Monday, March 27, 2006

KISAH PERTIKAIAN KAPITALISME VS PETANI


Kontradiksi antara kapitalisme dan petani sepertinya tidak akan pernah berakhir sepanjang sejarah. Masing masing kubu akan terus menerus saling menegasikan, bahkan mematikan, seolah ingin mengingatkan kita pada kisah peradaban pertama Jahudi tentang pertengkaran dua bersaudara, Kain yang bekerja sebagai petani, dan Habel si pedagang, anak keturunan hasil perkawinan Adam dan Hawa. Kisah tragis dari petani dan pedagang pertama ini berakhir dengan terbunuhnya sang juragan, Habel, karena alasan yang sangat mendasar, hasil produksi pak tani itu ditolak di pasar oleh Tu(h)annya. Kain sang pembunuh adiknya sendiri itu akhirnya mendapat hukuman kutukan penderitaan dan menjadi orang asing di tanahnya sendiri.
Terasing dari tanah menjadi semacam takdir yang mengalir. Kisah ini berlanjut setiap masa dari satu peradaban keperadaban berikutnya, nasib petani menjadi selalu menggetirkan, selalu saja kalah dipusaran market yang dipertuhankan para juragan- kapitalis. Kaum kapitalis, seakan mengingat dendam lama untuk senantiasa menindas petani. Akses petani terhadap tanah yang diputus oleh sistem kapitalisme membuat petani menjadi teralienasi dari tanah, bahkan terasing atas hasil produksi dan penentuan nilai produksi pertaniannya sendiri. Semuanya ditetapkan oleh sistem kapitalisme, mulai dari tanah, bibit, pupuk, pemasaran hingga harga hasil produksinya.
Namun sebaliknya, ditengah sejarah kekalahan-kekalahan petani, kaum kapitalis juga tidak bisa tidur nyenyak dengan perlawanan-perlawanan yang terus menerus dilakukan oleh petani hingga kini. Globalisasi sebagai agenda kapitalisme neo liberalisme melalui institusi institusi ekonomi dan keuangan internasional dihadang petani dengan agenda perlawanan dan jaringan sosial global di forum forum global pula. Seperti sertifikasi tanah dilawan dengan okupasi tanah kembali oleh gerakan petani tak bertanah ( MST) di Brazil, Masyarakat adat Zapata menjadi hantu menakutkan bagi pemerintah Mexico yang berhaluan neo liberal, pemimpin petani koka, Evo Morales yang saat ini memimpin Bolivia, merupakan sebagian contoh tidak hentinya geliat petani di berbagai belahan dunia.
Kapitalisme Menegasikan Petani
Mengutip pendapat Eric Hobsbawn (Noer Fauzi;2005), jaman ini adalah abad kematian bagi petani (The Death of Peasantry) menggantikan era petani yang telah mendominasi peradaban ratusan tahun hingga pada abad pertengahan. Hubungan antara abad pertengahan dengan abad dua puluh telah diputus oleh matinya petani dan bangkitnya kapitalisme. Dua esensi dan eksistensi yang kelihatannya tidak mungkin bersahabat, namun saling berlawanan dan saling mendominasi.
Sesuai dengan namanya, hakekat kapitalisme adalah akumulasi kapital. Kacamata akumulasi modal menjadi satu-satunya alat yang dipakai untuk memandang segala sesuatu. Sistem kapitalisme mengharuskan kerja-kerja manusia dinilai dengan keuntungan atau nilai lebih yang bisa dihasilkan olehnya. Tidak ada hal apapun yang luput dari kalkulasi untung rugi. Nilai-nilai sosial, budaya, politik hingga agama tidak luput dari kepentingan akumulasi kapital. Kebenaran adalah kapital itu sendiri. Keleluasaan gerak kapital tidak bisa dihalangi oleh apapun, oleh karena itu dibutuhkan liberalisme, yakni faham yang dari segi ekonomi dapat dipandang sebagai gagasan yang memberikan keluasaan seluas-luasnya kepada individu untuk melakukan akumulasi kapital. Market adalah aktor, bahkan tu(h)an dari dwitunggal kapitalisme-liberalisme ini. Segala regulasi diarus-utamakan untuk memberikan ruang kepada berkuasanya pasar melebihi negara dan institusi masyarakat lainnya.
Sementara petani berada disisi yang sama sekali berbeda yang justru mengganggu bahkan menggugat keleluasaan gerak kapitalisme - liberalisme. Hakekat petani yang punya relasi erat dengan tradisi, pandangan hidup, dan religi yang sakral tidak menjadikan ukuran untung- rugi dalam melakukan kerja-kerja petani. Aksi penolakan petani untuk menjual tanahnya terkadang bukan terkait dengan harga tanah, namun karena hubungan historis dan turun temurun terhadap tanah. Aksi penolakan rakyat India terhadap pembangunan waduk raksasa di Narmada membuktikan bahwa ganti rugi tanah bukan menjadi persoalan. Rakyat yang tergabung dalam Narmada Bachao Andolan ( NBA) atau gerakan menyelamatkan Narmada menolak pendirian waduk dengan alasan nilai sejarah dan religius (Noer Fauzi;2005), sehingga pembangunan DAM itu identik dengan pengenyahan sejarah, keyakinan, serta masa depan generasi mereka.
Agenda revolusi hijau kapitalisme yang dimaksudkan untuk melipatgandakan hasil produksi justru kontraproduktif dalam hitungan jangka panjang. Sebaliknya kualitas dan kuantitas produksi petani justru semakin buruk dengan segala teknologi dan obat-obatan yang ditawarkan para intelektual penopang kapitalisme itu. Buruknya kualitas hasil produksi pertanian menyebabkan munculnya pertanian alternatif yang dikenal sebagai pertanian organik, dengan tujuan mengembalikan kualitas hasil pertanian yang telah hancur oleh karena revolusi hijau. Namun usaha yang sesungguhnya sudah dijalankan petani sebelum revolusi hijau ini pun harus dibayar dengan sangat mahal, dimana proses produksi dan proses distribusinya membutuhkan sumber daya yang besar dan mahal pula.
Menjinakkan Petani Dengan Sustainable Development
Ekspolitasi yang kejam dari sistem kapitalisme terhadap alam tidak sekedar menelurkan kemaha-kayaan segelintir orang pemilik modal dan massifikasi kemiskinan, tetapi juga menghasilkan kehancuran alam yang tentunya mengganggu keberlangsungan kapitalisme itu sendiri. Dampak jangka panjang revolusi hijau ternyata menghancurkan ekosistem, kesuburan tanah serta penurunan produksi. Sertifikasi tanah petani berakibat modalisasi tanah yang secara perlahan memutus akses petani terhadap tanah, dan pada akhirnya ploretarisasi petani. Petani tak bertanah bertambah secara massif yang memaksa mereka menjadi buruh, baik buruh tani maupun buruh industri.
Respon petani atas ploretarisasi secara sistemik ini mendapat perlawanan pula, disebabkan oleh tidak sekedar pertentangan nilai-nilai, tetapi juga oleh karena ketidaksiapan sistem kapitalisme untuk menyediakan ruang yang mencukupi terhadap kebutuhan sosial dan ekonomi rakyat. Di lapangan kapitalisme ini, atau meminjam istilah Noer Fauzi, ditengah ruang pagelaran kuasa kapitalisme, masalah pengangguran semakin menggelembung yang menyebabkan munculnya migrasi buruh ke perkotaan bahkan lintas negara, hingga munculnya arus balik buruh menjadi petani kembali antara lain melalui reklaiming tanah (re-peasantisation). Hal seperti ini dapat dilihat dari apa yang dipraktekkan oleh eks buruh tambang timah yang melakukan reklaiming tanah dan beralih menjadi petani coklat di Bolivia.
Nasib kapitalisme sedang tergoncang sehingga terpaksa dan dipaksa harus merubah diri. Kegoncangan ini membangun kesadaran sosial dan politik diantaranya memandang perlunya memperhatikan masa depan ekologi sebagai sesuatu yang harus dipelihara keberlanjutannya yang kemudian disebut sebagai sustainable development. Struktur kapitalisme yang memaksa terjadinya kemiskinan secara massif (kemiskinan struktural) menjadi salah satu alasan sistem kapitalisme untuk merubah kebijakan terhadap bangsa-bangsa miskin dalam kerangka menjaga eksistensi dan keberlanjutan kapitalisme. Inilah kebijakan lembaga-lembaga internasional penopang kapitalisme yang disebut dengan kebijakan penyesuaian struktural ( structural adjustment policies)
Namun usaha penjinakan ini masih tetap menuai kegagalan bahkan perlawanan dari berbagai bangsa maupun komunitas miskin di berbagai belahan dunia. Realitas kemiskinan yang tidak bisa ditutup-tutupi bahkan hutang negara-negara miskin yang semakin menggelembung tentunya menjadi fakta tak terbantahkan sebagai salah satu basis materil utama dari ketidak –puasan dan perlawanan yang terjadi. Terlepas dari ‘kekalahan’ petani ini, perlawanan komunitas komunitas kecil yang masih eksis hingga saat ini patut menjadi cermin yang merefleksikan ketidaktuntasan persoalan dan kegagalan kapitalisme dengan kebijakan kebijakan penyesuaiannya. Kapitalisme masih harus berhadapan dengan komunitas perlawanan semacam Masyarakat Adat Zapatista di Mexico, hingga gerakan petani tak bertanah di Brazil dan Afrika Selatan.
Oase Petani
Jaman yang disebutkan Eric Hobsbawn sebagai era the end of peasantry ini tentunya masih debatable. Walaupun diakui bukan arus utama global, tetapi masih ada komunitas komunitas yang berwatak dasar dan mempraktekkan kolektivisme, solidaritas, dan keramahan terhadap alam. Komunitas-komunitas ini masih terus hidup dan sedang bersiap menggelar budaya tandingan (counter culture) ditengah ruang pagelaran kuasa kapitalisme yang rakus terhadap sesama dan alam.
Bahkan di awal menapaki abad dua puluh satu ini, gelombang komunitas-komunitas anti kapitalisme dan neoliberalisme ini justru semakin meluas, dan di beberapa tempat telah melembaga dalam institusi negara, menambah barisan negara yang sejak era perang dingin masih tetap konsisten dengan sikap menentang kapitalisme dan neoliberalisme. Para penambah barisan yang secara terang terangan menolak kapitalisme dan neoliberalisme ditunjukkan secara terang-terangan oleh antara lain pemimpin negara Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, mengikuti jejak Kuba, yang masih konsisten dengan pilihan yang sama sejak era perang dingin.
Petani bukan sekedar bicara pekerjaan bertani, tetapi mencakup watak, hakekat dan cara hidup yang bernegasi dengan kapitalisme. Oleh karena itu, penyelesaian masalah petani meliputi pemberian dan perebutan ruang untuk hidup dan eksis. Sulit dibayangkan masalah sosial global diselesaikan dengan upaya programatis semata, seperti program penyesuaian struktural yang dipraktekkan oleh lembaga-lembaga penopang kapitalisme selama ini. Kebangkitan petani di berbagai tempat yang sedang terjadi saat ini bisa berarti awal dari kebangkrutan bagi kapitalisme.
Penulis:
Sp_siagian@yahoo.com
www.bakumsu.or.id