Tuesday, September 20, 2005

aku jarang nulis cerpen, tapi aku beranikan aja..heheee

Sebuah Cerpen:
Memperingati Jatuhnya Soeharto

REVOLUSI, DARI DAN UNTUK TOILET
By : Saurlin

Gemuruh api semangat yang membakar ribuan mahasiswa Indonesia tidak diduga sebelumnya akan menjatuhkan rejim otoriter pimpinan Jenderal besar Soeharto, enam tahun yang lalu. Anak-anak bau kencur yang motivasinya bermacam-macam itu, sedang turun kejalan. Ada yang ikut karena gerah dengan rutinitas kuliah, ada yang merasa turun kejalan itu nampak seolah olah patriotis –pahlawan, ada yang sekedar lihat-lihat pasangan, atau sekedar mendengar orasi dan berteriak-teriak meluapkan emosi yang terpendam sewaktu diruang kuliah, atau dalam keluarga yang mengekang. Tapi salah seorang dari ribuan itu sedang bermaksud, itu adalah sebuah rencana revolusioner meruntuhkan sebuah rejim yang kejam kepalang. Tampaknya tak salah lagi, setelah aku pikir-pikir, salah seorang –saja- dari semua mereka yang berpikir seperti itu. Jika –pun- benar sekelompok orang, maka sesungguhnya adalah satu- dua orang dari sekelompok kecil itu yang menggerakkan wacana, menggerakkan logistik, dan menggerakkan langkah turun kejalan.
Di Medan tempatku kuliah, dua tahun sebelum peristiwa 21 Mei 1998, masih teringat jelas dibenakku aksi-aksi mahasiswa secara tidak teratur dilakukan sekelompok kecil mahasiswa yang berjumlah sepuluh orang hingga lima belas orang. Tidak pernah enam belas. Dari lima belas itu, tiga belas adalah ikut-ikutan, yang dua orang lagilah pahlawannya, atau tepatnya merasa –pula- sebagai pahlawannya. Kalau kedua orang itu tak setuju, kegiatan kelompok akan gagal, kalau kedua orang itu tidak datang diskusi, biasanya diskusi dibatalkan karena terasa kurang seru. Atribut orang penting ini akrab dengan asesoris berlogo Che Guevara, Karl Marx, atau kaos yang disablon berisikan kata-kata patriotis, minimal kata-kata “Stop ini, atau stop itu…”. Rambut gondrong, celan jeans robek diberbagai sudut seperti dengkul, paha atau pantat. Diskusi-diskusi seru selalu melibatkan nama-nama besar itu, nama yang sangat jauh di belahan dunia asing, tanpa nama itu serasa kurang terpelajar. Belajar tentang Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien atau Panglima Polim terasa kuno dan tidak modern sehingga tidak mendapat porsi dalam diskusi. Romantisme yang dibangun adalah revolusi Prancis, revolusi Bolsevik di Rusia, atau gerakan kiri baru mahasiswa di Jerman.
Mengingat cara berfikir ini, saya jadi teringat pula tulisan Takashi Shiraisi yang berjudul “Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa”. Sesungguhnya Kolonialisme tidak bisa menundukkan Hindia (Jawa), jika para pemimpinnya tidak terbias oleh rasionalisme dan modernisme barat. Alur berfikir inlander mulai diperiksa dan diberikan racun ilmu barat, sehingga dengan sangat mudah, kultur dan sistem lokal berhasil dihancurkan bukan oleh kaun kolonial, tetapi oleh kaum inlander sendiri yang kepalanya berisi ilmu barat, mulai dari Boedi Utomo, RA. Kartini, Soekarno, Tan Malaka dan para pemikir yang sudah terinveksi ilmu-ilmu barat, begitu kata bukunya. Ini benar-benar sejarah yang memalukan dan mengerikan, penjinakan ini sulit disadari juga oleh saya sendiri, dan sekarang saya sedang berada pada fase-fase penjinakan ini?
Kembali ke aksi lima belas orang tadi, aksi turun kejalan-yakni satu-satunya aksi yang diketahui pada masa itu- tergolong monoton, dibanding aksi –aksi pasca 98 yang sudah bermacam-macam, mulai dari aksi mogok makan siang, aksi gantung diri –tapi tak sampai mati, hingga aksi telanjang bulat, mewarnai aksi –aksi belakangan ini.
Setiap aksi ini setidaknya mengeksploitasi secara berulang beberapa hal. Pertama peserta aksi yang diikuti oleh lebih kecil dari enam belas orang itu, kedua, biasanya memakai satu buah spanduk bekas -yang telah berulang kali digunakan, ketiga , berlokasi di tiga pilihan tempat; kampus, bundaran SIB, dan Gedung DPRD, keempat, selalu saja memakai kata langganan sebagai awal kalimat: TOLAK, atau STOP, kata-kata yang paling merasakan eksploitasi masa itu, mulai dari isu global; tolak Globalisasi, Neoliberalisme, Stop campur tangan WB, IMF , hingga isu lokal; stop PHK, Tolak Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), stop Illegal Logging, dan tolak Soeharto.
Biarpun dengan metode monoton, aksi itu biasanya mendapat perhatian publik dan media, celakanya terkadang mendapat perhatian serius dari aparat, sehingga harus digiring ke kantor polisi atau militer terdekat. Dipukul sekali –dua kali supaya bertobat kemudian dilepaskan, dengan harapan teman mahasiswa yang dipukuli tadi akan memberitahukan kengerian itu kepada teman-temannya yang lain dan kemudian jera. Efeknya ada mahasiswa yang jadi semakin jinak, tetapi ada yang tetap berlawan, utamanya satu – dua orang yang aku sebutkan tadi.
Mengingat soal jinak menjinakkan ini, saya teringat dengan tulisan Jan Breman berjudul “ Sang Koeli”, yang membahas metode penjinakan dengan cara mempertontonkan kekejaman yang luar biasa kepada publik, dengan harapan rakyat jadi semakin hormat dan takut kepada kaum kolonial. Cara-cara sadistik ini antara lain dengan membuat acara khusus hukuman gantung, pancung, memotong kaki, tangan atau alat kelamin bagi siapa yang melanggar peraturan kolonial. Metode ini berlangsung ratusan tahun di wilayah Hindia Belanda, yakni Indonesia sekarang. Tidak berlebihan kalau aku sebut “jinak” telah menjadi watak, sesuatu yang laten sekaligus manifes. Menjadi jinak adalah harapan pemerintah terhadap rakyatnya, sekaligus manusia jinak adalah keinginan setiap orang tua kepada anak-anaknya, jinak menjinakkkan menjadi tradisi bangsa. Mencoba melepaskan diri dari situasi jinak, yang dilakukan satu –dua orang itu, menjadi semacam usaha gila, memang adalah gila kalau diantara seluruh rakyat, ada satu-dua orang yang “lain”, tidak jinak adalah ide gila sekaligus perilaku gila.
Cerita pendek ini saya tuliskan adalah dedikasi kepada yang gila-gila itu saja, yakni satu dua orang itu, yang saya bayangkan kemarin telah susah payah membangun kelompok diskusi dan menggerakkan aksi mahasiswa, yang mungkin sadar atau tidak berusaha sedang dijinakkan terus menerus oleh lingkungannya. Beginilah ceritanya usaha mereka kemarin untuk membangun kelompok dan mengusahakan perubahan.
Tersebutlah di kota Medan sebuah kelompok diskusi yang sedang asyik masyuk merencanakan suatu aksi. Pertemuan yang dihadiri lima belas orang itu adalah usaha susah payah yang dilakukan oleh satu orang, dibantu satu orang temannya untuk mengundang teman-teman lainnya yang kelihatannya sudah bosan berdiskusi. Perdebatan ada diseputar itu juga, ada yang bosan diskusi saja tanpa aksi yang tidak pernah lagi dilakukan dalam beberapa waktu terakhir, tetapi ada yang berpendapat diskusi adalah salah satu bagian terpenting dari rangkaian aksi. Akhirnya disepakatilah aksi turun kejalan. Seperti biasa, dilakukan penggalian pikiran-brain storming- dan sharing isu menentukan agenda aksi, kemudian dihunjuklah pimpinan aksi, urusan logistik, urusan pers dan urusan persiapan statemen, spanduk, serta lokasi aksi ditentukan. Tidak ada yang keberatan dengan aksi itu, semua setuju-setuju saja, sebagian menyebutkan sekalian olah raga untuk menyehatkan badan yang keseringan masuk angin karena begadang. Persiapan akan dilakukan disalah satu rumah kost anggota kelompok, untuk mengecek TOA-pengeras suara, memperbanyak statemen, dan mengambil spanduk-spanduk bekas milik LSM, -bekas seminar-seminar yang mereka pakai di hotel-hotel - untuk dicuci kembali dan dicat ulang.
Sampailah pada hari H minus satu, yakni hari untuk merampungkan segala persiapan. Seperti biasa yang pertama hadir adalah yang satu orang yang saya ceritakan tadi, kedua adalah pemilik kamar kost itu yang adalah anggota kelompok diskusi juga. Menunggu terlalu lama membuat yang seorang ini mendahulukan diri bekerja menghapus kata-kata “Selamat Datang...” yang ada di spanduk-sapnduk itu, diganti kata STOP…, di kamar mandi temannya tadi. Biarpun dia sebenarnya ditugaskan sebagai pimpinan aksi, tetapi dia mau mengerjakan tugas yang seharusnya telah disepakati bagian pekerjaan petugas logistik itu . Untuk menghibur diri, dia sebutkan kepada temannya yang satu lagi,” Revolusi barangkali harus dimulai dari toilet ini, toilet ini menjadi saksi pertaruhan nasib bangsa”, katanya sambil tertawa dan membilas spanduk itu hingga bersih. Ditahap ini belum ada juga muncul batang hidung petugas yang telah ditetapkan membilas spanduk, sehingga dilanjutkanlah mencat satu demi satu huruf diatas spanduk yang telah dikeringkan sebelumnya. Komitmen, janji, dan kesepakatan adalah absurd, gumamnya dalam hati. Hingga siap tulisan spanduk itu, tidak satupun dari ketiga belas temannya yang datang. Biarpun demikian, oleh karena entah hantu ideologi apa yang ada dalam pikirannya, pada malam hari diapun masih bersedia mengunjungi satu demi satu rumah anggota yang ketiga belas itu untuk memastikan kehadirannya esok hari untuk turun kejalan. Akhirnya, jadi juga ke lima belas orang itu melakukan aksi turun ke jalan dipimpin oleh orang yang satu tadi . Semua peserta aksi dengan semangat mengikuti atau menyambut apa saja yang disebutkan pimpinan aksi. Kesadaran kolektif barangkali juga absurd, pikir sang pimpinan aksi. Begitulah berbagai aksi yang senantiasa terus menerus digerakkan oleh satu – dua orang itu.
Tidak terasa aksi terus berlanjut hingga melewati tahun demi tahun, dan alam bawah sadar masif juga terbentuk tentang makin busuknya kakek Jenderal purnawirawan Soeharto di Istana Merdeka, yang telah terlalu berlama-lama mengatur –ngatur dengan tangan besi. Saya yakin, bahwa aksi mahasiswa di Medan tanggal 21 Mei 1998 adalah yang terbesar -dari segi jumlah tentunya- bahkan mengalahkan jumlah aksi buruh Medan 14 April 1994, aksi buruh berjumlah sekitar 5000 orang yang terkenal di Indonesia dan menjadi monumen perjuangan buruh . Lebih dari 10.000 orang mahasiswa turun kejalan dari seluruh Universitas, Institut, STIE, STMIK, dan Politeknik di Medan turun kejalan dan menuju tujuan yang sama yakni gedung DPRDSU. Aksi ini tidak mendapat perhatian yang besar dari media, karena terpusat pada proses politik yang terjadi di Jakarta, yakni turunnya sang kakek, Jenderal purnawirawan Suharto dari kursi Presiden.
Entah kesadaran apa yang menggerakkan seluruh mahasiswa, dari mulai kelompok kecil tadi, hingga tukang gelek dan tukang judi di kampus turun ke jalan dan menuju DPRDSU yang bukan istana presiden itu, menuntut Soeharto mundur jauh di Istana merdeka Jakarta sana. Sulit dibayangkan memang soal alam bawah sadar, namun faktanya ribuan orang telah bergerak oleh susah payah gagasan satu orang dan dibantu satu orang temannya, terlepas dari nasib yang satu orang ini juga lebih malang, karena hasil perjuangannya dicuri oleh elit kini. Tragisnya, mereka harus kembali juga ke toilet kini. Perjuangan yang dimulai dari toilet itu telah diakhiri dengan kembali keasalnya, toilet. Saya mendapat inspirasi dan kesadaran soal yang ini ketika sedang berak dan melamun di toilet.


Saurlin
Written on Medan, 20 Mei 2004
Memperingati 6 tahun jatuhnya Suharto, 21 Mei 1998 – 21 Mei 2004

No comments: