Tuesday, October 04, 2005

HAM DAN KRISIS LISTRIK*)

Sejak Mei 2005, rakyat Sumatera Utara faktual menderita krisis listrik. Pemadaman bergilir, serta pemadaman tiba-tiba menimbulkan kerugian yang luar biasa terhadap segala aktivitas rakyat yang tergantung secara langsung maupun berhubungan dengan listrik. Lebih dari itu, banyak pelanggan listrik juga mengeluhkan padamnya listrik walaupun hanya memakai voltase yang biasa dipakai sehari-hari di rumah, sehingga patut diduga dan patut diteliti lebih lanjut kemungkinan adanya pengurangan voltase setiap rumah secara merata secara sepihak tanpa regulasi publik yang transparan.

Tidak ada penjelasan yang komprehensif dari pemerintah sebagai pertanggungjawaban publik atas terjadinya krisis listrik selain berita sepotong-sepotong di media tentang terjadinya kerusakan pembangkit listrik di beberapa tempat di Sumatera Utara. Bahkan sebelumnya, PT. PLN memperkirakan bahwa Total Daya Mampu listrik masih berada diatas Beban Puncak Sistem per tahun ( Majalah Bisnis Internasional, edisi Februari-Maret 2005, hal. 50), misalnya total daya mampu tahun 2005 sebesar 1.132 MW, sementara Beban Puncak Sistem diperkirakan hanya mencapai 1.108 MW.

Bukan menguraikan penyebab krisis listrik, pemerintah malah lebih menjelaskan akibat-akibat krisis, seperti mengeluhkan bahwa investor asing yang ingin membangun industri pengolahan logam harus mundur karena tidak adanya jaminan ketersediaan listrik ( Sumut Pos, 22 Juli 2005). Dari persfektif hak asasi manusia, pemerintah dapat disebutkan telah gagal untuk memenuhi (obligation to fullfil) kebutuhan dasar rakyat, mengingat listrik adalah alat produksi vital yang dimonopoli dan dikuasai negara untuk kebutuhan rakyat banyak sebagai amanat konstitusi. Sebaliknya, bahkan rakyat diminta untuk memaklumi jika hak dasarnya tidak mampu dipenuhi oleh negara.

Walaupun belum ada ketentuan HAM yang secara khusus dan langsung mengenai hak atas energi listrik sebagai hak asasi, namun berbagai hal menyangkut hak hak dasar atas sumber sumber kehidupan telah telah tercakup dalam konvensi hak hak ekonomi dan sosial budaya ( ekosob) dan hak-hak atas pembangunan. Walaupun kovenan dan deklarasi ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, pemerintah berkewajiban menghormati hukum internasional yang otomatis berlaku universal sebagai konsekuensi telah diratifikasinya hukum tersebut oleh hampir seluruh negara-negara di dunia.

Ditingkat nasional, hak-hak ekosob secara umum juga terkandung dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam UU HAM tersebut, tragedi listrik ini setidaknya dapat dihubungkan dengan beberapa pasal menyangkut hak atas pekerjaan (pasal 6), hak atas kehidupan yang layak ( pasal 40) dan hak atas jaminan sosial ( pasal 41). Mungkirnya pemerintah terhadap hak ekosob dapat dilihat pada pasal 11 ayat 1 kovenan ekosob tentang standar kehidupan yang layak dan berkecukupan serta langkah langkah pewujudannya, hak atas jaminan sosial ( pasal 9), dan hak atas pekerjaan ( pasal 6).

Kaitannya secara sederhana adalah bahwa upaya rakyat dalam mencari nafkah sehari-hari dan akses serta hubungan hubungan sosial dasar hampir seluruhnya berhubungan dengan pemanfaatan tenaga listrik; seperti lampu listrik rumah tangga, televisi, komputer, alat pendingin, dll. Lebih jauh alat-alat yang berhubungan dengan listrik juga mengalami kerusakan karena listrik yang tidak stabil.

Dengan demikian terdapat setidaknya dua aspek hak hak dasar yang lalai dipenuhi oleh pemerintah. Pertama adalah aspek memenuhi (obligation to fulfil). Pemerintah telah gagal memenuhi hak hak dasar dalam hal ini listrik sebagai kebutuhan dasar rakyat. Kedua, Aspek kewajiban untuk mengambil langkah langkah pemenuhan ( The duty to fulfil which requires the state to take appropriate measures towards the full realization of the right ) sebagai hak-hak dalam pembangunan( HRD, UNDP,2004). Dalam hal ini pemerintah telah gagal dalam melakukan langkah-langkah yang memastikan atau menjamin bahwa hak yang diabaikan akan segera dipenuhi. Sebaliknya justru yang dilakukan adalah penjelasan supaya rakyat memaklumi terjadinya krisis, bukan langkah-langkah produktif untuk menyediakan listrik yang cukup.

Persfektif ini diharapkan dapat membuka kesadaran pemerintah atas kelalaiannya memenuhi hak-hak dasar warganya, sebagai kegagalan utamanya dengan bercermin pada kovenan hak-hak ekonomi sosial budaya ( ekosob), yang telah dianggap menjadi hukum universal yang berlaku bagi setiap bangsa manapun di dunia.

*Saurlin siagian/ Divisi Studi- Bakumsu/okt/05

No comments: