Tuesday, October 11, 2005

ttg mafia peradilan

Quo Vadis Lembaga Peradilan

Kita dikejutkan dengan skandal yang diduga kuat terjadi ditingkat Mahkamah Agung, lembaga tertinggi yang dipercaya sebagai tumpuan terakhir benteng keadilan di negeri ini. Sangat ironis, jika lembaga yang diharapkan sebagai penegak keadilan justru menjadi akar sesungguhnya dari kebobrokan penegakan keadilan. Banyak kalangan saat ini mendesak agar ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan segera non-aktif. Beberapa anggota DPR RI menilai, dugaan penyuapan yang dialamatkan kepadanya telah menghancurkan marwah lembaga tertinggi peradilan Indonesia tersebut. Kita tidak tahu lagi kemana rakyat harus mencari keadilan, jika lembaga tertinggi saja tidak lagi memberikan keadilan. Uang menjadi ukuran keadilan bagi rakyat

Suara lantang juga telah datang dari senayan. Beberapa anggota DPR telah meminta supaya ketua MA mengundurkan diri dari jabatannya karena telah mencoreng wajah keadilan negri ini. Selayaknya ketua MA mempertimbangkan suara dewan yang antara lain disampaikan oleh Abdillah Thoha dari fraksi PAN itu. Inisiatif mengundurkan diri diharapkan datang dari ketua MA, untuk mengurangi atau memulihkan citranya yang sudah rusak dihadapan publik saat ini.

Walaupun kita harus menghormati asas praduga tidak bersalah, sejak lama telah menjadi konsumsi publik, atau lebih tepatnya rahasia publik, bahwa perkara apapun bisa diatur dengan sejumlah uang. Orang batak memberikan ungkapan yang terkenal “hepeng do mangatur negara on”. Sejak lama mafia peradilan adalah sesuatu yang nyata walaupun sangat sulit membuktikannya dengan data-data formil. Sudah sejak lama wajah peradilan ini buram, jauh sebelum Bagir Manan menjabat sebagi ketua MA. Ketua MA saat ini hanya melanjutkan system yang telah terbentuk selama puluhan tahun, yakni budaya suap.

Adagium yang mengatakan, ikan busuk pertama kali dari kepalanya layak menjadi contoh yang mendekati. Memberantas mafia peradilan harus diawali dari kepalanya. Jika unsur kepala ini bisa dibersihkan maka, akan lebih mudah melakukan pemberantasan suap dan mafia dijajaran kejaksaan dan kehakiman di seluruh Indonesia. Jika unsure kepala ini tidak dibersihkan, maka upaya apapun akan sia-sia dalam memberantas mafia peradilan ini. Selain itu, kode etik kejaksaan juga menegaskan jika ada aparaturnya yang terlibat masalah hukum, harus dinonaktifkan untuk mempermudah pemeriksaan.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah lembaga apa yang berhak melakukan pemeriksaan terhadap MA. Di era Megawati dan SBY, telah terbentuk Komisi Yudisial menjadi instrument yang dapat secara konstitusional memeriksa aparatur di Mahkamah Agung, walaupun lembaga ini adalah sama sama lembaga tinggi negara. Sementara urusan menonaktifkan pejabat tinggi negara itu, berada ditangan presiden sebagai lembaga eksekutif.

Presiden perlu mengambil langkah-langkah bijak, mengingat negara ini sedang dilanda seribu satu macam masalah yang mengancam tenggelamnya republik yang kita cintai ini. Kita berharap bahwa salah satu masalah mendasar kita adalah korupnya lembaga peradilan yang tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi rakyat. Ditengah segala kesulitan ini, rakyat akan sedikit terobati hatinya jika elit-elit yang masih saja tega-teganya melakukan ketidak-adilan dan korupsi, diadili dan berikan hukuman yang seberat-beratnya. Semoga.

1 comment:

Harry Makertia said...

Diperlukan sebuah tindakan radikal untuk memebrsihkan dan menggembosi mafia peradilan di negeri ini. Demikan Denny Indrayana di Tempo Interactive, dan saya sangat setuju!