Monday, November 05, 2018

Pulang untuk Jaga Nalar





Kembali ke kita; ada dua ciri umum masyarakat kosmopolitan Indonesia; masyarakat yang mengalami kekosongan karena terlalu lama berjarak dari ‘sarang’ sosial dan ekologi nusantara. Kelompok kedua; masyarakat cosmopolitan dan transisi agraris yang otaknya sudah berisi nilai, tapi cilakanya nilai – ideologis- asing yang mencaci maki asal usulnya sendiri – ini setara malinkundang ideologis. Namun, berita baiknya, masih ada sisa sisa kelompok kelompok sosial baik perkotaan dan perdesaan yang masih hidup dengan, dan menghargai nilai dan praktek sosial ekologi agraria nusantara. Percaya tidak?

Jika ada kemauan, tidak sulit melacak untuk kembali – mengambil contoh masyarakat nusantara yang kita kenal Indonesia dalam 70 tahun terakhir. Lihatlah cara berfikirmu, apakah cara berfikirmu telah berganti jauh dengan cara berfikir satu-dua generasi dilingkungan alam dan sosial agraris nusantara? Lihatlah apa yang kamu makan, apakah seluruh makanan yang kamu makan berjarak jauh dari makanan agraris lingkungan alam sosial sekitarmu? Lihat lah cara berpakaianmu, apakah kamu sedang secara utuh memakai pakaian penutup tubuh dari lingkungan alam dan sosial yang berbeda– apa lagi penutup tubuh dari sejarah masa lalu bangsa lain yang mana bangsa itu sendiri saja sudah berubah? Melakukannya harus disadari sebagai kekalahan, namun, tidak menyadarinya adalah kolonialisasi otak yang utuh, imperialisme otak yang sempurna. Bodoh tingkat galaksi.

Jika demikian, curigailah sekolah dan kurikulummu, curigailah lembaga lembaga yang membangun kamu sedemikian rupa menjauh dari bumi manusiamu, curigailah dirimu dan para pendidikmu. Apakah sekolah dan kampus tempatmu belajar, kebiasaan sehari harimu, agamamu, pekerjaanmu, telah membuatmu semakin jauh dari keberadaan dan sifat ekologi sosial masyarakatmu.
Sekali lagi, terlalu lama pergi  menyebabkan kekosongan, dan kekosonganlah yang menyebabkan naluri mencari sesuatu yang baru muncul. Cilakanya yang baru itu adalah asing dan destruktif.

Pulang, tak sekedar kembali harfiah, atau melawan migrasi peradaban kosmopolitan, atau royo royo pulang kampung. Aktivis orde lama menyebutnya turba, aktivis 90-an menyebut integrasi atau live in, politisi parlemen jaman now menyebutnya reses, perantau yang pulang musiman menamainya mudik. Tidak sekedar itu.


Pulang, adalah suatu sikap, tatanan berfikir dan tatanan kehidupan yang menghargai warna warni lanskap bumi dan kehidupan sosialnya. Pulang, adalah pertobatan, kembali dari singularitas dan singularisasi kosmopolitan yang membosankan, menuju isi dan wajah warna warni asali di sarang sosial ekologi bumi yang bebas dari penjajahan dan penindasan, kembali ke   ‘bumi manusia dengan segala permasalahannya’.  Hanya dengan cara ini, kewarasan dan nalar bisa langgeng terpelihara.






*****
tulisan sore di udara- pulang- batikair -halim –KNO 26 okt 2018


Free Hit Counters
Free Counter Locations of visitors to this page