Masalah inilah yang menimbulkan luapan kemarahan rakyat dimana-mana. Dana yang diharapkan dan direncanakan untuk orang orang miskin itu, ternyata salah sasaran menjadi dana kompensasi orang kaya. Dinegeri ini, susah setengah ampun jadi orang miskin, dan alangkah enak dan senangnya jadi orang kaya. Sudah mampu, diberi kompensasi pula. Kita tidak dapat mengerti pikiran aparatur yang memberi peluang dan mengamini perilaku itu, sepertinya kaki di kepala, kepala di kaki, kata salah satu lirik lagu pop yang sedang populer saat ini. Untuk sekedar melihat ke latar belakang, kita perlu telusuri ide dana kompensasi ini dari asal usul dan penganjurnya.
Konsep pemberian subsidi cash kepada warga negara yang miskin sudah lama diterapkan negara negara yang menganut welfare state. Hampir seluruh negara negara di Eropa menerapkan kebijakan subsidi kepada rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Santunan berupa uang cash diberikan pemerintah secara langsung setiap bulannya melalui aparat setingkat kelurahan. Namun, pengalaman negara-negara welfare state itu ada semacam rasa malu masyarakat meminta dana tersebut dari pemerintah setempat, karena mereka dipulikasikan, didata dan diberikan identitas sebagai orang yang tidak bisa mandiri. Orang orang yang tergantung itu sendiri, secara umum memiliki stigma tersendiri sebagai orang yang tidak memiliki aturan hidup, urakan dan tidak biasa dalam pergaulan dan etika masyarakat. Kenyataannya, orang-orang yang mengambil dana dari kantor pemerintah itu, segera setelah mengambil uang cash tersebut justru menggunakan yangnya untuk membeli kebutuhan yang tidak primer, misalnya mereka menggunakan uang itu untuk membelikan minuman keras dan mabuk-mabukan. Ini menjadi dilemma tersendiri dinegara-negara maju.
No comments:
Post a Comment