Tuesday, December 20, 2011

Leidong, Kota Mungil Misterius





Peta Labuhan Batu Utara
Kualuh Leidong, biasa disingkat Ledong, adalah legenda bagi seantero Sumatra. Tanjung Leidong, ibu kota Kualuh Leidong, Labuhan Batu Utara, menjadi pusat magnet kawasan ini, sebuah pelabuhan kecil yang berada di sudut paling timur pesisir Sumatra Utara.  Tanjung Leidong ini menyimpan segudang keunikan dan misteri bagi pengunjungnya. Bermacam-macam stigma terhadap kota kecil di Selat Malaka ini, mulai dari tempat tujuan pelarian, gudang perompak kapal, penghasil udang, hingga produsen padi terbesar di Sumatra Utara. Tinggal sejenak di kota pelabunan ini, serasa berada di setting film layar lebar, Pirates of the Carribean. Jika ada orang muda Tapanuli, dataran tinggi Sumatra, yang bertindak kriminal, dan melarikan diri, biasanya beberapa tahun kemudian akan ketahuan, yang bersangkutan ada di Leidong, kota pelabuhan itu.
Stasiun Kereta Aek kanopan

Kota berpenduduk plural -Tionghoa, Batak, dan Melayu ini sejak lama dikenal sebagai sentra konsentrasi padi dan hasil laut. Konon, hingga saat ini, kecamatan Ledong yang berpenduduk sebanyak 28.612 jiwa ini masih mengekspor beras ke Malaysia dan Singapura, ditengah kebijakan impor beras besar-besaran oleh pemerintah Indonesia. Kota kecil ini, menjadi kontrol puluhan tahun puluhan desa yang mengitarinya. Konsentrasi kekayaan se kabupaten berada pada sekelompok orang di kota kecil yang terkesan “angker” tapi eksotis ini. Konon, terdapat dua orang mafia besar masing masing di dua pelabuhan berdekatan, satu orang berada di tanjung Balai, kabupaten Asahan dan satu orang lagi, berada disini, pelabuhan Tanjung Leidong, kabupaten Labuhan Batu (sebelum dipecah tiga). Kepada dua orang inilah terkonsentrasi kepemilikan dan kekayaan dua kabupaten ini.
Jalan Aek Kanopan - Leidong

Kota kecil ini dapat ditempuh melalui laut dan darat. Naik kapal laut dari kota Tanjung Balai menuju Leidong memakan waktu 5 jam dengan ongkos Rp.10.000.  Via jalan darat, bisa ditempuh dari ibukota Kabupaten Labura, Aek Kanopan, dengan memakai mobil atau sepeda motor off road, dengan waktu tempuh sekitar 7 hingga 8 jam. Jalan ini rawan longsor hingga patah, mengingat bahan jalan yang masih hanya terbuat dari timbunan tanah.

Tgl 31 Agustus, 2011, siang hari, saya bersama satu orang teman tiba di Tanjung Ledong, setelah menempuh perjalanan melelahkan, melewati jalan tanah berlumpur dan licin, 4 jam dari pedalaman desa Tanjung Mangedar, dengan memakai sepeda motor. Pinggang serasa mau patah karena jalan yang benar benar buruk. Tiga hari sebelumnya, di perjalanan dari kota Aek Kanopan menuju Tanjung Mangedar,  sepeda motor kami harus ditandu karena jalan yang terputus total oleh banjir sepanjang 30 meter, akibat hujan deras. Perjalanan saya ditemani seorang penduduk lokal desa Tanjung Mangedar, Kualuh Leidong.
Ular banyak ditemui di perkebunan sawit

Setelah perjalanan melelahkan melewati ‘lautan’ perkebunan sawit, di kejauhan mulai kelihatan pemukiman, itulah kota Tanjung Leidong. Segera setelah melewati pintu kota, terlihat mencolok di pintu rumah kotak merah berisi –semacam- lidi yang dibakar, di  kiri kanan jalan, menandakan rumah-rumah khas Tionghoa.  Rumah rumah itu sederhana, terbuat dari papan berlantai dua yang kelihatannya sudah berumur puluhan tahun.

Perut yang keroncongan mengantar kami ke sebuah kedai bakmi. Didalam kedai itu terlihat banyak laki-laki sedang bermain kartu. Dari bahasanya, bisa dipastikan mereka adalah suku Tionghoa. Kedai bakmi ini terkenal di seluruh kecamatan. Si pemilik kedai di kenal luas, termasuk oleh anak-anak. Ade, 8 tahun, anak petani tempat saya menginap di Tanjung Mangedar bertanya ketika kami pulang, “Bang, ada bawa bakmi A Hong[1] ngga?
Leidong ditengah sawit

Tidak banyak aktivitas hari itu. Orang orang lanjut usia terlihat duduk di depan rumah, memandangi kami yang terlihat asing. Satu dua orang mendongakkan kepala dari balik jendela lantai dua, memandang penuh curiga, tetapi kemudian menghilang. Tidak banyak kendaraan lalu lalang di jalan. Lengang. Kami terus melanjutkan perjalanan dengan lambat ke salah satu tempat yang warganya banyak bekerja membuat kerupuk udang. Teman saya mengaku mengenal seorang penjual kerupuk udang di pemukiman itu.

Kecurigaan orang-orang sepertinya berkurang, ketika kami singgah di salah satu rumah suku Tionghoa, kenalan teman saya. Cerita tentang runtuhnya kota yang pernah bersinar itu-pun perlahan mengalir.

Sejak tahun 2000-an, ada dua yang menyebabkan redupnya kota kecil ini. Hancurnya tangkapan ikan adalah penyebab utama. Nelayan sudah sangat kesulitan mencari ikan di laut. Untuk dimakan saja sulit, kata seorang pria berumur 40 tahun. Mereka tidak tahu mengapa ikan begitu sulit didapatkan.

Rumah di Tanjung Leidong
Faktor utama kedua adalah konsentrasi pemungutan hasil panen padi tidak lagi ke kota Tanjung Leidong, karena telah dibukanya akses jalan (meskipun masih jalan dengan timbunan tanah) menuju Aek Kanopan, ibu kota di daratan jauh Labuhan Batu Utara. Ada beberapa pabrik besar penggilingan padi di Ledong yang redup, termasuk milik seorang pengusaha besar A Han. Untuk memastikan mesin bisa berjalan rutin, pengusaha akhirnya memasok padi dari luar Kualuh Leidong. Untuk memastikan kondisi penggilingan padi itu, kami melanjutkan perjalanan lagi.

Di sebuah sudut, menuju penggilingan padi, terdapat rumah kayu berlantai dua. Disana terlihat banyak perempuan dewasa. “Kata orang, itu rumah bordil, itu dulunya ramai sekali, tetapi sekarang tidak, seiring dengan sulitnya perekonomian di sini”, Ungkap temanku itu.

Dari luar tembok yang tingginya sekitar 3 meter, terlihat penggilingan padi itu memang luar biasa besar dengan terowongan mesin membubung ke langit, tidak seperti penggilingan padi pada umumnya yang berukuran kecil. Sulit mencari informasi mengenai keberadaan dan kepemilikan rice mill yang sedang tidak beroperasi itu. Pendekatan kepada seorang pekerja bengkel di samping mill itu tidak berhasil. Dua orang sudah kami coba tanya, tetapi mereka bilang tidak tahu perihal mill itu.

Next gens of Leidong
Tidak jauh dari penggilingan padi, terdapat dermaga penambatan Kapal.  Dermaga ini mengejutkan saya, karena disana terparkir kapal-kapal berbadan besar dan jet ski. Di beberapa kapal tertulis Aero Speed Jakarta, dan Ocean Star II Jakarta. Kapal-kapal ini menunjukkan “kelas” dari kota kecil ini. Tentu ada sesuatu yang luar biasa, harta karun yang sulit dituliskan, tentang kota kecil ini.

Dengan sedikit kecewa, kami melanjutkan perjalanan ke sudut lainnya. Sepanjang perjalanan kami telah melewati beberapa klenteng dengan ukuran sedang. Tetapi disudut barat kota, terdapat klenteng yang berukuran besar sekali, dilahan seluas lapangan bola berdiri kokoh sebuah klenteng dengan dominasi ornamen merah, menghadap ke selat Malaka.

Kunjungan ke klenteng ini mengakhiri perjalanan kami. Tidak terasa hari sudah sore hari, sementara masih banyak misteri yang belum terjawab. Kami segera pulang, mendahului mendung yang menunjukkan tanda hujan akan segera turun.


[1] Nama inisial
Free Hit CountersFree Counter Locations of visitors to this page