Sunday, January 20, 2013

Siapakah Pemilik Tanah di Janjimaria??

Saya baru saja menyadari fakta yang membuat hati miris; ternyata 70 % penduduk di Janjimaria desa Parbagasan, tidak memiliki tanah. Sawah terhampar luas disebelah timur dan utara pedesaan ini ternyata berada di tangan masyarakat yang tinggal di kota. Status penduduk mayoritas adalah penyewa tanah. Sekitar 15 persen penduduk adalah buruh tani, yang sehari hari bekerja untuk mendapatkan upahan dari ladang orang lain, entah itu ladang penyewa tanah atau pemilik tanah. Ini adalah observasi sederhana saya kepada beberapa keluarga selama 7 hari minggu terakhir 2012 dan minggu pertama awal tahun 2013 di desa ini.
Tristan berlari mengejar bebek, Toruhuta, Janjimaria


Inilah gambaran kampung ini: Tidak lebih dari 2 orang yang memiliki sawah sekitar 2 hektar dan tidak ikut mengerjakan sawah. Dan tidak lebih dari 5 orang yang memiliki sawah sekitar 1 hektar, dan tidak lebih dari 15 orang yang memiliki sawah 0,5 hektar. Sebanyak 20 kk yang memiliki tanah tidak lebih dari 0,7 hektar. Selebihnya mayoritas adalah penyewa tanah tanpa tanah sama sekali. Pemilik tanah 0,5 hektar ke bawah, yang mengusahai langsung tanahnya, sekaligus adalah penyewa tanah.

Bentuk sewa menyewa tanah adalah dengan memakai sistem bagi hasil yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Pemilik tanah mendapatkan sebanyak 30 % dari hasil kotor panen padi. Tidak hanya itu, terkadang jumlah itu bukan 30 %, melainkan sejumlah sewa tetap, yang tidak bisa diganggu gugat, tanpa mempertimbangkan baik buruk hasil panen padi.

Ongkos proses produksi mulai dari turun kesawah (mangombak), menanam, panen, hingga padi sampai dirumah tidak diperhitungkan dalam sistem bagi hasil sedemikian. Dalam sistem bisnis modern, antara pemilik alat produksi (dalam hal ini tanah) dan pekerja (pelaksana pekerjaan dalam hal ini penyewa tanah) membagi keuntungan setelah dikurangi semua pengeluaran proses produksi.

Lihat perbandingan sistem yang adil dan tidak adil dibawah ini:
 
Sistem yang adil: Sewa = (Hasil Panen – Proses Produksi) : Pemilik + Penyewa
Sistem yang tidak adil: Sewa = Hasil Panen: (Pemilik + Penyewa)

Saya mendapati banyak pekerja keras-bahkan ekstra keras di desa ini yang tidak bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan, karena status mereka yang terperangkap sebagai penyewa tanah. Meski mereka telah bekerja banting tulang sepanjang hari di sawah, namun mereka mendapati pada akhirnya yang mereka kerjakan tidaklah bisa menjanjikan kesejahteraan. Saya sedih melihat kulit mereka yang hangus terbakar matahari, otot mereka yang keras tapi sudah kurus kering tinggal tulang, banyak diantara mereka sebenarnya sudah sakit sakitan memaksakan diri ke sawah setiap hari.

Warga desa ini sesungguhnya diselamatkan bukan oleh pertanian padi mereka, tetapi oleh pekerjaan pekerjaan sambilan lainnya, seperti menanam jagung dan ubi di kebun, berternak ikan, babi, kerbau, ayam, bertenun ulos, manirat (membuat hiasan di ulos), hingga menarik beca.

Hamparan sawah dilihat dari mualpultak
Tidak semua tahan dengan kesulitan kehidupan yang dihadapi. Banyak orang sudah bergantung kepada orang kaya di desa dengan cara mengutang bayar panen (marsali). Dampak dari ketidakmampuan keluar dari kemiskinan ini sudah mulai ada. Beberapa warga sudah mulai kehilangan impian mereka untuk sejahtera. Mereka memilih untuk tidak bekerja keras lagi, pergi minum tuak ke kedai, atau sekedar main batu (main kartu dengan memakai batu domino), dan beberapa orang muda terlihat bermain judi tuo.

Gerombolan Horbo ditengah huta
Sistem ini harus dirobah kalau tidak mau melihat warga desa ini terus miskin puluhan tahun bahkan ratusan tahun lagi. Sekeras apapun mereka bekerja tidak akan ada perubahan nasib mereka. Sekarang keputusan ada ditangan anda pemilik tanah yang sesungguhnya masih keluarga dekat para penyewa tanah. Kebanyakan mereka adalah saudara kandung abang – adik, dan saudara perempuan, ada juga tulang, amang boru, dan lain lain yang masih sedarah.  Anda tidak seharusnya mendapatkan keuntungan dari darah para saudara kandung kita, mungkin hanya karena anda laki-laki yang mendapatkan warisan, meski sudah berkecukupan di perantauan sana.

Jika anda-anda para pemilik tanah yang tinggal di kota kota besar seperti Jakarta, Medan, Lampung, Siantar, Balige, dan lain-lain mau berbagi rasa dengan mereka keluarga kita di desa dengan cara memakai sistem bagi hasil yang adil, maka anda telah melakukan sesuatu yang luar biasa untuk merubah desa ini ke arah yang lebih baik.

Saurlin, par lumban tonga-tonga, Janjimaria, awal januari 2013.