Tuesday, October 11, 2005

favorit

Mengaktifkan Koter, untuk Apa?

BERMULA dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada HUT TNI ke-60, 5 Oktober lalu, bahwa TNI diminta berperan dalam perang melawan terorisme di Indonesia, wacana mengaktifkan kembali komando teritorial (koter) mulai menghangat dan ramai dibicarakan banyak pihak, yang pro maupun kontra. Apalagi, pada acara yang sama Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan bahwa “Komando teritorial bisa kami aktifkan kembali tanpa ada institusi lain yang merasa tersinggung.”
Awal dari itu semua adalah kasus pengeboman di Jimbaran dan Kuta Bali pada Sabtu (1/10) yang menewaskan sekurangnya 22 orang dan mencederai ratusan lainnya. Peristiwa itu membuat semua pihak segera menuding bahwa intelijen kita lemah, dan kebobolan yang kesekian kalinya. Pandangan yang menuding intelijen kita lemah ada benarnya, karena bila kita membandingkan dengan kemampuan jajaran intelijen pada masa lalu (baca Orde Baru), apa yang ada sekarang tidak ada artinya. Namun, harus diingat bahwa jajaran intelijen pada masa itu tulang punggungnya adalah komando teritorial yang dimiliki oleh TNI.
Peran dan fungsi intelijen itu rantainya dimulai dari Panglima ABRI, Kasospol, Asospol di berbagai Kodam, dan terus ke bawah hingga Korem, Kodim, dan Babinsa sebagai ujung tombak di desa-desa. Di jajaran pemerintahan sipil di tingkat provinsi sampai ke kabupaten/kota juga ada struktur dinas sosial dan politik (sospol) sebagai mitra komando teritorial. Kemudian, masih ada lembaga Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dengan para Panglima Kodam sebagai Pelaksana Khusus Daerah Kopkamtib (Laksusda) yang punya otoritas menangkap, menahan dll.
Dalam sejarahnya, koter adalah bagian dari sistem pertahanan rakyat semesta yang dibentuk semasa Perang Kemerdekaan (1945-1949), guna melancarkan perang gerilya. Terbukti efektif mengusir Belanda, para senior TNI mengembangkan terus konsep ini sebagai konsep baku pertahanan dan keamanan rakyat semesta dengan mengandalkan TNI (AD) sebagai tulang punggungnya.
Harus diakui, struktur ini sangat berhasil dalam membersihkan PKI dan para pengikutnya. Selanjutnya, oleh Presiden Soeharto struktur teritorial ini juga digunakan membantu memenangkan Golongan Karya dalam setiap pemilihan umum. Sebagai pembina teritorial untuk pertahanan dan pembinaan keamanan wilayah, koter mampu mendata potensi konflik dan sumber ancaman keamanan, sehingga mudah melacak para pelakunya. Oleh rezim Orde Baru, komando teritorial sangat efektif memata-matai rakyat dan menindas siapa saja yang bersikap kritis dan oposan. Apalagi, pada masa itu berlaku UU Anti Subversi.
Di era Reformasi, dan dengan adanya UU TNI No 34 tahun 2004, peran dan fungsi komando teritorial ini harus dihapuskan bertahap dalam kurun lima tahun. Jadi, fungsi koter seperti apa yang akan dikembangkan untuk melawan terorisme ini, harus dirumuskan dengan sangat baik, dan harus sama sekali berbeda dengan konsep semasa Orde Baru. Artinya, benar bahwa intelijen kita “kecolongan” karena memang mereka tidak lagi memiliki struktur hingga ke tingkat desa seperti pada masa lalu, sementara itu, intelijen kepolisian juga tidak terlatih menangani masalah-masalah yang terkait dengan gerakan politik berbau makar yang bisa berujung pada aksi terorisme. Juga benar bahwa berbagai lembaga intelijen yang ada belum bergerak dalam satu komando di Badan Intelijen Negara (BIN).
Pertanyaan yang mendasar: siapakah yang akan menggunakan koter itu? Kita ingatkan jangan sampai ia kembali digunakan untuk mendukung pemerintahan Yudhoyono-Kalla yang makin tidak populer hari-hari ini.
Menurut hemat kita, bila ingin menggunakan unsur-unsur komando teritorial dalam perang melawan terorisme maka, pertama-tama harus dirumuskan dengan tegas dan jelas apakah yang dimaksud dengan terorisme, supaya tidak diselewengkan. Kedua, komando teritorial itu dalam membantu peran intelijen tersebut tetap bergerak di bawah supremasi sipil, bahkan kalau perlu ia hanya menjadi konsultan lembaga-lembaga sipil seperti pemerintahan daerah atau Polri.
Dalam menghadapi terorisme, kita tidak setuju bila yang dikedepankan hanyalah pendekatan keamanan. Persoalan ini harus dihadapi bersama oleh segenap aparatur negara, termasuk TNI. Artinya, berbagai instansi pemerintah lainnya (di luar TNI dan Polri) yang punya peran penegakan hukum seperti Imigrasi, Bea Cukai, kependudukan dll juga harus terlibat dan bersama-sama bergerak dalam koordinasi yang baik dan padu, bukannya saling tak acuh. Penting sekali untuk menghidupkan kembali berbagai kearifan di masyarakat seperti dialog dan musyawarah antar tokoh masyarakat, pimpinan daerah hingga ke desa-desa, demi menciptakan suasana kondusif guna menangkal terorisme.

No comments: