Tuesday, October 24, 2006

Thursday, September 28, 2006

Resume buku das kapital

MENGENANG PEREMPUAN DAN ANAK-ANAK YANG TELAH DIPERSEMBAHKAN DI ALTAR KAPITALISME:
Relevansi Das Kapital bagi gerakan-gerakan kemasyarakatan
(social movements ) di Indonesia

by: GJA

  1. HARI ini, Senin, 18 September 2006, kita berkumpul di Gedung Serba Guna d kampus Unika Parahyangan, Bandung, untuk meluncurkan Buku II dari magnum opus Karl Marx, Das Kapital. Buku II ini telah selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oey Hay Djoen dan diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra, penerbit buku-buku Pramudya Ananta Toer di Jakarta. Kita ingin melakukan refleksi, apa relevansi (kepenadan) sebuah buku, yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman di tahun 1885, dua tahun setelah meninggalnya salah seorang pelopor gerakan Kiri, bagi kita, yang hidup di Indonesia, lebih dari seabad kemudian.

  1. Sebelumnya, mari kita renungkan kembali, suka-duka Marx dalam menghasilkan karya besar itu. Seperti kita ketahui, Das Kapital, Capital dalam bahasa Inggris, atau Kapital, dalam bahasa Indonesia terdiri dari tiga jilid. Jilid pertama diterbitkan tahun 1867, dan masih ditulis oleh Karl Marx sendiri, sambil terus menulis naskah-naskah persiapan untuk Jilid kedua dan ketiga, yang baru dapat disunting dan diterbitkan oleh sahabat dan teman seperjuangannya, Friedrich Engels, setelah Marx meninggal. Jilid kedua, aslinya juga dalam bahasa Jerman, diterbitkan tahun 1885, sedangkan jilid ketiga, juga dalam bahasa Jerman, baru diterbitkan tahun 1894. Ketiga jilid Kapital itu merupakan hasil studi intensif di British Museum di London, selama 17-20 tahun, semenjak Marx bersama keluarganya hijrah ke London, tahun 1849. Studi kepustakaan itu dilakukannya dalam kemiskinan yang luar biasa, di mana ‘cakar ayam’ Marx ditulis kembali oleh Jenny von Westphalen, isteri Marx, yang meninggal dalam kemiskinan dan kesehatan buruk, dua tahun sebelum Marx. Juga tiga dari enam orang anak Marx – Jenny Jr, Franziska, dan Edgar -- meninggal, akibat kondisi tempat tinggal mereka yang begitu buruk. Maklumlah, Marx praktis bekerja purnawaktu untuk penulisan buku itu, dengan hanya mengandalkan honorarium sebagai koresponden New York Daily Tribune serta bantuan finansial Engels. Selain Jenny, anak bungsu mereka, Eleanor (“Tussy”), membantu Marx menulis naskah buku itu. (http://www.spartacus.schoolnet.co.uk/TUmarx.htm)

  1. Didahului oleh beberapa karya lain, yakni Manifesto of the Communist Party (1847-8, yang ditulis bersama Engels), Grundrisse (1857-8), A Contribution to the Critique of Political Economy (1859), dan ketiga jilid Theories of Surplus Value (1861-3), ketiga jilid Das Kapital merangkum seluruh teori ekonomi Marx, sebuah kritik menyeluruh terhadap sistem ekonomi kapitalis. Sementara fokus Jilid 1 pada industri manufaktur, dengan tokoh-tokohnya para buruh dan industrialis, Jilid 2 lebih terfokus pada pasar, dengan tokoh-tokohnya ara pemilik uang atau peminjam uang, pedagang besar, pedagang sedang, dan kaum wiraswasta di berbagai bidang khusus, yang disebut oleh Mandel “functional capitalists”, seperti para pengusaha transportasi, pengusaha pergudangan, dan para banker (1978: 14). Selanjutnya, Jilid 3 memperlebar fokus sorotan dengan rumus “trinitas” aktor dan faktor ekonomi, yakni kapital yang menghasilkan laba, tanah yang menghasilkan sewa tanah, dan buruh yang hanya mendapatkan upah (Marx 1991c: 953-970 (Bab 48). Jilid ketiga juga berbicara tentang empat kelompok kelas penguasa, yakni kapitalis industri, kapitalis perdagangan, bank, dan kapitalis pemilik tanah. Sedangkan lima kategori pendapatan, adalah upah, laba sektor industri, laba sektor perdagangan dan bank, bunga bank, dan sewa tanah, yang dapat diringkas menjadi tiga jenis pendapatan, yakni upah, laba dan sewa tanah (Mandel 1991: 64).

  1. Pisau analisis yang digunakan oleh Marx, yakni moda produksi (mode of production), mulai dipopulerkan oleh Marx & Engels dalam Manifesto Komunis, di mana mereka menggambarkan evolusi dari moda produksi feudal, moda produksi manufaktur, ke moda produksi industri modern (Tucker 1978: 474-5).[1] Secara garis besar, moda produksi adalah sistem ekonomi yang paling dominan dalam suatu formasi sosial.[2] Setiap sistem ekonomi, menurut Marx, merupakan hasil interaksi antara ‘kekuatan-kekuatan produksi’ ( forces of production) dan ‘relasi-relasi produksi’ (relations of production), seperti yang diuraikannya dalam pengantar buku Contribution to the Critique of Political Economy, yang pertama terbit tahun 1859 (Tucker 1978: 4). Konseptualisasi begini mencegah determinisme teknologis, yang lebih mementingkan forces of production, maupun determinisme ekonomis, yang lebih mementingkan relations of production, khususnya faktor modal dan manajemen (lihat Skema 1 terlampir).

  1. Dalam moda produksi kapitalis, komoditi dihasilkan dengan memeras nilai lebih (surplus value) dari kerja sang buruh yang membuat sang kapitalis semakin kaya sementara sang buruh semakin miskin. Yang dimaksud Marx dengan nilai lebih (surplus value) adalah selisih antara nilai komoditi dan upah yang diterima buruh untuk memproduksi barang itu, yang diapropriasi oleh pemilik modal. Sementara itu, permintaan akan komoditi terpelihara oleh pemberhalaan (fetishism) komoditi, sebagaimana dikemukakan oleh Marx dalam Buku I Kapital. Yang dimaksud dengan konsep ini oleh Marx adalah produksi dan pertukaran (perdagangan) barang yang semata-mata dimotivasi oleh maksimalisasi keuntungan. Marx menganggap ini ciri khas kapitalisme, di mana produksi barang untuk memenuhi permintaan pasar menjadi tujuan utama sang kapitalis, tanpa mempertimbangkan kebutuhan sosial dan keadilan sosial. Dalam proses ini, produsen dan pedagang sangat tergantung pada fluktuasi harga dan permintaan. Akibatnya, kepentingan komoditi merajai seluruh hubungan sosial. Pemujaan komoditi juga diidentikkan dengan obsesi untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, untuk membeli semua barang yang dapat dibeli dengan uang itu, tanpa mengindahkan nilai-nilai lain (Marx 2004: 41-56; Wilczynski 1986: 89, 578).

  1. Teori pemberhalaan komoditi merontokkan kepopuleran hukum “permintaan & penawaran” yang begitu dipercaya oleh para ekonom liberal, walaupun secara tidak langsung teori “pemberhalaan komoditi” merupakan dasar bagi teori pemasaran yang sangat menggantungkan diri pada iklan. Sebab “permintaan” (demand) nyatanya sangat tergantung pada usaha “penciptaan” permintaan oleh industri periklanan. Lebih jauh lagi, “permintaan” juga ikut diciptakan oleh lembaga-lembaga promosi hutang luar negeri, yang ikut mendorong pemasaran produk-produk dari negara-negara kapitalis lanjut ke negara-negara miskin, sehingga mereka semakin dalam terjerat dalam hutang. Secara teoretis, popularitas teori supply & demand itu, yang masih dipertahankan oleh Paul Samuelson, dirontokkan oleh Marx dalam Buku II Kapital, dengan menunjukkan bahwa permintaan akan komoditi tertentu tidak hanya ditentukan oleh konsumen, tapi juga oleh pebisnis, yang ikut membeli tanah, tenaga kerja, dan barang modal (capital goods), kemudian menjualnya kembali kepada publik (Mandel 1991a: 22-23).

  1. Namun Kapital tidak hanya memberikan gambaran sesaat atau anatomi sistem kapitalis. Mengikuti jejak pendahulunya, yakni buku Engels, The Condition of the Working Class in England, maka Buku I Kapital memberikan latar belakang sejarah terbentuknya moda produksi kapitalis di Inggris, sampai menjadi sistem ekonomi yang meliputi sebagian besar dunia yang dikuasai bangsa-bangsa Eropa. Proses ini dimulai dengan perampasan tanah-tanah petani di daerah-daerah jajahan bangsa Inggris di Kepulauan Britania, khususnya Skotlandia, untuk dialihkan menjadi peternakan domba, guna mendukung industri wol yang mulai tumbuh di Inggris. Proses ini menghasilkan urbanisasi dan pengangguran besar-besaran di kota-kota di Inggris, yang menghasilkan buruh murah yang serta merta dimanfaatkan oleh industri tekstil yang semakin berkembang berkat penemuan mesin uap oleh James Watt, serta pasokan kapas dari daerah jajahan Inggris di seberang laut, yakni Hindia. Produksi tekstil yang digerakkan oleh mesin uap itu, menghancurkan industri pertenunan rakyat dengan ATBMnya, yang semakin memicu urbanisasi di Inggris, dan menambah buruh murah – termasuk perempuan dan anak-anak – untuk melayani industri tekstil di Manchester dan kota-kota sekitarnya. Proses industrialisasi itu juga memasuki sektor pertanian, di mana produksi gandum, wol, dan daging juga sudah dikuasai oleh para kapitalis pertanian. Dampak revolusioner dari industri berskala besar terhadap manufaktur, kerajinan tangan, dan industri rumahan, dikupas secara terinci dalam Buku I Kapital (lihat Marx 204: 479-517). Sementara itu, para kapitalis industri mendorong Britania Raya (setelah Inggris mencaplok Skotlandia, Wales, dan Irlandia), menjadi negara imperialis, demi menyedot bahan mentah dari luar negeri sambil melempar produk-produk industri mereka ke mancanegara, terutama bekas negeri-negeri jajahan yang tetap dirangkul di bawah payung Persemakmuran (Commonwealth).

  1. Sejarah kapitalisme Inggris ini dapat dibaca di Bagian 8 dari Buku Pertama Kapital (Marx 2004: 796-870), sedangkan ledakan kemiskinan yang diakibatkan oleh Revolusi Industri di Inggris, dapat dibaca di buku Engels, The Condition of the Working Class in England. Buku itu merupakan hasil observasi langsung Engels di pusat industri tekstil di Manchester dan sekitarnya antara 1842-4, pada saat ia diutus oleh ayahnya, pemilik kilang kertas Ermen & Engels di Barmen, Jerman, untuk belajar bisnis di Manchester, di mana perusahaan keluarga itu punya kantor. Kendati datang dari latar belakang borjuis, Engels muda sudah menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap penderitaan kelas bawah di Wuppertal, di mana ia dilahirkan. Kecenderungannya ke arah sosialisme menjadi semakin mantap setelah perjumpaan dengan Marx di Koeln (Jerman) dan Paris, masing-masing di tahun 1842 dan 1844. Selain itu, yang membantu pemahaman Engels terhadap penderitaan kelas pekerja di Inggris adalah Mary Burns, karyawati Ermen & Engels asal Irlandia, yang menjadi teman hidupnya sampai kematian Mary di tahun 1863 (Hobsbawm 1969; Dennehy 1996: 106; Tucker 1978: xv-xviii, 579).

  1. Mari kita kembali ke Buku II Kapital yang sedang kita luncurkan siang ini. Walaupun fokus buku ini adalah tentang sirkulasi uang dan komoditi, kepedulian Marx yang begitu besar terhadap eksploitasi kaum buruh tetap tampak di buku ini. Misalnya, dalam bagian tentang perawatan alat-alat produksi, Marx menggambarkan bagaimana buruh seringkali melakukan pembersihan mesin-mesin pada waktu jeda, atau pada saat mesin sedang berjalan, tanpa mendapat upah dan dengan risiko kecelakaan kerja (lihat hal. 195). Jadi itu merupakan tambahan nilai lebih yang diperas oleh para kapitalis dari kaum proletar.

  1. Karena berbicara tentang sirkulasi uang dan komoditi, Buku II ini juga berbicara secara terinci sekali tentang transportasi komoditi, dengan fokus per-kereta-api-an di Inggris, dan tentang sirkulasi dan ‘penimbunan’ uang secara ‘otonom’, lepas dari keterikatan pada sirkulasi barang. Uraian Marx tentang per-kereta-api-an di Inggris, masih tetap relevan buat mereka yang mendalami ilmu ekonomi angkutan di masa kini, agar dapat memahami bagaimana korporasi-korporasi penyedia jasa angkutan menimbun keuntungan mereka sendiri. Sedangkan dalam berbicara tentang akumulasi kapital, khususnya uang, yang independen dari peredaran barang, Karl Marx sudah 65 tahun mendahului John Maynard Keynes, dengan berbicara tentang penimbunan uang (money hoarding). Bahkan Marx sudah lebih maju dari pada Keynes, sebab ia membedakan antara investasi yang dapat menaikkan nilai lebih, atau investasi produktif, dan investasi yang tidak produktif (Mandel 1991a: 76). Dengan kata lain, fenomena jutawan-jutawan pialang saham seperti George Soros, sudah diantisipasi Marx lebih dari seratus tahun sebelumnya.

  1. Bab 12 dalam Buku II Kapital, kedengaran seperti laporan industri properti masa kini di Indonesia. Di situ Marx menggambarkan pergeseran pembangunan rumah atas dasar pesanan dari orang yang membutuhkan rumah kepada seorang kontraktor, ke pembangunan rumah untuk “pasar”. Jadinya, timbullah pasar “tanah” dan pasar “rumah”, yang sangat tergantung pada pasar “uang” alias penyediaan kredit oleh bank, serta perangsang-perangsang yang diberikan oleh pemerintah. Di masa Marx menulis karya besarnya, lebih dari seabad yang lalu, ribuan vila mewah sudah mulai bermunculan di Belgravia, Tyburnia, dan tempat-tempat lain di seputar kota London (Marx 1991a: 311-312). Lebih dari seabad kemudian, kecenderungan ini masih terus berlangsung. Dalam penelitian saya terhadap penyebaran harta jarahan keluarga dan kroni Soeharto di manca negara, muncul lapangan golf yang dikelilingi bungalow-bungalow mewah di dekat lapangan pacuan kuda di Ascott, di luar kota London, yang dimiliki Tommy Soeharto melalui dua orang proxynya (Aditjondro 2006b: 62-3; Time, 24 Mei 1999: 22).

  1. Masih banyak lagi aspek perkembangan kapitalisme global masa kini yang sudah diantisipasi Marx dalam Buku II Kapital ini, lebih dari seratus tahun lalu. Yang paling penting, menurut hemat saya, adalah analisisnya terhadap inter-relasi antara dua arus, yakni arus uang dan arus komoditi. Ini sejajar dengan penemuan berbagai studi non-Marxis yang menemukan, bagaimana korporasi-korporasi pertambangan migas AS yang terbesar didominasi oleh satu keluarga besar, yakni keluarga Rockefeller, sementara bank-bank AS yang terbesar, yang menguasai Wall Street, dikuasai oleh satu keluarga lain, yakni keluarga Morgan. Kedua ‘dinasti’ itu bersinerji menguasai kebijakan politik luar negeri AS, tidak peduli dari partai mana presidennya berasal (Gibson 1994; Medvin 1974).

  1. Lalu, apa relevansi kedua buku Kapital yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bagi gerakan-gerakan kemasyarakatan (social movements) di sini? Pertama-tama, pisau analisis dan uraian historis Marx dan Engels dapat membantu pemahaman yang lebih kritis terhadap sejarah perkembangan kapitalisme di Indonesia, mulai dari kelahirannya s/d perkembangan neoliberalisme di Indonesia dewasa ini. Untuk menyoroti perkembangan industri tekstil di Indonesia, misalnya, kita dapat bercermin pada sejarah industri tekstil di Inggris, setelah penemuan mesin uap dan setelah pasokan kapas dari India terjamin. Gejala yang paralel dengan di Inggris, berupa hancurnya tekstil hasil ATBM dan hancurnya batik tulis setelah bertumbuhnya pabrik-pabrik tekstil yang berdiri selama dasawarsa pertama Orde Baru, dengan kucuran kredit bank-bank pemerintah, telah terdokumentasi di Indonesia. Bulan Oktober 1972 misalnya, 30 ribu perusahaan ber-ATBM di Pekalongan, Solo, Klaten, Sukoharjo, Jepara dan Tegal terpaksa gulung tikar, dengan melepas ribuan orang buruh mereka (Mortimer 1973: 79).

  1. Selain untuk memahami sejarah perkembangan sektor-sektor ekonomi tertentu, kita juga dapat bercermin pada sejarah integrasi ekonomi Britania Raya, untuk mengkaji integrasi ekonomi Jawa dan luar Jawa. Industri pakaian wol di Inggris berkembang, setelah aneksasi Skotlandia dan transformasi daerah pertanian di pegunungan Skotlandia menjadi padang-padang penggembalaan domba. Proses serupa kemudian berulang di Australia. Saya ingat bahwa hal yang serupa tapi tak sama terjadi di akhir 1980-an, ketika seorang kroni Soeharto, Bob Hasan, berusaha menguasai semua subsektor pengolahan hasil hutan. Waktu itu provinsi-provinsi di luar Jawa dilarang mengekspor rotan mentah maupun tikar rotan, demi pengembangan industri perabot rotan di Jawa, yang dikuasai oleh Bob Hasan dan kawan-kawannya. Akibatnya, terjadi pengangguran dan kelaparan besar-besaran di Kalimantan Selatan dan Tengah.[3] Sampai-sampai, keempat Gubernur se Kalimantan bersama-sama menghimbau pemerintah pusat untuk mencabut larangan ekspor rotan itu.

  1. Soal perkembangan neoliberalisme di Indonesia dewasa ini, sudah tidak dapat diragukan relevansi pisau analisis Marx, terutama dari Buku II Kapital , yang sangat susah dibaca oleh orang awam di bidang ekonomi moneter dan ekonomi keuangan internasional. Apalagi di buku ini berhamburan kutipan-kutipan Marx dari Adam Smith dan David Ricardo, yang karyanya belum diterjemahkan dan diajarkan secara lengkap di banyak fakultas ekonomi di Indonesia. Tapi kalau buku ini dapat diperas inti sarinya, yang meliputi apa yang saya sebut ‘otonomi’ uang dalam perdagangan internasional, serta kesejajaran antara penguasaan uang dan penguasaan komoditi strategis tertentu, seperti migas, maka manfaat membaca Buku II ini akan lebih terasa.

  1. Evolusi kapital domestik menjadi kapital internasional, seperti yang dikupas Marx, juga penting untuk memahami perkembangan kapitalis domestik di Indonesia yang sudah menjadi kapitalis internasional. Kembali lagi, saya akan gunakan contoh dari sektor migas. Perusahaan migas Britania yang tertua, Burmah Oil, didirikan oleh beberapa orang pengusaha Skotlandia dengan menambang minyak bumi di Burma, ketika Burma masih merupakan jajahan Britania, dan diperintah dari New Delhi. Tahun 1910, Angkatan Laut Britania Raya mulai memonopoli pembelian minyak buminya pada Burmah Oil, sebab pesaingnya, Shell, telah bergabung dengan beberapa pengusaha Belanda menjadi Royal Dutch Shell. Burmah Oil ini kemudian melahirkan Anglo-Persian Oil Company, yang kemudian menjadi Anglo-Iranian, lalu British Petroleum (BP). Sekarang singkatannya bermakna, Beyond Petroleum. Burmah Oil sendiri masih bertahan, dengan menguasai 23% saham BP. Sampai krisis ekonomi Malam Tahun Baru 1974 membangkrutkan perusahaan itu, sehingga sahamnya diambilalih oleh Bank of England. Tapi sebelumnya, Burmah Oil telah mendapat konsesi pengeboran migas di lepas pantai Timor dan Australia, dan memasok 23 tanker LNG kepada Pertamina dengan harga yang sangat didongkrak (Longhurst 1959: 18, Sampson 1977: 69-71; Aditjondro 2000: 18, 29-30).

  1. Dari sejarah Burmah Oil/BP itu, kita dapat membaca kebenaran tesis dasar Marx, yang menjelujuri seluruh batang tubuh Kapital, yakni bahwa fungsi negara dalam moda produksi kapitalis pada dasarnya adalah melayani kepentingan kapital. Paling tidak, ada korelasi yang kuat antara kepentingan negara dan kepentingan kapital. Sementara itu, BP kini menguasai salah satu ladang gas alam terbesar di Nusantara, yakni ladang Tangguh di daerah Kepala Burung, Papua Barat, yang dilindungi kepentingannya oleh pemerintah Indonesia dengan pembentukan provinsi siluman, Irja Barat yang beribukota di Manokwari.

  1. Bagaimana akumulasi kapital semakin memperbesar keuntungan para kapitalis, yang dekatan dengan penguasa politik, seperti halnya Burmah Oil/BP, dapat kita saksikan juga pada pertumbuhan Medco, maskapai pertambangan migas swasta terbesar di Indonesia. Perusahaan itu didirikan oleh pengusaha politikus Arifin Panigoro, bersama adik-adiknya dan besan Soeharto, alm. Eddy Kowara Adiwinata. Di masa kejayaan Soeharto, perusahaan itu berekspansi ke negara-negara Asia Tengah (eks Uni Soviet), dengan memanfaatkan kedekatannya pada keluarga dan konco-konco Soeharto (Aditjondro 1998: 133-4). Selama era pasca-Soeharto, Medco terus berkembang, di luar maupun di dalam negeri, saat Arifin Panigoro mulai aktif berpolitik dengan mendekati Amien Rais, lalu Megawati Soekarnoputri, dan sekarang mengambil jarak dari Megawati sambil membaca situasi politik di tahun-tahun mendatang. Sementara itu, Soegiarto, mantan direktur keuangan kelompok Medco, yang masih memegang jabatan komisaris di beberapa anak perusahaan Medco, mendapat kedudukan strategis sebagai Menteri BUMN dalam Kabinet SBY-JK (Aditjondro 2006a).

  1. Tidak kalah hebatnya dengan Medco adalah perusahaan-perusahaan milik keluarga Menko Kesra Aburizal (“Ical”) Bakrie, yang juga berkembang dengan pesat di bawah payung rezim Soeharto. Di masa kediktatoran Soeharto, adik-adik Ical ikut membangun perusahaan-perusahaan perdagangan minyak bersama anak-anak dan adik sepupu Soeharto di Hong Kong dan Singapura. Setelah Soeharto turun takhta, Ical dan adik-adiknya melepaskan diri dari kelompok itu. Sebelumnya, sebagai ancang-ancang menghadapi era pasca-Soeharto, Bakrie Bersaudara sudah membangun imperium bisnis migas mereka sendiri. Indra Usmansyah Bakrie, adik Ical, tercatat sebagai Presiden Komisaris Kondur Petroleum S.A. yang berbasis di Panama. Perusahaan itu dimiliki oleh PT Bakrie Energi, yang 95 % milik Bakrie Bersaudara dan 5% milik Rennier A.R. Latief, CEO dan Presdir Kondur Petroleum SA. Di Indonesia, perusahaan ini bergerak di bawah nama PT Energi Mega Perkasa Tbk., yang juga dipimpin oleh Renier Latief. Perusahaan ini sekarang menjadi perusahaan migas swasta nasional kedua terbesar setelah Medco. Di mancanegara, bisnis minyak Bakrie bersaudara ini tetap bergerak dengan kendaraan Kondur Petroleum SA, yang beroperasi di Kroasia, Uzbekistan, Yaman dan Iran. Sebelumnya, sebagai operator Kawasan Production Sharing Selat Malaka (KPS-SM), Kondur telah berbisnis dengan Shell, yang menampung minyak mentah dari Selat Malaka untuk dimurnikan di Australia (idem).

  1. Selain di Kondur Petroleum SA, Bakrie Bersaudara juga memiliki saham dalam PT Bumi Resources Tbk, yang telah mengalihkan usahanya dari perhotelan ke pertambangan migas dan bahan baku enerji lain. Diversifikasi usaha itu dilakukan dengan membeli 40% saham Korean National Oil Corporation (KNOC), yang menanam 4,4 juta dollar AS dalam unit pengolahan minyak TAC Sambidoyong di Cirebon. Selain di Indonesia, KNOC melakukan eksplorasi migas di sebelas negara lain, termasuk Libya, Afrika Selatan, Yaman, Vietnam, Venezuela, Peru dan Argentina (idem).

  1. Sekian dulu analisis tentang akumulasi modal penguasa di Indonesia, mengikuti jejak Kapital. Sekarang marilah kita bicara tentang relevansi karya Marx itu bagi gerakan-gerakan kemasyarakatan (social movements) di Nusantara. Yang jelas, ketiga jilid Capital masih relevan sebagai amunisi bagi gerakan buruh di Indonesia. Sebab Buku I Kapital juga menggambarkan perjuangan buruh di Inggris – didukung oleh partai-partai sosialis yang mulai menjamur di sana -- untuk merebut hak-hak mereka. Mulai dari pembatasan hari kerja s/d pembatasan jam kerja (lihat Bab X).

  1. Pengetahuan mendalam tentang gerakan buruh diperoleh Marx dan Engels, berkat keterlibatan mereka sendiri dalam gerakan-gerakan itu. Atau, dalam kasus Engels, kedekatannya dengan seorang buruh di perusahaan keluarganya. Sebelum lahirnya gerakan buruh sosialis dan komunis, Marx dan Engels ikut melahirkan International Working Men’s Association di London pada tanggal 28 September 1864, yangdikenal dengan nama First International, bersama wakil-wakil buruh dari Inggris, Perancis, dan Jerman. Marx ikut aktif dalam dewan pimpian organisasi itu, tapi menolak jabatan Ketua. Alasannya, “sebagai pekerja intelektual, bukan pekerja kasar, ia tidak memenuhi syarat”. Baru setelah terbitnya Das Kapital, yang menaikkan popularitasnya di kalangan buruh, Marx mulai aktif “memimpin” organisasi itu dari London. Itu berlangsung sampai Kongres IWMA 1872 di Den Haag, Negeri Belanda. Celakanya, perpecahan antara kaum Marxis dan anarkis di bawah pimpinan Mikhail Bakunin mengancam kesatuan organisasi itu. Sampai-sampai kongres memutuskan, atas usul Marx, agar markas besar IWMA dipindahkan dari London ke New York. Ternyata keputusan itu mematikan wadah buruh Marxis internasional yang pertama itu (Tucker 1978: xxxiv-xxxv; Guerin 1989: 111-4; Magnis-Suseno 2001: 54).

  1. Selanjutnya, apa kontribusi Kapital bagi gerakan perempuan? Saya tidak sependapat dengan berbagai literatur, yang hanya merujuk ke karya Engels, Origin of the Family, Private Property, and the State (1845) sebagai satu-satunya kontribusi pemikiran ‘dwitunggal’ Marx & Engels bagi gerakan perempuan (lihat misalnya Putnam-Tong 1998: 150). Dalam Buku I Kapital, mengecam keras eksploitasi perempuan dan anak-anak oleh industri garmen dan tekstil di Inggris (hal. 252-5, 303-4, 416-26).

  1. Secara khusus Marx mengulas kematian Mary Anne Walkley (20 tahun), tukang jahit topi perempuan dalam salah satu perusahaan busana terbaik di kota London, milik seorang nyonya yang terhormat, Elise. Demi menyiapkan pesta dansa untuk menghormatan bagi Puteri Wales, Mary bersama 60 orang buruh perempuan lain bekerja 26,5 jam tanpa henti, 30 orang dalam satu kamar, yang hanya memasok 1/3 dari jumlah udara yang diperlukan. Di malam hari, mereka tidur berduaan dalam salah satu lubang pengap. Walhasil, Mary jatuh sakit pada hari Jumat, dan meninggal pada hari Minggu, tanpa dapat menyelesaikan bagiannya. Dokter yang terlambat dipanggil menyimpulkan di depan hakim pemeriksa mayat: “Mary Anne Walkley meninggal, karena jam kerja yang panjang, dalam ruang kerja yang penuh sesak, dan tidur dalam kamar yang terlalu sempit dan berventilasi buruk sekali” (Marx 2004: 253).

  1. Masih banyak lagi penderitaan buruh yang diuraikan Marx dalam Buku I Kapital, yang terutama terfokus pada buruknya kondisi ‘hiperkes’ (higiene perusahaan & keselamatan kerja) di berbagai perusahaan. Termasuk penderitaan buruh perempuan di pabrik-pabrik pemintalan rami, pengelantangan, katun, wol, sutera, dan tembikar, bahkan di tambang batubara (Marx 2004: 223, 256, 300) (lihat Tabel 1, dari Marx 2004: 3000). Tema ini kembali kita jumpai dalam volume ketiga dari Capital, yang mengecam ironi bahwa para produsen busana mewah memperlakukan para buruh dan penjahitnya dengan sangat tidak manusiawi (lihat Marx 1991b: 189-90). Berbagai kritik Marx ini senafas dengan apa yang dikemukakan Engels dalam The Condition of the Working Class in England, yang terbit dua dasawarsa sebelum Das Kapital.[4]

  1. Kendati demikian, Rosemarie Putnam Tong masih menulis: “Meskipun Bapak Marxisme tidak mempertimbangkan opresi terhadap perempuan dengan keseriusan yang sama dengan pertimbangannya atas opresi terhadap pekerja, beberapa dari mereka [para Marxis] menawarkan penjelasan mengapa perempuan teropresi sebagai perempuan” (1998: 150). Opresi terhadap perempuan tidak dapat diisolasi dari opresi terhadap buruh, yang juga meliputi perempuan. Namun memang harus diakui, bahwa fokus Marx lebih ke dampak hiperkes dari Revolusi Industri di Inggris, dengan hanya sedikit menyinggung aspek lain, yang kadang-kadang tersembunyi di catatan kaki. Misalnya, dalam catatan kaki No. 2 di halaman 597 dari Buku I Kapital ada indikasi tentang kesenjangan antara upah buruh perempuan dan laki-laki di Inggris, dengan menyebutkan bahwa upah seminggu untuk buruh perempuan pembuat paku “hanya 5 shilling”. Di halaman sebelumnya, juga di catatan kaki, ada rujukan tentang pelecehan seksual terhadap buruh perempuan di perusahaan penjilidan buku di London City, di mana majikan memikat mereka dengan upah ekstra dan dengan uang buat makan malam di warung sebelah pabrik. “Dengan demikian, diciptakan kemesuman yang luar biasa di antara “jiwa-jiwa muda yang abadi” ini”, tulis Marx. Ironisnya, seperti ditambahkan di catatan kaki itu, perusahaan itu “menjilid banyak Kitab Injil dan lain-lain kitab keagamaan” (Marx 2004: 596).

  1. Dampak hiperkes dari penindasan buruh, termasuk buruh perempuan dan anak-anak di Inggris, lebih dari seabad lalu, sangat berguna untuk membuka mata para aktivis lingkungan di Nusantara. Barangkali, karena latar belakang kelas menengah serta obsesi dengan “alam” membuat para aktivis lebih dekat dengan petani dan bangsa-bangsa pribumi (indigenous peoples), dan kurang memperhatikan kondisi buruh di dalam pabrik, tambang, perkebunan, kilang kayu lapis, industri dan armada perikanan, serta buruh konstruksi proyek-proyek raksasa, seperti bendungan (Aditjondro 1993). Padahal, bagaikan “burung kenari dalam tambang”,[5] buruh adalah manusia yang pertama kali menderita atau meninggal dunia akibat buruknya mutu lingkungan di basis-basis produksi tersebut.

  1. Walhasil, dari seluruh makalah ini dapat disimpulkan, bahwa karya besar Karl Marx, Das Kapital, yang ditulis lebih dari seabad lalu, tetap relevan bagi perjuangan anti-kapitalisme di Indonesia. Pertama, Buku I Kapital yang memberikan dasar-dasar untuk memahami dinamika kapitalisme, termasuk sejarahnya yang bermula dari pencaplokan tanah-tanah pertanian di Skotlandia s/d ekspansinya menjadi sistem ekonomi dunia, sangat relevan untuk memahami pertumbuhan kapitalisme di Nusantara, sementara Buku II memperlebar pemahaman kita terhadap sistem kapitalisme global. Kedua, khusus bagi gerakan buruh, perjuangan buruh dan partai-partai Kiri di Inggris untuk menghapuskan buruh anak-anak serta usaha menentukan jam kerja maksimal, yang dikemukakan dalam Buku I, serta penderitaan khusus buruh sektor angkutan yang dikemukakan dalam Buku II, sangat relevan sebagai sumber inspirasi bagi gerakan buruh di Nusantara. Ketiga, perhatian Marx terhadap penderitaan buruh perempuan dan anak-anak di berbagai sektor industri di Inggris, lebih dari seabad yang lalu, sangat berguna untuk memberikan dimensi ‘kelas pekerja’ bagi gerakan perempuan dan gerakan lingkungan di Nusantara, sambil menciptakan platform bersama gerakan buruh.

Yogyakarta, 16 September 2006

Referensi:

Aditjondro, George Junus (1993). “Pengakuan Dosa Seorang Aktivis Lingkungan”. Health & Law, No. 1/Vol. I, Salatiga: ICHLAS (Indonesian Center for Health Law Advocacy and Studies), hal. 14-25.

----------------(1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru kencing berdiri, murid kencing berlari: Kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim Orde Baru. Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.

---------------- (2000). Tangan-tangan berlumuran minyak: Politik minyak di balik tragedi Timor Lorosae. Jakarta: Solidamor.

-----------------(2006a). Dari hutan Amazon sampai ke lapangan migas Blok Cepu: Sejarah perkembangan teori ekonomi-politik dan relevansinya dalam menyoroti hubungan ekonomi Utara & Selatan. Kuliah Umum di Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis, 20 April.

-----------------(2006b). Korupsi kepresidenan, reproduksi oligarki berkaki tiga: istana, tangsi, dan partai penguasa. Yogyakarta: LKiS.

Benton, Ted (1996). “Engels and the Politics of Nature.” Dalam Christopher J. Arthur (peny.). Engels Today: A Centennary Appreciation. New York: St. Martin’s Press, hal.67-94.

Dennehy, Anne (1996). “The Condition of the Working Class in England: 150 Years On”. Dalam Arthur, op. cit., hal. 95-128.

Engels, Frederick (1969). The Condition of the Working Class in England. London: Granada Publishing. Pertama kali diterbitkan di Inggris tahun 1844-5.

Gibson, Donald (1994). Battling Wall Street: The Kennedy Presidency. New York: Sheridan Square Press.

Guerin, Daniel (1989). “Marxism and anarchism”. Dalam David Goodway (peny.). For Anarchism: History, Theory, and Practice. London: Routledge, hal. 109-26.

Hobsbawm, Eric (1969). ‘Introduction’ dalam Engels, op. cit., hal 7-17.

Longhurst, Henry (1959). Adventures in Oil: The Story of British Petroleum. London: Sidgwick & Jackson.

Magnis-Suseno, Franz (2001). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mandel, Ernest (1990). ‘Introduction’. Dalam Marx, Karl (1990). Capital: A Critique of Political Economy. Vol.1. Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Ben Fowkes. London: Penguin Books, hal. 11-86.

----------- (1991a). ‘Introduction’. Dalam Marx, Karl (1991). Capital: A Critique of Political Economy. Vol.2. Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh David Fernbach. London: Penguin Books, hal. 11-79.

------------ (1991b). ‘Introduction’. Dalam Marx, Karl (1991). Capital: A Critique of Political Economy. Vol.3. Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh David Fernbach. London: Penguin Books & New Left Review, hal. 9-90.

Marx, Karl (1990). Capital: A Critique of Political Economy. Vol.1. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Ben Fowkes. London: Penguin Books.

--------- (1991a). Capital: A Critique of Political Economy. Vol. 2. Disunting oleh F. Engels. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh David Fernbach. London: Penguin Books.

--------- (1991b). Capital: A Critique of Political Economy. Vol. 3. Disunting oleh F. Engels. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh David Fernbach. London: Penguin Books.

---------- (2004). Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku I: Proses Produksi Kapital. Diterjemahkan oleh ‘Teman-teman di Eropa” dan Oey Hay Djoen. Editor: Hilmar Farid. Jakarta: Hasta Mitra.

----------- (2006). Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku II: Proses Sirkulasi Kapital. Alih bahasa: Oey Hay Djoen. Jakarta: Hasta Mitra.

Medvin, Norman (1974). The Energy Cartel: Who Runs the American Oil Industry. New York: Vintage Books.

Putnam-Tong, Rosemarie (1998). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

Sampson, Anthony (1977). The Seven Sisters: The Great Oil Companies and the World They Made. London: Coronet Books.

Smith, David & Phil Evans (2004). Das Kapital untuk pemula. Yogyakarta: Resist Book.

Tucker, Robert C. (1978). The Marx-Engels Reader. Second Edition. New York: W.W. Norton & Company.

Ward, Ken (1973). “Indonesia’s Modernisation: Ideology and Practice’, dalam Red Mortimer (peny.). Showcase State: The Illusion of Indonesia’s ‘Accelerated Moderisation’. Sydney: Angus & Robertson (Publishers) Ltd., hal. 67-82.

Wilczynski, J. (1984). An Encyclopedic Dictionary of Marxism, Socialism and Communism. London: The Macmillan Press Ltd.

Curriculum Vitae

George Junus Aditjondro

Tempat & tgl lahir: Pekalongan, 27 Mei 1946.

Pendidikan:

  1. 1991: Master of Science, Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses belajar tentang pengembangan masyarakat di antara pimpinan dan staf sebuah ornop, Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
  2. 20 Januari 1993: Philosophical Doctor (Ph.D.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses pendidikan publik tentang dampak pembangunan bendungan Kedungombo di Jawa Tengah.

Pekerjaan:

  1. 1971-1979: Jurnalis Majalah TEMPO.
  2. 1981-1989: Pekerja Pengembangan Masyarakat, a.l. Sekretariat Bina Desa (Jakarta), WALHI, dan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
  3. 1989-2002: Dosen Program Pasca-sarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Murdoch University (Perth, Australia Barat, Australia), dan University of Newcastle (Newcastle, New South Wales, Australia).
  4. Sejak November 2002: Konsultan Penelitian & Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
  5. Sejak Semester II 2005, ikut mengampu mata kuliah-mata kuliah Marxisme, Gerakan Sosial Baru, dan Metodologi Penelitian di Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB), Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Karya Tulis:

Puluhan buku, bab, kata pengantar, prolog dan epilog tentang Timor, Papua Barat, Aceh, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, lingkungan hidup, khususnya dampak pertambangan, new social movements, serta korupsi sistemik mantan para Presiden RI, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Buku terbarunya, Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga, Istana, Tangsi dan Partai Penguasa, diterbitkan akhir Mei lalu oleh LKiS, Yogyakarta.



[1] ). Sesungguhnya, ‘bibit’ pemikiran untuk membedakan masyarakat berdasarkan moda produksinya, dengan kata lain, berdasarkan sistem ekonominya,sudah ada di karya Marx bersama Engels, The German Ideology, yang ditulis antara tahun 1845-6. Di situ mereka membedakan tiga tahap perkembangan masyarakat dilihat dari pembagian pekerjaan, yakni sistem tribal (suku); sistem komunal purba di mana beberapa suku sudah bergabung ke dalam satu ‘kota’, karena kesepekatan maupun penundukan; dan sistem feudal yang lahir dari sistem sebelumnya, di mana para bangsawan yang berkuasa memperluas sayap mereka ke desa-desa sekitarnya. Dalam tahap feudal itulah muncul kelompok-kelompok pengrajin yang bukan pemilik tanah dan juga tidak berdarah biru, yang merupakan embrio dari sistem kapitalis (Tucker 1978: 151-3). Selanjutnya, dalam pengantar Contribution to the Critique of Political Economy, yang diterbitkan oleh Marx tahun 1859, Marx, “secara garis besar” (in broad outlines), membedakan moda produksi Asiatik, moda produksi kuno, moda produksi feudal, dan moda produksi borjuis modern (Asiatic, ancient, feudal, and modern bourgeois modes of production) (Tucker 1978: 5). Dari sinilah berkembang penafsiran, bahwa teori perkembangan ekonomi Marx bersifat linier dan Eropa-sentris, seolah-olah setiap masyarakat di dunia harus berevolusi melalui tahap-tahap tersebut. Pandangan yang linier dan Euro-sentris itu telah ditolak oleh sejumlah Marxis Afrika, seperti Amilcar Cabral dan Samir Amin. Cabral, seorang pemikir dan pejuang kemerdekaan Guinea-Bissau dan Cabo Verde, berpendapat bahwa negara-negara Afrika yang berada dalam moda produksi tribal, dapat langsung melompat ke moda produksi sosialis, tanpa harus melalui tahap feudal dan kapitalis.

[2] ) Dalam formasi sosial yang bernama Indonesia, hadir beberapa moda produksi secara simultan, yakni moda produksi tribal, moda produksi feodal, moda produksi agraris non-feodal, moda produksi agribisnis, dan moda produksi industri kapitalis. Tetapi semua produksi non-kapitalis itu terikat ke dalam satu moda produksi yang dominan, yakni moda produksi kapitalis.

[3] ) Ini terjadi di desa-desa di sekitar kota Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, di mana harga rotan anjlok dari Rp 650 ribu per ton menjadi hanya Rp 300 ribu akibat larangan ekspor rotan itu. Lihat Laporan Hasil Forum Refleksi & Inspirasi (FRI) V, 17-24 September 1988 di Kuala Kapuas, Kalimantan.

[4] ) Karya Engels, The Condition of the Working Class in England, oleh Ted Benton, seorang peneliti pemikiran Engels dianggap sebagai perintisan “sosialisme ekologis”, karena perhatiannya yang sangat jeli terhadap kondisi kehidupan para buruh di Inggris, baik di tempat tinggal maupun di tempat kerja mereka. Lihat Benton 1996. Karena itu, tidak ada salahnya untuk menggali dimensi ekologi dari karya-karya Engels dan Marx, sebagai amunisi tidak hanya bagi gerakan perempuan, tapi, seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, bagi gerakan lingkungan di Nusantara.

[5] ) Di masa lalu, buruh-buruh tambang biasanya membawa burung kenari dalam sangkar bersama mereka, kalau turun ke tambang-tambang bawah tanah. Kondisi burung kenari itu mereka jadikan indikator, ada tidaknya gas-gas berbahaya di dalam tambang. Sebab burung itu lebih peka terhadap gas-gas tersebut ketimbang manusia. Kalau burung itu mulai sakit, apalagi mati, para buruh buru-buru berusaha keluar dari tambang, walaupun mereka belum mencium gas-gas yang berbahaya.



Monday, June 26, 2006

BAHAYA LATEN ORDE BARU

Bangunan Dasar Orde Baru
Dalam buku hasil penelitian Daniel Dhakidae,PhD. berjudul “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru”, orde baru disamakan dengan rejim fasisme Hitler di Jerman. Pemerintah Orde baru memiliki partai sebagai mesin politik, tentara sebagai hardware kekuasaan yang selalu siap mendukungnya, serta indoktrinasi P4 kedalam seluruh segmentasi masyarakat sebagai software. Harapan akhirnya adalah lahirnya Indonesia-men atau manusia Suharto, yang disamakan Daniel dengan Uberman-nya Hitler. Disisi lain pemerintah orde baru menerapkan sistem ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan. Pembangunan menjadi ‘agama’ yang tidak bisa diganggu gugat atau dikritik kebenarannya. Kritik berarti berlawanan dengan negara dan dicap sedemikan rupa sebagai musuh negara, ekstrimis, atau bahkan komunis yang harus dimusnahkan. Cap itu selalu menjadi alat legitimasi menghabisi lawan politik dan gerakan pro demokrasi di Indonesia. Bangunan dasar politik – ekonomi ini dibangun rejim Suharto sejak tahun 1966 hingga digugat dan dilengserkan tahun 1998.
Manifestasi dari bangunan ini yang telah terbuka jelas di muka publik adalah terjadinya pembunuhan sistematis terhadap kalangan yang mengkritik pemerintah oleh aparat militer, utang raksasa- 136 milyar dollar- yang hampir mustahil untuk dibayar, munculnya jurang kesenjangan yang sangat dalam antara mayoritas miskin dan minoritas kaya, konflik antar kelompok yang berkepanjangan, pendidikan yang terbelakang, pengangguran, harga-harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi dan berbagai bentuk kemiskinan lainnya. Inilah buah dari pembangunan yang selama 32 tahun diusahakan oleh rejim Suharto di Indonesia. Inilah pembangunan yang berbuah keterbelakangan.

Agenda Reformasi
Perjuangan agenda reformasi tahun 1998 harus diakui menghasilkan beberapa perubahan yang reversible terhadap proses demokratisasi. Diantara tuntutan reformasi itu, terdapat beberapa agenda yang terpenuhi seperti turunnya Suharto dari kursi presiden, dicabutnya dwifungsi ABRI, serta adanya proses yang lebih demokratis dalam pemilihan umum. Pada awal pasca reformasi ini, orde baru menjadi semacam ‘musuh bersama’ masyarakat yang harus diganti dengan sistem yang baru, karena dianggap menjadi akar dari segala persoalan, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia dan kemiskinan di Indonesia.
Hanya saja, semangat ini hanya menjadi euforia sesaat saja, agenda menyeluruh reformasi ternyata begitu cepat dilupakan masyarakat. Jatuhnya Suharto tidak dibarengi dengan perubahan sistem yang dibangunnya dengan sabar selama 32 tahun. Pergantian Suharto secara personal tidak diikuti dengan pergantian sistem. Sistem yang tidak tersentuh itu menyebabkan mudahnya ‘rombongan’ orde baru kembali memasuki arena kekuasaan, bahkan kembali mengendalikan pemerintahan. Dalam terminologi sosiologi, bangunan dasar ini biasa disebut sebagai masalah laten (latent problems) yang kasat mata dan sulit disentuh.
Maka sebagai konsekuensi dari kondisi ini, tidak heran jika korupsi, kolusi dan nepotisme masih merajalela, kemiskinan, kelaparan, pengangguran semakin bertambah, sementara utang pemerintah semakin menumpuk. Level manifest problems, atau tumpukan masalah yang terlihat dengan jelas ini tentunya akan terus menerus terjadi tanpa ada perubahan mendasar pada level yang latent .

Bahaya Laten Orde Baru atau Komunis?
Kampanye anti komunis yang dilancarkan Suharto di jaman orde baru ternyata cukup ampuh. Suharto yang acap kali menyebut semua yang tidak setuju dengan kebijakannya sebagai komunis, memperoleh efek ‘mimesis’ bagi aparat negara hingga sekarang. Sekelompok orang tua bangka yang mempertanyakan pelanggaran hak asasi manusia malah dicap komunis.
Di jaman Suharto, petani yang menolak digusur dari tanahnya disebut komunis, jika terjadi kerusuhan sosial akan dihubungkan dengan komunis, mahasiswa yang demonstrasi disebut komunis. Ikonisasi komunis telah menjadi alat yang sangat ampuh memberangus daya kritis rakyat pada masa itu. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik ditingkat internasional yang disebut dengan perang dingin antara blok barat dan blok timur, antara kekuatan liberalisme dan komunisme.
Komunisme sebagai ideologi tentunya adalah sesuatu yang latent, sebagai ideologi politik yang berkembang pada abad 19 hingga abad 20. Namun diawal abad 21 ini, adalah lelucon yang tidak lucu menyebut komunisme sebagai hantu yang menakutkan. Di dunia internasional, isu komunisme dianggap bukan lagi sebagai ‘hantu yang menakutkan, sebagaimana terjadi di eropah pada abad 19, malah diawal abad 21 ini telah tergantikan oleh issu baru dari isu terorisme, hak asasi, kesetaraan, krisis energi , ekologi hingga isu krisis ekologi. Dengan demikian, mengkampanyekan bahaya laten komunisme sebagaimana dimuat media belakangan ini menjadi tidak berdasar.
Justru yang harus direfleksikan kembali oleh semua pihak adalah telah kembalinya orde baru menguasai seluruh ranah politik. Aktor-aktor dan institusi orde baru telah kembali berkuasa yang dimanifestasikan oleh masih langgengnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Semakin tingginya utang luar negeri, pengangguran dan kemiskinan yang semakin bertambah, ketidakberpihakan pemerintah kepada petani, tingginya harga-harga kebutuhan pokok, penggusuran-penggusuran paksa serta kejahatan hak asasi manusia lainnya, sebagai indikasi dari telah berkuasanya aktor dan institusi yang sama pada jaman orde baru berkuasa.
Bahaya laten orde baru ini tentu jauh lebih berbahaya daripada mencari-cari kambing hitam, apalagi dengan mengalihkan isu dan mempersalahkan kuburan “komunisme”. Bangsa ini memerlukan jawaban yang kongkrit dan segera untuk menghentikan pengangguran, kelaparan, dan kemiskinan yang terus menerus semakin meningkat, hingga agenda yang paling mendesak: menghentikan korupsi dengan cara seksama dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Saurlin Siagian
Alumni FISIP USU Medan
Bekerja di Perhimpunan BAKUMSU Medan

Tuesday, June 13, 2006

Kepentingan Dibalik Proyek Pelurusan Sungai Deli

Pengendalian Banjir dan Penggusuran
Sungai Deli menjadi headline berita beberapa hari terakhir, setidaknya oleh dua hal. Pertama, mulai terjadinya penggusuran paksa ( involuntary resettlement) terhadap perumahan penduduk termasuk pekuburan di sepanjang bantaran sungai yang menimbulkan konflik dan perlawanan dari masyarakat. Kedua, berita banjir yang menjadi langganan masyarakat disekitar bantaran sungai Deli setiap hujan datang dan memakan banyak korban.
Sepintas lalu masalah ini sepertinya berhubungan sebab akibat. Seolah –olah masalah banjir ini hendak dipecahkan oleh pemerintah melalui penggusuran penduduk disepanjang bantaran sungai Deli. Tetapi jika dicermati, ada beberapa hal yang justru kontradiktif yang membuat hubungan banjir dan penggusuran bisa absurd. Disatu sisi pemerintah gencar melakukan penggusuran terhadap perumahan dan termasuk terhadap pekuburan dengan alasan pengendalian banjir, namun disisi lain para pengusaha berebut untuk membeli lahan dan lokasi disepanjang pinggiran sungai Deli. Deli River Café misalnya, adalah proyek besar salah satu pengusaha yang sedang melakukan pembangunan persis dibantaran sungai Deli.
Pertanyaannya adalah mengapa bangunan milik rakyat digusur, sementara pengusaha difasilitasi untuk mendirikan bangunan ditempat yang sama-sama dibantaran sungai Deli? Jawaban bahwa penggusuran dilakukan untuk mengatasi banjir kota Medan tentunya menjadi usaha pembodohan dan penjinakan terhadap rakyat korban yang sedang digusur, karena banjir itu sendiri adalah akibat dari sebuah proses kompleks mengenai ekosistem yang meliputi kondisi sungai, penggundulan hutan dan perubahan iklim yang semua proses itu kebanyakan berada di hulu sungai. Dengan melihat fakta disepanjang bataran sungai Deli, jawaban yang lebih logis justru penggusuran terhadap rakyat dilakukan untuk melanggengkan pengusaha untuk memiliki tanah disepanjang bantaran sungai. Praktek politik ekonomi tanah sedang berlangsung, dan seperti biasa, mengorbankan rakyat yang buta terhadap informasi yang secara sengaja ditutup aksesnya oleh pemerintah.

Politik Ekonomi Tanah
Hubungan logis premis ini dapat dimulai dari adanya sebuah mega proyek berjudul Medan Floodway Control Project yang sudah dimulai sejak tahun 1995 . Proyek diawali dengan riset yang dilakukan oleh konsultan proyek dari Jepang bernama Japan Bank For International Cooperation ( JBIC) untuk melakukan usaha komprehensif pengendalian banjir di kota Medan, yakni mengantisipasi banjir yang pernah melanda kota Medan pada era 80-an hingga menelan korban yang besar. Riset yang dilakukan merekomendasikan pembangunan kanal sepanjang 3,8 kilometer di hulu sungai yang menghubungkan sungai Deli dengan sungai Percut, perluasan sungai Percut dan pembangunan jembatan pendukung disepanjang sungai Percut.
Proyek paling ambisius tentunya adalah penyatuan dua sungai besar, yakni sungai Deli dengan sungai Percut. Tujuannya adalah untuk mengendalikan debit air sungai Deli yang melewati pusat kota Medan. Kelebihan debit air yang menimbukan banjir itu dipindahkan ke sungai Percut yang akan diperlebar dan diperdalam. Proyek ini membutuhkan keberanian untuk melakukan penggusuran di sepanjang areal padat bangunan dan penduduk kota meliputi Titi Kuning, daerah STM Ujung, hingga Harjosari.
Proyek ini disetujui dan mendapatkan dukungan utang dari ADB dan JBIC yang nilai totalnya masih simpang siur, karena pemerintah tidak pernah menginformasikan kepada publik berapa nilai mega proyek ini yang sesungguhnya. Salah satu media mencatat angka 155 Milyar untuk pembebasan tanah, dan 480 milyar untuk pekerjaan fisik ( Kompas, 7 Desember 2004). Proyek ini adalah salah satu dari 584 proyek JBIC di Indonesia dengan nilai total seluruh proyek 3.095.400.000 yen Jepang hingga tahun 1998 ( www.bappenas.co.id, 2004). Utang ini akan dibayar dalam jangka 10 hingga 30 tahun dengan bunga antara 2,3 hingga 3 % pertahun.
Proyek kanalisasi dalam rangka pengendalian banjir Medan ini seharusnya telah selesai tahun 2004, namun karena persoalan kesulitan pembebasan tanah, proyek masih menyisakan pekerjaan separuh dari total proyek yang masih terus berlanjut hingga saat ini. Pihak donor proyek juga memberikan keringanan, seiring dengan terjadinya bencana gempa dan tsunami di Sumatera bagian barat. Bagi proyek kanalisasi yang semrawut dan berlarut-larut itu, bencana tsunami menjadi semacam ‘blessing in disguise’, karena proyek bisa berlanjut dan lepas dari ancaman pemutusan dana.
Dengan demikian, dalam waktu yang tidak terlalu lama, jika proses kanalisasi telah selesai, daerah sepanjang sungai Deli akan menjadi sorga baru bagi pebisnis, lokasi sangat strategis yang aman dari banjir. Sebuah alat kontrol di hulu sungai akan memindahkan kelebihan debit air sungai Deli ke sungai Percut melalui kanal sepanjang 3,8 Kilometer yang melewati daerah Titi Kuning, STM Ujung dan Harjosari II. Tentunya informasi seperti ini tidak pernah diketahui masyarakat secara transparan, khususnya masyarakat disepanjang sungai Deli yang hanya mampu menonton tanahnya menjadi rebutan para pemilik modal.
Rakyat disepanjang sungai Percut sudah lebih dulu mengalami apa yang sedang dan akan dialami masyarakat di sepanjang bantaran sungai Deli. Tidak ada tanggapan yang baik dari pemerintah ketika rakyat menyampaikan keluhan dan ketidak setujuan atas masalah yang terjadi sepanjang proyek berlangsung. Lembaga donor termasuk bagian dari yang mengabaikan prinsip transparansi, keadilan dan prinsip hak asasi manusia serta tidak perduli dengan penggusuran paksa tanpa ganti rugi bagi korban penggusuran disepanjang bantaran sungai.
Penggusuran disepanjang bantaran sungai Deli hanya sebuah kamuflase atas sebuah proyek yang jauh lebih besar yang melibatkan utang luar negeri, kepentingan pemerintah dan kepentingan pemodal tanpa memikirkan kepentingan rakyat korban penggusuran. Tidak heran jika peta perencanaan kota hanya mampu diakses oleh pengusaha sebagai privilage yang diperoleh dari birokrasi pemerintah

Kesimpulan
Ada beberapa level institusi yang memiliki peran penting dalam kasus ini. Pertama level lembaga pemberi utang . Kesan yang didapat adalah lembaga donor seperti JBIC dan ADB tidak perduli dengan apapun yang terjadi terhadap masyarakat, asalkan proyeknya berjalan, mau mampus pun rakyat lokal korban proyek akibat dari dana yang mereka cairkan tidak menjadi bahan pertimbangan yaang penting. Level kedua adalah Pemerintah Lokal. Pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk mensosialisasikan segala informasi yang selayaknya harus diketahui oleh korban langsung dari proyek pembangunan sesuai dengan ketentuan pembangunan. Tidak ada media informasi yang disediakan bagi rakyat, katakanlah papan informasi proyek, pemberitahuan proyek melalui media massa, atau melalui lembaga-lembaga sosial lainnya, akibatnya rakyat korban tidak memiliki akses sama sekali terhadap pembangunan yang akan dilakukan terhadap lingkungannya sendiri.
Level yang paling diuntungkan adalah pihak pengusaha dan pengembang (kontraktor) yang memperoleh akses yang mudah terhadap informasi dan pembangunan. Merekalah yang bisa berekspektasi dan berspekulasi atas akses yang dimilikinya terhadap pembangunan. Sementara rakyat tidak memiliki posisi tawar apapun, sehingga dengan leluasa digusur dengan ganti rugi yang ditentukan pemerintah. Informasi yang seyogyanya diperoleh publik, ternyata hanya diperuntukkan pemerintah kepada pengusaha. Rakyat tidak pernah diberitahu jika tanah yang mereka tempati disepanjang bantaran sungai Deli menjadi daerah yang aman dari banjir, jika proyek kanalisasi di hulu sungai telah rampung dikerjakan.
Tak ubahnya seperti era Orde Baru, rakyat masih belum memiliki posisi tawar apapun dalam pembangunan, rakyat hanya menjadi penonton, dan acapkali menjadi korban dari pembangunan itu sendiri. Para pelaku dan penikmat pembangunan, masih belum berubah hingga kini, yakni birokrasi pemerintah dan pengusaha yang kolusi dan bekerjasama erat serta kekal.
By:Saurlin

Jenda Tarigan, ½ Dewa dari Tanah Karo

Istri saya, sudah puluhan tahun hilang ingatan, matanya buta, dan sudah tidak waras, dia tidak tahan menanggung penderitaan yang kami alami. Kami berdua tinggal digubuk kecil ini, jauh dari penduduk desa. Saya sendirian harus memenuhi kebutuhan kami berdua.

Jenda,81 tahun, yang terlihat masih kuat dan lebih muda dari umurnya itu, harus bekerja ekstra mengurus istrinya sendirian, Namsam br Ginting, 79 tahun. Merawat, memberikan makan, menggantikan baju, bahkan memandikan istrinya sebagai pekerjaan sehari-hari. Sekali dalam seminggu berangkat ke pasar Kabanjahe untuk belanja keperluan berdua. Jenda sebenarnya ingin sekali menuntut pemerintah atas perlakuan yang diterimanya, tetapi oleh karena beban luar biasa yang harus ditanggung sendiri itu, Jenda memilih untuk merawat dan memenuhi nafkah istrinya.

Sulit dibayangkan bahwa Jenda Tarigan, pimpinan PKI Tanah Karo, masih hidup sehat sementara puluhan bawahannya tewas dibantai oleh militer tahun 1965 di Tanah Karo. Jenda saat ini menghabiskan waktunya di sebuah desa di lereng gunung Sinabung. Berikut kisah perjalanan dan pandangannya seputar peristiwa 65 .

Tertangkap setelah di Hutan selama 11 Tahun

Sebenarnya kami memilih menyingkir ke desa karena garis perintah partai, bukan karena takut, jadi kita patuhi garis dari komite sentral di Jakarta. Jabatan saya disamping saya adalah orang pertama PKI di kabupaten Karo, saya juga anggota CDB Propinsi, jadi tahu semua surat menyurat partai. Sebenarnya kami memiliki kekuatan jika ada perintah untuk melawan. Namun karena pilihan menyingkir itu kami jadi menderita sampai sekarang. Menderita apa yang tidak layak kami terima, karena dituduhkan melakukan sesuatu yang tidak pernah kami lakukan.

Paling lama saya di hutan Sibayak ini sama hutan Sinabung . Pelarian di Hutan mula-mula 4 orang. Sudah itu tiga orang tertangkap, tinggal saya sendiri. Saya pun dapat juga akhirnya tahun 1976. Jadi 11 tahun saya di hutan, sejak 1965. saya disidang tahun 1978
Pertama kali saya lari dari dari kantor (sekretariat PKI Kab Karo-red), terus ke rumah, pertama kali saya lari ke desa raja Bernah, di bawah gunung Sibayak. Saya bisa tertangkap, karena ada satu anak muda yang kecil umur sebelas tahun, dia nampak kami, waktu itu kami 2 orang, terus dikasih tahu kami ke kepala kampung, di daerah Sukanaluh. Terus kami dicari sama masyarakat dan militer, terus disergapnya kami dalam satu gubuk di desa Sukanaluh. Malam itu jam dua.

Penangkapannya, waktu itu malam hari, sudah saya dengar datang berdesir desir (suara rumput) itu. Mereka saya tahu aparat keamanan, terus saya buka pintu, lari saya, jangan lari, katanya. Begitupun saya tetap lari, terus dikejarnya dari belakang. Lalu jangan lari katanya lagi, sambil ditembak keatas, lari juga saya, lalu ditembaknya saya. Kena kaki saya, disini ( menunjuk paha), tidak tembus, pelurunya (bersarang) di dalam . Peluru itu sudah tidak ada sekarang, sudah dioperasi waktu itu. Jadi, begitupun sudah kena, saya lari terus, sudah banyak darah yang keluar, tak mau saya berhenti, dari pada menyerah lebih baik mati saya pikir. Lama kelamaan dikejarnya terus, akhirnya sudah dekat dipukulnya kepala saya, pake gagang senjata, jatuh. Barulah diikatnya, baru dibawanya ke kantor polisi Kabanjahe. Sampai di kabanjahe, dibawa ke rumah sakit, dioperasinya peluru itu. Sudah itu baru aku dibawa kerumah sakit MOBRIG ( Mobil Brigade, sekarang Brimob) di Medan. Sudah itu sembuh, baru dibawa ke jalan Gandi, disitulah saya lama ditahan.

Saya diadili dengan saksi yang meringankan dari Ketua PR , Ambil Ginting. Waktu itu hukuman saya divonis 17 tahun, tapi yang saya jalani 15 tahun. Sudah itu saya dibawa ke Suka Mulya, terus ke penjara jalan Listrik.

Setelah Keluar dari Penjara
Setelah keluar dari penjara, kondisi keluarga sudah morat marit lah, istri saya buta huruf, matanya juga buta, karena peristiwa itu dia stress, anak anak semua udah berpencar pencar, lantaran hidupnya sudah terlantar. Ibunya sudah sakit saraf. Matanya sudah tidak beres. Ada anak dibawa keluarga yang satu, dan ada yang dibawa ke tempat lain, begitu.

Namun begitu, keberadaan saya sebagai orang PKI, dapat mereka terima sebagai bapak, tetapi tidak mereka terima sebenarnya mendapat stigma yang seberat itu, sebagai pembunuh dan sebagainya. Umumnya semua keluarga menerima. Maka itu, sebenarnya keluar dari penjara , ada gereja yang menawari kalau mau tinggal ditempat yang disediakan khusus bagi mantan tahanan, itu punya yayasan gereja. Saya Tanya semua keluarga, bagaimana saya bilang, ngga mereka bilang, bapak dirumah saja, katanya. Bapak musti kemari , katanya. Saya diterima dengan baik.

Tetangga dan masyarakat disini umumnya juga menerima saya secara diam-diam( di desa Gambir), karena (jika secara terbuka ada penerimaan terhadap saya) takut sama pemerintah. Ada yang bilang sama saya, sama Suharto nya dia takut, kalau sama saya dia tidak takut. Saya ada cerita pelarian, pernah itu waktu kita masih pelarian di hutan, ada orang yang melihat, dipikirnya babi hutan, jadi diajaknya orang orang kampung. Terus mereka melihat saya, terus dibilang, eh kau nya itu silih, oh baguslah kau masih selamat, terus dikasihnya uang dikasihnya rokok, lantaran senang dia. Itulah makanya masyarakat tidak ada masalah dengan aku. Mereka terus mengajak saya makan malam. Jadi sebenarnya mereka tidak takut sama kita tapi karena takutnya dia sama Suharto, makanya dia ngikut. Begitu. Dalam hati apa dia sama kita, sangking takutnya, macam itu orang orang kampung itu, bawa parang itu semua, tapi karena lihat aku, wah wah terus katanya dikasih rokok. Malah malam diantar nasi sama beras.

Persepsi seputar G 30 S
Bagi saya peristiwa itu juga belum jelas. Ada yang mengatakan bahwa itu usaha-usaha PKI, padahal PKI jelas jelas tidak ada instruksi untuk melakukan perlawanan, untuk melakukan kup. Itu jelas, saya sebagai orang pertama di kabupaten ini jelas itu. Tidak ada instruksi dari pimpinan daerah mengatakan bahwa kita akan begitu ( melakukan kup), itu tidak ada.

Justru setelah peristiwa 1 Oktober itu ( maksudnya peristiwa 30 September 1965 pembunuhan 7 militer di Jakarta) . Apa kata CDB? Instruksi dia bilang waktu itu,(oleh Rakut Sembiring, CDB Sumatera Utara,), dia bilang bahwa ini peristiwa Angkatan Darat, jadi maka itu diantara orang orang itu ( diantara kekuatan keuatan politik masa itu) dalam hal ini kita mendukung dan berpartisipasi pada prior yang maju. Maksudnya yang maju adalah yang mendukung Sukarno. Jadi tidak ada kita melakukan itu (kup). Itulah perintah yang sampai kepada kita sebagai pimpinan kabupaten.

Jadi akhirnya datang lagi lah CDB, katanya kita patuh sama Sukarno. Kita tidak bisa melakukan apa-apa. Sementara dilapangan kita sudah kucing kucingan, kita sudah dicari cari aparat. Sampai waktu itu saya bilang juga sama Rakut, kalau begitu kita nanti, akhirnya ditangkapi, saya bilang. Kalau orang sudah kejar kejar kita, bagaimana saya bilang. Tapi bagaimana? Katanya, CC bilang bahwa kita patuh pada Sukarno sebagai presiden republik Indonesia. maka itu kita patuh sama dia. Lain nanti kalau situasi sudah berubah, kita tunggu lagi dari atas, katanya. Itu saya waktu itu bertengkar sama CDB, saya debat dia. Masa kita lari-lari saja, habis kita, saya bilang. Kita tidak bisa berbuat diluar itu katanya, kita harus patuh pada CC katanya.

Karir Organisasi

Awal mula saya aktif di organisasi, mula-mula saya memimpin Pandu Indonesia, itu sebelum Indonesia merdeka sudah ikut berjuang. Sudah itu beralih menjadi pemuda sosialis Indonesia (pesindo), sudah itu beralih lagi ke Pemuda Rakyat (PR) ,dari pemuda rakyatlah saya menjadi pimpinan partai komunis. Kalau saya tidak salah, tahun 59 barangkali mulai jadi ketua partai. Di kabupaten istilahnya CS atau Komite Seksi. Di DPRD kabupaten menjabat satu periode. Mulai 58 hingga 65 itu. Kami ada tujuh orang pimpinan di tanah Karo, cuma saya dan Kumpul Ginting yang selamat. 5 orang ditangkap dan dibunuh.

Saya pendidikan politik dulu di Sentral Komite. Sekolah partai sentral di Jakarta. Lamanya 4 bulan. Baru saya jadi pimpinan inti di sini. Selain di DPRD dan partai, saya di Front nasional juga, disitu aku ketua. Front nasional tanah Karo itu ada 4 partai besar; PNI, PKI, Murba, dan Parkindo.

Keseharian

Saya bungkuk seperti ini sekarang karena disiksa dulu di tahanan, sekarang disini pun, dibuah zakar saya ini, bengkak, karena disiksa. Aku kena usus turun di tahanan. Terlalu banyak disiksa. Saya dipukul memakai kayu, jenis broti. Sama tahanan lain ada saya lihat dimasukkan kedalam air semalaman, ada yang dilistrik.

Sekarang, sehari hari saya keladang lah. Ibu tidak bisa bekerja apa-apa lagi, ngasih makan dia pun saya. Saya jadi bapak rumah tangga-lah,heehee. Masak, mencuci, ke ladang, begitu. Juga memandikan dia setiap hari. Kebutuhan bisa dikatakan cukup makan lah.

Harapan saya ke depan, bagaimana supaya nama baik dipulihkan. Kita tidak ada terlibat dan tidak ada melakukan kudeta itu. Untuk itu harapan kita, supaya nama baik kita dipulihakan sebagai warga negara . Kalau masa kami dulu, sedikitpun tidak ada keinginan untuk hanya uang. Kami berjuang untuk rakyat, malahan kalau ada yang mengatakan kami orang yang beruang, kami malu, karena kami sendiri sangat berat kondisi keuangannya, biarpun anggota DPRD. Kalau dulu dapat gaji dibelikan pupuk, dibelikan cangkul untuk rakyat. Kalaupun ada honorer kami itu untuk beras. Kami bagikan untuk rakyat. Itu saja. Kalau sekarang sangat jauh beda, jadi anggota dewan berarti ada mobil dan kaya raya.

By: king/studi bakumsu

Bom waktu di Sibolangit

Sedikitnya 288 orang penduduk desa Bandar Baru kecamatan Sibolangit digusur oleh militer dengan tuduhan terlibat Gestok ( terlibat PKI) pasca peristiwa September 1965. Penduduk yang telah tinggal dan mengelola tanah sejak tahun 1953 itu digusur begitu saja, tanpa ganti rugi, bahkan mendapat cap terlibat organisasi yang dilarang pemerintah orde baru pada masa itu. Penduduk juga dituduh sebagai penggarap tanah milik negara. Lahan bumi perkemahan Sibolangit, seluas kurang lebih 300 HA , saat ini dikelola oleh Pengurus Kwartir Daerah Pramuka Propinsi Sumatera Utara, selain beberapa bagian yang telah dibagikan kepada pejabat dan eks pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Deli Serdang. Sebagian tanah dimaksud telah menjadi milik beberapa pejabat, diantaranya seluas 16.502 M2 diperuntukkan kepada 30 orang pejabat, pengurus PKK, BPN dan pengurus Kwarda ditingkat kabupaten dan kecamatan melalui surat resmi mantan bupati Deli Serdang H Ruslan Mansyur, tahun 1994. Camat Sibolangit, Haris Ginting, ketika dikonfirmasi membenarkan perubahan status tanah itu, namun mengakui kebijakan itu bukan dilakukan oleh dirinya.

Proses penggusuran terjadi sekitar tahun 1970. “Tanaman padi kami yang sudah menguning diratakan oleh militer dengan memakai buldozer, kami tidak bisa melawan karena dicap PKI,”Kata NB, salah seorang korban penggusuran. Sebelumnya, lokasi itu sudah dipakai sebagai Tempat Penahanan Sementara ( TPS) bagi orang yang dianggap terlibat PKI mulai tahun 1965. Lokasi itu sendiri juga dipakai sebagai tempat kerja paksa bagi tahanan selama puluhan tahun, hingga berdiri bumi perkemahan Sibolangit. Salah satu karya besar tapol di Sibolangit adalah patung selamat datang pramuka yang tepat dipinggir jalan memasuki desa Bandar Baru. Pelukis yang sekalian tapol yang banyak terlibat dalam pekerjaan patung besar itu adalah seniman Punanta Sembiring dan Pelawi.

Era penjajahan Belanda, tanah ratusan hektar di Sibolangit itu adalah perkebunan yang dikontrak dari rakyat oleh warga keturunan bernama Hok Ceng Lie. Tahun 1954, seorang pengusaha bernama Paruhum, mengelola tanah itu setelah ditinggalkan oleh Hok Ceng Lie, namun sebentar saja, karena ternyata, tanah itu tidak produktif lagi untuk perkebunan homogen. Mulai tahun 1954 itu pula masyarakat mulai memfungsikan lahan sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam, termasuk lokasi pekuburan.

Pasca tahun 1965, tanah itu diambil alih oleh militer dengan cara yang sangat menyakitkan, yakni dengan menghancurkan seluruh perumahan dan tanaman milik rakyat, khususnya tanaman padi yang sudah menguning, tidak luput dari traktor yang dikerahkan militer. Tahun 1974, tanah itu kemudian dipergunakan oleh Pramuka sebagai tempat perkemahan sesuai dengan surat Bupati Deli Serdang No. 10111/3 tanggal 7 Agustus 1974.

Sebagian rakyat yang kembali tinggal disekitar lokasi bumi perkemahan, harus mengalami dua kali kesusahan. Penggusuran yang dahulu pernah dilakukan, kembali dipraktekkan dengan menggusur rumah dan tanaman milik rakyat setempat sebagai mana dialami oleh El,58 tahun. El kembali mendirikan rumah berdekatan dengan eks rumahnya yang digusur pemerintah beberapa tahun sebelumnya. Hingga 2006, masyarakat desa disekitar Bumi Perkemahan Sibolangit mulai melakukan upaya-upaya penuntutan kembali tanah mereka kepada pemerintah daerah Deli Serdang. Suatu saat, kami akan mengambil kembali hak kami yang dirampas itu,”kata El.

Monday, March 27, 2006

KISAH PERTIKAIAN KAPITALISME VS PETANI


Kontradiksi antara kapitalisme dan petani sepertinya tidak akan pernah berakhir sepanjang sejarah. Masing masing kubu akan terus menerus saling menegasikan, bahkan mematikan, seolah ingin mengingatkan kita pada kisah peradaban pertama Jahudi tentang pertengkaran dua bersaudara, Kain yang bekerja sebagai petani, dan Habel si pedagang, anak keturunan hasil perkawinan Adam dan Hawa. Kisah tragis dari petani dan pedagang pertama ini berakhir dengan terbunuhnya sang juragan, Habel, karena alasan yang sangat mendasar, hasil produksi pak tani itu ditolak di pasar oleh Tu(h)annya. Kain sang pembunuh adiknya sendiri itu akhirnya mendapat hukuman kutukan penderitaan dan menjadi orang asing di tanahnya sendiri.
Terasing dari tanah menjadi semacam takdir yang mengalir. Kisah ini berlanjut setiap masa dari satu peradaban keperadaban berikutnya, nasib petani menjadi selalu menggetirkan, selalu saja kalah dipusaran market yang dipertuhankan para juragan- kapitalis. Kaum kapitalis, seakan mengingat dendam lama untuk senantiasa menindas petani. Akses petani terhadap tanah yang diputus oleh sistem kapitalisme membuat petani menjadi teralienasi dari tanah, bahkan terasing atas hasil produksi dan penentuan nilai produksi pertaniannya sendiri. Semuanya ditetapkan oleh sistem kapitalisme, mulai dari tanah, bibit, pupuk, pemasaran hingga harga hasil produksinya.
Namun sebaliknya, ditengah sejarah kekalahan-kekalahan petani, kaum kapitalis juga tidak bisa tidur nyenyak dengan perlawanan-perlawanan yang terus menerus dilakukan oleh petani hingga kini. Globalisasi sebagai agenda kapitalisme neo liberalisme melalui institusi institusi ekonomi dan keuangan internasional dihadang petani dengan agenda perlawanan dan jaringan sosial global di forum forum global pula. Seperti sertifikasi tanah dilawan dengan okupasi tanah kembali oleh gerakan petani tak bertanah ( MST) di Brazil, Masyarakat adat Zapata menjadi hantu menakutkan bagi pemerintah Mexico yang berhaluan neo liberal, pemimpin petani koka, Evo Morales yang saat ini memimpin Bolivia, merupakan sebagian contoh tidak hentinya geliat petani di berbagai belahan dunia.
Kapitalisme Menegasikan Petani
Mengutip pendapat Eric Hobsbawn (Noer Fauzi;2005), jaman ini adalah abad kematian bagi petani (The Death of Peasantry) menggantikan era petani yang telah mendominasi peradaban ratusan tahun hingga pada abad pertengahan. Hubungan antara abad pertengahan dengan abad dua puluh telah diputus oleh matinya petani dan bangkitnya kapitalisme. Dua esensi dan eksistensi yang kelihatannya tidak mungkin bersahabat, namun saling berlawanan dan saling mendominasi.
Sesuai dengan namanya, hakekat kapitalisme adalah akumulasi kapital. Kacamata akumulasi modal menjadi satu-satunya alat yang dipakai untuk memandang segala sesuatu. Sistem kapitalisme mengharuskan kerja-kerja manusia dinilai dengan keuntungan atau nilai lebih yang bisa dihasilkan olehnya. Tidak ada hal apapun yang luput dari kalkulasi untung rugi. Nilai-nilai sosial, budaya, politik hingga agama tidak luput dari kepentingan akumulasi kapital. Kebenaran adalah kapital itu sendiri. Keleluasaan gerak kapital tidak bisa dihalangi oleh apapun, oleh karena itu dibutuhkan liberalisme, yakni faham yang dari segi ekonomi dapat dipandang sebagai gagasan yang memberikan keluasaan seluas-luasnya kepada individu untuk melakukan akumulasi kapital. Market adalah aktor, bahkan tu(h)an dari dwitunggal kapitalisme-liberalisme ini. Segala regulasi diarus-utamakan untuk memberikan ruang kepada berkuasanya pasar melebihi negara dan institusi masyarakat lainnya.
Sementara petani berada disisi yang sama sekali berbeda yang justru mengganggu bahkan menggugat keleluasaan gerak kapitalisme - liberalisme. Hakekat petani yang punya relasi erat dengan tradisi, pandangan hidup, dan religi yang sakral tidak menjadikan ukuran untung- rugi dalam melakukan kerja-kerja petani. Aksi penolakan petani untuk menjual tanahnya terkadang bukan terkait dengan harga tanah, namun karena hubungan historis dan turun temurun terhadap tanah. Aksi penolakan rakyat India terhadap pembangunan waduk raksasa di Narmada membuktikan bahwa ganti rugi tanah bukan menjadi persoalan. Rakyat yang tergabung dalam Narmada Bachao Andolan ( NBA) atau gerakan menyelamatkan Narmada menolak pendirian waduk dengan alasan nilai sejarah dan religius (Noer Fauzi;2005), sehingga pembangunan DAM itu identik dengan pengenyahan sejarah, keyakinan, serta masa depan generasi mereka.
Agenda revolusi hijau kapitalisme yang dimaksudkan untuk melipatgandakan hasil produksi justru kontraproduktif dalam hitungan jangka panjang. Sebaliknya kualitas dan kuantitas produksi petani justru semakin buruk dengan segala teknologi dan obat-obatan yang ditawarkan para intelektual penopang kapitalisme itu. Buruknya kualitas hasil produksi pertanian menyebabkan munculnya pertanian alternatif yang dikenal sebagai pertanian organik, dengan tujuan mengembalikan kualitas hasil pertanian yang telah hancur oleh karena revolusi hijau. Namun usaha yang sesungguhnya sudah dijalankan petani sebelum revolusi hijau ini pun harus dibayar dengan sangat mahal, dimana proses produksi dan proses distribusinya membutuhkan sumber daya yang besar dan mahal pula.
Menjinakkan Petani Dengan Sustainable Development
Ekspolitasi yang kejam dari sistem kapitalisme terhadap alam tidak sekedar menelurkan kemaha-kayaan segelintir orang pemilik modal dan massifikasi kemiskinan, tetapi juga menghasilkan kehancuran alam yang tentunya mengganggu keberlangsungan kapitalisme itu sendiri. Dampak jangka panjang revolusi hijau ternyata menghancurkan ekosistem, kesuburan tanah serta penurunan produksi. Sertifikasi tanah petani berakibat modalisasi tanah yang secara perlahan memutus akses petani terhadap tanah, dan pada akhirnya ploretarisasi petani. Petani tak bertanah bertambah secara massif yang memaksa mereka menjadi buruh, baik buruh tani maupun buruh industri.
Respon petani atas ploretarisasi secara sistemik ini mendapat perlawanan pula, disebabkan oleh tidak sekedar pertentangan nilai-nilai, tetapi juga oleh karena ketidaksiapan sistem kapitalisme untuk menyediakan ruang yang mencukupi terhadap kebutuhan sosial dan ekonomi rakyat. Di lapangan kapitalisme ini, atau meminjam istilah Noer Fauzi, ditengah ruang pagelaran kuasa kapitalisme, masalah pengangguran semakin menggelembung yang menyebabkan munculnya migrasi buruh ke perkotaan bahkan lintas negara, hingga munculnya arus balik buruh menjadi petani kembali antara lain melalui reklaiming tanah (re-peasantisation). Hal seperti ini dapat dilihat dari apa yang dipraktekkan oleh eks buruh tambang timah yang melakukan reklaiming tanah dan beralih menjadi petani coklat di Bolivia.
Nasib kapitalisme sedang tergoncang sehingga terpaksa dan dipaksa harus merubah diri. Kegoncangan ini membangun kesadaran sosial dan politik diantaranya memandang perlunya memperhatikan masa depan ekologi sebagai sesuatu yang harus dipelihara keberlanjutannya yang kemudian disebut sebagai sustainable development. Struktur kapitalisme yang memaksa terjadinya kemiskinan secara massif (kemiskinan struktural) menjadi salah satu alasan sistem kapitalisme untuk merubah kebijakan terhadap bangsa-bangsa miskin dalam kerangka menjaga eksistensi dan keberlanjutan kapitalisme. Inilah kebijakan lembaga-lembaga internasional penopang kapitalisme yang disebut dengan kebijakan penyesuaian struktural ( structural adjustment policies)
Namun usaha penjinakan ini masih tetap menuai kegagalan bahkan perlawanan dari berbagai bangsa maupun komunitas miskin di berbagai belahan dunia. Realitas kemiskinan yang tidak bisa ditutup-tutupi bahkan hutang negara-negara miskin yang semakin menggelembung tentunya menjadi fakta tak terbantahkan sebagai salah satu basis materil utama dari ketidak –puasan dan perlawanan yang terjadi. Terlepas dari ‘kekalahan’ petani ini, perlawanan komunitas komunitas kecil yang masih eksis hingga saat ini patut menjadi cermin yang merefleksikan ketidaktuntasan persoalan dan kegagalan kapitalisme dengan kebijakan kebijakan penyesuaiannya. Kapitalisme masih harus berhadapan dengan komunitas perlawanan semacam Masyarakat Adat Zapatista di Mexico, hingga gerakan petani tak bertanah di Brazil dan Afrika Selatan.
Oase Petani
Jaman yang disebutkan Eric Hobsbawn sebagai era the end of peasantry ini tentunya masih debatable. Walaupun diakui bukan arus utama global, tetapi masih ada komunitas komunitas yang berwatak dasar dan mempraktekkan kolektivisme, solidaritas, dan keramahan terhadap alam. Komunitas-komunitas ini masih terus hidup dan sedang bersiap menggelar budaya tandingan (counter culture) ditengah ruang pagelaran kuasa kapitalisme yang rakus terhadap sesama dan alam.
Bahkan di awal menapaki abad dua puluh satu ini, gelombang komunitas-komunitas anti kapitalisme dan neoliberalisme ini justru semakin meluas, dan di beberapa tempat telah melembaga dalam institusi negara, menambah barisan negara yang sejak era perang dingin masih tetap konsisten dengan sikap menentang kapitalisme dan neoliberalisme. Para penambah barisan yang secara terang terangan menolak kapitalisme dan neoliberalisme ditunjukkan secara terang-terangan oleh antara lain pemimpin negara Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, mengikuti jejak Kuba, yang masih konsisten dengan pilihan yang sama sejak era perang dingin.
Petani bukan sekedar bicara pekerjaan bertani, tetapi mencakup watak, hakekat dan cara hidup yang bernegasi dengan kapitalisme. Oleh karena itu, penyelesaian masalah petani meliputi pemberian dan perebutan ruang untuk hidup dan eksis. Sulit dibayangkan masalah sosial global diselesaikan dengan upaya programatis semata, seperti program penyesuaian struktural yang dipraktekkan oleh lembaga-lembaga penopang kapitalisme selama ini. Kebangkitan petani di berbagai tempat yang sedang terjadi saat ini bisa berarti awal dari kebangkrutan bagi kapitalisme.
Penulis:
Sp_siagian@yahoo.com
www.bakumsu.or.id