Tuesday, September 20, 2005

aku jarang nulis cerpen, tapi aku beranikan aja..heheee

Sebuah Cerpen:
Memperingati Jatuhnya Soeharto

REVOLUSI, DARI DAN UNTUK TOILET
By : Saurlin

Gemuruh api semangat yang membakar ribuan mahasiswa Indonesia tidak diduga sebelumnya akan menjatuhkan rejim otoriter pimpinan Jenderal besar Soeharto, enam tahun yang lalu. Anak-anak bau kencur yang motivasinya bermacam-macam itu, sedang turun kejalan. Ada yang ikut karena gerah dengan rutinitas kuliah, ada yang merasa turun kejalan itu nampak seolah olah patriotis –pahlawan, ada yang sekedar lihat-lihat pasangan, atau sekedar mendengar orasi dan berteriak-teriak meluapkan emosi yang terpendam sewaktu diruang kuliah, atau dalam keluarga yang mengekang. Tapi salah seorang dari ribuan itu sedang bermaksud, itu adalah sebuah rencana revolusioner meruntuhkan sebuah rejim yang kejam kepalang. Tampaknya tak salah lagi, setelah aku pikir-pikir, salah seorang –saja- dari semua mereka yang berpikir seperti itu. Jika –pun- benar sekelompok orang, maka sesungguhnya adalah satu- dua orang dari sekelompok kecil itu yang menggerakkan wacana, menggerakkan logistik, dan menggerakkan langkah turun kejalan.
Di Medan tempatku kuliah, dua tahun sebelum peristiwa 21 Mei 1998, masih teringat jelas dibenakku aksi-aksi mahasiswa secara tidak teratur dilakukan sekelompok kecil mahasiswa yang berjumlah sepuluh orang hingga lima belas orang. Tidak pernah enam belas. Dari lima belas itu, tiga belas adalah ikut-ikutan, yang dua orang lagilah pahlawannya, atau tepatnya merasa –pula- sebagai pahlawannya. Kalau kedua orang itu tak setuju, kegiatan kelompok akan gagal, kalau kedua orang itu tidak datang diskusi, biasanya diskusi dibatalkan karena terasa kurang seru. Atribut orang penting ini akrab dengan asesoris berlogo Che Guevara, Karl Marx, atau kaos yang disablon berisikan kata-kata patriotis, minimal kata-kata “Stop ini, atau stop itu…”. Rambut gondrong, celan jeans robek diberbagai sudut seperti dengkul, paha atau pantat. Diskusi-diskusi seru selalu melibatkan nama-nama besar itu, nama yang sangat jauh di belahan dunia asing, tanpa nama itu serasa kurang terpelajar. Belajar tentang Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien atau Panglima Polim terasa kuno dan tidak modern sehingga tidak mendapat porsi dalam diskusi. Romantisme yang dibangun adalah revolusi Prancis, revolusi Bolsevik di Rusia, atau gerakan kiri baru mahasiswa di Jerman.
Mengingat cara berfikir ini, saya jadi teringat pula tulisan Takashi Shiraisi yang berjudul “Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa”. Sesungguhnya Kolonialisme tidak bisa menundukkan Hindia (Jawa), jika para pemimpinnya tidak terbias oleh rasionalisme dan modernisme barat. Alur berfikir inlander mulai diperiksa dan diberikan racun ilmu barat, sehingga dengan sangat mudah, kultur dan sistem lokal berhasil dihancurkan bukan oleh kaun kolonial, tetapi oleh kaum inlander sendiri yang kepalanya berisi ilmu barat, mulai dari Boedi Utomo, RA. Kartini, Soekarno, Tan Malaka dan para pemikir yang sudah terinveksi ilmu-ilmu barat, begitu kata bukunya. Ini benar-benar sejarah yang memalukan dan mengerikan, penjinakan ini sulit disadari juga oleh saya sendiri, dan sekarang saya sedang berada pada fase-fase penjinakan ini?
Kembali ke aksi lima belas orang tadi, aksi turun kejalan-yakni satu-satunya aksi yang diketahui pada masa itu- tergolong monoton, dibanding aksi –aksi pasca 98 yang sudah bermacam-macam, mulai dari aksi mogok makan siang, aksi gantung diri –tapi tak sampai mati, hingga aksi telanjang bulat, mewarnai aksi –aksi belakangan ini.
Setiap aksi ini setidaknya mengeksploitasi secara berulang beberapa hal. Pertama peserta aksi yang diikuti oleh lebih kecil dari enam belas orang itu, kedua, biasanya memakai satu buah spanduk bekas -yang telah berulang kali digunakan, ketiga , berlokasi di tiga pilihan tempat; kampus, bundaran SIB, dan Gedung DPRD, keempat, selalu saja memakai kata langganan sebagai awal kalimat: TOLAK, atau STOP, kata-kata yang paling merasakan eksploitasi masa itu, mulai dari isu global; tolak Globalisasi, Neoliberalisme, Stop campur tangan WB, IMF , hingga isu lokal; stop PHK, Tolak Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), stop Illegal Logging, dan tolak Soeharto.
Biarpun dengan metode monoton, aksi itu biasanya mendapat perhatian publik dan media, celakanya terkadang mendapat perhatian serius dari aparat, sehingga harus digiring ke kantor polisi atau militer terdekat. Dipukul sekali –dua kali supaya bertobat kemudian dilepaskan, dengan harapan teman mahasiswa yang dipukuli tadi akan memberitahukan kengerian itu kepada teman-temannya yang lain dan kemudian jera. Efeknya ada mahasiswa yang jadi semakin jinak, tetapi ada yang tetap berlawan, utamanya satu – dua orang yang aku sebutkan tadi.
Mengingat soal jinak menjinakkan ini, saya teringat dengan tulisan Jan Breman berjudul “ Sang Koeli”, yang membahas metode penjinakan dengan cara mempertontonkan kekejaman yang luar biasa kepada publik, dengan harapan rakyat jadi semakin hormat dan takut kepada kaum kolonial. Cara-cara sadistik ini antara lain dengan membuat acara khusus hukuman gantung, pancung, memotong kaki, tangan atau alat kelamin bagi siapa yang melanggar peraturan kolonial. Metode ini berlangsung ratusan tahun di wilayah Hindia Belanda, yakni Indonesia sekarang. Tidak berlebihan kalau aku sebut “jinak” telah menjadi watak, sesuatu yang laten sekaligus manifes. Menjadi jinak adalah harapan pemerintah terhadap rakyatnya, sekaligus manusia jinak adalah keinginan setiap orang tua kepada anak-anaknya, jinak menjinakkkan menjadi tradisi bangsa. Mencoba melepaskan diri dari situasi jinak, yang dilakukan satu –dua orang itu, menjadi semacam usaha gila, memang adalah gila kalau diantara seluruh rakyat, ada satu-dua orang yang “lain”, tidak jinak adalah ide gila sekaligus perilaku gila.
Cerita pendek ini saya tuliskan adalah dedikasi kepada yang gila-gila itu saja, yakni satu dua orang itu, yang saya bayangkan kemarin telah susah payah membangun kelompok diskusi dan menggerakkan aksi mahasiswa, yang mungkin sadar atau tidak berusaha sedang dijinakkan terus menerus oleh lingkungannya. Beginilah ceritanya usaha mereka kemarin untuk membangun kelompok dan mengusahakan perubahan.
Tersebutlah di kota Medan sebuah kelompok diskusi yang sedang asyik masyuk merencanakan suatu aksi. Pertemuan yang dihadiri lima belas orang itu adalah usaha susah payah yang dilakukan oleh satu orang, dibantu satu orang temannya untuk mengundang teman-teman lainnya yang kelihatannya sudah bosan berdiskusi. Perdebatan ada diseputar itu juga, ada yang bosan diskusi saja tanpa aksi yang tidak pernah lagi dilakukan dalam beberapa waktu terakhir, tetapi ada yang berpendapat diskusi adalah salah satu bagian terpenting dari rangkaian aksi. Akhirnya disepakatilah aksi turun kejalan. Seperti biasa, dilakukan penggalian pikiran-brain storming- dan sharing isu menentukan agenda aksi, kemudian dihunjuklah pimpinan aksi, urusan logistik, urusan pers dan urusan persiapan statemen, spanduk, serta lokasi aksi ditentukan. Tidak ada yang keberatan dengan aksi itu, semua setuju-setuju saja, sebagian menyebutkan sekalian olah raga untuk menyehatkan badan yang keseringan masuk angin karena begadang. Persiapan akan dilakukan disalah satu rumah kost anggota kelompok, untuk mengecek TOA-pengeras suara, memperbanyak statemen, dan mengambil spanduk-spanduk bekas milik LSM, -bekas seminar-seminar yang mereka pakai di hotel-hotel - untuk dicuci kembali dan dicat ulang.
Sampailah pada hari H minus satu, yakni hari untuk merampungkan segala persiapan. Seperti biasa yang pertama hadir adalah yang satu orang yang saya ceritakan tadi, kedua adalah pemilik kamar kost itu yang adalah anggota kelompok diskusi juga. Menunggu terlalu lama membuat yang seorang ini mendahulukan diri bekerja menghapus kata-kata “Selamat Datang...” yang ada di spanduk-sapnduk itu, diganti kata STOP…, di kamar mandi temannya tadi. Biarpun dia sebenarnya ditugaskan sebagai pimpinan aksi, tetapi dia mau mengerjakan tugas yang seharusnya telah disepakati bagian pekerjaan petugas logistik itu . Untuk menghibur diri, dia sebutkan kepada temannya yang satu lagi,” Revolusi barangkali harus dimulai dari toilet ini, toilet ini menjadi saksi pertaruhan nasib bangsa”, katanya sambil tertawa dan membilas spanduk itu hingga bersih. Ditahap ini belum ada juga muncul batang hidung petugas yang telah ditetapkan membilas spanduk, sehingga dilanjutkanlah mencat satu demi satu huruf diatas spanduk yang telah dikeringkan sebelumnya. Komitmen, janji, dan kesepakatan adalah absurd, gumamnya dalam hati. Hingga siap tulisan spanduk itu, tidak satupun dari ketiga belas temannya yang datang. Biarpun demikian, oleh karena entah hantu ideologi apa yang ada dalam pikirannya, pada malam hari diapun masih bersedia mengunjungi satu demi satu rumah anggota yang ketiga belas itu untuk memastikan kehadirannya esok hari untuk turun kejalan. Akhirnya, jadi juga ke lima belas orang itu melakukan aksi turun ke jalan dipimpin oleh orang yang satu tadi . Semua peserta aksi dengan semangat mengikuti atau menyambut apa saja yang disebutkan pimpinan aksi. Kesadaran kolektif barangkali juga absurd, pikir sang pimpinan aksi. Begitulah berbagai aksi yang senantiasa terus menerus digerakkan oleh satu – dua orang itu.
Tidak terasa aksi terus berlanjut hingga melewati tahun demi tahun, dan alam bawah sadar masif juga terbentuk tentang makin busuknya kakek Jenderal purnawirawan Soeharto di Istana Merdeka, yang telah terlalu berlama-lama mengatur –ngatur dengan tangan besi. Saya yakin, bahwa aksi mahasiswa di Medan tanggal 21 Mei 1998 adalah yang terbesar -dari segi jumlah tentunya- bahkan mengalahkan jumlah aksi buruh Medan 14 April 1994, aksi buruh berjumlah sekitar 5000 orang yang terkenal di Indonesia dan menjadi monumen perjuangan buruh . Lebih dari 10.000 orang mahasiswa turun kejalan dari seluruh Universitas, Institut, STIE, STMIK, dan Politeknik di Medan turun kejalan dan menuju tujuan yang sama yakni gedung DPRDSU. Aksi ini tidak mendapat perhatian yang besar dari media, karena terpusat pada proses politik yang terjadi di Jakarta, yakni turunnya sang kakek, Jenderal purnawirawan Suharto dari kursi Presiden.
Entah kesadaran apa yang menggerakkan seluruh mahasiswa, dari mulai kelompok kecil tadi, hingga tukang gelek dan tukang judi di kampus turun ke jalan dan menuju DPRDSU yang bukan istana presiden itu, menuntut Soeharto mundur jauh di Istana merdeka Jakarta sana. Sulit dibayangkan memang soal alam bawah sadar, namun faktanya ribuan orang telah bergerak oleh susah payah gagasan satu orang dan dibantu satu orang temannya, terlepas dari nasib yang satu orang ini juga lebih malang, karena hasil perjuangannya dicuri oleh elit kini. Tragisnya, mereka harus kembali juga ke toilet kini. Perjuangan yang dimulai dari toilet itu telah diakhiri dengan kembali keasalnya, toilet. Saya mendapat inspirasi dan kesadaran soal yang ini ketika sedang berak dan melamun di toilet.


Saurlin
Written on Medan, 20 Mei 2004
Memperingati 6 tahun jatuhnya Suharto, 21 Mei 1998 – 21 Mei 2004

memahami pilihan korban korban 65

Memahami Pilihan Korban Korban Peristiwa 65

Dengan menelisik karya-karya ilmiah seputar peristiwa Gerakan Tigapuluh September 1965 yang banyak beredar pasca jatuhnya Suharto tahun 1998, makin jernihlah kiranya bagi publik tentang kabut sejarah yang menyelimuti skandal pembantaian sistematik terbesar sepanjang berdirinya republik ini. Hembusan angin segar tengah bertiup menghalau kabut gelap yang seolah telah bosan menutup terlalu lama kebuntuan sejarah. Lebih dari 30 ahli sejarah dari dalam dan luar negari telah menuliskan sejarah yang meletakkan tesis yang setidaknya berbeda dengan buku putih yang diterbitkan oleh pemerintahan Soeharto tahun 1994 terbitan Setneg, tentang pelaku pembunuhan Jendral 1 oktober 1965 dini hari di Jakarta dan peristiwa pembantaian sesudahnya.

Dari berbagai penelitian itu, belum ada angka yang benar-benar pasti tentang jumlah korban pembantaian, penahanan dan penyiksaan yang berlangsung pasca peristiwa G 30 S terhadap orang orang yang dituduhkan terlibat PKI. Robert Cribb (2004) mencoba mengumpulkan buku-buku yang menulis tentang jumlah korban tewas. Dari 40 jenis referensi yang berhasil dikumpulkan, terdapat data bervariasi mulai dari 78.000 orang (Komisi Pencari Fakta, 1965) hingga 2.000.000 orang ( Mellor,1966) tewas dibantai. Selain itu, para sejarawan juga kebanyakan melakukan penelitian di Jawa dan Bali, sementara di daerah-daerah sangat sulit mendapatkan hasil penelitiannya, misalnya hasil data tentang korban 65 di Sumatera Utara.

Korban antara lain terdiri atas orang yang terlibat sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, orang yang terlibat sebagai anggota organisasi massa underbow PKI, orang yang terlibat organisasi massa bukan underbow PKI namun beraliran kiri , anggota TNI yang diduga mendukung Partai Komunis Indonesia, hingga orang –orang yang tidak tergabung dengan organisasi apapun tetapi distigmakan atau dikaitkan dengan PKI. Oleh pemerintah mereka digolongkan ke dalam golongan pelaku langsung G 30S (golongan A), golongan yang terindikasi terlibat secara tidak langsung atau punya hubungan dengan G 30S ( golongan B), golongan yang terindikasi terlibat PKI (golongan C), dan golongan D, E, serta F masing masing terindikasi punya hubungan dengan PKI namun tidak termasuk golongan A, B, dan C. Lebih luas lagi, keluarga keluarga mereka yang disebutkan diatas menjadi jutaan korban tambahan yang mengalami ketidakadilan sosial yang tidak kalah buruknya. Pemerintah “menghukum” mereka dengan memutus akses terhadap berbagai kehidupan publik, seperti tidak bisa bekerja di instansi-instansi pemerintah. Mereka menjadi orang orang yang “tidak bersih lingkungan”, yang dikucilkan secara politik, sosial, budaya dan ekonomi selama puluhan tahun bahkan hingga sekarang dalam masyarakat Indonesia.

Hingga kini, sejarah resmi masih belum berubah walaupun begitu banyak tesis ilmiah yang menarasikan bahwa PKI bukan seperti apa yang dinarasikan rejim orde baru beserta propagandanya tentang peristiwa G 30S. Terdapat lebih dari 20 peraturan yang masih saja mendiskriminasi mantan tahanan politik 65, mulai dari TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang pelarangan ajaran Marxisme Leninisme di Indonesia, hingga Kepmendagri No. 32 tahun 1981 sebagai dasar pencantuman kode khusus pada KTP eks tapol.

Di akhir Era pemerintahan Megawati Soekarno Putri tahun 2004, pemerintah memproduksi UU No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dimaksudkan untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa serta mewujudkan rekonsiliasi ( pasal 3). Dilahirkannya UU ini ditengarai berbagai kalangan sebagai usaha berdamai dengan masa lalu yang sudah mulai disadari mengalami banyak manipulasi. Peristiwa pembantaian dan penahanan massal pasca peristiwa G 30 S PKI adalah salah satu kasus terpenting berskala nasional (bahkan internasional) yang -juga dianggap- menjadi semangat lahirnya UU KKR itu, disamping menerima pengaduan serta menyelidiki peristiwa- perisitwa kejahatan HAM berskala lokal selama Orde baru berkuasa, dan menyampaikan rekomendasi atas pemberian amnesti, kompensasi serta rehabilitasi ( pasal 6)

Dilahirkannya UU ini diharapkan memberikan ruang legal bagi korban untuk bersuara, dimana selama ini suaranya telah terdengar diluar arena resmi. Hal ini juga berarti, dalam persfektif pemerintah, ada pengakuan atas adanya korban-korban kejahatan HAM luar biasa pada masa lalu yang perlu didengarkan dan diakomodasi kebenarannya. Atas dorongan berbagai kelompok masyarakat sipil, pemerintah disadarkan akan adanya perlakuan tidak adil di masa lalu terhadap sekelompok anak bangsa yang ikut berjasa dalam usaha mendirikan dan memperjuangkan berdirinya Republik ini.

Namun bagi korban korban 65 beserta keluarganya yang telah menderita dan mengalami ketidakadilan selama puluhan tahun, memiliki sikap yang bervariasi dalam memandang kehadiran UU KKR. Secara umum sikap korban-korban yang masih hidup dapat dikategorikan pada dua lingkaran sikap. Lingkaran pertama adalah korban yang menyikapi kehadiran UU KKR secara politik yang bersikap menolak secara tegas kehadiran UU KKR karena UU ini tidak akan menyelesaikan persoalan dengan tuntas. Korban di sikap ini memandang bahwa peristiwa 65 adalah persoalan politik yang harus diselesaikan pertama-tama dari akarnya, yakni mencabut kebijakan yang mendiskriminasi eks tapol/napol, antara lain TAP MPRS No. XXV tahun 1966 dan puluhan peraturan turunannya dan mengadili pelaku-pelaku utama pembunuhan. Budiawan(2004;249) menyebutkan korban yang memiliki sikap seperti ini lebih pada tuntutan dari orang orang terkemuka seperti Pramudya Ananta Toer . Sikap ini lebih mendekati apa yang disebutkan Hersri Setiawan (dalam Budiawan,2004) sebagai kelompok yang ‘tidak memaafkan dan tidak melupakan’, atau ‘memaafkan namun tidak melupakan’.

Jenis kedua adalah lingkaran sikap yang normatif – ekonomis. Korban korban dilingkaran ini akomodatif terhadap UU KKR karena memungkinkan diberikannya kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu. Kalangan ini tidak mempersoalkan lagi tentang ‘cacat’ UU KKR yang tidak tegas mengenai hukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM, bahkan melihat bahwa dengan kehadiran UU ini saja merupakan sesuatu yang positif bagi penghargaan terhadap korban. Diberikannya kompensasi dan dikembalikannya harta korban yang dirampas sudah cukup maksimal tanpa mempersoalkan stigma dalam masyarakat dan kebijakan pemerintah yang masih diskriminatif. Hersri Setiawan menyebut kecenderungan sikap ini sebagai sikap ‘memaafkan dan melupakan’ .
Walaupun ditengah pesimisme yang meluas, saat ini publik sedang menunggu keputusan akhir anggota terpilih Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan bekerja selama 5 tahun untuk melakukan pencarian fakta pelanggarn HAM berat, menerima pengaduan dan merekomendasikan kompensasi,rehabilitasi dan amnesti terhadap korban. Bagaimanapun, pilihan korban adalah yang terpenting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan kelompok kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap nasib korban korban 65. Mereka menjadi subjek yang paling berkepentingan dengan harapan-harapannya dibanding kelompok masyarakat yang bukan korban yang walaupun berada diposisi mendukung dan bersimpati sekalipun padanya, termasuk menentukan sikap terhadap kehadiran UU KKR.

Penulis:
Saurlin Siagian/
Divisi studi Bakumsu Medan
perigibening@yahoo.com

Monday, September 19, 2005

alow teman teman,,,,,,ini adalah tempat tulisan2 ku..................

Tidak ada tempat dibumi bagi Bangkai Kemis

Setelah Kemis mati dibunuh ditahanan koramil ( Buterpra) Patumbak, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, bulan oktober tahun 1966, 4 orang temannya yang juga tahanan di TPS ( Tempat Penahanan Sementara) Buterpra, disuruh paksa oleh buterpra untuk menguburkan Kemis ke daerah pekuburan di pekuburan muslim patumbak 1, kecamatan Patumbak. Mayatnya diletakkan diatas dipan tanpa dibungkus kain kafan selayaknya orang meninggal.


Pihak keluarga yang mengetahui kematian Kemis, yakni ibu dan kakaknya, datang hendak memberikan kain kafan kepada mayat Kemis. Akan tetapi, kelompok yang disebut sebagai anggota anggota komando aksi melarang dengan mengancam, bahkan jika kedua orang itu mau melihat mayat Kemis pun, mereka juga akan ikut dibunuh.


Sesampai di pekuburan muslim itu, anggota komando aksi setempat melarang pembawa mayat itu untuk mengubur mayat Kemis di pekuburan muslim itu. “Mayat komunis tidak layak dikuburkan disini”, ungkap mereka. Akhirnya mayat Kemis diantarkan ke pekuburan non muslim tidak jauh dari tempat itu, desa patumbak 1 kec Patumbak Kec. Deli Serdang. Kuburan Kemis yang hingga kini berdiri satu satunya di antara kuburan kuburan non muslim menjadi saksi sejarah atas kekejaman dan kebiadaban sistemik yang dibangun pada awal berdirinya sebuah rejim baru.


Kemis, adalah anggota muda Pemuda Rakyat berumur 18 tahun. Pemuda dari keluarga miskin ini hanya memiliki seorang kakak yang sudah janda, sama seperti ibunya yang juga seorang janda. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kemis bekerja sebagai pemain angguk, penari jaipongan adat suku jawa, yang biasa berkeliling di desa melakukan pementasan. Bagi Kemis, menjadi anggota salah satu organisasi pemuda adalah cara menjadi bagian dari kehidupan jamannya pada waktu itu.


Hingga pertengahan tahun 60-an, memasuki sebuah organisasi di era Soekarno itu adalah semacam kebanggaan, dan memiliki nilai heroik, warisan turunan dari masa kemerdekaan satu dekade sebelumnya. Hampir tidak ada pemuda yang tidak memasuki organisasi pada waktu itu. Organisasi Pemuda Rakyat adalah salah satu organisasi dari berbagai organisasi pemuda yang sedang bertumbuh pesat. Tidak pernah terbayangkan, mati disiksa ditahanan buterpra, apalagi memimpikan mayat yang ditolak untuk dikuburkan.

(oleh :Saurlin, Diolah dari wawancara terhadap Sg, Sr, dan Es di desa Patumbak, Sept 2005)

Wednesday, September 14, 2005

pastor radikal itu ada di toba...

“Berbasuhlah, dan bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan jahat dari depan mataKu, berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik, usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam, belalah hak hak anak yatim…….(setelah itu)…mari kita berperkara firman Tuhan, sekalipun dosamu merah seperti sirih, akan putih seperti kapur”

Demikian Sang pastor mengawali gagasannya dari nats Alkitab Perjanjian Lama pada sebuah dialog interaktif di Medan bulan maret 2003 yang lalu. Pastor Hyginus Silaen, OFM. CAP, yang akrab dipanggil pastor Silaen ini terkenal dengan kegigihannya menentang PT. Inti Indorayon Utama atau yang sekarang berganti nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari meyakini Indorayon sebagai manifestasi dari ruh materialisme yang harus dihentikan. Mendengar pernyataan teologis ini, seorang Prof. Cecep Syarifuddin yang ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama ( PBNU) memberi respon yang sangat simpatik,” Teologi pembelaan kaum duafa pastor membuat hati saya tergetar, saya yakin bahwa 40 juta umat Nahdatul Ulama pasti mendukung sikap pastor,” Ungkapnya dalam kesempatan dialog interaktif yang sama. Siapa, mengapa dan untuk apa sang pastor paroki Balige ini melakukan semua itu?

Siapapun yang mengenal Pastor Silaen, akan teringat dengan seorang pastor di Brazilia bernama Joao Bosco yang bekerja dalam kesetiakawanan dengan petani miskin, sebuah pemihakan rohani pada perjuangan rakyat miskin( option of the poor), yang pada akhirnya terbunuh oleh rezim penguasa tahun 1967.

Saya sudah pikirkan ini matang-matang, Indorayon hanya menimbulkan kehancuran bagi Toba Samosir, dari segi manapun tidak ada kebenaran dari keberadaan Indorayon, serta perilakunya terhadap alam dan rakyat. Saya bukan hanya sebagai pastor, tetapi sebagai manusia biasa merasa bertanggungjawab untuk mempertahankan memperjuangkan keadilan dan kebenaran, kedamaian dan keutuhan ciptaan, dengan segala macam cara ini harus diperjuangkan, saya juga berharap pada akhirnya semua orang akan punya harapan dan kesadaran yang sama. Saya sudah menyatu dengan rakyat porsea, dan satupun tidak akan bisa memisahkan ini dengan cara apapun. Ini bukan persoalan agama, tapi persoalan semua umat manusia, persoalan penindasan atas alam dan manusia oleh penguasa dan pengusaha yang zalim. Kezaliman ini jelas adalah penyembahan terhadap berhala uang, dengan segala cara telah dilakukan untuk uang, menindas membunuh memprovokasi dan mengintimidasi hanya demi uang, sehingga musuh kita jelas, penyembah berhala uang itu harus dilawan dan disadarkan supaya bertobat. Kata pastor ini menjawab ketika dipertanyakan latar dan spirit perjuangannya .

Pastor yang mengaku sejak kecil bercita cita jadi pastor ini lahir di Sidikalang, Kabupaten Karo, tahun 1952, menghabiskan masa kecil di desa Silaen Toba Samosir, hingga tamat sekolah Guru Atas (SGA) di Balige tahun 1968. Latar kehidupan agraris, masyarakat yang kuat solidaritas di desa, serta kehidupan yang keras banyak mempengaruhi karakter pastor di kemudian hari. Pengalaman hidup di Tobasa berupa keindahan alam, kesejukan udara, dan moralitas, budaya serta kedamaian tanah batak dirasakan langsung sejak kecil hingga mencapai cita-citanya termulia menjadi pastor, Hanya sedikit waktu bagi pastor untuk meninggalkan tanah batak, itupun masih diwilayah geografis yang masih tergolong tanah Batak, yakni di Parapat selama 5 tahun untuk mengikuti Sekolah Filsafat dan Teologi tahun 1970( yang sekarang telah pindah ke Siantar dan berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Filsafat ). Pastor mengawali pelayanan resminya sebagai pastor paroki di Pakkat tahun 1976, kemudian pindah ke pastoran Parapat tahun 1979, kemudian ditugaskan pada jabatan yang sama di pastoran Kisaran tahun 1984. Setelah dari pangururan, pada akhirnya pastor ditugaskan di pastoran Balige mulai tahun 1998, saat dimana pastor mulai terlibat langsung dalam pembelaan terhadap rakyat Porsea. Kepedulian terhadap rakyat kecil sudah ditunjukkan pastor jauh sebelum kasus porsea, ketika bertugas di Parapat tahun 1980, disaat mana rejim totaliter militeristik Soeharto berkuasa, pastor juga pernah menabuh kritik tajam terhadap pemerintah melalui Dinas Kehutanan karena penebangan hutan di wilayah Toba dan Samosir yang merajalela

Pemahaman dan pengalaman bersama rakyat yang cukup banyak semakin melengkapi pengetahuan pastor tentang kebobrokan perusahaan Pulp tersebut. Pastoe menyebtkan bahwa sebelum Indorayon beroperasi, dilakukan studi dan hasilnya tidak layak, namun dimanipulasi dan terus dilanjutkan karena manusia hanya berfikir soal uang. Secara ekonomi memang menghasilkan untung bagi pengusaha, Tapi dari sudut yg lain, rugi: Longsor di bulusilape, 14 orang mati tertimbun, Thn 1998, 5 orang mati, antara lain Panuju, dan Hermanto. Dari kemanusiaan sudah tidak layak lagi, munculnya pelacuran-pelacuran, ini yg tidak bisa kita terima, Sangat merusak lingkungan hidup, ekosistem di danau toba hancur, Pelanggaran HAM, karena kehadiran pabrik ini, Manusia sebagai ciptaan tertinggi telah menyalahgunakan kebebasannya,Hidup manusia telah terkontaminasi dengan materi, TPL kerjasama dengan pemerintah, dengan aparat keamanan, rakyat korban karena keberpihakan pemerintah, demokrasi telah dilucuti. Dunia mengerti apa itu demokrasi, tapi apa yang terjadi dengan penangkapan 16 orang masyarakat porsea. Mereka pikir dengan cara itu rakyat akan takut, yang paling jelas adalah sinetron lelucon pengadilan di Tarutung yang telah menvonis 2 hingga 4 tahun masyarakat porsea yang dituduh memecahkan sebingkai kaca kantor Camat. Mereka benar benar konyol sebenarnya. Tokoh-tokoh agama termasuk pimpinan HKBP, Pimpinan Katolik dan lainnya pernah meminta supaya tahanan bisa menikamti natal dan tahun baru di rumahnya, termasuk kepada dua orang pendeta yang ditahan, tapi itupun tidak diindahkan oleh pemerintah sama sekali, bahkan tahanan disiksa, apa pejabat ini tidak beragama? Kalau memang memang para pejabat seperti Bupati, Kapolres dan pejabat lainnya tidak menghargai tokoh agama, seharusnya para tokoh agama harus menentukan sikap dan memberi sanksi kepada pejabat bersangkutan. Saya tidak bisa mengerti lagi negara kita ini Ada pertanyaan untuk kita , negara apa Indonesia ini? quo vadis indonesia baru, pancasila tinggal slogan melulu, apakah negara militierisme, Saya kira menjadi jelas kehancuran moral yg mengarah ke materialisme, Banyak kita terima juga ucapan-ucapan dari pihak pemerintah bahwa berdoalah di gereja, dan tempat ibadah jangan mencampuri soal masyarakat, itu saya kira keliru dan bodoh, bahkan menipu sehingga mereka sebenarnya tidak bermoral, kita bisa baca itu di media massa oleh penguasa. Kata pastor berapi-api menaggapi sikap pemerintah selama ini terhadap rakyat porsea.

Ditanyai sikap anak ke enam dari tujuh bersaudara ini terhadap sikap tokoh agama yang lain, Umat beragama harus menunjukkan identitas dan keterlibatannya untuk menyempurnakan doa-doa kita, dimanapun kapanpun kita harus menunjukkan identitas kita, , tugas dan tanggungjawab serta panggilan agama mempertahankan memperjuangnkan keadilan kebenaran, kedamaian dan keutuhan ciptaan, dengan segala macam cara ini harus kita perjuangkan .hingga saat ini terus rakyat diteror dan diintimidasi aparat karena berani menyampaikan aspirasinya, suara kebenaran. Dimana-mana di seluruh dunia yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia harus dikutuk, sebagaimana trjadi dinegara kita ,khususnya di Porsea. Pertanyaan kepada penguasa kita ini adalah apakah pemerintah, polisi dan aparat, serta penguasa tidak punya hati nurani lagi?. Saya melihat tidak lagi, sehingga perlu pertobatan. Akhirnya saya mau katakan, demi keadilan, demi keutuhan ciptaan, stop TPL dari porsea, kedua, dengan cara apapun bebaskan 16 orang tahanan dari masyarakat porsea, tarik aparat dari porsea, terimakasih semoga bermanfaat.

Selain dukungan penuh gereja Katolik atas perjuangan pastor, beliau juga mengaku bahwa perjuangan ini adalah panggilan pribadi yang harus dituntaskan, dan pemahamannya atas hal itu sudah selesai sejak lama. Namun pastor mengaku ada sedikit kendala dari pihak keluarga, namun itu telah dapat dimengerti sepenuhnya oleh seluruh saudara-saudaranya yang terdiri dari lima orang perempuandan satu laki-laki.

Intimidasi,fitnah dan pelecehan merupakan makanan minuman sehari-hari bagi pastor ketika melakukan kerja-kerja hariannya, mengunjungi rumah rumah penduduk disekitar Porsea. Sekitar desember 2002, pastor mengaku pernah diintimidasi oleh segerombolan orang yang diyakini benar oleh pastor sebagai intel dari kepolisian. Pastor meyakininya karena sudah sering dilihat memasuki kampung namun tidak dikenali oleh penduduk, selain itu plat mobil yang mereka tumpangi itu sering terlihat parkir di depan Polsek Porsea. Salah satu diantara intel itu dengan kasar merampas catatan harian pastor, hanya karena pastor menulis sambil memperhatikan gerombolan orang sinting itu. Saya kenali orang itu, dan saya akan cari catatanku itu sampai dapat dan harus dikembalikan, kalau tidak dia saya yakini akan celaka,”Ungkapnya. Mereka juga menyebut saya anjing pelacak Indorayon,”Tambahnya sambil tertawa.

Keyakinan seorang pastor paroki ini adalah bahwa dalam waktu dekat TPL pasti tutup, ini benar-benar keyakinan saya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, iman saya mengatakan TPL akan kembali tutup. Sudah terlalu tinggi, terlalu lebar dan terlalu dalam dosa TPL terhadap rakyat, terhadap alam dan terhadap Tuhan, dan Tuhan tidak akan membiarkan dosa ini diteruskan,”demikian keyakinan pastor yang menurut Mangaliat, salah seorang pengamat hukum dan anggota Tim Pembela Kedaulatan Rakyat Korban PT. IIU yang sering bersama-sama pastor Silaen di Porsea ini sebagai “pastor 24 jam” .

Saurlin siagian/

Staf div. studi bakumsu/ ditulis tahun 2003