Thursday, October 13, 2005

Carut Marut Dana Kompensasi

Pencairan dana kompensasi sudah dimulai minggu ini. Seperti diduga sebelumnya, akan terjadi berbagai konflik seputar pendataan, hingga pencairan kepada masyarakat yang dinyatakan sebagai kategori miskin dan layak diberikan dana kompensasi BBM. Diberbagai daerah, rakyat perduyun duyun datang ke kantor BPS melakukan unjuk rasa karena diperlakukan tidak adil. Faktual, masalah yang muncul dengan kehadiran dana kompensasi BBM ini antara lain adanya warga yang tidak memanipulasi identitas untuk mendapatkan surat miskin, adanya pegawai pemerintah dan pensiunan yang nota benenya memiliki pendapatan yang cukup, tetapi memiliki kartu miskin. Ironisnya, terdapat banyak orang miskin yang tidak memiliki kartu miskin.

Masalah inilah yang menimbulkan luapan kemarahan rakyat dimana-mana. Dana yang diharapkan dan direncanakan untuk orang orang miskin itu, ternyata salah sasaran menjadi dana kompensasi orang kaya. Dinegeri ini, susah setengah ampun jadi orang miskin, dan alangkah enak dan senangnya jadi orang kaya. Sudah mampu, diberi kompensasi pula. Kita tidak dapat mengerti pikiran aparatur yang memberi peluang dan mengamini perilaku itu, sepertinya kaki di kepala, kepala di kaki, kata salah satu lirik lagu pop yang sedang populer saat ini. Untuk sekedar melihat ke latar belakang, kita perlu telusuri ide dana kompensasi ini dari asal usul dan penganjurnya.

Konsep pemberian subsidi cash kepada warga negara yang miskin sudah lama diterapkan negara negara yang menganut welfare state. Hampir seluruh negara negara di Eropa menerapkan kebijakan subsidi kepada rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Santunan berupa uang cash diberikan pemerintah secara langsung setiap bulannya melalui aparat setingkat kelurahan. Namun, pengalaman negara-negara welfare state itu ada semacam rasa malu masyarakat meminta dana tersebut dari pemerintah setempat, karena mereka dipulikasikan, didata dan diberikan identitas sebagai orang yang tidak bisa mandiri. Orang orang yang tergantung itu sendiri, secara umum memiliki stigma tersendiri sebagai orang yang tidak memiliki aturan hidup, urakan dan tidak biasa dalam pergaulan dan etika masyarakat. Kenyataannya, orang-orang yang mengambil dana dari kantor pemerintah itu, segera setelah mengambil uang cash tersebut justru menggunakan yangnya untuk membeli kebutuhan yang tidak primer, misalnya mereka menggunakan uang itu untuk membelikan minuman keras dan mabuk-mabukan. Ini menjadi dilemma tersendiri dinegara-negara maju.

Dinegeri kita yang pernah terkenal dengan budaya, etika dan kebiasaan-kebiasaan terhormat ini, justru lain. Disatu sisi, orang tidak akan pernah percaya bahwa bangsa ini sedang krisis, karena setiap mobil termewah, terbaru dan termahal akan selalu kita saksikan dengan plat toko melintas dijalan raya. Disisi yang lain, orang akan segera berkesimpulan semua orang di negeri ini adalah orang miskin, karena ketika ada dana kompensasi BBM, semua orang berlomba mengurus surat miskin, berlomba untuk mendapatkan santunan sebesar Rp.100.000 dari pemerintah. Jika benar orang miskin, barangkali mereka berfikir, lumayan untuk menyambung hidup seminggu dengan beli beras. Jika ternyata orang kaya, barangkali mereka berfikir, lumayan, untuk beli pulsa handphone. Kita berharap, semoga jika yang terakhir salah. Kita tentu tidak mau disebutkan sebagai bangsa sakit jiwa, kita tidak mau masyarakat Indonesia ini disebut memiliki kepribadian ganda

No comments: