Monday, November 26, 2012

Untold Story About (not) Heroes

Tahun 1990-1993 adalah tahun tahun yang berat bagi keluarga kami. Gejolak politik gereja hampir saja mengoyak keutuhan keluarga kami, yang terbukti ternyata sangat tangguh.  Saya tidak tahu banyak tentang pertikaian antara dua kubu di gereja hkbp- saya masih SMP waktu itu. Tetapi yang saya tahu, karakter kedua orang tuaku terungkap sampai ke akar-akarnya, disaat saat mereka menghadapi titik nadir dan kekalutan kehidupan.
 
Ibu saya adalah seorang pembela radikal sae nababan, dan secara terbuka mengungkapkan itu didepan publik, meskipun pendidikan ibu saya rendah, tetapi hati nuraninya bicara sangat kencang dan berwibawa dihadapan teman temannya. Bapak saya, seorang sintua gereja, lebih kalem, dan tidak terlalu terbuka dengan pikirannya kepada publik, lebih moderat, sehingga terlihat ibu saya jauh lebih menonjol kepemimpinannya disaat genting seperti itu. Tetapi ayah saya luar biasa mengelola huru hara yang terjadi antar keluarga, antar kampung, antar kecamatan, karena intervensi militer saat itu terhadap gereja.  Disaat saat kebencian meningkat dan permusuhan tidak terelakkan, bapakku masih bisa membuka komunikasi dengan musuh sekalipun, mendatangi pimpinan musuh, dan mencoba meredam pertentangan yang menajam. Namun tetap saja ketahuan, bahwa bapak saya sebenarnya berpihak kepada hati nuraninya, sebagaimana ibuku.

Dampaknya, bapak saya dipensiun dini dari jabatan sintua gereja, dengan umur yang relatif masih muda, dia menyandang gelar sintua emeritus, dari gereja hkbp simare mare. Tetapi dia tidak menyerah, dia tetap melakoni diri sebagai jemaat biasa. Ibu saya tidak, dia terlibat aktif di gereja parlape-lapean, menjadi motor penggerak disana, dan tetap bersuara lantang. Masing masing karakter ini punya keuntungan masing masing.

Aksi bapak saya setidaknya menghindarkan rumah kami dari rencana penghancuran kelompok SAI Tiara. Kelompok SAI Tiara adalah kelompok bentukan Militer untuk menghancurkan kelompok SSA atau setia sampai akhir, nama untuk gerakan grassroot gereja dibawah pimpinan SAE Nababan.  Akibat usaha bapak saya, rumah saya keluar dari list penghancuran – ingat film schinder list- yang dibuat oleh sekelompok pimpinan gereja resort sigumpar. Meskipun tetap was-was; kami harus mengungsi berhari-hari ke rumah orang lain, keluarga juga, yang memihak kepada SAI TIARA.
Beberapa rumah tetangga kami banyak yang dihancurkan tengah malam. Setelah dihancurkan, isinya dijarah, termasuk ternak seperti angsa, bebek atau babi dari kandangnya. Lucunya, sebelum dihancurkan, biasanya pemilik rumah mendapat peringatan supaya meninggalkan rumahnya, kalau tidak mau korban didalamnya. Para pelaku jagal ini adalah orang orang dekat yang diperintah oleh pimpinan gereja yang sudah diintervensi militer. Persis, sebuah kerja kesetanan yang sistematis, dan sulit dijelaskan dengan akal sehat.  

Belakangan setelah mahasiswa, saya semakin tahu konflik apa yang terjadi sesungguhnya di gereja besar bernama hkbp itu. Beberapa laporan yang saya baca menuliskan, bahwa pimpinan karismatik hkbp saat itu, sae nababan, melakukan dua hal yang tabu pada jaman suharto: menolak masuk Golkar, dan menolak berdirinya PT Inti Indorayon Utama di Porsea.

Selang beberapa waktu, militer mulai memasuki tubuh hkbp melalui serangkaian intervensi dan pembunuhan karakter terhadap sae nababan, hingga menciptakan kepemimpinan boneka yang lahir dari sinode istimewa, bertempat di Hotel Tiara medan, satu satunya sinode yang dilakukan bukan di kantor pusat hkbp, pearaja tarutung, sepanjang sejarah hkbp. Kelompok sae nababan mengalami penyiksaan, penangkapan, bahkan, beberapa laporan bawah tanah mencatat ratusan orang mati hingga kini tidak jelas pendokumentasiannya. Laporan lain mencatat bahwa kelompok sae nababan banyak tertolong oleh keluarga dekat yang menyembunyikan mereka, dan gereja tetangga seperti sekelompok orang di gbkp yang luar biasa menyimpan banyak tokoh penting di shelter mereka.
Kembali ke keluarga saya; Ibu saya benar benar marah, ketika guru huria gereja kami yang setia pada pimpinan SAE Nababan, diusir secara paksa oleh sekelompok sintua-lagi lagi atas perintah ‘atasan’ . semua peralatan rumah tangga, hingga pakaian, koper, dan tempat tidur dibuang secara terbuka ke sungai terdekat, sungai Simare. Semua orang, laki laki perempuan dan anak anak sehari hari melihat benda benda berharga itu mengapung di sungai. Ini tindakan gila yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Secara pribadi, saya juga mengalami kekerasan psikis dari orang orang sekitar saya yang mendukung SAI Tiara. Saya heran apa mereka benar benar mengerti apa itu SAI Tiara, soalnya sekolah mereka juga tidak tamat sekolah rakyat jaman dulu.

Suatu kesempatan, ketika saya berjalan kaki ke sebuah kedai kecil, sekelompok orang tua disana yang berumur antara 50-an hingga 60-an menegur saya. “Hei kau jangan datang datang kesini ya, kau anak orang yang tak beres kau, kau juga mata-mata,” kata orang tua yg saat tulisan ini saya buat masih hidup. Saya yang masih remaja, tidak mengerti apa-apa, dan menanyakan kepada orang tua saya kenapa saya dibenci banyak orang. Mereka bilang, karena kita membela yang benar.
Jika saya pulang kampung, saya selalu sempatkan melihat orang tua yang keji itu, sekedar melihat lihat wajahnya dan terus bertanya dalam hati, kenapa ya dia ini begitu sinis dan benci kepada saya yang saat itu masih anak-anak? Ucapan dia diatas sangat membekas dalam ingatan saya.
Sebagai salah seorang penggiat hak asasi manusia, dan sebagai jemaat hkbp, maaf saya harus menulis sejarah dan kenyataan pahit ini, supaya kita belajar dari sejarah, dan anak cucu kita tidak mengulangi kejadian yang menurut saya, sama kejinya dengan peristiwa 65......

Kedua orang tua saya sekarang sudah berumur diatas 70 tahun. Bapak sudah mulai sakit sakitan, tetapi ibu masih sehat sekali, sesekali masih mengunjungi rumah kami di medan. Saya salut dengan pilihan mereka. Semoga mereka berdua, yang adalah pahlawan dan idola bagi saya selalu sehat dan setia terhadap hati nuraninya. Mereka adalah hero dengan "h" kecil, bukan dengan "H" besar. Dengan damai mereka telah kembali bergereja setiap minggu ke gereja hkbp simare mare, ditengah persawahan di desa kami. Meski bapakku pensiun dini, dalam setiap kesempatan, masih menulis namanya dengan St. Em. M. Siagian, artinya Sintua emeritus.




Free Hit CountersFree Hit Counters