Monday, November 26, 2012

Untold Story About (not) Heroes

Tahun 1990-1993 adalah tahun tahun yang berat bagi keluarga kami. Gejolak politik gereja hampir saja mengoyak keutuhan keluarga kami, yang terbukti ternyata sangat tangguh.  Saya tidak tahu banyak tentang pertikaian antara dua kubu di gereja hkbp- saya masih SMP waktu itu. Tetapi yang saya tahu, karakter kedua orang tuaku terungkap sampai ke akar-akarnya, disaat saat mereka menghadapi titik nadir dan kekalutan kehidupan.
 
Ibu saya adalah seorang pembela radikal sae nababan, dan secara terbuka mengungkapkan itu didepan publik, meskipun pendidikan ibu saya rendah, tetapi hati nuraninya bicara sangat kencang dan berwibawa dihadapan teman temannya. Bapak saya, seorang sintua gereja, lebih kalem, dan tidak terlalu terbuka dengan pikirannya kepada publik, lebih moderat, sehingga terlihat ibu saya jauh lebih menonjol kepemimpinannya disaat genting seperti itu. Tetapi ayah saya luar biasa mengelola huru hara yang terjadi antar keluarga, antar kampung, antar kecamatan, karena intervensi militer saat itu terhadap gereja.  Disaat saat kebencian meningkat dan permusuhan tidak terelakkan, bapakku masih bisa membuka komunikasi dengan musuh sekalipun, mendatangi pimpinan musuh, dan mencoba meredam pertentangan yang menajam. Namun tetap saja ketahuan, bahwa bapak saya sebenarnya berpihak kepada hati nuraninya, sebagaimana ibuku.

Dampaknya, bapak saya dipensiun dini dari jabatan sintua gereja, dengan umur yang relatif masih muda, dia menyandang gelar sintua emeritus, dari gereja hkbp simare mare. Tetapi dia tidak menyerah, dia tetap melakoni diri sebagai jemaat biasa. Ibu saya tidak, dia terlibat aktif di gereja parlape-lapean, menjadi motor penggerak disana, dan tetap bersuara lantang. Masing masing karakter ini punya keuntungan masing masing.

Aksi bapak saya setidaknya menghindarkan rumah kami dari rencana penghancuran kelompok SAI Tiara. Kelompok SAI Tiara adalah kelompok bentukan Militer untuk menghancurkan kelompok SSA atau setia sampai akhir, nama untuk gerakan grassroot gereja dibawah pimpinan SAE Nababan.  Akibat usaha bapak saya, rumah saya keluar dari list penghancuran – ingat film schinder list- yang dibuat oleh sekelompok pimpinan gereja resort sigumpar. Meskipun tetap was-was; kami harus mengungsi berhari-hari ke rumah orang lain, keluarga juga, yang memihak kepada SAI TIARA.
Beberapa rumah tetangga kami banyak yang dihancurkan tengah malam. Setelah dihancurkan, isinya dijarah, termasuk ternak seperti angsa, bebek atau babi dari kandangnya. Lucunya, sebelum dihancurkan, biasanya pemilik rumah mendapat peringatan supaya meninggalkan rumahnya, kalau tidak mau korban didalamnya. Para pelaku jagal ini adalah orang orang dekat yang diperintah oleh pimpinan gereja yang sudah diintervensi militer. Persis, sebuah kerja kesetanan yang sistematis, dan sulit dijelaskan dengan akal sehat.  

Belakangan setelah mahasiswa, saya semakin tahu konflik apa yang terjadi sesungguhnya di gereja besar bernama hkbp itu. Beberapa laporan yang saya baca menuliskan, bahwa pimpinan karismatik hkbp saat itu, sae nababan, melakukan dua hal yang tabu pada jaman suharto: menolak masuk Golkar, dan menolak berdirinya PT Inti Indorayon Utama di Porsea.

Selang beberapa waktu, militer mulai memasuki tubuh hkbp melalui serangkaian intervensi dan pembunuhan karakter terhadap sae nababan, hingga menciptakan kepemimpinan boneka yang lahir dari sinode istimewa, bertempat di Hotel Tiara medan, satu satunya sinode yang dilakukan bukan di kantor pusat hkbp, pearaja tarutung, sepanjang sejarah hkbp. Kelompok sae nababan mengalami penyiksaan, penangkapan, bahkan, beberapa laporan bawah tanah mencatat ratusan orang mati hingga kini tidak jelas pendokumentasiannya. Laporan lain mencatat bahwa kelompok sae nababan banyak tertolong oleh keluarga dekat yang menyembunyikan mereka, dan gereja tetangga seperti sekelompok orang di gbkp yang luar biasa menyimpan banyak tokoh penting di shelter mereka.
Kembali ke keluarga saya; Ibu saya benar benar marah, ketika guru huria gereja kami yang setia pada pimpinan SAE Nababan, diusir secara paksa oleh sekelompok sintua-lagi lagi atas perintah ‘atasan’ . semua peralatan rumah tangga, hingga pakaian, koper, dan tempat tidur dibuang secara terbuka ke sungai terdekat, sungai Simare. Semua orang, laki laki perempuan dan anak anak sehari hari melihat benda benda berharga itu mengapung di sungai. Ini tindakan gila yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Secara pribadi, saya juga mengalami kekerasan psikis dari orang orang sekitar saya yang mendukung SAI Tiara. Saya heran apa mereka benar benar mengerti apa itu SAI Tiara, soalnya sekolah mereka juga tidak tamat sekolah rakyat jaman dulu.

Suatu kesempatan, ketika saya berjalan kaki ke sebuah kedai kecil, sekelompok orang tua disana yang berumur antara 50-an hingga 60-an menegur saya. “Hei kau jangan datang datang kesini ya, kau anak orang yang tak beres kau, kau juga mata-mata,” kata orang tua yg saat tulisan ini saya buat masih hidup. Saya yang masih remaja, tidak mengerti apa-apa, dan menanyakan kepada orang tua saya kenapa saya dibenci banyak orang. Mereka bilang, karena kita membela yang benar.
Jika saya pulang kampung, saya selalu sempatkan melihat orang tua yang keji itu, sekedar melihat lihat wajahnya dan terus bertanya dalam hati, kenapa ya dia ini begitu sinis dan benci kepada saya yang saat itu masih anak-anak? Ucapan dia diatas sangat membekas dalam ingatan saya.
Sebagai salah seorang penggiat hak asasi manusia, dan sebagai jemaat hkbp, maaf saya harus menulis sejarah dan kenyataan pahit ini, supaya kita belajar dari sejarah, dan anak cucu kita tidak mengulangi kejadian yang menurut saya, sama kejinya dengan peristiwa 65......

Kedua orang tua saya sekarang sudah berumur diatas 70 tahun. Bapak sudah mulai sakit sakitan, tetapi ibu masih sehat sekali, sesekali masih mengunjungi rumah kami di medan. Saya salut dengan pilihan mereka. Semoga mereka berdua, yang adalah pahlawan dan idola bagi saya selalu sehat dan setia terhadap hati nuraninya. Mereka adalah hero dengan "h" kecil, bukan dengan "H" besar. Dengan damai mereka telah kembali bergereja setiap minggu ke gereja hkbp simare mare, ditengah persawahan di desa kami. Meski bapakku pensiun dini, dalam setiap kesempatan, masih menulis namanya dengan St. Em. M. Siagian, artinya Sintua emeritus.




Free Hit CountersFree Hit Counters

Saturday, August 25, 2012

Is the faultline among NGOs over the future of development deepening?


A study of NGOs is sparking debate about whether development is too skewed towards aid rather than the causes of poverty


A paper summarising the academic literature on the role of NGOs in development and poverty reduction has sparked a lively debate on From Poverty to Power, a blog written and edited by Oxfam's Duncan Green.
MDG : role of NGOs in development and poverty reduction : Oxfam advert in underground
The gist of the June paper by the Brooks World Poverty Institute, University of Manchester, by Nicola Banks and David Hulme, is that NGOs have lost their way. Having started out as grassroots-led development bodies – "heroic organisations" that offered the potential for innovative agendas – NGOs turned into bureaucratic, depoliticised creatures that respond more to the dictates of donors than the people whose interests they claim to represent.
"Greater acknowledgment and concerns emerging from their closer proximity to donors and governments than intended beneficiaries also brought into question the very comparative advantages once lauded," wrote the authors. "NGOs could no longer be viewed as the autonomous, grassroots-oriented, and innovative organisations that they once were, raising questions about their legitimacy and sustainability."

Green, senior strategic adviser for Oxfam GB, expressed his irritation with the paper on his blog. "I've got a paper I want you to read, particularly if you work for an NGO or other lobbying outfit," he wrote. "Not because it's good – far from it – but because reading it and (if you work for an NGO) observing your rising tide of irritation will really help you understand how those working in the private sector, government or the multilateral system feel when they read a generalised and ill-informed NGO attack on their work."

Green said he had some sympathy with the critique, which he acknowledged was a fairly standard one. What he objected to were the sweeping generalisations, argument by assertion, "dodgy stats", and the lack of case studies and interviews with NGOs themselves.

Banks denied that the paper was an attack on NGOs, and expressed surprise at Green's reaction. "Our confusion reading this is why it has generated such a heated response from Duncan when his book, From Poverty to Power, is based on the well-founded premise that poverty is a political condition, and that solutions too, must be based upon transformations and redistributions of power. So why such disconnect," she wrote.

As Green acknowledged, the overall critique was a standard one and it was not the substance to which he objected, but the approach. One gripe was that the authors apparently failed to talk directly to NGOs, and thus ignored "all knowledge generated by NGOs themselves, either through interviews or reading their own massive literature on issues of power and inequality, and the challenges of relationships with CSOs [civil society organisations]."

Green has a point. There is a vigorous debate among NGOs about the present discourse on development. Some are unhappy about how much of this has been skewed towards the aid agenda, especially the focus on the 0.7% of GDP target.

John Hilary, executive director of War on Want, the anti-poverty group, is highly critical of this focus. "Far too many NGOs have lost sight of the long-term, transformative goals of international development, and are instead following a donor-led agenda of aid and service delivery," he said. "British NGOs are especially guilty of this – often highly professional and efficient, but lacking the political drive that should be the lifeblood of the sector. If we are to play our proper role in civil society, NGOs need to learn from grassroots movements and embrace a far more radical vision of change."

Hilary belongs to a group called the progressive development forum, which seeks to reframe the debate away from aid, charity and philanthropy towards one of global justice and shifting the discourse towards structural causes of poverty. At a meeting of the forum in July, attended by 50 senior figures from a wide range of NGOs – among them the World Development Movement and Jubilee Debt Campaign – and trade unions, many of the concerns raised were similar to those voiced by Banks and Hulme.

The meeting laid bare a faultline among NGOs on the state of the development debate. Several participants said they did not want to be involved in further alliances with the larger aid agencies that are mounting their own campaign on food, aid and hunger, linked with the UK government, in the runup to next year's G8.

"There was a strong feeling that we should cease to be so British and 'polite', and instead be more willing to enter into open criticism of NGOs and to challenge those that are beyond the pale in their distortion of the agenda, particularly agencies such as Save the Children that are now reviving unacceptable imagery of the south in their communications," said a report by the forum from the July meeting.

The UK hunger summit at Downing Street at the weekend, attended by NGOs, politicians and the private sector, crystallised the difference of approach. On one side of the divide are Save the Children and the advocacy group One, which pushed hard for the summit. They urged target commitments to reduce hunger and malnutrition and would argue the summit was a success.

But those demanding a more fundamental rethink on development would say the summit tinkered around the edges. Owen Barder, senior fellow and director for Europe at the Centre for Global Development, wrote: "The discussion in 2013 should be much more about the responsibility of G8 countries to improve their own policies – and this summit on malnutrition unfortunately did not start that conversation as it needs to continue. The risk is that the G8 will think that they can address these issues by earmarking some of their aid programmes and they will not feel under pressure to make the systemic changes which only they can make."

With the focus on the UK as it takes over the G8 next year from the US, and the discussions on hunger and nutrition set to continue, this faultline among British NGOs can be expected to deepen.
http://www.guardian.co.uk/global-development/poverty-matters/2012/aug/17/faultline-ngos-future-development?CMP=twt_gu
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Monday, July 09, 2012

Aspek Lingkungan Diadopsi MP3EI




Pertemuan Para Pihak untuk Bahas Ekonomi Hijau

Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Thursday, June 07, 2012

Residents accuse police of brutality

A- A A+
Victims of alleged police brutality in North Sumatra have demanded that justice be meted out to the
perpetrators.

“I was shocked when I saw blood gushing from a gunshot wound in my left calf. What did I do wrong to be shot? I want the officer who shot me in the leg prosecuted,” Gusmanto, 18, from Pulo Jantan village, told The Jakarta Post on Tuesday.

He said plainclothes policemen shot him during a protest against the arrest of 60 residents following an alleged arson attack on a security post at PT Smart in North Labuhan Batu regency on Sunday.

The local residents went to the local police station to demand the release of their neighbors.

Gusmanto said that a policeman aimed his gun at them and ordered them not to move. For fear of a clash, the protesters reportedly intended to retreat when gunshots were fired.

Gusmanto said he then realized his calf was bleeding.

He threatened to report the case to the House of Representatives, the National Commission on Human Rights and the National Police headquarters. He called on the institutions to “stop brutal acts by the police and avoid further victims.”

The North Sumatra branch of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence’s (Kontras) coordinator, Muhrizal Syahputra, said that from 2011 to June 2012, at least 12 cases of police brutality had been recorded in various regions in the province, mostly related to land disputes between residents and plantation companies.

He accused the police of gross mistreatment including shootings, torture and unlawful detention. He said as many as 100 people had fallen victim to harsh police acts across the province.

“The number of victims of police brutality is very high, but to date, none of the cases has been brought to court. We demand the cases be opened to the public and immediately tried,” said Muhrizal.

When contacted for confirmation, North Sumatra Police spokesman Sr. Comr. Heru Prakoso said the case of the detention of the 60 farmers in North Labuhan Batu was being processed.

Based on preliminary investigation, Heru said 50 of the farmers had been deemed innocent and released while the others were still undergoing questioning.

Heru denied the police had resorted to shooting when handling the conflict between residents and PT Smart security guards, and insisted that the police followed procedure.

In response to the demand that police personnel involved in the violence be immediately brought to justice, Heru said the police never protected wayward officers.
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Forest rangers named suspects in shooting

A- A A+
MEDAN, North Sumatra: Police in North Sumatra on Thursday named four forest rangers as suspects in a shooting incident triggered by a land dispute.

Eight farmers received gunshot wounds in the incident, which took place at Meranti village, Torgamba district, Labuhan Batu regency, on Nov. 30.

The suspects were identified only by the initials AS, age 36, a Forestry Ministry employee, and PMS, 34, NIHH, 43, and SB, 41, employees of the North Sumatra Natural Resources Conservation Center.

Labuhan Batu Police chief Adj. Sr. Comr. Robert Kennedy said the suspects were believed to be the shooters. He added that the police had seized four Molot rifles from them.

“They are being charged with violating Article 170 of the Criminal Code for committing violence against others and could face a five-year prison sentence if found guilty,” Kennedy told The Jakarta Post on Thursday.

The incident was an eruption of a four-year dispute over a plot of land between locals and timber company PT Sinar Belantara Indah.

Kennedy said the police would also investigate the vandalism in which a number of cars owned by PT Sinar Belantara Indah timber company and forest rangers had been set on fire. — JP
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Monday, May 28, 2012

Pemetaan Lahan Eks HGU PTPN II Rampung Mei 2012


Pemetaan (mapping) lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II di sejumlah titik di Provinsi Sumatera Utara, di targetkan rampung Mei 2012. Pemetaan lahan seluas 5.873,06 hektar yang merupakan eks HGU PTPN 2 itu melibatkan tim yang terdiri dari tiga unsur (tri partit), yakni tim B Plus Pemprov Sumut, Badan Pertahanan Nasional (BPN) Medan, dan PTPN II.
Pelaksana Tugas Gubernur Sumut, H Gatot Pujo Nugroho ST seusai Coffee Morning dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) Sumut di Gubernuran Medan Jalan Jenderal Sudirman No 40, Selasa (7/2) menjelaskan progress pemetaan lahan eks HGU PTPN II itu, saat itu terus di matangkan tim, dan secara tri partit akan dibahas penyelesaiannya termasuk dibuatkan daftar lokasi dan titik lahan (listing).
“Tim yang menangani pemetaan lahan eks HGU PTPN II ini menjadwal proses pemetaan sudah rampung pada Mei 2012. Karena, saat ini masih ada sejumlah proses terkait pemetaan yang harus lebih dulu diselesaikan,“
Setelah lahan eks HGU PTPN II seluas 5.873,06 hektar itu selesai dipetakan, maka progres selanjutnya akan diserahkan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan untuk mendapat izin pelepasan.
Izin pelepasan lahan eks HGU PTPN II sebagai aset Kementerian BUMN itu, karena diatas lahan 5.873,06 hektar itu banyak terdapat tuntutan kepemilikan lahan dan lahan untuk kepentingan program pembangunan yang dilakukan pemerintah di daerah.
Dari 5.873,06 hektar lahan eks HGU PTPN II itu, seluas 1.377,12 hektar merupakan lahan yang menjadi tuntutan rakyat. Kemudian lahan yang digarap rakyat seluas 546,12 hektar, lahan yang terkena Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota/Kabupaten (RUTRWK) seluas 2.641,47 hektar, lahan untuk kebutuhan perumahan karyawan seluas 558,35 hektar dan lahan yang menjadi hak masyarakat adat seluas 450,00 hektar.
Diluar proses pemetaan lahan eks HGU PTPN II itu, Gatot menjelaskan bahwa saat ini ada lahan di eks HGU PTPN II, namun mereka tidak mengetahuinya. Karena itu, progress pemetaan lahan eks HGU PTPN II ini kita harapankan tidak tumpang tindih dengan lahan HGU yang sudah mendapat persetujuan perpanjangan.
 http://ptpn2.com/content/view/160/1/
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Kutalimbaru Mencekam, Warga Menghilang


DIJAGA: Personel TNI berjaga di dekat mobil yang dibakar di kawasan terjadinya bentrok antara warga dengan karyawan PTPN II di Kutalimbaru,  Deliserdang.
TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
DIJAGA: Personel TNI berjaga di dekat mobil yang dibakar di kawasan terjadinya bentrok antara warga dengan karyawan PTPN II di Kutalimbaru, Deliserdang.
BINJAI-Bentrok antara warga dengan karyawan PTPN 2 di Kecamatan Kutalimbaru masih menyisakan kepanikan dan suasana mencekam. Bahkan, di beberapa kampung sekitar lokasi bentrok warganya menghilang. Mereka pergi karena takut ditangkap polisi karena terlibat dalam bentrokan dan pembakaran truk PTPN 2, Selasa (22/5) lalu.
Di lokasi bentrokan, tepatnya di Desa Salang Paku, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang, puluhan personel kepolisian dari Polresta Medan dibantu petugas Polresta Binjai masih terlihat berjaga-jaga, Rabu (23/5). Informasi yang diterima Sumut Pos, sejumlah petugas juga melakukan penyisiran ke perkampungan warga guna mencari pelaku pembakaran mobil. Tampak sejumlah petugas berpakaian sipil terus memantau pergerakan warga di kampung tersebut.
Suasana di perkempungan pun tampak lengang. Beberapa warga hanya berkumpul di beberapa titik. Bahkan, beberapa pria terlihat serius memandangi setiap orang yang masuk ke perkampungan itu. Tatapan-tatapan curiga melihat orang asing begitu tampak. Desa Salang Paku pun berubah drastis layaknya di wilayah konflik.
Hal itupun diakui Ketua Kelompok Tani Maju Jaya, Zakaria. Menurutnya, memang sejak terjadinya bentrok dengan karyawan PTPN2 Selasa lalu, sejumlah petugas mulai melakukan penyisiran. Hal itu membuat suasana semakin mencekam dan penuh dengan kepanikan. “Tapi kami nggak tahu mereka mencari siapa,” ujarnya.
Dia menambahkan, pascabentrok sejumlah warga yang ikut terlibat dalam aksi tersebut langsung berhamburan meninggalkan lokasi bentrok. Mereka takut bakal menjadi sasaran penangkapan petugas kepolisian. “Mereka sudah pergi semua, saya nggak tahu ke mana,” ucapnya.
Ketika ditanya warga yang terlibat bentrok berasal dari mana, Zakaria mengatakan seluruh warga berasal dari kampung di sekitar lokasi. “Ya warga disini semua, kan disini ada beberapa kampung,” sebutnya.
Dia juga mengatakan, pihaknya hanya mempertahankan tanaman jagung yang ingin di okupasi pihak PTPN2. Pasalnya, lahan eks PTPN2 itu, merupakan lahan peninggalan orangtua mereka yang dikuasai PTPN2 sejak berpuluhan tahun. “Sampai kapan pun kita tetap bertahan,” urainya.
Dia menceritakan, aksi penyerangan yang dilakukan warga, bukan tak beralasan. Soalnya, jika pihaknya tidak menyerang terlebih dahulu, mereka takut akan mati konyol dihajar pihak PTPN2 yang jelas menang jumlah. “Kita sudah pengalaman soal ini (penyerangan, Red), karena sebulan lalu, pihak PTPN2 juga melakukan penyerangan kepada warga saat melakukan okupasi dan menghancurkan lahan yang mereka tanami,” jelasnya.
Bahkan, Zakaria menduga, kalau pihak PTPN2 juga menyewa preman untuk memotong tanaman pisang mereka dengan kelewang. Tidak hanya itu, preman itu juga sempat melepaskan tembakan sebanyak enam kali agar warga tidak mendekat.  “Kami nggak mau mati koyol. Sebab, Kamis (19/4) lalu, mereka juga melakukan okupasi dengan mengandalkan preman. Bahkan, mereka melepaskan tembakan sebanyak 6 kali, agar warga tidak mengejar,” ungkap Zakaria.
Kejadian Selasa lalu, kata Zakaria, warga memang sudah siap menghadapi karyawan PTPN 2 yang ingin melakukan okupasi. “Kejadian kemarin juga ada premannya kok. Sebab, aku sempat melihat jika ada sekitar 25 orang preman Simalingkar, yang membawa parang ikut di dalam mobil,” timpal seorang warga bernama Iwan.
KPA: Preman Bergabung dengan Karyawan
Sementara, Humas PTPN2 Sei Semayang Eka Dama Yanti, saat dikonfirmasi mengatakan, memang pihaknya ada melakukan okupasi sebulan lalu. Namun, saat itu pihaknya menjadi korban. “Memang kita sempat melakukan okupasi sebulan lalu, tapi kita dihalangi warga saat mencabut dua batang pohon pisang,” kata Eka.
Soal penggunaan jasa preman juga menjadi catatan pihak Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Jakarta. “Informasi dari lapangan, itu para preman bayaran yang bergabung dengan karyawan,” cetus Deputi Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin.
Lantas apa kepentingan mafia tanah? Iwan membeberkan dari aspek historis masalah tanah di sana. Dipaparkan, lahan-lahan PTPN II itu dulunya, di era Presiden Soekarno, sebagian sudah dibagikan kepada rakyat dan sudah disertai Surat Keterangan Pembagian Tanah (SKPT) dan Surat Land Reform. “Ada yang menyebutnya sebagai tanah suguhan. Di surat-surat itu tadi sudah disebutkan tanah menjadi hak milik rakyat,” terang Iwan.
Hanya saja, lanjut Iwan, di awal-awal rezim Orde Baru, rakyat di sana dituduh komunis sehingga tanah-tanah yang sudah dibagi di era Bung Karno, dirampas lagi oleh negara dan diterbitkan HGU untuk PTPN-PTPN, termasuk untuk PTPN II.
Belakangan, rakyat yang merasa dirugikan melakukan gugatan. BPN pun bersikap, dengan menerbitkan surat perintah agar ditunda dulu perpanjangan HGU untuk PTPN II. “Sehingga banyak tanah PTPN II tak dapat diperpanjang HGU-nya karena ada tanah rakyat di situ,” imbuhnya.
Nah, status tanah yang seperti itulah yang dicoba dimainkan para mafia tanah, yang melibatkan ormas-ormas kepemudaan. “Mereka menebangi tanaman warga, memagarinya, dan PTPN membiarkan saja. Saya yakin ada pengusaha-pengusaha hitam. Saya takutnya, ini ada kolaborasi oknum-oknum di PTPN II dengan pengusaha hitam, yang paham itu tanah sengketa, lantas mau menduduki. Harapannya, nanti begitu pemerintah bilang ‘kembalikan tanah ke rakyat’, mereka yang justru akan menguasai,” beber Iwan.
Kecurigaan ini diperkuat dengan fakta di lapangan, lanjut Iwan, dimana ketika warga yang menduduki lahan, pihak PTPN II cepat sekali bereaksi. “Tapi begitu para preman yang memagari, didiamkan saja,” ujarnya.
KPA mendesak agar Pemda dan pihak-pihak terkait secepatnya meneliti ulang status tanah. Bagi yang sudah menjadi hak milik warga, yang dibuktikan dengan adanya SKPT, Surat Land Reform, dan Surat Tanah Suguhan, langsung dikembalikan lahan itu ke rakyat.
KPA juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dugaan adanya permainan preman dan spekulan tanah. “Mafia tanah yang luar biasa pat gulipatnya itu ada di Sumut,” tegasnya. (ndi/sam)
http://www.hariansumutpos.com/2012/05/34368/kutalimbaru-mencekam-warga-menghilang.htm

Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page