Tuesday, September 24, 2013

Siapa Bilang Indonesia Miskin!

Oleh: Imam Cahyono

Kemiskinan seolah menjadi fakta tak terbantah. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara berpenduduk termiskin di dunia, sekitar 39,05 juta jiwa versi Badan Pusat Statistik atau lebih dari 100 juta jiwa versi Bank Dunia. Jika ambang batas kemiskinan (poverty threshold) diukur dari kegagalan pemenuhan hak-hak dasar (basic rights) atau dengan skala pendapatan di bawah 1-2 dollar AS per hari, kita sulit mengelak.

Kegagalan menangani bencana, rentetan wabah penyakit, dan tragedi busung lapar melengkapi potret buram itu. Kemasyhuran zamrud khatulistiwa dan lautan kolam susu kian diragukan. Bagaimana mungkin negeri yang kaya sumber alam dan bertanah subur justru menjadi ladang persemaian tragedi kemiskinan?

Sebuah paradoks

Namun, mari kita gunakan logika terbalik. Selama ini, diagnosis problem kemiskinan cenderung mengabaikan kekayaan bangsa —yang kasatmata— dan orang-orang kaya di republik sebagai faktor determinan. Di tengah kemiskinan yang menjerat, ada manusia-manusia superkaya kelas dunia. Majalah Forbes Asia (18/9/2006) merilis daftar 40 orang superkaya Indonesia, dengan total kekayaan 22,27 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 200 triliun. Celakanya, di antara daftar taipan superkaya itu bercokol pemain lama, termasuk pembobol uang negara yang mengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Hasil survei Merrill Lynch dan Capgemini tahun lalu juga tidak kalah heboh. Menurut kedua perusahaan jasa keuangan internasional itu, sepertiga jumlah miliarder di Singapura adalah warga Indonesia. Sepertiga dari total aset 55.000 orang terkaya di Singapura, sebesar 260 miliar dollar AS, adalah milik warga Indonesia (WNI) yang punya izin tinggal tetap di sana. Dari 55.000 orang terkaya itu, 18.000 orang adalah WNI yang berdomisili di Singapura dengan kekayaan 87 miliar dollar AS (sekitar Rp 800 triliun). Belum lagi jika ditambah kekayaan WNI yang disimpan dan diinvestasikan di negara lain. Padahal, RAPBN 2007 saja hanya berkisar Rp 713,44 triliun.

Pada masa kolonial, darah dan keringat rakyat serta kekayaan alam Nusantara dikuras Belanda. Kini, kekayaan Indonesia menjadi tulang punggung negara lain. Bukan rahasia lagi, Singapura merupakan negara yang tergantung uang gelap dari Indonesia dan China. Ironisnya, para miliarder yang bermukim di sana tetap memiliki perusahaan yang beroperasi di Indonesia dengan mengandalkan pasar Indonesia. Kendati para miliarder tinggal di Singapura, mereka masih mencari untung dengan mengeruk kekayaan Indonesia.

Dominasi pemodal asing

Lantas, seberapa besar kekayaan bangsa yang dapat dinikmati rakyatnya? Globalisasi ditandai pergerakan modal secara bebas, melampaui batas-batas negara- bangsa. Indonesia ternyata menjadi surga bagi pemodal asing yang bergiat menguasai sumber daya yang vital. Investor asing melihat Indonesia sebagai penyedia bahan baku yang murah dan melimpah serta penduduknya sebagai pangsa pasar yang potensial. Kita pun cenderung salah kaprah memaknai investasi asing sebagai suntikan dana segar dari pemodal. Padahal, aliran modal asing itu sejatinya menjadi parasit yang mengisap. Mereka beternak uang dengan menumpang mencari makan di republik ini.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah selalu menjadi incaran. Nama-nama besar Freeport, ExxonMobile, Newmon, dan Inco yang menguasai sumber-sumber kekayaan alam potensial seperti emas, nikel, gas, dan minyak bumi jelas bukan hal baru. Untuk air minum berlabel Aqua, berasal dari mata air dan dikemas di republik ini, harus kita beli dari Danone dengan harga yang tidak murah. Yang diuntungkan pun para pemodal.

Sektor finansial, terutama perbankan, juga tak lepas dari cengkeraman pemodal asing. Jangankan bank-bank papan atas seperti Bank Central Asia (BCA), Bank Niaga, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Lippo, Bank Bumiputera, NISP, Permatabank, bank-bank kecil pun dilirik investor asing. Belakangan, penjualan bank swasta kepada investor asing kian gencar. Celakanya, kebanyakan bank swasta yang dimiliki asing itu lebih menggantungkan perolehan keuntungan dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang tak lain adalah uang negara. Laba triliunan rupiah yang didapat dari uang rakyat itu kembali ke kantong para investornya.

Dominasi pemodal asing di bidang perbankan tak lepas dari aturan yang membolehkan batas kepemilikan saham asing hingga 99 persen. Batas kepemilikan bank oleh pihak asing di Indonesia jauh lebih liberal dibanding negara lain. Amerika Serikat, negara dedengkot kapitalisme, hanya memberi kepemilikan asing 30 persen. Filipina membatasi kepemilikan asing 51 persen. Thailand dan India sebesar 49 persen. Malaysia, China, dan Vietnam membatasi hingga 30 persen.

Sektor-sektor vital lain pun tak lepas dari serbuan investor asing. Industri telekomunikasi pelan tapi pasti juga dikuasai modal asing. Sektor ritel dan sektor lainnya pun terus digempur pemain asing, sementara para pemain lokal kelabakan. Kibaran bendera modal asing menggerogoti ruang gerak sektor usaha putra-putra bangsa. Ironis, saat kekayaan republik ini bisa menghidupi orang asing, anak-anak negeri sendiri justru telantar.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar sejatinya merupakan sumber tenaga kerja yang berlimpah. China dan India menjadi raksasa ekonomi dengan memanfaatkan penduduknya sebagai tenaga kerja yang produktif. Jika republik ini dikelola dengan tegas dan saksama, dikawal penegakan hukum, penciptaan lapangan kerja, redistribusi keadilan sosial dengan mengutamakan kepentingan rakyat, Indonesia tidak pantas menjadi negara miskin.

Sebaliknya, Indonesia bak raksasa yang sedang tidur. Jika bangun, ia bisa menggegerkan dunia!

Imam Cahyono, Peneliti, Tinggal di Jakarta
Sumber: Kompas, Rabu, 10 Januari 2007Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Thursday, May 23, 2013

Belajar dari Kenya: membangun mimpi kaum muda

Sistem politik di kenya hampir sama dengan indonesia saat ini  kecuali fakta bahwa Indonesia merdeka dua dekade lebih awal dari kenya yang merdeka tahun 1964. Indonesia mengalami reformasi sistem politik tahun 1999, sementara kenya tahun 2002. Persamaannya adalah, sebelum tahun-tahun itu, ada satu partai politik yang mengendalikan pemerintahan seperti golkar di indonesia. Perubahan yang terjadi lebih pada Reformasi yang soft tanpa revolusi berdarah: Suharto digantikan wakilnya Habibie, dan Daniel Moi digantikan oleh wakilnya Kibaki.
Pada era multipartai, dimana ketidakpuasan meningkat kepada partai penguasa, tahun 2002, kepemimpinan kenya berpindah ke partai oposisi, KANU, seperti Golkar berpindah ke PDIP beberapa tahun sebelumnya. Tetapi partai baru yang banyak diisi oleh wajah baru memimpin indonesia berikutnya, yakni partai demokrat.
Namun, ada beberapa persamaan diskursus di dua negara selama bertahun tahun setelah berlakunya Sistem politik liberal multipartai;  memproduksi kekuasaan yang berlandaskan pada kekuatan modal-uang, partai yang korup, dan instabilitas.

Dalam 10 tahun terakhir di dua negara ini wacana terbentuk begitu rupa oleh cendekiawan, politisi, media, dan pemimpin politik; bahwa negaranya tidak becus, bahwa birokrasi dan semua institusi negara korup, bahwa negara tidak bermasadepan, bahwa negara menuju kehancuran, dan dikuasai oleh para maling, media dikuasai oleh para politisi yang merangkap sebagai pengusaha. Para KPU dan pengawas pemilu diisi oleh para sindikasi orang orang tua. Indonesia dan Kenya seperti tidak bermasa depan sama sekali...inilah frame yang terbangun apik di alam pikiran setiap orang di dua negara ini, juga diluar negeri.

Fenomena yang menarik adalah ini; Kenya melakukan pemilihan umum bulan yang lalu, april 2013, dan menghasilkan wajah politik yang sangat berbeda dan tidak diduga: Kenya dipimpin oleh orang-orang muda.

Presidennya Uhuru Kenyatta adalah presiden termuda sepanjang kepemimpian Kenya, 51 tahun. Anggota anggota dpr di kabupaten dan nasional rata rata berumur antara 25 hingga 45 tahun. Sebelumnya selalu diatas 60 tahun. Media memberitakan bahwa ini adalah pemerintahan kalangan muda; yakni kalangan digital melawan kalangan manual. Atau generasi digital melawan generasi analog. Tetapi yang lebih mendasar, seorang profesor warga kenya berumur 60-an tahun berpendapat, bahwa kebangkitan kaum muda ini adalah kebangkitan yang berbeda dengan apa yang diprediksi banyak orang; mereka adalah kaum muda yang berbeda dengan apa yang diberitakan koran dan tv; mereka adalah kaum muda yang punya cita cita luhur tentang kenya masa depan. Tidak seperti yang diberitakan dalam media publik; mereka punya kehendak lain, dan kampanye yang lain; yakni kaum muda harus mengambil alih kepemimpinan dari orang orang yang tidak punya cita cita mulia, orang orang muda bersih harus menduduki pemerintahan untuk kesejahtaraan rakyat kenya. Kampanye ini berjalan begitu rapi dari mulut ke mulut, para aktivis partai melakukan kerja turun kebawah dan kepedesaan. Para profesional muda menjanjikan untuk membangun kewirausahaan, entrepreneurship. Hasilnya? Saat ini mereka menjadi pemimpin politik di level nasional hingga level kabupaten di kenya.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita akan segera mengadakan pemilu kembali tahun depan, 2014. Saat ini wacana terus menerus merecoki dari merauke sampai sabang; bahwa tidak ada tanda tanda bangsa ini akan bangkit. Bangsa ini makin korup, partainya makin buruk, rakyat pragmatis, birokrasi makin akut. Tentara dan polisi tanpa kendali, dan menjadi preman jalanan. Toleransi makin hancur berkeping keping. Ini adalah negeri rampok, dari pemimpin tertinggi hingga pencopet kecil kecilan di jalanan. (tulisan seperti ini gampang sekali kita temui; di jakarta post, beberapa bulan lalu seorang amerika pernah menulis tentang hal ini dan saya sangat prihatin dengan tulisan itu)

Adakah yang memberitakan bahwa masih ada anak-anak muda yang bercita cita luhur di negeri ini? Adakah yang mencoba membangun sebuah governance dari berbagai level, bahwa ada kelompok-kelompok yang punya harapan indah terhadap masa depan negri ini? Adakah yang menolak wacana dominan tentang sebuah negri yang tidak mungkin diselamatkan? Kita ditantang untuk menciptakan ini, whatever pemberitaan dominan, whatever analisis kaum akademis. Percayalah, masih ada indonesia yang lebih baik dari semua yang dikata-katain orang di tv, koran, seminar, dan hingga kedai kopi. Percayalah, generasi ini, dan yang akan datang, bisa lebih baik. (king)
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Sunday, March 31, 2013

Renungan Hari bumi 22 April 2013: Lonceng Gereja dan Pejuang Bumi dari Tapanuli


Giring-Giring

“Sudah puluhan tahun kami berseru-seru, ini adalah hutan sumber penghidupan kami turun temurun. Tetapi kami berbicara kepada orang yang tidak mau mendengar, dan kami menunjuk kepada orang yang tidak mau melihat. Menebang pohon ini sama dengan membantai nyawa kami. Maka sekarang kami dentumkan lonceng gereja, hanya lonceng gereja yang mampu mengusir kalian pergi”kata orasi seorang tokoh adat desa  Pandumaan, disaat kunjungan saya pada awal Maret 2013 yang lalu ke desa tersebut. Pandumaan adalah salah satu desa di pedalaman Sumatra, Indonesia.

Fhoto by Patricia Shirane
Lonceng gereja, atau biasa disebut ‘giring-giring’ di Tapanuli, dikenal umum sebagai pertanda acara-acara khusus keagamaan. Namun dalam sejarah panjang pertikaian Indorayon, sekarang PT. Toba Pulp Lestari, dengan masyarakat dataran tinggi Tapanuli, Lonceng gereja punya makna yang lebih luas. Lonceng gereja menjadi alat memanggil semua warga korban Toba Pulp Lestari, tidak peduli apa keimanan dan agama serta marganya, untuk berkumpul.

Jika lonceng gereja berbunyi pada waktu yang tidak lajim, maka itu membangkitkan adrenalin, membuat bulu kuduk berdiri, dan tanpa aba-aba dimana semua orang berhamburan lari menuju satu tempat dimana lonceng itu berbunyi. Lonceng itu berarti ada panggilan darurat yang perlu segera diatasi. Ada panggilan khusus untuk meninggalkan segala perkara pribadi, pekerjaan pribadi, menuju kepentingan bersama yang jauh lebih penting.  

Tidak hanya di Pandumaan dan Sipituhuta, dentang lonceng gereja telah menjadi tradisi belasan tahun yang dipakai oleh Suara Rakyat Bersama, SRB, yang diketuai Musa Gurning yang muslim, di Simpang Siraituruk, Toba Samosir,  salah satu basis perlawanan terhadap Toba Pulp Lestari. Lonceng gereja menjadi simbol perlawanan terhadap kejaliman dan ketidak-adilan.

Kriminal atau Pahlawan bumi ?

Ketika mendengar puluhan orang pemilik hutan kemenyan ditangkap oleh Brimob Polres Humbang Hasundutan, termasuk salah seorang yang dituakan, Haposan Sinambela, pada 25 Februari 2013, memori saya kembali pada kunjungan saya ke hutan kemenyan pada awal tahun 2009 yang lalu di Pandumaan, dipandu oleh bapak Sinambela.
Seorang petani yang ditahan mencium cucunya yang menjenguk

Sesampai ditengah hutan yang rimbun, dikejauhan terlihat kontras semacam warna putih padang gurun. Saya tidak bisa menahan kesedihan melihat hutan dibabat habis menjadi semacam gurun putih pada waktu itu. Saya bertekad bahwa dengan segala upaya, sisa hutan yang ada ini harus dipertahankan dan diperjuangkan. Menginap di dalam hutan adalah pengalaman dan ikatan tersendiri dengan hutan kemenyan ini, yang dibumbui cerita mistis bahwa kalau kita melakukan hal-hal yang ditabukan, maka kita tidak akan bisa keluar dari hutan.

Cerita tentang hutan magis ini berlanjut sembari menginap semalaman ditengah hutan, dipondok kecil berukuran tiga kali tiga meter, yang telah berumur puluhan tahun milik petani kemenyan. Pohon kemenyan yang dianggap penjelmaan anak gadis cantik yang menangis, dimana air matanya menjadi sumber penghidupan bagi petani ini, ternyata hanya tumbuh bersamaan dengan pohon pohon jenis lainnya. Sekitar 300-an kepala keluarga menggantungkan hidupnya hanya kepada tetesan getah, air mata, si pohon gadis ini. Jika pohon ini ditebang, warga desa tidak punya pendapatan lain untuk bertahan hidup. 

Tidak bisa diterima akal jika hutan kemenyan ini ikut ditebangi oleh perusahaan kertas Toba Pulp Lestari. Perusahaan ini memiliki konsesi seluas 269.000 hektar- empat kali luas Singapura- di dataran tinggi Tapanuli, dan warga desa hanya melindungi penghidupan mereka yang tidak lebih dari 5.000 hektar. TPL yang mendapatkan keuntungan bersih pertahun sekitar 620 milyar rupiah itu tidak akan kehilangan keuntungannya dengan membiarkan sepetak hutan adat itu tetap berdiri.

Ini soal akal sehat saja. Humas PT TPL selalu beralasan, menjalankan peraturan pemerintah, karena itu masuk dalam konsesi mereka. Jika perusahaan ini memakai akal sehat, tidak akan berpengaruh apa-apa jika mereka membiarkan hutan kemenyan itu tetap tegak dan mempersilahkan sekitar 1.000 jiwa tetap bisa melanjutkan hidupnya berdampingan dengan alam.

Sejak mendapatkan ijin beroperasi dari pemerintah Indonesia 30 tahun yang lalu (1983), perusahaan pabrik bubur kertas, Toba Pulp Lestari, yang pabriknya berada di kawasan Sosor Ladang Porsea ini tidak pernah berhenti menjadi sumber konflik dengan masyarakat Tapanuli. Sejak ratusan tahun sejarah Tapanuli, Toba Pulp Lestari mencatatkan diri sebagai satu satunya korporasi yang memiliki konsesi ratusan ribu hektar, ditengah tengah masyarakat yang sangat kuat dengan tradisi adat istiadat, dan tradisi lisan kollektif terhadap hak kepemilikan. Hal ini berbenturan dengan Toba Pulp Lestari yang hanya bermodalkan secarik kertas mengklaim seluruh hutan menjadi miliknya. Sejak ratusan tahun Tapanuli mengenal era yang disebut penyair legendaris Sitor Situmorang sebagai era kedamaian dan kemakmuran, atau jika tidak salah disebut dengan istilah ‘splendour era’. Era ini hilang seiring dengan kehadiran korporasi di Tapanuli.

Baru-baru ini, APRIL, induk perusahaan PT TPL membuat komitmen tidak akan menebang hutan alam untuk kebutuhan kertas mereka. Komitmen yang dibuat pada bulan januari 2013 itu dilanggar hanya dalam hitungan hari, dengan menebangi hutan alam di Humbang Hasundutan. Jadi pertanyaannya, siapakah yang kriminal dan merusak ?
Courtesy of GP

Bagi aparat kepolisian, petani kemenyan yang memperjuangkan hutan adalah kriminal, dengan menangkapi mereka dan menjadikan 16 orang petani hingga saat ini sebagai tahanan. Tetapi bagi warga desa, mereka adalah pejuang pejuang bagi keluarga mereka yang butuh melanjutkan hidup. Bagi warga dunia yang mencintai lingkungan hidup, mereka adalah pahlawan-pahlawan yang patut dibela dan dilindungi.   Tanggal 22 April, umat bumi merayakan hari bumi dan menyematkan penghargaan kepada para pejuang bumi. Tidak berlebihan jika para ‘kriminal’ versi polisi ini harus dihargai sebagai para pejuang bumi. Mereka harus dibebaskan tanpa embel embel ‘tahanan luar’, dan dikenal sebagai para pejuang hutan yang akan dikenang.

Saurlin





Free Counter Locations of visitors to this page

Sunday, March 24, 2013

A False Hope? Indonesia’s Economic Miracle

By Michael Buehler

Indonesia has made a remarkable economic comeback. Yet, its amazing growth is neither sustainable nor inclusive.


A few years ago, I was sitting in a swanky bar in South Jakarta popular with expats and Indonesian bureaucrats, sipping red wine for $25 a glass. During a discussion about the state of affairs in the country, my reference to Indonesia as a “Third World” country triggered an angry reaction by an Indonesian diplomat working for the Ministry of Trade. “Indonesia is no longer a poor country,” she rebutted, quoting various studies that placed Indonesia firmly in the group of emerging economies and went on to argue that the “I” in BRIC should belong to Indonesia rather than India. The acronym MIST to describe the next tier of large emerging economies had not yet been coined at the time.

Indeed, Indonesia has made a remarkable comeback from being Southeast Asia’s economic basket case in 1998 to an emerging market whose economy has been growing annually at more than 5 percent for several years. In reaction, analysts and journalists alike have been outdoing one another with positive assessments of Indonesia’s economic growth trajectory. The writing frenzy recently culminated in an article published in The Guardian, a UK daily, which claimed that Indonesia’s economy may surpass England and Germany in a few years. “It’s like people don’t want to hear anything else,” a foreign journalist based in Jakarta whom I had sent the article told me afterwards, lamenting how she finds it increasingly difficult to pitch stories to newspaper editors that cast doubt on Indonesia’s economic miracle.

Yet, Indonesia’s economic growth is neither sustainable nor inclusive.

An inconvenient fact is that Indonesia’s economic growth is mainly driven by a commodity boom fuelled by China’s appetite for raw materials and global demand for biofuels. China’s enterprises are building bullet trains while Indian car- and IT-companies compete around the world. Indonesia, all the while, manufactures…essentially nothing. Most international manufacturing companies have moved on to greener pastures a long time ago while domestic companies are unable to compete internationally with the exception of a few conglomerates run by crony capitalists from the New Order period.

The other main driver of Indonesia’s economic growth is domestic consumption. This is mostly driven by easy access to credit cards. Since the mid-2000s banks have been successful in convincing Indonesians, much like their American counterparts, to buy stuff they don’t need, with money they don’t have to impress people they don’t know. The amount of credit cards in circulation, which have increased 7 to 8 percent annually, reached such staggering heights in recent years that Bank Indonesia had to introduce new guidelines last year to limit the number of credit cards a single person is allowed to hold. The same guidelines also stipulated that Indonesians earning less than U.S.$330 a month should no longer receive credit cards.

Can Indonesia’s economic growth be sustained? Maybe for a few more decades, but even Indonesia’s rich natural resources are finite. Already, the nation’s oil reserves are dwindling faster than in any other Asian country— and Indonesia became a net oil importer during the last decade— while it is exporting most of its approximately 5 billion tons of coal reserves to China and India. Worse, the money generated from selling these national assets is not used to help rebalance Indonesia’s economy towards high-end manufacturing.

Providing access to cheap credit is an unsustainable growth strategy. Already, Indonesians exhausted from trying to keep up with the Mallarangeng family seem to turn to forms of sarcasm similar to that of debt-ridden Americans. Grinding through Jakarta’s infamous traffic jam a few months ago, I spotted several bumper stickers on the back of upmarket vehicles, saying in the local vernacular “Don’t crash into my car, I am still paying it off.” Plenty of Indonesians can no longer repay their debts and therefore no longer consume. The bludgeoning to death of an Indonesian citizen in 2011 by debt collectors on the payroll of Citibank may be a scary sign of things to come.

It’s politics, stupid!

In their 2012 book, Why Nations Fail, Daron Acemoglu and James Robison, professors at the Massachusetts Institute of Technology and Harvard University respectively, show the central importance of political institutions for achieving sustainable and inclusive growth. While economic institutions are important determinants of a country’s wealth, political institutions are paramount since they define what economic institutions a country has. In this respect, Indonesia’s achievements look bleak.

Since the collapse of the New Order dictatorship in 1998, the government has missed almost every opportunity to turn its economic boom into a positive force for all Indonesians. Serious and comprehensive reforms of Indonesia’s political institutions have been anathema to the Susilo Bambang Yudhoyono government and most of the president’s political appointees almost from day one in their decade long reign.

Masked behind pro-poor rhetoric and lukewarm support for symbolic reform agencies such as the Corruption Eradication Commission, Indonesia’s elites have used their political power to protect their personal interests and keep the judiciary in shambles. The bureaucracy remains completely unreformed fifteen years after the demise of Suharto and corruption continues to be rampant. A serious discussion about Indonesia’s systemic corruption problem has never occurred during Yudhoyono’s two tenures. Instead, the emphasis has been on arresting “bad” politicians.

Indonesia’s elites have also done everything in their power, the power they do have, to channel the country’s riches into their own pockets. The lack of will to develop a truly prosperous Indonesia is most visible in the government’s failure to integrate Indonesia’s internal market. This has had deleterious effects for the domestic economy. Indonesia, for instance, imports almost half of the salt consumed in the country from places such as Australia, Germany, Singapore and New Zealand because decrepit infrastructure and predatory taxes make it cheaper to import the commodity from the German mines of Berchtesgaden 7,000 miles away than from Indonesia’s seashores.

Similarly, the government’s failure to curb corruption, rent-seeking and red tape has turned Indonesia essentially into a high-cost economy shun by manufacturers. While Americans’ sneakers would most likely have been produced in Indonesia fifteen years ago, this is now done in places such as Vietnam or China. Ironically, Indonesia’s steady growth is also a result of the country’s detachment from volatile world markets.

Stuff made in Indonesia, anyone?

Due to a lack of robust political institutions undergirding Indonesia’s economy, inequality has increased in Indonesia in recent years. At the time of writing, around 120 million Indonesia lived on less than two U.S. dollars a day.

It remains to be seen how long Indonesia’s elites can ignore the other side of Indonesia’s boom. They would certainly have enough clues in their own lives.The Indonesian trade diplomat who so vigorously advocated Indonesia’s place in the BRIC group in our discussion a few years ago has since been posted to the United States. Rather than advocating space- and IT-technologies in the tech clusters of Boston and San Francisco like her fellow trade diplomats from China and India, she is now promoting Indonesian rattan furniture at trade shows in North Carolina.

Michael Buehler is an Assistant Professor of Political Science at Northern Illinois University, and an Associate Fellow with the Asia Society.


http://thediplomat.com/2013/02/05/a-false-hope-indonesias-economic-miracle/





Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Monday, March 18, 2013

The 10 Countries Where Climate Change and Pollution Is Killing the Population

by Timon Singh 

10. Afghanistan (Population: 34.4 million, Deaths: 90,000)

According to DARA’s Climate Vulnerability Monitor, climate change and pollution are key factors driving premature mortality in Afghanistan, leading to 90,000 deaths in 2010. The main cause of death is diarrheal infections from climate change, caused by increasing rates of food spoiling and water contamination.

9. Russia (Population: 141.8 million, Deaths: 100,000)

Despite being a relatively modern country, approximately 98,000 people died in 2010 due to the effects of carbon pollution. While Russia’s emissions in 2010 were 34% below 1990 levels, Soviet-backed industrial emissions from the 1980s and 1990s still contribute to high incidences of “cancer, cardiopulmonary and respiratory illnesses.”

8. Ethiopia (Population: 83 million, Deaths: 100,000)

Like Afghanistan, the population of Ethiopia will be affected by diarrheal infections caused by spoiling food. In 2010, the agriculture cost of climate change was already $450 million annually, but this is expected to rise to $3 billion a year within the next 20 years. Unfortunately, Ethiopia has one of the lowest GDP per capita in the world.

7. Bangladesh (Population: 148.7 million, Deaths: 100,000)

Like India and China, pollution has been responsible for a large number of deaths. It is predicted that hunger, caused by increasing food insecurity as the world’s climates worsen, is expected to cause 15,000 deaths, and adversely affect another 15 million Bangladeshis by 2030.

6. Democratic Republic of the Congo (Population: 66 million, Deaths: 100,000)

The DARA report states that about 17,000 lives were lost in the Democratic Republic of the Congo due to climate change, while another 84,000 were lost due to carbon emissions. The report states that one of the main killers is meningitis, caused by rising humidity and irregular weather patterns.

5. Indonesia (Population: 239.9 million, Deaths: 150,000)

In Indonesia, carbon emission are responsible for large numbers of deaths, but this is expected to rise to 200,000 by 2030. Another issue is maintaining the country’s biodiversity and reversing the destruction of Indonesia’s natural ecosystem through activities such as logging and natural changes due to irregular weather.

4. Pakistan (Population: 173.6 million, Deaths: 150,000)

Air pollution, floods, landslides – Pakistan was hit hard in 2010, but DARA estimates that 250,000 people will die in Pakistan in 2030. Climate change is also projected to lead to famine in the country. Hunger killed an estimated 10,000 people in 2010, but DARA estimates 25,000 people will die annually due to starvation.

3. Nigeria (Population: 158.4 million, Deaths: 200,000)

It is carbon emissions that are the big killer in Nigeria with approximately 150,000 people dying each year due to indoor smoke ingestion, tuberculosis and lung cancer. DARA believes the reason for the indoor smoke is partially because of uneven electricity distribution, which forces many Nigerians to heat their homes and cook by burning fuels.

2. India (Population: 1.2 billion, Deaths: 1 million)

With such a large population and high levels of emissions, DARA projects that the number of deaths due to these factors will reach 1.5 million annually. Already, these factors are estimated to cost 1 million lives and adversely impact one-quarter of a billion people per year.

1. China (Population: 1.3 billion, Deaths 1.5 million)

It is astounding to think that 1.5 million people die each year in China due to climate change and carbon emissions,but it is even more incredible when you realise 1.4 million are the sole result of carbon pollution. A report by the Chinese government released in Jan. 2012, warned that global warming could cut grain output in the country by some 5%-20% by midcentury and will lead to “severe imbalances in China’s water resources” over the coming years.
http://inhabitat.com/the-10-countries-where-climate-change-and-pollution-is-killing-the-population/
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Sunday, January 20, 2013

Siapakah Pemilik Tanah di Janjimaria??

Saya baru saja menyadari fakta yang membuat hati miris; ternyata 70 % penduduk di Janjimaria desa Parbagasan, tidak memiliki tanah. Sawah terhampar luas disebelah timur dan utara pedesaan ini ternyata berada di tangan masyarakat yang tinggal di kota. Status penduduk mayoritas adalah penyewa tanah. Sekitar 15 persen penduduk adalah buruh tani, yang sehari hari bekerja untuk mendapatkan upahan dari ladang orang lain, entah itu ladang penyewa tanah atau pemilik tanah. Ini adalah observasi sederhana saya kepada beberapa keluarga selama 7 hari minggu terakhir 2012 dan minggu pertama awal tahun 2013 di desa ini.
Tristan berlari mengejar bebek, Toruhuta, Janjimaria


Inilah gambaran kampung ini: Tidak lebih dari 2 orang yang memiliki sawah sekitar 2 hektar dan tidak ikut mengerjakan sawah. Dan tidak lebih dari 5 orang yang memiliki sawah sekitar 1 hektar, dan tidak lebih dari 15 orang yang memiliki sawah 0,5 hektar. Sebanyak 20 kk yang memiliki tanah tidak lebih dari 0,7 hektar. Selebihnya mayoritas adalah penyewa tanah tanpa tanah sama sekali. Pemilik tanah 0,5 hektar ke bawah, yang mengusahai langsung tanahnya, sekaligus adalah penyewa tanah.

Bentuk sewa menyewa tanah adalah dengan memakai sistem bagi hasil yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Pemilik tanah mendapatkan sebanyak 30 % dari hasil kotor panen padi. Tidak hanya itu, terkadang jumlah itu bukan 30 %, melainkan sejumlah sewa tetap, yang tidak bisa diganggu gugat, tanpa mempertimbangkan baik buruk hasil panen padi.

Ongkos proses produksi mulai dari turun kesawah (mangombak), menanam, panen, hingga padi sampai dirumah tidak diperhitungkan dalam sistem bagi hasil sedemikian. Dalam sistem bisnis modern, antara pemilik alat produksi (dalam hal ini tanah) dan pekerja (pelaksana pekerjaan dalam hal ini penyewa tanah) membagi keuntungan setelah dikurangi semua pengeluaran proses produksi.

Lihat perbandingan sistem yang adil dan tidak adil dibawah ini:
 
Sistem yang adil: Sewa = (Hasil Panen – Proses Produksi) : Pemilik + Penyewa
Sistem yang tidak adil: Sewa = Hasil Panen: (Pemilik + Penyewa)

Saya mendapati banyak pekerja keras-bahkan ekstra keras di desa ini yang tidak bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan, karena status mereka yang terperangkap sebagai penyewa tanah. Meski mereka telah bekerja banting tulang sepanjang hari di sawah, namun mereka mendapati pada akhirnya yang mereka kerjakan tidaklah bisa menjanjikan kesejahteraan. Saya sedih melihat kulit mereka yang hangus terbakar matahari, otot mereka yang keras tapi sudah kurus kering tinggal tulang, banyak diantara mereka sebenarnya sudah sakit sakitan memaksakan diri ke sawah setiap hari.

Warga desa ini sesungguhnya diselamatkan bukan oleh pertanian padi mereka, tetapi oleh pekerjaan pekerjaan sambilan lainnya, seperti menanam jagung dan ubi di kebun, berternak ikan, babi, kerbau, ayam, bertenun ulos, manirat (membuat hiasan di ulos), hingga menarik beca.

Hamparan sawah dilihat dari mualpultak
Tidak semua tahan dengan kesulitan kehidupan yang dihadapi. Banyak orang sudah bergantung kepada orang kaya di desa dengan cara mengutang bayar panen (marsali). Dampak dari ketidakmampuan keluar dari kemiskinan ini sudah mulai ada. Beberapa warga sudah mulai kehilangan impian mereka untuk sejahtera. Mereka memilih untuk tidak bekerja keras lagi, pergi minum tuak ke kedai, atau sekedar main batu (main kartu dengan memakai batu domino), dan beberapa orang muda terlihat bermain judi tuo.

Gerombolan Horbo ditengah huta
Sistem ini harus dirobah kalau tidak mau melihat warga desa ini terus miskin puluhan tahun bahkan ratusan tahun lagi. Sekeras apapun mereka bekerja tidak akan ada perubahan nasib mereka. Sekarang keputusan ada ditangan anda pemilik tanah yang sesungguhnya masih keluarga dekat para penyewa tanah. Kebanyakan mereka adalah saudara kandung abang – adik, dan saudara perempuan, ada juga tulang, amang boru, dan lain lain yang masih sedarah.  Anda tidak seharusnya mendapatkan keuntungan dari darah para saudara kandung kita, mungkin hanya karena anda laki-laki yang mendapatkan warisan, meski sudah berkecukupan di perantauan sana.

Jika anda-anda para pemilik tanah yang tinggal di kota kota besar seperti Jakarta, Medan, Lampung, Siantar, Balige, dan lain-lain mau berbagi rasa dengan mereka keluarga kita di desa dengan cara memakai sistem bagi hasil yang adil, maka anda telah melakukan sesuatu yang luar biasa untuk merubah desa ini ke arah yang lebih baik.

Saurlin, par lumban tonga-tonga, Janjimaria, awal januari 2013.