Friday, July 17, 2015

Tragika Engeline dan kita

Sependek ingatanku, tragedi besar di indonesia dalam dua abad terakhir hanya dua; pertama tragedi pembantaian g30s tahun 1965, dan yang kedua tragedi kematian Engeline tahun 2015. Dua peristiwa ini benar benar membuatku ingin muntah. Yg pertama pembantaian ratusan ribu orang tak bersalah, dan yang kedua pembunuhan berencana kepada seorang anak kecil mungil dengan cara yang keji dan dengan tujuan yang jauh lebih keji pula; jika konstruksi yg dipaparkan media tidak keliru.
 Pembunuhan massal tahun 65 berakar pada pertarungan keras dua kutub yang terjadi pada abad 20; sebuah peristiwa politik yang kemudian memfasilitasi hasrat gelap dan dendam manusia untuk membunuh sesamanya. Dan... kematian engeline, adalah kematian yang berakar belikat dengan kejiwaan peradaban abad 21 di indonesia. Maaf seribu kali maaf, telah menuduh dan melibatkan kita semua dengan kematian yang terakhir ini. Juga maaf..jika mungkin saya ingin menghidari membaca berita tentang engeline ini, tetapi sekuat aku menghindarinya, media disekelilingku seolah memaksaku memandang berita ini. Saya tergoncang dengan peristiwa ini, teristimewa karena saya punya anak kecil berumur 5 tahun yang setiap tidur wajahnya yang bersih mulia aku pandangi. Sebegitu sayangnya aku padanya sehingga nyamuk seekorpun tidak akan kubiarkan terbang dikamarnya, apalagi menyakitinya

....engeline si malaikat kecil yg cantik dan pinter diakhiri hidupnya secara keji, dikuburkan tidak wajar...kemudian kematiannya diperalat untuk mengumpulkan uang dengan berbagai cara. Sesakit apakah bangsa kita?
Betul, di abad sebelumnya jejak pembunuhan massal di bali adalah salah satu yg paling keji, seperti yg terjadi di jawa dan sumatra..tetapi mustikah aku membandingkan dua peristiwa kelam ini untuk menggambarkan trajektori sakit jiwa yang kita derita? Bagaimana syaraf kejiwaan menyakiti sesama ini terus berlanjut diantara sesama kita?

Sore ini aku bertemu dengan seorang teman lama separuh baya, dan kami bercerita panjang lebar tentang peristiwa saling menyakiti antara sesama masyarakat kita yang, sepertinya kami mendekati sepakat, persis, adalah juga gejala kejiwaan yang menurun dari generasi ke generasi.
Sementara penyakit lama belum sembuh, kita juga sudah diserang tanpa ampun ‘penyakit penyakit’ baru yang bisa lebih beringas dan tanpa serum. Kita semakin gamang dengan semakin menjauhnya kita dari kedirian kita, dari identitas otentik kita yang sesungguhnya.
Ketika masa lalu kita telah dijajah dan terjajah dengan senjata dan pedang (plus kitab suci), kini kita telah di-dan-terjajah oleh bukan hanya apa yg kita pakai dan kita makan, tetapi oleh nilai, gagasan, dan keyakinan keyakinan palsu yang datang bertubi tubi dari segala penjuru. Kita tidak hanya minder dengan diri kita sendiri, lebih parah dan akut adalah melupakan bahwa kita pernah menjadi sesuatu yang otentik, yg sekarang menjadi manusia seolah-olah dan seolah olah manusia. Engeline harus menjadi korban karena kita ingin menjadi orang lain, engeline harus mati karena kita tidak tahu lagi sesungguhnya kita ini siapa dihadapan engeline, malaikat suci itu.

Kita telah begitu banyak kehilangan bagian bagian tubuh kita; kita sudah kehilangan pengalaman spasial sebagaimana nenek moyang kita memilikinya dulu. Kita tidak bertemu hutan lagi, kita tidak bertemu air sungai lagi, kita tidak bertemu binatang binatang lagi disekeliling kita. Dan lebih mengerikan...sesama kita..oh kawan...sesama kita..sudah tidak pernah bertemu lagi; jari-jari kita sudah sibuk melakukan scroll down android, dan sesekali ketak ketik, berjam jam tanpa bicara dengan teman dekat yang ada disamping kita..jiwa kita sudah terpancung jauh, menyembah samsung, dan nokia yang maha kuasa.

Kita bahkan sudah tidak punya nyali untuk menyembuhkan diri kita sendiri. Ayoo..hai orang asing datanglah..dengan begitu aku merasa yakin masalahku ini bisa selesai....ayoo..hai pemiling uang dari negri asing..investor yg maha kuasa..datanglah...kami miskin butuh dibantu....ayooo hai budaya asing...berkuasalah disini..sebab kami tidak berbudaya lagi..ayoo lembaga PBB..datanglah..penyelamat yang maha kuasa..selamatkanlah danau toba kami yang indah..dari kehancuran..sebab kami tidak tahu lagi memulai darimana...datanglah bersama dengan uangmu.

Ayo minta minta...dengan tangan secara fisik dijalanan raya untuk bangun gereja atau masjid..dengan terang benderang pakai tulisan ‘donasi’. Ayo minta minta..dengan buat proposal ke orang orang asing itu..dengan jujur atau dengan boong boongan... ayolah..kami benar benar tidak berdaya..kami musti bermain drama ini untuk memancing kamu datang membantu kami...

Aku ingin ambil contoh paling dekat dihadapanku tentang kebohongan. Aku menyaksikan teman temanku pinter bermain drama pendek, posting sesuatu plus gambar di media sosial. Aku tahu kamu tidaklah begitu, dan aku tahu kamu bukanlah itu, tetapi kenapa kamu harus bermain drama dan melankolia seolah hidupmu ada di sinetron picisan? Kepentingan kepentingan begitu banyak tersembunyi secara tidak begitu rapi membuat kita hanya bisa tersenyum bahkan terbahak-bahak menyadari ketelanjangan ketelanjangan seperti itu.

Sejak kapankah kami mulai melupakan leluhur kami? Sejak kapankah kami lupa terhadap diri kami yang sesungguhnya? Sesakit apakah masyarakat kita? Sesakit apakah komunitas kecil gerakan sosial kita?
@kingkong, july13, 2015. 
Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page

Thursday, January 22, 2015

“Kisah Kepingan Sorga, Tapian Nauli”

Awal mula penciptaan bumi, dewa langit menciptakan dua teritori. Teritori pertama adalah untuk dewa dewi yang telah memilih menetap di bumi, itulah Tapian Nauli, yang diciptakan mirip sorga, karena para penghuninya yang berasal dari sorga. Teritori kedua adalah perkampungan manusia biasa, yang disebut Mula Tompa.

Tapian Nauli terdiri dari Pulau dan danau yang indah, tempat para peri, dewa dan dewi untuk bersantai sehari hari, dengan junjungan tertinggi mereka, sang dewi, Deak Parujar. Tempat dimana segala jenis makanan, minuman yang sehat dan segar tersedia. Air danau tempat mandi dan minum sekaligus, karena airnya yang segar dan menyehatkan.Tempat embun bergulung gulung segar yang jika dihirup membuat kulit menjadi bersinar,  tempat madu asli yang jika diminum akan membuat nafas menjadi harum seperti bunga. Segala kebutuhan tersedia disana. Binatang binatang, burung, dan ikan, bercengkrama dengan akrabnya dengan para dewa dan dewi. Tempat sang dewi utama, Deak Parujar, melanjutkan hobbi surgawinya, menenun kain.

Mula Tompa adalah sebuah perkampungan manusia yang setiap hari terlihat hiruk pikuk, tempat segala jenis manusia berkumpul dan bertarung mencari nafkah. Setiap orang harus bekerja keras di ladang untuk mencari sesuap makanan, setiap orang harus berburu ke hutan dengan bersusah payah untuk mendapatkan daging hewan liar.  Siang dan malam tiada istirahat, namun mereka tetap dengan kondisi yang sulit, tetap menderita. Sesekali mereka diijinkan sekedar menengok tempat tinggal para dewa dewi di tepian danau indah, tapian nauli. Mereka semakin gusar melihat dirinya yang semakin susah, sementara dewa dewi di Tapian Nauli menikmati hidup yang makmur tanpa kekurangan sesuatu apapun.

Suatu kali penduduk di Mula Tompa melakukan rapat kampung. Kondisi yang semakin memprihatinkan di kampung telah memaksa mereka untuk bertemu membicarakan nasibnya. “Buah Pepohonan kita tidak semanis buah pepohonan di Tapiannauli, umbi-umbian ini tidak selezat yang disana,”Kata seorang tetua. “Air sungai kita juga tidak sejernih danau mereka, udara yang kita hirup juga berbeda dengan udara mereka yang harum”,Kata seorang tetua lainnya. Seorang pemuda memanggul busur menimpali,”Saya tidak bisa menemukan buruan lagi di hutan kita, sementara disana mereka bercengkrama dengan hewan hewan”.

 “Pantaslah kulit kita lebih jelek dari mereka, sementara kulit mereka memancarkan sinar cahaya. Nafas kita lebih bau dari mereka, badan kita kurus kerempeng, tidak seperti mereka yang gemuk. Ini jelas tidak adil,”kata seorang tetua. “Malah kita harus membanting tulang bekerja, sementara mereka tiap hari hanya berpesta pora, tidak ada ratap tangis disana,”Tambah yang lainnya. Pertemuan itu menjadi hiruk pikuk. Mereka bicara bersahut sahutan.

“Betul, ini tidak adil, kita harus meminta bagian dari wilayah Tapian Nauli”. “Kita harus mengepung dan mengalahkan mereka, dan mengambil alih Tapian Nauli itu”. Tidak mungkin, mereka itu dewa dewi, kita hanya manusia biasa, kita akan mati kalau mereka tahu tujuan kita. “Nafasnya bisa berubah api yang menyala nyala”. “Pepohonan, binatang, air, dan udara bisa berbicara kepada mereka”.


Sesaat hening setelah menyadari kekuatan para dewa dewi itu, seorang tetua menyampaikan usul “Yang Mulia, saya mengusulkan dibentuk tim investigasi untuk mengetahui apa saja kelemahan kelemahan mereka”. Semua peserta rapat menyetujui usulan itu. Dikirimlah lima orang yang paling pintar dan paling kuat diantara mereka untuk melakukan penyelidikan ke tanah yang menyerupai kepingan sorga itu.

Sesampai di Tapian Nauli, ke lima orang itu disambut baik oleh para dewa dewi, mereka dibebaskan mengambil dan memakan seperlunya dari tanah mereka, tetapi tidak boleh membawa lebih dari apa yang bisa mereka makan. Ketika mereka mencicipi madu yang diberikan, mereka merasakan kulit mereka lebih berkilau. Ketika mereka meminum air danau yang jernih itu, terasa nafas mereka menjadi wangi. Kelima orang itu melanjutkan perjalanannya hingga ke istana utama tempat dewi junjungan seluruh mahluk, dewi deak parujar, sedang menjalankan hobbinya, menenun ulos.

Ada yang unik disaat para peri cantik itu bernyanyi, dewi Deak Parujar tertidur pulas, demikian juga dengan dewa dewi lainnya. Tetapi ketika mereka berhenti bernyanyi, para dewa dewi itu terbangun kembali. Yakin telah menemukan kelemahan para dewa dewi itu, kelima orang utusan itu pun pulang ke kampung, dan menceritakan kelemahan dewa dewi itu kepada para tetua kampung.

Keputusan penting pun diambil, yakni dewa dewi itu akan diculik, supaya warga kampung bisa menguasai kepingan sorga itu. Untuk memuluskan penculikan, dibentuklah tim paduan suara untuk mempelajari lagu lagu yang dinyanyikan para peri itu.  Juga, sebuah gedung besar kedap suara dibangun sebagai tempat baru dewa dewi itu nantinya, berikut alat pemintal dan alat tenun untuk sang ratu utama. Setelah berbulan bulan latihan dan menyiapkan niatnya, tim terbaik dari kampung dikirimkan, terdiri dari tim paduan suara dan tim pemandu tenda kamuflase tempat para dewa dewi itu akan dimasukkan.

Tibalah waktu dimana para peri sedang menjalankan kebiasaannya berenang ke danau meninggalkan para dewa dewi yang sedang kedatangan tamu dari Mula Tompa. Tamu yang jumlahnya tidak biasa itu kemudian mulai bernyanyi lagu lagu kesukaan dewa dewi.  
Benarlah apa yang mereka perkirakan. Dewa dewi itu senang, dan meminta mereka menyanyikan terus menerus lagu-lagu itu dihadapan sang Ratu dan dewa dewi. Seketika, para dewa dewi itupun tertidur pulas. “Bernyayi terus, dan angkatlah mereka ke tandu tandu yang telah disiapkan,”Kata pemimpin rombongan penculik dari desa itu.

Di perjalanan, mereka bernyanyi terus menerus, berhari hari, bergantian, sampai ada shift siang dan malam, hingga sampai di kampung. Para dewa dewi itupun dimasukkan ke dalam gedung besar mirip Tapian Nauli. Regu paduan suara terus diperintahkan untuk bernyanyi sepanjang waktu.”Jangan sampai mereka terbangun sedetik pun,”Kata pemimpin rombongan penculik Mula Tompa. Dewa dewi itu telah dibuai dan diperangkap di gedung itu.

Tibalah saatnya penduduk Mula Tompa menduduki Tapian Nauli. Dengan bergegas mereka bergerak bersama sama menuju Tapian Nauli. Setelah tiba, mereka mengambil apa saja yang ada di Kepingan Sorga itu. Mereka makan dan minum sepuasnya. Bukan hanya itu, madu-madu asli mereka masukkan ke dalam botol, air-air jernih di danau itu mereka masukkan kedalam galon-galon yang sudah disiapkan. Mereka juga mulai membangun tempat tinggal baru untuk mereka sendiri ditempat itu. Nafas mereka menjadi wangi, kulit mereka jadi bercahaya, dan umur mereka menjadi panjang. Masing masing mengumpulkan emas dan berlian berlomba lomba untuk kekayaan sendiri.

Bertahun tahun tanpa henti, mereka mengeruk segala yang ada ditempat itu. Mereka bawa pulang, dan sebagian mereka tumpuk dilumbung dan menjualnya ke perkampungan lain. Mereka alpa, bahwa apa yang mereka lakukan telah merusak dengan sangat parah danau, merusak tanah, dan merusak pepohonan. Kepingan sorga itu telah terluka parah.

Hewan hewan telah habis dibunuh oleh penduduk. Pohon-pohon melayu, Danau menangis, Udara merintih, Tanah yang berubah gersang bersedih. Pepohonan mulai meraung,”Mengapa mereka menghancurkan kita?”. Tanah menyahut,”Dewa dewi telah mereka ambil dari kita, sekarang kita sendiri pun telah dihancurkan mereka. Kita harus membalas kejahatan mereka. Mari kita tunjukkan bagaimana kekuatan kita”.

Ditengah pesta pora penduduk Mula Tompa, tiba tiba datanglah angin puting beliung dan hujan deras, selain itu gelombang air sungai melimpah ruah seperti air bah, tanah bergoyang bertanda gempa dasyat, dan menyemburkan api yang menyala nyala, meletus membentuk jamur raksasa di langit. Penduduk kocar kacir dan berseru seru minta tolong satu dengan yang lainnya. Air yang menggunung menyapu bersih seperti menumpahkan amarah terhadap warga kampung itu. Ratusan bahkan ribuan orang mati terlindas ganasnya alam itu.

Mereka yang selamat meratapi kehancuran tiada tara yang mereka alami. Tidak ada yang tersisa kecuali pakaian yang melekat di badan, bahkan pakaian mereka telah compang camping, dan badannya luka-luka. Dengan lunglai mereka pulang ke kampung asal, Mula Tompa. Sembari bertanya tanya apa gerangan yang membuat bumi marah. Seorang tetua berkata,”Kita butuh bantuan dewa dewi yang telah kita tawan itu. Kita harus segera membebaskan mereka dari kampung untuk menyelamatkan kita.

Merekapun bergegas menuju gedung besar tempat dewa dewi itu terlelap tidur selama bertahun tahun. Mereka masih menyaksikan regu paduan suara masih terus menyanyikan lagu lagu secara bergantian. Tetua yang selamat dari bencana dasyat itu meminta paduan suara itu berhenti bernyanyi. “Kita sekarang telah mendapat bencana besar, mari hentikan nyanyian ini, sebelum kemarahan alam Tapian Nauli menghampiri kita ke sini. Kita harus bangunkan dewa dewi itu, kiranya dewa dewi dan ratu juga menyelamatkan kita,”Teriaknya.

Regu paduan suara itu pun menghentikan nyanyian itu. Tetapi alangkah terkejutnya mereka, karena dewa dewi itu tidak bangun dari tidurnya. Dengan wajah yang putus asa mereka menggoncang goncang tubuh dewa dewi yang wajahnya terlihat tersenyum itu. Tidak ada respon sama sekali, dewa dewi itu telah tidur untuk selamanya. Dewa dewi itu telah tertidur terlalu lama, mabuk oleh pujian lagu lagu indah. Awan gelap, bergulung gulung diudara,  ratap tangis penyesalan dan menyembah nyembah, tidak mampu membangunkan dewa dewi itu. Dewa dewi itu telah menjadi patung yang tersenyum, selama-lamanya...

King, Januari 22, 2015.  
 Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page