Thursday, July 09, 2020

Relasi Atjeh- Batak

Kenapa orang Aceh tidak mengusir Batak pada periode kecamuk konflik diakhir orde baru, 1998-1999, seperti suku-suku lainnya? Pertanyaan ini sedikit terjawab dengan penjelasan berikut.
Awal abad XIX, pertukaran pelajar dan perwira perang telah terjadi secara reguler antara dua rejim. Ini adalah era ketika SM Raja XI masih sibuk membangun puing2 ekonomi, sosial, dan angkatan perang, pasca dihabisi oleh rejim paderi dari sumatra barat. Sementara Sultan Atjeh mengerti bahwa koalisi dibutuhkan dengan tetangga untuk antisipasi serbuan sibontar mata yang sudah diwanti wanti - karena sudah tersiar luas, kerajaan2 lainnya di nusantara sudah ditundukkan.
Perwira Batak belajar tentang pemerintahan dan khususnya pertahanan laut, sementara perwira Atjeh belajar strategi dan taktik gerilya, yang sudah dipraktikkan lumayan "sukses" oleh pasukan SM Raja saat menghadapi keganasan pidori (terbukti pasukan pidori pulang sendiri).
Hasil belajar dari Atjeh ini, sepertinya mempengaruhi corak kepemimpinan SM Raja berikutnya karena penasihat2 militernya meminta penguatan struktur pemerintahan yang sebelumnya-- yang terlalu mengedapankan posisinya sebagai spiritual leaders--menjadi political leader.
Uniknya, Atjeh menghormati keyakinan tetangganya -spiritualitas Batak, demikian juga kerajaan SM raja - menghormati keislaman Atjeh. Tidak ada ekspansi agama, seperti yang dilakukan bonjol ke tanah batak, beberapa dekade sebelumnya.
Ketika relasi kedua 'kerajaan' ini sedang baik-baiknya, belanda menyerang Atjeh, 1873. Taktik perang gerilya, dan melibatkan pasukan SM Raja, telah membuat perang ini sebagai salah satu perang paling mahal dan lama bagi kolonial, tidak kurang 31 tahun lamanya. Secara simbolik perang Atjeh berakhir tahun 1904, namun sesungguhnya gerilya terus berlangsung (bahkan sampai era orde baru Indonesia).
Ketika perang berkecamuk, level kerjasama kedua belah pihak tidak hanya dalam urusan logistik, Intel, kurir, dan pengiriman bantuan pasukan, tetapi di lingkaran dalam istana. Memahami penempatan perwira masing masing untuk mengawal orang nomor satu adalah suatu relasi yang sulit dipahami, bahwa suatu negara mengirim perwiranya untuk mengawal raja dari negara lain.
Ketika perang Batak berkecamuk, tercatat beberapa orang perwira Atjeh hidup mati bersama SM Raja, bergerak dari satu hutan ke hutan yang lain. Ada beberapa panglima SM Raja yang mengganti namanya untuk memperarat persaudaraan dengan para perwira Atjeh yang ada diantara mereka; Aman Tumagas Tinambunan, menjadi Teuku Azib, dan Teungku Nyak Bantal (Situmorang).
Dalam pertempuran terakhir, seperti dicatat Raja Buntal, meninggal dan dikuburkan dilokasi pertempuran antara lain; Tengku Ben, Tengku Nyak Buntal, Matsawang, Rimpu, dan Boru Lopian. Sementara Jenazah SM Raja dibawa pulang.
Saurlin.
(referensi; O.L., Napitupulu, Perang Batak (1972), Prof WB Sidjabat, Ahu SM Raja (1982)). tulisan ini interpretasi ulang penulis.
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Wednesday, July 08, 2020

Piso Gaja Dompak dan Pemimpin di Tapanuli Raya

Selama lima abad, dari abad 16 sd abad 19, konon pemimpin di Tapanuli Raya ditentukan oleh para tetua dengan cara menguji kemampuan calon pemimpin untuk mencabut Piso Gaja Dompak (PGD) dari “sakkirnya”. Siapa yang berhasil mencabutnya, dialah yang akan menjadi pemimpin.
Saya sebut ‘’konon”, karena masih bercampur antara fakta historis dengan cerita turun temurun yang berlangsung di kawasan itu. Menariknya, banyak buku yang berkualitas akademik mencatat cerita itu – sehingga meningkatkan derajat – kemungkinan – kebenarannya. Saat ini, PGD ini disimpan di museum nasional, Jakarta, setelah dirampas Hamidi, pasukan Kapten Christoppel, pada sebuah pertempuran terakhir SM Raja, di pegunungan Tapanuli, 17 Juli 1907.
Itulah sebabnya, pergantian SM raja dari satu periode ke periode berikutnya, tidak otomatis menuruti tradisi Batak, yakni pengganti raja adalah anak sulung. Dalam beberapa kasus, anak sulung tidak bisa mencabut PGD, tetapi oleh adiknya yang lain- sehingga harus merelakan kepemimpinan berikutnya oleh bukan anak sulung.
Dalam berbagai referensi dijelaskan pula, selama berabad-abad, sering terjadi kemarau yang berkepanjangan di kawasan itu, dan hanya orang yang mampu mencabut PGD lah bisa memanggil hujan turun dengan cara menghunuskannya ke langit.
Dalam beberapa naskah, dijelaskan bahwa seseorang yang membawa PGD ini adalah seseorang yang berwibawa, yang bisa menghentikan perang antar huta, pembawa damai untuk yang berkonflik, membebaskan yang terjajah/terpasung, melahirkan mata air, dan memerdekakan budak. Secara khusus, seseorang yang menenteng PGD ini haruslah orang yang tidak memikirkan harta kekayaan, tidak korupsi, dan utamanya, justru menghabiskan kekayaannya untuk melunasi utang orang miskin, membayar budak supaya dibebaskan tuannya.
Itulah sebabnya, meskipun berkuasa lebih dari 5 abad, semua periode SM Raja tidak memiliki harta apapun, dan tidak membangun gedung kerajaan yang mewah, atau mengumpulkan harta emas untuk anak cucunya. Seluruh harta kekayaannya diberikan kepada orang miskin.
Siapakah, pemimpin masa kini, di Tapanuli Raya yang mencontoh kepemimpinan ini? Siapakah dari para bupati bupati yang ada sekarang- Toba?, Taput?, Dairi?, Samosir? Simalungun?, Tapsel? Madina? Tapteng? dst- yang mampu mencabut Piso Gaja Dompak, dan menentengnya?
Mencabut dan membawa “Piso Gaja Dompak” – menjadi bupati bupati di kawasan itu—artinya kamu harus membersihkan diri dari korupsi, menghindarkan keluarga terlibat mencampuri pemerintahan, dan memberikan harta kekayaanmu untuk warga paling miskin dan tertawan di kampung kampung. Setelah kamu bersih, kamu akan bisa “memanggil hujan” datang – perlambang memastikan pembangunan berlangsung dengan kualitas baik, ABPD dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Satu lagi, pemegang Piso Gaja Dompak sangat anti dengan perampas tanah. Perang “Pulas” – deklarasi perang total terhadap Kolonial yang disampaikan pencabut terakhir PGD ini ( SM Raja 12), diikuti dengan sebuah statemen keras: Kami menyatakan perang kepadamu, karena menjaga wibawa tanah leluhur kami, meski nyawa taruhannya. Sikap ini dia pertahankan hingga jantungnya ditembus peluru, beserta dua anak laki laki, dan satu anak gadisnya, tewas dalam perang terakhir, di suatu petang, 17 juli 1907.
Kalau diterjemahkan dalam konteks sekarang, bupati-bupati se kawasan harus berani mengatakan hentikan perampasan tanah, kembalikan tanah rakyat, kembalikan hutan pada fungsinya, dan usir penjajah-korporasi- perampas tanah skala luas dari tapanuli. Ndak perlu bertaruh nyawa; hanya perlu satu pulpen, ambil kertas satu lembar, dari kursimu yang empuk itu, tulislah sebuah keputusan, dan tandatangani.
Horas, Saurlin

Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Sunday, July 21, 2019

Khabar dari tanah leluhur…(dan pelajaran buat kita)

Para penggiat gerakan sosial di negara +91 dengan penduduk terbesar kedua di dunia ini sedang tertunduk lesu. Betapa perjuangan yang mereka bangun bertahun tahun megap megap oleh hembusan politik identitas yang memenuhi ruang-ruang publik selama setahun terakhir. Sesuatu yang seperti hantu datang tiba tiba saja..menenggelamkan harapan harapan mereka akan perubahan

Awal tahun lalu, kelompok kelompok perubahan sosial ini sangat yakin bahwa rakyat mayoritas menginginkan kepemimpinan yang baru. Dalam beberapa tahun terakhir, hampir semua gerakan akar rumput dan kelas menengah sepakat; kantong kantong kemiskinan perkotaan dan sub urban meningkat tajam, para petani meninggalkan desa yang semakin tidak menarik karena prioritas dan keberpihakan kebijakan ke kota-kota. Sepanjang jalanan kota besar dipenuhi oleh homeless baik manusia dan hewan-khususnya sapi. Persoalan kasta juga belum beranjak; kekerasan struktural masih terjadi terhadap kelompok dalit. Hampir saja jutaan orang yang hidupnya disekitar-dan tergantung kepada- hutan dan tanah, terusir dari wilayah kelolanya oleh sebuah keputusan politik yang kemudian dianulir.

Namun, arah angin tiba tiba berubah kencang. Sejak paruh kedua tahun lalu, tiba tiba saja obrolan tentang kemiskinan, ketimpangan struktural, kerusakan ekologi tertimbun gelombang informasi politik indentitas. Para pelaku perubahan sosial meyakini bahwa arus besar yang tiba tiba ini sudah direncanakan dengan matang. Intinya; persoalan dasar rakyat yang gagal dijawab elit, harus ditutupi dengan politik identitas dan keterancaman palsu.

Al hasil, kelompok petani tak bertanah yang terkenal solid itu limbung,  perlawanan anti kelas ambedkar hingga perjuangan pembebasan dan kemandirian tanpa kekerasan gandhi, digerus oleh tsunami vurifikasi hindu, hingga penciptaan sentimen keterancaman kebangsaan oleh negara negara tetangga di perbatasan utara.

Kesimpulan perjalanan singkat ini; elit politik berhasil menutupi diskursus mendasar yakni urusan ketimpangan sosial dan kemiskinan yang semakin menganga dengan memakai politik identitas palsu.


Kingkong/newdelhi/19072019
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Monday, November 05, 2018

Pulang untuk Jaga Nalar





Kembali ke kita; ada dua ciri umum masyarakat kosmopolitan Indonesia; masyarakat yang mengalami kekosongan karena terlalu lama berjarak dari ‘sarang’ sosial dan ekologi nusantara. Kelompok kedua; masyarakat cosmopolitan dan transisi agraris yang otaknya sudah berisi nilai, tapi cilakanya nilai – ideologis- asing yang mencaci maki asal usulnya sendiri – ini setara malinkundang ideologis. Namun, berita baiknya, masih ada sisa sisa kelompok kelompok sosial baik perkotaan dan perdesaan yang masih hidup dengan, dan menghargai nilai dan praktek sosial ekologi agraria nusantara. Percaya tidak?

Jika ada kemauan, tidak sulit melacak untuk kembali – mengambil contoh masyarakat nusantara yang kita kenal Indonesia dalam 70 tahun terakhir. Lihatlah cara berfikirmu, apakah cara berfikirmu telah berganti jauh dengan cara berfikir satu-dua generasi dilingkungan alam dan sosial agraris nusantara? Lihatlah apa yang kamu makan, apakah seluruh makanan yang kamu makan berjarak jauh dari makanan agraris lingkungan alam sosial sekitarmu? Lihat lah cara berpakaianmu, apakah kamu sedang secara utuh memakai pakaian penutup tubuh dari lingkungan alam dan sosial yang berbeda– apa lagi penutup tubuh dari sejarah masa lalu bangsa lain yang mana bangsa itu sendiri saja sudah berubah? Melakukannya harus disadari sebagai kekalahan, namun, tidak menyadarinya adalah kolonialisasi otak yang utuh, imperialisme otak yang sempurna. Bodoh tingkat galaksi.

Jika demikian, curigailah sekolah dan kurikulummu, curigailah lembaga lembaga yang membangun kamu sedemikian rupa menjauh dari bumi manusiamu, curigailah dirimu dan para pendidikmu. Apakah sekolah dan kampus tempatmu belajar, kebiasaan sehari harimu, agamamu, pekerjaanmu, telah membuatmu semakin jauh dari keberadaan dan sifat ekologi sosial masyarakatmu.
Sekali lagi, terlalu lama pergi  menyebabkan kekosongan, dan kekosonganlah yang menyebabkan naluri mencari sesuatu yang baru muncul. Cilakanya yang baru itu adalah asing dan destruktif.

Pulang, tak sekedar kembali harfiah, atau melawan migrasi peradaban kosmopolitan, atau royo royo pulang kampung. Aktivis orde lama menyebutnya turba, aktivis 90-an menyebut integrasi atau live in, politisi parlemen jaman now menyebutnya reses, perantau yang pulang musiman menamainya mudik. Tidak sekedar itu.


Pulang, adalah suatu sikap, tatanan berfikir dan tatanan kehidupan yang menghargai warna warni lanskap bumi dan kehidupan sosialnya. Pulang, adalah pertobatan, kembali dari singularitas dan singularisasi kosmopolitan yang membosankan, menuju isi dan wajah warna warni asali di sarang sosial ekologi bumi yang bebas dari penjajahan dan penindasan, kembali ke   ‘bumi manusia dengan segala permasalahannya’.  Hanya dengan cara ini, kewarasan dan nalar bisa langgeng terpelihara.






*****
tulisan sore di udara- pulang- batikair -halim –KNO 26 okt 2018


Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Saturday, December 24, 2016

Puisi Bocah Muslimah Di Hari Natal

Puisi Bocah Muslimah
Di Hari Natal

Oleh Denny JA

Ayah,
Akankah Tuhan marah
Aku seorang muslimah
Selamat Natal aku ucapkan
Kepada temanku katolik dan protestan?

Ataukah Tuhan senang
Temanku menjadi riang
karena aku ikut bahagia
di hari Natal mereka?

Pak Ahmad tertegun dan terdiam
Ludahnya tak sengaja tertelan
Apa yang harus ia katakan
Putrinya baru usia belasan?

Ia teringat pohon di belakang rumah
Suatu ketika di malam bulan purnama
Pohon itu membesar menjadi raksasa
Puncaknya menyentuh langit
Di ranting satu bergantung masjid
Di ranting dua bergantung gereja
Di ranting tiga bergantung pura
Di ranting empat bergantung kuil
Di ranting lima bergantung Vihara

Pandangan itu sekejap saja
Datang dan pergi

Haruskah ia ceritakan
Agama banyak aliran
Ulama banyak tak sepaham
Siapa menjadi pegangan?

Ucapkan Natal, haram hukumnya
Ini kata Buya Hamka
Ucapkan Natal, halal hukumnya
Dien Syamsudin yang menyatakannya

Buya Hamka pernah menjadi ketum MUI
Dien Syamsudin pernah? menjadi ketum MUI
Keduanya dihormati
Namun keduanya tak sehati

Pak Ahmad, haji yang taat
Sholatnya tak pernah tinggal walau satu rakaat
Namun sejak Nabi Muhammad wafat
Banyak versi Islam yang terlihat

Ada yang Sunni keyakinannya
Ada Syiah yang dipercaya
Ada Ahmadiyah namanya
Ada Nation of Islam pahamnya
Ada wahabisme alirannya
Ada Islam liberal pandangannya
Ada Muslim progresive namanya
Ada Islam berkemajuan slogannya
Ada pula Islam Nusantara

Masing-masing paham punya ulama
Mereka tak satu muara
Semua menyatakan kebenaran di pihaknya
Siapa yang harus diikutinya?

Wanita dilarang menyetir mobil di Saudi Arabia
Wanita ditasbih Imam Sholat di Amerika
Keduanya mengaku Islam dasarnya
Namun mengapa sungguh beda?

Gay dihukum mati di Timur Tengah
Gay punya mesjid di Eropa
Keduanya mengaku Islam dasarnya
Namun mengapa sungguh beda?

Ayah, ujar putrinya
Yang benar yang mana?
Tuhan marah atau Tuhan suka?
Jika selamat Natal aku ucapkan?

Lembut kepada putrinya
Pak Ahmad berikan mutiara

"Anakku, nabi sudah tiada
Yang tersisa hanya ulama
Namun mereka tiada satu suara
Ulamapun bisa salah"

Ini prinsipnya

"Lakukan saja untuk temanmu
Apapun yang kamu senang dilakukan
oleh temanmu padamu"

"Jangan lakukan pada temanmu
Apapun yang kamu tidak senang dilakukan oleh temanmu padamu"

"Ayah, hatiku senang
ketika teman-temanku riang
walau beda agama
mereka ucapkan kepadaku
Selamat idul fitri
Maaf lahir batin"

"Teman- temanku pasti juga senang
Jika hatiku riang
Ucapkan selamat natal pada mereka
Semoga damai di bumi salamnya"

"Jika itu keyakinanmu
Lakukan tanpa ragu"

Lagu Natal berdentang di luar Jendela
Pak Ahmad mencium  kening putrinya
dan berkata: Alhamdulilah

Di TV terdengar berita
Planet Mars sudah dijelajah Amerika
Jepang mengembangkan robotika

Pak Ahmad sedih melihat Indonesia
Yang masih berkutat soal lama
soal ucapan Natal, halal atau haram?

kembali pak Ahmad ke belakang rumah
Pohon itu kembali mekar raksasa
Bergantungan di rantingnya
Aneka rumah ibadah
Aneka agama

Akhir Desember 2015
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Monday, November 14, 2016

kisah haru perkutut

Namaku perkutut, saya terlahir sebagai burung yang langsing, leher yang kurus dan kaki yang kecil. Temanku namanya balam. balam terlahir gemuk, leher besar, dan kaki yang gemuk. kami berdua adalah sohib sejak kecil hingga dewasa. saat kecil, aku sering ditanya oleh burung burung dewasa, cita citamu apa? Kujawab dengan lepas dan lapang tanpa beban, ingin jadi tetua burung. Eh ternyata balam juga bilang, ingin jadi tetua. Kami bahagia, menerawang, kelak bisa jadi tetua. Tetua adalah cita cita paling tinggi di dunia kami, dunia burung.

Dari kecil hingga beranjak dewasa, kami mengasah kemampuan suara kami, dengan harapan kelak bisa menjadi tetua burung yang hebat. Akupun menjelma menjadi perkutut dengan suara sopran yang indah tiada tara. Temanku, balam, juga menjelma menjadi burung yang suaranya besar, nge bas, juga disukai banyak kawanan burung. Kami bertarung, berkompetisi, namun berteman, dan bahagia. Kami berkeliling nusantara memamerkan suara kami, suara yang bertahun tahun kami asah dengan peluh dan lelah.

Hingga suatu saat setelah dewasa aku menyadari sesuatu yang janggal. Sesuatu yang membuatku bergidik ngeri, karena ternyata, aku, burung perkutut ini, tidak mungkin jadi tetua.  Ada rahasia umum yang berhembus dan beredar luas bahwa berleher langsing dan berkaki kurus, tidak mungkin menjadi tetua. Tetua hanyalah untuk balam yang berkaki gemuk dan berleher besar. Issu ini beredar luas dalam cuitan berbagai jenis burung.

Aku meronta, menantang para kawanan burung dan tetua, ayo..mari kita buka kembali kitab kitab yang ditulis leluhur kita, disana tertulis; untukmu dari generasi ke generasi, burung burung jantan dan betina, kalian bebas bercita cita setinggi langit, tidak akan dibedakan menurut ukuran badan, leher dan kaki. Terbanglah dengan bebas, jagalah nusantara, asahlah kemampuan suaramu, yang terbaiklah yang akan menjadi tetua.

Namun, cuitan cuitan burung-burung yang bergerombol itu semakin nyaring mencemooh. Kamu terlahir dengan kaki kurus dan leher kecil, kamu tidak mungkin jadi tetua burung. Tetua hanya untuk balam yang berkaki gemuk dan berleher besar.

Tetapi aku tidak pernah memilih untuk memiliki kaki yang kurus dan leher kecil. Itu adalah pemberian yang agung pencipta belantara nusantara!! Balam juga tidak pernah memilih sesuatu yang dimilikinya sejak lahir yang memuluskannya menjadi tetua.

Maaf leluhur kami, leluhur nusantara, tetua yang menulis kitab agung kami, aku dengan berat hati meralat cita citaku itu. Aku tidak mau lagi bercita cita setinggi langit, seperti pesanmu itu. Maaf, demi pulau pulau, demi langit, dan demi lelaut nusantara, pahlawan kami yang mendirikan peradaban para burung, yang pernah dengan penuh gemuruh menyeru, gantungkanlah cita citamu setinggi langit. Tetua hanya untuk balam, bukan untuk perkutut.


@national university of singapore, 15/11/2016

Thursday, October 27, 2016

Utjapan Penghormatan kepada SM Raja** (doa terakhir dari 4 bagian doa)

Singamangaraja, Singa mangalompoi,
Raja natumindi, raja nalumobi,
Naso boi tindian, naso boi lompoan
Raja natinongos ni Debata, na maringanan di pusok ni tano,
tano Bakkara, Bakkara tobing, bakkara situtu
Marhirehon ombun, marondinghon dolok,
parbinanga siboltak langit, nahundul dibale bale pasogit,
Sian ninggor sitordingon, bondar silangka langkaon.
Pargantang tarujuan, parhatian pamonoran,
pangidoan tua, pangidoan sangap,
gabe ni na niula, sinur ni na pinahan
Parsolup siopat jual, parhatian sibola timbang
parninggala sibola tali, ima raja panungkunan, raja pandapotan
raja sioloan ni jolma sibirong mata.
**"Utjapan Penghormatan kepada SM Raja" dalam Madjallah Soara Batak (1917), ditulis ulang oleh Adniel Lumbantobing(1953)Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page