PENGANTAR
Kehancuran ekosistem global sudah sampai kepada titik yang sangat menguatirkan eksistensi kehidupan di bumi. Penghancuran terus menerus terjadi seolah conditio sine qua non, sesuatu yang harus terjadi dan tidak ada yang bisa mengendalikan dan menghentikannya. Pemanasan global, kopongnya lapisan ozon yang fungsinya menjaga bumi dari panas matahari, krisis hutan, air dan makanan, hingga bencana bencana lintas negara yang terjadi akhir akhir ini seperti tsunami dan badai menjadi realitas yang terus menerus menerpa bumi.
Ribuan tahun umur peradaban manusia ternyata hanya menghasilkan kehancuran dirinya sendiri. Segala sesuatu bermakna terbalik. Pembangunan ternyata adalah penghancuran, kemajuan adalah kemunduran, dan kemajuan peradaban adalah kebiadaban. Tidak terkecuali agama-agama besar saat ini yang umurnya juga setua peradaban, perannya tidak terlihat dalam sejarah untuk menjaga kualitas kehidupan ke arah yang lebih baik, sebaliknya seringkali ikut dalam melegitimasi proses penghancuran kehidupan di bumi secara tidak langsung.
Proses penyebaran agama-agama besar ke seluruh dunia termasuk Indonesia utamanya seperti kristen dan islam, harus diakui ikut ambil bagian dalam proses ini, sementara komunitas lokal (native), masyarakat adat atau yang akrab disebut dengan indigenous people yang hidup selaras alam semakin kritis kondisinya. Padahal, sebagai komunitas yang langsung berinteraksi sehari-hari dengan alam dan hutan, merekalah juru kunci lenyap tidaknya sisa sisa hutan, peninggalan kejayaan alam dan peradaban masa lalu . Pelibatan masyarakat yang masih memiliki keyakinan, kearifan, dan nilai nilai luhur terhadap alam dan lingkungan hidup ini adalah salah satu hal terpenting dan mendesak saat ini, namun tidak berarti peran dan pelibatan agama-agama dominan dalam memulai mencintai dengan tulus alam dan lingkungan hidup sebagai sesuatu yang kurang penting.
NASIB KEYAKINAN MASYARAKAT LOKAL
Sudah menjadi hal yang umum bahwa upaya melestarikan lingkungan hidup berkaitan erat dengan wacana pelibatan masyarakat lokal, atau indigenous people. Namun, pelibatan keyakinan-keyakinan dasar dan kepercayaan yang mereka anut mengenai kehidupan alam yang dianggap suci dan sakral jarang menjadi wacana yang dieksplorasi dalam bingkai pelestarian alam dan lingkungan hidup. Kelihatannya masyarakat lokal juga hampir punah seiring dengan punah dan hancurnya kehidupan ekologi. Stigmatisasi yang negatif acap terjadi terhadap keyakinan mereka karena berbeda dengan agama –agama dominan.
Di negara Indonesia, orang yang memiliki dan menganut kepercayaan diluar lima agama yang direstui negara, disebut sebagai penganut aliran kepercayaan. Bahkan lebih jauh, acap kali penganut aliran kepercayaan dicap sebagai aliran sesat, tentunya versi agama-agama dominan itu. Ini adalah sebuah ironi, disatu sisi ada upaya membangkitkan kembali partisipasi masyarakat lokal dalam melestarikan lingkungan, tetapi disisi lain, keyakinan-keyakinannya yang mendasar tidak mendapat tempat untuk ditumbuh kembangkan. Usaha partikularisasi ini tentunya akan menimbulkan keterasingan bagi komunitas lokal, sementara penghormatan terdalam pada lingkungan hidup tempat mereka berinteraksi sehari-hari dapat diwujudkan atas dasar keyakinan yang telah dimiliki secara turun temurun untuk menghormati dan menjaga keutuhan alam.
Tentu ini adalah bias dari agama-agama besar yang ditopang oleh negara dalam mendefenisikan keyakinan atau kepercayaan kepada sesuatu yang transenden. Stigma ”aliran kepercayaan” atau bahkan lebih jauh ”animisme” yang dibuat sejak rejim orde baru berkuasa ini tentunya adalah pembodohan dan pembohongan, oleh karenanya memerlukan koreksi dan rehabilitasi, untuk menghentikan diskriminasi yang telah terjadi kepada penganut keyakinan lokal ini selama puluhan tahun. Secara administratif, mereka akan selalu kesulitan berhadapan dengan pemerintah karena Kartu Tanda Penduduk yang sulit diurus. Terkadang mereka harus memasukkan salah satu agama besar yang diakui oleh pemerintah demi kelancaran urusan adminstrasi, walaupun mereka tidak tahu sama sekali apa ajaran agama yang dicantumkan itu.
Ini adalah hal lain yang menyangkut persoalan struktural yang memerlukan perhatian dan pemecahan struktural pula dari pemerintah. Disisi yang lain, agama agama dominan juga sering menunjukkan ketidak-akrabannya dengan keyakinan keyakinan masyarakat lokal, seperti mencap animisme, sinkritis, atau sesat. Dinamika ditingkat agama-agama dominan juga menunjukkan perubahan terhadap pemaknaan masyarakat lokal dan lingkungan hidup
PERTOBATAN AGAMA DOMINAN
Fakta historis tidak bisa memungkiri bahwa agama-agama dominan punya andil dalam hancurnya lingkungan hidup yang dialami seluruh umat manusia di bumi ini. Legitimasi teologis yang diberikan agama-agama dominan, atau barangkali lebih tepat pemanfaatan dan manipulasi agama telah menjadi sertifikat penguasaan dan penjajahan bumi dan segala isinya secara rakus dan tanpa kendali oleh para penganutnya. Kerugian dan kerusakan alam yang tidak terkira ini tentunya juga telah menimbulkan kesadaran sebagaian agama-agama dominan atas perilakunya, sehingga buru-buru mencari dasar teologis baru yang lebih bersahabat dengan alam.
Tidak hanya agama,sesungguhnya ilmu dan filsafat pengetahuan juga pada awalnya ikut andil dalam melegitimasi eksploitasi alam yang tanpa ampun, dengan menempatkan manusia sebagai mahluk yang dianggap bernilai dan memiliki kelas spesies tertinggi dalam strata mahluk hidup. Sebelum pertobatan agama agama dominan ini, kiranya penting untuk menelisik secara umum seperti apa hubungan pengrusakan alam dengan keyakinan yang berkembang dan terlegitimasi selama ribuan tahun di lingkungan agama-agama dominan yang memiliki persfektif bias terhadap alam dan lingkungan.
Bencana banjir bahorok tahun 2004 yang menelan korban jiwa setengah juta orang disebut sebagai murka Tuhan terhadap warga yang sudah banyak melakukan dosa. Kotbah seperti ini acapkali kita dengar oleh tokoh tokoh agama besar ditelevisi. Padahal, ditemukan ternyata penggundulan hutan akibat legal logging dan illegal logging telah terjadi dengan sangat merajalela. Demikian juga peristiwa tsunami dan gempa di Aceh dan Nias. Alangkah malangnya nasib para korban, sudah jatuh ketimpa tangga dan cat pula, sudah ketimpa bencana, dicap pendosa lagi oleh kotbah kotbah para tokoh tokoh agama. Sesungguhnya cap itu harus ditempelkan dikening para penjarah hutan, koruptor dan aparat yang membeking para perampok berdasi itu. Sikap dan paradigma agama-agama dominan juga dapat disaksikan dari aktivitasnya yang cenderung karitatif dalam menanggapi persoalan lingkungan hidup. Memberikan bantuan karitatif tidak salah, tetapi tidak cukup untuk menjawab masalah yang memerlukan gagasan yang komprehensif.
Manusia dilihat sebagai strata tertinggi dan penguasa alam yang memanfaatkan alam untuk kemakmuran manusia. Dalam persfektif agama dominan, Allah memberi kewenangan penuh kepada manusia untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingannya. Tradisi berfikir barat yang tidak bisa lepas dari agama dominan juga mengukuhkan bahwa manusia adalah mahluk yang istimewa dibanding mahluk lainnya yang lebih rendah. Manusia memiliki jiwa, bisa berpikir, dan menciptakan sejarah, sementara binatang adalah mahluk mekanisitis yang tidak bisa melakukan meditasi terhadap dirinya sendiri. Pandangan yang seperti inilah yang disebut sebagai antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang istimewa sehingga layak melakukan apa saja terhadap objek alam untuk kepentingan dirinya sebagai subjek. Pandangan antroposentrisme inilah yang mendominasi pandangan agama-agama dominan selama ribuan tahun.
Disadari oleh kalangan penganut agama agama dominan bahwa telah terjadi kesalahan tafsir atas alam, sehingga mulai merekonstruksi tafsir baru yang lebih bersahabat dan menghargai lingkungan. Tahun 1986, untuk pertama kalinya tokoh tokoh agama besar melakukan pertemuan di Italia yang dikenal dengan deklarasi assisi. Dari pertemuan itu ditemukan bahwa ternyata agama-agama dominan seperti Kristen, Islam, Hindu dan Budha memiliki basis teologis kesadaran tentang lingkungan hidup. Tokoh tokoh agama menyampaikan pernyataan pernyataan diambil dari kitab masing masing, sebagai keberpihakan kepada lingkungan hidup dan genderang perang terhadap perusak lingkungan hidup.
Posisi dan peran agama dominan dapat menjadi sinergis dengan lingkungan hidup serta seluruh kehidupan yang terkait dengannya secara utuh. Upaya menghabisi ’agama’masyarakat lokal bisa bergeser ke arah saling menghargai dan saling menghormati. Dalam berbagai hal dapat bekerjasama dan bergandengan tangan dalam rangka menghempang laju kehancuran alam dan hutan yang masih tersisa.
’AGAMA’ MASYARAKAT LOKAL DAN LINGKUNGAN HIDUP
Sulit menemukan data yang pasti tentang jumlah penganut aliran kepercayaan di nusantara ini. Mengikuti publikasi The World Factbook(2001), dari 230 juta penduduk Indonesia terdapat 96 % jumlah penganut agama agama dominan seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Data ini mengisyaratkan bahwa jumlah penganut aliran kepercayaan bisa mencapai 4 % atau sekitar 9,2 juta jiwa. Namun dalam bingkai pelestarian alam, jumlah ini jauh lebih penting karena komunitas komunitas mereka yang setidaknya bersentuhan atau berinteraksi langsung dengan alam. Eksistensi mereka sangat tergantung terhadap kehidupan dan keberlangsungan lingkungan alam. Mereka tidak saja berkepentingan atas kehidupan yang bersumber dari alam dan hutan, tetapi berkepentingan atas lestari dan eksisnya hutan sebagaimana adanya, sebab eksistensi keduanya adalah saling hubungan yang tidak terpisahkan.
Bisa dikatakan bahwa komunitas lokal sekitar hutan menghargai hukum yang berlaku dengan alam lingkungannya, jauh dari logika ekonomi untung rugi para perambah hutan yang datang jauh dari luar komunitas mereka, katakanlah dari masyarakat perkotaan yang materialistis, dan memandang hutan dari kacamata dollar, bukan dari kacamata lingkungan alam sebagai entitas yang memiliki sirkulasi kehidupan yang harus dihormati dan dijaga hak-haknya untuk hidup dan lestari. Letak kesucian dan kesakralan yang dimiliki oleh alam –sebagaimana diyakini komunitas lokal- tidak mendapat tempat bagi logika dagang saudagar kota yang haus dengan keuntungan sesaat.
Kita tidak pernah mendengar gundulnya hutan ratusan hektar oleh karena komunitas tradisional yang tinggal dihutan. Namun kita selalu mendengar illegal logging yang dilakukan masyarakat kota yang memandang segala sesuatu dari segi keuntungan ekonomi sesaat. Jika ada orang orang dari masyarakat lokal yang terlibat dan tersubordinasi dalam rantai penggundulan hutan, sesungguhnya hal itu berakar pada ekspansi dan penjajahan nilai yang dilakukan oleh peradaban kota yang kapitalistis. Komunitas lokal tidak memandang alam sebagai sesuatu yang harus diekslpoitasi. Komunintas lokal yang seringkali di cap sebagai orang orang yang memeluk animisme atau aliran kepercayaan memiliki hubungan yang simbiosis dengan alam secara langsung, berbeda dengan masyarakat kota yang lebih merasa teralienasi dengan kehidupan alam.
Disekitar lereng gunung Sinabung di Sumatera Utara dikenal masyarakat Karo yang sebagian kecil masih menganut kepercayaan tradisional yang dikenal dengan Pemenah, dan disekitar gunung Pusuk Buhit di Samosir dikenal masyarakat Batak Toba yang sebagian masih menganut aliran kepercayaan Parmalim. Interaksi keselarasan hidup dengan alam dan hutan dapat diteladani dari mereka, setidaknya ritual mereka menggambarkan tingginya penghormatan terhadap hutan sekitarnya.
Aliran kepercayaan yang ada di Nusantara ini sebenarnya jauh lebih ramah lingkungan dari agama agama besar yang ada saat ini. Katakanlah aliran kepercayaan Parmalim di Tanah Batak, hutan yanh disebut tombak, adalah sesuatu yang sakral dan harus dijaga kehidupannya, karena merupakan air susu kehidupan bagi manusia. Mata air atau sumber air adalah homban, yang berarti suci dan haram hukumnya untuk dikotori. Demikian juga suku anak dalam yang hidup di propinsi Jambi. Mereka semakin terjepit dengan perambahan hutan yang diganti menjadi areal perkebunan. Bagi suku anak dalam yang hidupnya sangat erat dengan rimba, perkebunan monokultur sama dengan gurun pasir, karena tidak bisa memberikan kehidupan apapun bagi mereka. Masyarakat yang masih menganut aliran –aliran kepercayaan diluar agama besar masih banyak di seluruh nusantara, namun tidak ada perhatian untuk melestarikan faham dan nilai-nilai yang mereka miliki, ironisnya justru agama-agama besar acapkali melakukan ekspansi yang gencar terhadap faham dan nilai-nilai yang mereka anut.
Dari sudut pandang etika ekologi, keyakinan dan nilai nilai selaras alam yang dimiliki komunitas lokal lebih mendekati apa yang disebut Arne Naess(1973) dengan deep ecology, sebuah varian dari teori ekosentrisme yang berkembang sebagai antitesis terhadap antroposentrime yang dianggap telah menghancurkan alam selama ribuan tahun. Sintesa Naess menarasikan tidak sekedar keyakinan-keyakinan terhadap lingkungan, tetapi mencakup filsafat kearifan terhadap lingkungan atau ecosophy, serta gerakan ekonomi dan aksi politik selaras alam.
Tidak seperti faham antroposentrime yang memandang persoalan lingkungan hidup sebagi persoalan teknis, persoalan lingkungan hidup menyangkut paradigma dan watak berfikir yang harus diobah tentang alam. Alam adalah salah satu subyek yang memiliki hak untuk hidup dan bertumbuh sama dengan manusia. Disinilah letak relevansi aliran kepercayaan yang dimiliki komunitas-komunitas lokal untuk menjaga keutuhan dan kelestarian alam. Menganggap alam dan hutan sebagai sesuatu yang suci, yang tidak bisa dikotori dan dirusak, tidak beda jauh dengan maksud subyektifikasi terhadap alam sebagaimana dimaksudkan oleh Arne Naess.
PENUTUP
Pelibatan masyarakat lokal dalam menjaga dan mengembalikan kehidupan alam dan lingkungan hidup, tidak akan akan berjalan dengan baik tanpa pelibatan mereka secara utuh, menyangkut institusi sosial, ekonomi, politik, dan terutama pelibatan keyakinan keyakinannya terhadap alam dan lingkungan. Keyakinan-keyakinan yang nota-benenya adalah ’agama’ masyarakat lokal ini menjadi hal yang penting untuk digaris bawahi.
Agama-agama dominan yang pada masa lalu punya andil dalam pengrusakan alam, terlepas dari kekeliruan atau manipulasi ayat ayat dari masing masing agama, sudah seharusnya memberikan kontribusi penghargaan terhadap lingkungan hidup dan segala kehidupan didalamnya, termasuk menghargai dan mendorong kemajuan keyakinan-keyakinan masyarakat lokal yang bersahabat dengan lingkungan hidup. Apresiasi terhadap keyakinan keyakinal lokal menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam upaya menanggulangi persoalan lingkungan hidup.
Dari sudut kebijakan, pemerintah sudah saatnya mengakhiri diskriminasi terhadap masyarakat lokal yang memiliki keyakinan diluar agama-agama besar yang selama ini diakui. Klasifikasi penganut agama dan penganut kepercayaan termasuk kebijakan orde baru yang melanggar hak asasi manusia untuk bebas untuk menentukan keyakinan. Terakhir, kepada masyarakat lokal harus diberikan akses yang memadai untuk melestarikan keyakinan-keyakinannya, utamanya dalam melindungi alam dan lingkungan hidup. Setiap komunitas lokal memiliki kearifan lokal, nilai sendiri, metode sendiri, serta aksi aksi yang secara alami dimiliki untuk memecahkan persoalan dirinya sendiri tanpa intervensi dari luar komunitasnya.
No comments:
Post a Comment