda kelaparan. Namun kondisi ini tidak menghentikan usaha warga untuk meneruskan niatnya. Borong Tarigan mencoba membangun kontak dengan lembaga dari luar bernama CWS ( Christian World Service) untuk memberikan bantuan terhadap kebutuhan warga desa itu sembari melakukan gotong royong itu.

Gayung bersambut, CWS datang dengan bantuan beberapa truk beras, pakaian bekas dan logistik lainnya menuju desa. Sesampai di jalan menuju desa, timbul masalah siapa penanggungjawab gotong royong itu, sebagai orang yang bertanggungjawab nantinya terhadap bantuan yang diberikan oleh CWS. CWS ternyata tidak membenarkan seorang pendeta untuk menanggungjawabi bantuan semacam itu. Borong Tarigan tidak kehabisan akal, merasa sangat rugi jika bantuan itu harus pulang karena tidak ada yang bisa menandatangani surat pertanggungjawaban, Borong Tarigan mengaku sebagai Kepala Padat Karya GBKP. Petugas CWS itupun langsung menyodorkan kertas untuk ditandatangani, tanda setuju barang bantuan itu diturunkan dari truk dan diserahkan kepada warga desa.

Lelucon ’kepala padat karya” ini tentunya bisa jadi masalah besar kalau tidak segera dibereskan dengan ketua Moderamen GBKP, yang pada saat itu dijabat oleh Pdt. Anggapen Ginting Suka. Akhirnya, karena merasa tidak tenang, Borong Tarigan bergegas berangkat ke Kabanjahe, melaporkan kepda moderamen jabatan baru yang dibuatnya sendiri itu di tubuh GBKP.
”Aduh aku sudah salah ini pak, aku sudah bilang sebagai kepala padat karya GBKP kepada petugas CWS, karena kalau tidak, bantuan yang sangat berharga bagi desa itu akan dibawa pulang. Terpaksa aku berbohong kepada mereka, karena jika saya bilang pendeta, mereka tidak mau memberikan bantuan itu”. Ketua moderamen tersenyum saja sama saya, dan dia bilang,”Udah, ngga apa-apa itu”. Sejak saat itu, sesama pendeta menyebut saya sebagai kepala padat karya”
Belakangan, jabatan ini menjadi jabatan yang benar benar ada dan disahkan secara formal di tubuh GBKP tahun 1975, dengan kepalanya yang pertama (dan terakhir) dijabat oleh Borong Tarigan. Struktur yang kemudian diganti menjadi unit infrastruktur ini berada dibawah Departemen pelayanan pembangunan yang diketuai oleh Pdt. Selamat Barus pada waktu itu.  

Bulan oktober 1974, Borong Tarigan memperoleh kesempatan dari gereja untuk mengikuti pelatihan di Cikembar yang diselenggarakan oleh Depelpem DGI selama tiga bulan. Pertemuan itu membahas proyek-proyek gagal yang ditangani oleh gereja sebelumnya, dan memikirkan model baru bentuk proyek yang  akan dilakukan. Setiap peserta diberikan kesempatan untuk memikirkan apa yang tepat untuk dilakukan didaerahnya masing-masing yang kemudian akan dievaluasi bersama.

Bulan februari 1975, setelah pulang dari pelatihan Borong membuat proposal kecil membuat sebuah jembatan ditempat yang sangat terpencil, desa Laja kecamatan Sibolangit, sekitar 10 kilometer dari ibu kota kecamatan. Nilainya sebesar Rp. 375.000. Kemudian untuk memenuhi persyaratan DGI, Borong memohon tandatangan dari Ketua Moderamen. Setelah satu minggu tidak ada tanggapan, Borong mendatangi Ketua Moderamen kembali. Moderamen menyuruh Borong Tarigan meminta surat resmi dari DGI bahwa DGI memohon tandatangan moderamen.

Akhirnya Borong Tarigan tidak pernah lagi meminta tanda-tangan moderamen, setelah melaporkan hal itu kepada DGI, karena DGI setuju mencairkan dana itu tanpa tanda tangan dari moderamen. Hal membuat moderamen GBKP kaget, dan segera tersebar kepada pendeta-pendeta lainnya bahwa Borong mendapat dana pembangunan. ”Kepala padat karya itu mendapat proyek lagi” . Hal semacam ini tentunya sangat sensitif, ditengah sulitnya keuangan yang dihadapi gereja, pasca pemandirian gereja, sepeninggalan NZG sekitar tahun 40-an.
Gaji pendeta sangat kecil. Sebagai contoh, gaji Borong Tarigan sebagai pendeta sebesar  Rp. 2.200 per bulan, dan mendapat beras 2, 5 kaleng per bulan, jauh dibawah gaji ketika Borong sebagai tukang babat rumput halaman rumah majikannya di Siantar, sebesar Rp. 7.000 per bulan. 

Proyek pembangunan jembatan itu ternyata cukup berhasil menurut ukuran DGI, setelah mereka melakukan kunjungan ke desa itu. Pada pelatihan berikutnya, tahun 1976, yakni yang dikenal sebagai generasi ke II Cikembar, Borong Tarigan diminta menjadi salah seorang narasumber. Topik yang disampaikan adalah bagaimana sebuah masalah di desa ditemukan, merencanakan sebuah proyek, melaksanakan hingga melaporkannya.

Pada kesempatan itu Borong menyampaikan perlunya memikirkan semacam bank untuk membangun kemandirian ekonomi masyarakat pedesaan dan gereja. Hal ini bercermin pada gagalnya proyek-proyek gereja dan hilangnya dana itu begitu saja. Usul Borong itu menarik perhatian Pelpem DGI, dan mereka berniat mengirim Borong untuk orientasi ke sebuah bank pedesaan yang dianggap berhasil di Palakogon, Philipina Selatan. Sepulang dari Philipina inilah, mulai terpikirkan untuk membangun bank secara kongkrit di pedesaan tanah Karo, yang kemudian bersama Selamat Barus dan bantuan M.P. Ambarita, bank didirikan awal tahun 90-an, bank yang kini kita kenal dengan Bank Perkreditan Rakyat Pijer Podi Kekelengan (BPR PPK).


Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Monday, July 28, 2014

presiden rakyat kecil yang menjanjikan sekaligus mengkhawatirkan

saya turut senang dengan hasil pemilu presiden yang memenangkan jokowi, tokoh baru tanpa darah biru, berlatar belakang bersih, anti korupsi, rendah hati, sederhana..dan banyak lagi yang membuat rakyat kecil tidak bisa dibohongi untuk tidak memilihnya. dua kali jokowi terlibat pemilihan langsung yang fenomenal, pemilihan gubernur dengan dukungan hanya partai pdip dan gerindra versus partai partai raksasa, dan pilpres yang tidak jauh beda; intinya koalisi rakyat versus koalisi elit partai partai goliat yg mampu dikalahkan.

saya senang, sekaligus kuatir. ini alasan saya.
senang karena kehadiran jokowi seperti menemukan sumber air dipadang gurun, ditengah kebencian publik terhadap elit yang korup, partai partai yang buruk, serta kebohongan2 yang telanjang dipertontonkan sehari hari oleh para elit politik dan penguasa ekonomi.

senang karena ternyata, apa yang saya tulis sekitar 3 bulan yang lalu, tentang kekuatan kaum muda yang bersih ternyata bisa mengalahkan gerombolan elit yang sudah menjenuhkan. lihat postingan saya di notes facebook: : https://www.facebook.com/notes/saurlin-siagian/belajar-dari-kenya-membangun-mimpi-kaum-muda/10151222374493078. ini adalah era baru politik indonesia, ketika kelas menengah baru yang berjarak dari kekuasaan mencampakkan wajah wajah lama berdarah biru dari panggung politik.

senang, karena masa depan politik indonesia akan diinspirasi oleh kemenangan jokowi. anda tidak harus kaya, anda tidak harus ganteng, atau anda tidak harus darah biru, anda bukan harus militer, bisa menjadi presiden. artinya anak-anak yang saat ini sedang SD hingga kuliah akan terinspirasi dengan kehadiran jokowi kepanggung tertinggi politik nasional. siapapun kamu, kamu bebas bercita cita dinegeri nusantara ini nak..setinggi-tingginya.

tetapi, kenapa saya kuatir? seperti yang saya posting di wall saya tgl 21 juli: "adakah negara dgn sistem kapitalisme yang maju tanpa menjajah dan ekspansi? kapitalisme punya natur akumulasi dan ekspansi, tanpa itu, setiap pertumbuhan akan diikuti oleh titik jenuh yang mengarah pada krisis dan kejatuhan. itulah dilema yang akan dihadapi oleh...malaikat sekalipun, yang akan menjadi presiden indonesia mendatang. sby menikmati pertumbuhan yg nyaman selama 10 tahun terakhir, dan pemimpin berikutnya akan menghadapi, atau setidaknya sibuk menambal krisis disana sini. semoga pemimpin baru tabah menghadapi ini, kecuali sadar dan segera merombak sistem itu secara mendasar"

bagaimana jokowi memuaskan harapan --yang mungkin terlalu tinggi--dari pendukungnya (serta mengatasi gempuran lawan lawannya yang akan sangat kejam pada bulan bulan ke depan), ditengah utang pemerintah yang menumpuk hingga mencapai 2.507, 52 triliun rupiah? plus utang swasta, sehingga total utang luar negeri indonesia menjadi 3.321 triliun rupiah? ternyata pertumbuhan ekonomi yang 'nyaman selama 10 tahun terakhir' menyimpan bom waktu bernama utang. perlu dicatat jumlah total utang tahun 2004 adalah sebesar 1.299 triliun rupiah ( semua data ini bersumber dari BI, yang saya kutip dari tulisan Sigit Budiarto, di Berdikari Online). 


pembayaran cicilan utang dan bunganya yang mencapai 369 triliun tahun 2014 akan menyulitkan jokowi untuk mengalokasikan anggaran untuk dana pembangunan kesejahteraan rakyat. selain itu, posisi rupiah yg melemah dan  harga minyak bumi yang naik, akan menghancurkan cadangan devisa yang membahayakan perjalanan pemerintahan. Sigit menyarankan tiada jalan selain meminta penghapusan sebagian utang yang dianggap tidak sah karena warisan pemerintah otoriter yang menggunakan uang bukan untuk peruntukannya. 


saya juga mengkhawatirkan bagaimana gagasan trisakti bung karno, yang selalu didengung-dengungkan jokowi, bisa diintegrasikan plus dipraksiskan dalam kebijakan ekonomi, politik, dan birokrasi pemerintahan jokowi. harus jujur kita akui belum ada kelompok pemikir dan praktisi, termasuk dikalangan PDIP, yang sungguh sungguh bekerja mendaratkan gagasan besar ini. Saran saya, apapun ceritanya, tidak boleh coba-coba (ntar bisa kollaps), perlu belajar dari negara lain yang sukses dengan kekuatan nasional ekonominya, plus langgeng kebudayaannya, hemat saya paling dekat ada di tiga negara tetangga di Asia: China, Korea Selatan, dan Jepang. atau kepada contoh yang jauh lebih sempurna: Jerman. Tentu belajar dari rakyat dan masyarakat lokal yang terpenting, tetapi pengalaman empat negara "adikuasa" ekonomi itu perlu diambil hikmahnya. 


salah satu nutsel dari persoalan ekonomi adalah ketimpangan kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya, dimana segelintir elit lokal dan asing mendapat 90 persen dari kepemilikan dan akses terhadap total sumberdaya utama, sementara 90 persen warga berjejal terhadap hanya 10 persen dari total sumberdaya penting yang ada di negeri ini. ketimpangan kepemilikan tanah adalah salah satu yang harus dipecahkan melalui sebuah badan yang menangani reforma agraria, sehingga ribuan konflik yang sudah hampir sampai ke ubun ubun ini tidak berubah menjadi revolusi tanpa kendali. mungkinkah Jokowi berani mengungkit ketimpangan ini? beranikah Jokowi bicara dan otak atik ratusan ribu hektar tanah yang hanya dimiliki satu-dua orang itu? Beranikah jokowi mengotak atik konsesi tambang-tambang mineral penting dan minyak yang sudah dikuasai oleh elit -korporasi asing?


khususnya tri- yang ketiga soal kebudayaan, yakni pembangunan karakter, integrasinya adalah pada sistem pendidikan, sehingga perlu restorasi kurikulum pendidikan yang pada intinya pembangunan karakter dengan warna indonesia. 


jokowi dan para menterinya harus fokus mengatasi kekhawatiran ini. inilah pekerjaan tersulit yang akan menentukan apakah si anak miskin yang cemerlang ini tetap dipuji para pendukungnya, dan membuat diam para lawan-lawannya. saya sih berharap, dengan tetap mendapat dukungan para relawannya yang tanpa pamrih, jokowi bisa melewati ini, meski tetap was was!!


tks,


saurlin


Free Hit Counters

Free Counter Locations of visitors to this page

Wednesday, July 16, 2014

catatan akhir diskusi etnografi kritis hari ini

adalah aneh kalau pemerintah tidak mengakui masyarakat adat dan hak haknya. karena masyarakat adat itu telah hadir jauh sejah hadirnya negara, baik kolonial maupun nasional. kalaupun ada pengakuan de fakto, tidaklah pengakuan itu serta merta pengakuan de jure. sehingga terjadi dikotomi apa yg fakta dan norma yang berlaku.

dari kutipan ini, saya ingin menyampaikan. lihatlah buruknya kita. bahkan para pejabat negara itu sebenarnya berasal dari masyarakat adat. mereka tidak mau merefleksikan dan mencerminkan masyarakat adat dalam norma norma yang ada.

hadirnya sistem normatif baru, memberikan harapan adanya kedekatan antara de jure dan de fakto (dalam hal kehadiran putusan mk 35).

kalau kita baca awal sejarah negara ini. perdebatan adat itu muncul. moh yamin menjelaskan sebenarnya fundasi negara ini ada dimana? dan dia menyebutkan itu ada di kampung kampung, yang punya nama macam macam, yang terbukti bertahan selama ratusan tahun.

adalah para pekerjaan ahli, yang bukan hanya menuntuk kepakaran, tetapi juga komitmen moral. yakni moral populus. kita ini seperti ingin membawa kembali harapan para pendiri negara ini. dan suara ini kita bawa kedalam hukum yang ada.

ini perjuangan dekolonisasi, ini adalah perjuangan kembali melawan penjajahan, penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri. etnografi itu metode meneliti, dan menuliskan. tetapi saya bilang ini juga metoda untuk memperjuangkan.

kita tahu orang orang adat itu kalah. tetapi kita tidak mau didalam teks itu mereka di persalahkan lagi, mereka itu adalah orang yang benar, dan kita harus punya satu cara menunjukkan bahwa mereka benar.

kita berada di moment pemilihan presiden. dan kita tahu bahwa bahwa korporasi, demi keselamatannya akan masuk ke masing masing calon, tidak perduli menang atau kalah. dan kita tahu, politisi itu menerima yang begitu. dan kita juga tahu dikemudian hari dia akan meminta balas jasa berupa konsesi dan ijin.

saya kutip pramoedia ananta toer: tulisanku adalah yang menjamin bahwa orang orang yang ada di dalam kegelepan dapat dilihat dan masuk kedalam keabadian. terimakasih.

nfr. 16 juli 2014

Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Friday, June 13, 2014

Anak durhaka itu belum bertobat

Nak, Keyakinan ini bisalah kamu sebut tahyul, tetapi keyakinan ini berbeda, sebab aku menyaksikannya dengan mata hatiku . Sebuah generasi durhaka telah membunuh salah satu “ibu” yang melahirkan bangsamu ini. Kamu anak durhaka, anak yang tidak tahu berterimakasih, lupa kacang pada kulit, bahkan membunuh ibumu.

Ini ceritanya nak. Sejak awal abad 19, ada tiga serangkai –tiga ibu-yang meski sering berselisih, tetapi sama sama bahu membahu mewujudkan cita-cita pembebasan bangsamu. Dengan susah payah dan banjir darah, akhirnya pintu rahim pembebasan itu melahirkan dengan sedikit‘dipaksa’ tahun 45. Tiga ibu inipun mengasuh anak-anak laki-laki yang lahir mungil telanjang. Tidak disangka, anak anak yang dua dekade kemudian tumbuh besar ini, entah mengapa, membunuh salah seorang ibu yang melahirkannya.  
Anak anak laki laki itu tidak mau mengakui salah satu dari ibunya, mungkin karena pemahaman yang salah, atau anak remaja itu kena omongan orang-orang lain, yang dengan lugunya -tanpa sepengetahuannya- berkepentingan terhadap kehancurannya. Orang orang lain – negeri negeri lain- tidak ingin melihat mereka menjadi raksasa yang menakutkan banyak tetangganya.  Terjadilah pembunuhan terhadap seorang ibu, seorang yang melahirkan anak durhaka itu. Tiga juta dikubur tanpa bisa bicara apa apa. Seorang ibu yg berjuang hidup mati dengan darah melahirkannya, ternyata harus mati dipedang anak laki laki itu sendiri. Bumi pun tertunduk dan menjanjikan pembalasan.

Inilah kutuk itu: lelah dan jerih payahmu akan sia sia, bahkan darah akan selalu mengalir kembali, kalau kamu tidak mengakui perbuatanmu, dan minta maaf, untuk memulihkan sakit hati ibu yang tidak tenang di alam sana, ibumu gentayangan. Ibu tidak minta dihidupkan kembali, hanya sekedar mengakui perbuatanmu, tunjukkan pedangmu yang berlumuran darah itu, dan minta maaflah, terimalah kenyataan sejarah bahwa dia juga adalah ibumu, ibu yang melahirkanmu!!itu saja.

Sampai kapanpun, generasi apapun, tidak akan membawa perubahan apapun, tanpa pengakuan pembunuhan ibumu itu. Rintihan kesedihan dan Airmata ibumu akan selalu mengalir disebuah dunia yang belum jelas alamnya, dia berada di ruang “antara”. Ruang itulah yang membuatnya selalu bisa terhubung denganmu, yang akan selalu menghantui perjalananmu, sejauh apapun kamu pergi.

Hei kamu pemimpin yang akan segera lahir, sebelum memulai perjalanan, tengoklah kebelakang, salamlah ibu yang menunggu uluran tanganmu, ciumlah tangannya. Minta maaflah. Mengakui kesalahan adalah sebuah revolusi batin yang mungkin tidak gampang, tetapi bisa dilakukan. Hanya itu yang membebaskanmu dari kedurhakaan. Ibu berhati baik, tidak pernah tidak memaafkan anaknya yang bahkan sejahat-membunuhnya. Niscaya ibu akan mencabut kutukan itu. Ibu akan melepaskan jeratmu, dan memerdekakanmu.


Menyambut pilpres 9 juli 2014. Saurlin. 
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Wednesday, May 28, 2014

Ten Choices You Will Regret in a Decade

Here are ten choices that ultimately lead to this phrase of regret, and how to elude them:
1.  Wearing a mask to impress others. – If the face you always show the world is a mask, someday there will be nothing beneath it.  Because when you spend too much time concentrating on everyone else’s perception of you, or who everyone else wants you to be, you eventually forget who you really are.  So don’t fear the judgments of others; you know in your heart who you are and what’s true to you.  You don’t have to be perfect to impress and inspire people.  Let them be impressed and inspired by how you deal with your imperfections.
2. Letting someone else create your dreams for you. – The greatest challenge in life is discovering who you are; the second greatest is being happy with what you find.  A big part of this is your decision to stay true toyour own goals and dreams.  Do you have people who disagree with you?  Good.  It means you’re standing your ground and walking your own path.  Sometimes you’ll do things considered crazy by others, but when you catch yourself excitedly losing track of time, that’s when you’ll know you’re doing the right thing.  Read The 4-Hour Workweek.
3. Keeping negative company. – Don’t let someone who has a bad attitude give it to you.  Don’t let them get to you.  They can’t pull the trigger if you don’t hand them the gun.  When you remember that keeping the company of negative people is a choice, instead of an obligation, you free yourself to keep the company of compassion instead of anger, generosity instead of greed, and patience instead of anxiety.
4. Being selfish and egoistical. – A life filled with loving deeds and good character is the best tombstone.  Those who you inspired and shared your love with will remember how you made them feel long after your time has expired.  So carve your name on hearts, not stone.  What you have done for yourself alone dies with you; what you have done for others and the world remains.
5. Avoiding change and growth. – If you want to know your past look into your present conditions.  If you want to know your future look into your present actions.  You must let go of the old to make way for the new; the old way is gone, never to come back.  If you acknowledge this right now and take steps to address it, you will position yourself for lasting success. Read The Power of Habit.
6. Giving up when the going gets tough. – There are no failures, just results.  Even if things don’t unfold the way you had expected, don’t be disheartened or give up.  Learn what you can and move on.  The one who continues to advance one step at a time will win in the end.  Because the battle is always won far away and long before the final victory.  It’s a process that occurs with small steps, decisions, and actions that gradually build upon each other and eventually lead to that glorious moment of triumph.
7. Trying to micromanage every little thing. – Life should be touched, not strangled.  Sometimes you’ve got to relax and let life happen without incessant worry and micromanagement.  Learn to let go a little before you squeeze too tight.  Take a deep breath.  When the dust settles and you can once again see the forest for the trees, take the next step forward.  You don’t have to know exactly where you’re going to be headed somewhere great.  Everything in life is in perfect order whether you understand it yet or not.  It just takes some time to connect all the dots.
8. Settling for less than you deserve. – Be strong enough to let go and wise enough to wait for what you deserve.  Sometimes you have to get knocked down lower than you have ever been to stand up taller than you ever were before.  Sometimes your eyes need to be washed by your tears so you can see the possibilities in front of you with a clearer vision again.  Don’t settle.
9. Endlessly waiting until tomorrow. – The trouble is, you always think you have more time than you do.  But one day you will wake up and there won’t be any more time to work on the things you’ve always wanted to do.  And at that point you either will have achieved the goals you set for yourself, or you will have a list of excuses for why you haven’t.  Read The Last Lecture.
10. Being lazy and wishy-washy. – The world doesn’t owe you anything, you owe the world something.  So stop daydreaming and start DOING.  Develop a backbone, not a wishbone.  Take full responsibility for your life – take control.  You are important and you are needed.  It’s too late to sit around and wait for somebody to do something someday.  Someday is now; the somebody the world needs is YOU.

Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Tuesday, May 20, 2014

stream of life

The same stream of life that runs
through my veins night and day
runs through the world and 
dances in rhythmic measures.

It is the same life that shoots in joy through
the dust of the earth in numberless blades of grass 
and breaks into tumultuous waves of leaves and flowers.

It is the same life 
that is rocked in the ocean-cradle of birth and of death,
in ebb and in flow.I feel my limbs are made 
glorious by the touch of this world of life. 
And my pride is from the life-throb of ages 
dancing in my blood this moment.

from gintanjali by rabindranath tagore.
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Friday, May 02, 2014

mendung meski masih pagi 30 april 2014

disaat aku akan pergi ke kantor dengan sepeda motorku, kamu menyapaku dengan wajah yang masih cerah...bapak kemana? saya jawab, mau pergi kerja nak. kemudian..tetap dengan wajah yang dipaksa cerah dan senyum, kamu menimpali; pak, saya yang bukakan pintu dan gerbang ya? aku mengangguk. hmm..iya.

"Nanti bapak melambai (tangan) ya? sampai ujung sana ya? (maksudnya sampai ujung gang rumah yang jaraknya hingga 80 meter. "oh iya iya...aku bilang. wajahnya masih terlihat tidak sedih, senyum masih terlihat dipertontonkan ke aku.

saya menghidupkan sepeda motor dan mulai berjalan, aku melambaikan tangan. dia juga melambaikan tangan sembari senyum. Anakku makin dewasa..pikirku...dibelokan menuju jalan besar, saya kemudian tersadar hpku tertinggal. segera saya berbalik arah ke rumah...

sesampai dirumah, saya langsung masuk..dan sekilas saya melihat bayangan orang dibalik pintu garasi, disudut sana seseorang sedang tunduk lesu, menghadap dinding rumah, dan sedikit tertutup pintu garasi mobil..saya mendekati dia, saya lihat air matanya berurai hingga membasahi baju didadanya....dia hanya menangis sesenggukan, tidak bersuara.

setelah menyadari kedatanganku yang tiba-tiba, dia segera menghapus airmatanya dengan bajunya..tetapi sudah terlambat, aku melihatnya..aku hancur mengetahui anakku sedang mencoba menyimpan perasaannya. aku memeluknya kuat, sembari bilang, nak jangan takut nangis ya dihadapan bapak, nangis itu ngga apa apa kok......

Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page