Tuesday, January 22, 2008

Dokan br Ginting, Selamat karena punya Bayi

Peristiwa seputar September 65 di Desa Kandibata

Peristiwa itu bulan oktober, kerja tahun di Kandibata kebetulan bulan Oktober. Jadi anak itu lahir bulan juni , jadi selama dia lahir belum pernah ke kampung , karma kami tinggal di kabanjahe. Jadi ketika bulan Oktober, sambil membawa anak itu kesana, kebetulan pula disitu terjadi peristiwa itu. Jadi kami sampai disana, sudah banyak pemuda pemuda disana dari pemuda pancasila yang sudah mondar mandir di depan rumah mertua saya, yang sambil lewat dia mengatakan, oh ini salah satu gerwani, maunya kita masukkan kegoni bersama anaknya dan kita hanyutkan ke lau Biang, katanya . Mendengar itu saya agak takut gitulah, jadi saya bilang sama suami dan mertua saya. Orang itu kok bilang begitu? Kenapa ini, ada apa

Oh kalau begitu, kata mereka ada kejadian di pusat, katanya PKI yang memberontak. Jadi katanya kalian menghindar lah dulu. Jadi saya disuruh menghindar ke kampung adik mertua saya namanya kampung Kacaribu yang kebetulan disana juga ada pesta tahunan, kesanalah kami sore. Si adek mertua saya suaminya PNI. Sampai disana kami sore, kebetulan musim hujan. Inilah bulan oktober, apa katanya, jenda pe labolih ingen nini. Ula kari kit ape ikut, jadi permenena mesti berkat, uja kin permenena maka taruhken. Katanya. Jadi dipanggil lah kawan itu sudah gelaplah setengah tujuh hari hujan. Kata kawan ini mari kuantar ke kampung nang Belawan. Jadi malam malam dihujan deras itu bersama kawan Kunci br Bangun.

Memang kami sebelum peristiwa juga sudah satu rumah di Kabanjahe, dia masih gadis. Dia hari itu pegawai seksi satu kodim kabanjahe. Jadi karena persta tahunan kami bersama kekampung, dan kekacaribu sama juag karena sama-sama terlibat. Sore itu kami disuruh pindah karena takut digrebek, diantar satu kawan ke kampung nang belawan. Tapi tidak sampai ke kampung itu. Kami disuruh menginap di ladang-ladang itu, kandang lembu. Disanalah kami 2 malam 2 hari. Lusanya baru berangkat lagi. Sampai disana. Eceknya di calling lah kawan kawan, diantarlah makanan kami, diantar sore. Jadi besoknya adalagi informasi karena kami tidak boleh lama-lama karena sudah tercium oleh hansip Nang Belawan.

Malam kami diantar pula dari nang belawan ke desa barong kersak, itu agak jauh itu, jalan malam, sekarang pun saya tidak tau itu karena jalannya malam. Disana kami bukan dirumah, tapi digubuk diladang orang, disana kami sampai 5 hari 5 malam. Gubuk itu agak lengkap. Ada periuk untuk masak. Tapi kami tidak mau masak siang karena kalau ada asap nampak sama orang. Udah itu ada pula informasi, kami disitu sudah tercium sama hansip kampung barong kersak, dan harus dipindahkan ke desa kuta mbaru kecamatan Munthe, kalau tidak silap. Disana kami tidak diladang tapi diterima di rumah keluarga. Disana anakku sakit pula. Kebetulan yang punya rumah pegawai puskesmas . kami disana selama 2 minggu, pindah dari satu rumah ke rumah lain, masih famili semua. Udah itu tercium lagi bahwa kami itu ada disana, dan disuruh lagi kami pindah ke desa Kaban Tua. Jadi selama kami pindah tempat dari satu tempat ke tempat lain anak saya sering sakit. Baru berumur 3 bulan pula dia lahir tanggal 21 bulan 6 , 65. peristiwa bulan 10, jadi 3 bulan. Sakit karena sering jalan malam kena hujan, jadi demam, batuk mencret. Begitu. Kami tidak dibiarkan keluar. Kami dikunci dirumah terus menerus. Sakit dia diobati menteri puskesmas. Akhirnya menteri puskesmas itu ditangkap juga, karena tercium juga dimana kami. Jadi sudah 2 minggu kami ada disini, tercium lagi, terpaksa kami dipindahlan malam malam di hujan deras. Kami jalan ke jalan kaban tuah. Diperjalanan kami menyeberangi satu sungai, airnya lagi deras, dan bisa menghanyutkan. Airnya meluap waktu itu. Orang orang tidak menyangka bahwa air lagi meluap, jadi membiarkan saya didepan menggendong anak itu. Jadi kami hampir hanyut, untung tangan anak itu masih bisa kuraih, dia sudah basah semua. Jadi saya juga sudah basah. Di desa itu kami sampai dan ditempatkan di ladang, itupun berpindah-pindah. Sampai kebukit desa kaban tua, yang namanya deleng Paku. Kami diatas bukit . disitu ada 1 bulan.

Tinggal di Hutan dengan bayi berumur 3 bulan.

Di atas bukit itu ada pula gubuk orang yang mengambil balok untuk kayu perumahan. Disitu kami menginap. Disitu panas pula anak itu sampai 40 derajat lewat.hari hujan, rintik-rintik, bulan pun tidak ada cerah, rupanya gubuk kami itu ada orang utan. Jadi kami sama suami saya satu bulan, walupun tidak satu tempat digunung itu. Baru sekali kami berjumpa disatu tempat di hutan itu. Pakaiannya penuh dengan kutu, kalau bahasa karo namanya TUMA, yang kutu dipakaian itu, kayak kutu kepala tapi lebih besar, penuh kali, pakaian singlet, sampai tak bisa kita tindesi, sampai kami pun diatas gunung itu penuh tuma juga. Sampai sekarang masih ada bekas gigitan tuma itu.udah 40 tahun ini, lihat ( dia menunjukkan bekas gigitan di lengan). Ini hah.

Dulu besar ini, sebesar jagung ini, dari sini dia sering makan, hingga sampai benjol seperti ini. Sapai 40 tahun masih ada ini, hitam. Begitulah sampai kasihan kali aku nengoknya , kalau dicuci pake sabun tidak ada sabun. Ada air diatas gunung itu disitulah kami mandi. Disitu pula anak itu sakit sampai lewat 40. dan disitu pula kami yang ditaburi arimo begitu namanya, istilahnya diatas tempat kami tinggal ada batu besar, dibawahnya dibuat gubuk, atapnya daun kempawa namanya semacam pinang. Kami ngina beberpa lama disitu. Waktu anak saya panas saya sudah berpikiran kalau samapai dia meninggal dimana harus saya kebumikan. Kalau dibawah pokok kayu yang sudah besar, nanti kalau 11 tahun lagi kemari, mungkin kayu ini sudah dipotong orang yang mengambil balok. Tapi kalau saya nanti kuburkan dia nanti dibawha pokok kayu yang kecil, jadi tidak tau mungkin saya dimana kuburan anak saya ini, disitu saya sudah bingung itu, karena aku bawa thermometer itu ke hutan makanya saya tahu.

Begitulah kami sampai siang menggendong dia. Disitulah orang utan itu mengais tanah ke gubuk kami itu dari atas, itu kurang saya mengerti kalau orang utan yang melakukan itu ku pikir batu itu mau longsor. Karena hujan. Dibawah kami ituada sungai kecil. Jadi saya pikir pula, waktu tanah itu sarrr…begitu berbunyi di atap, saya pikir batu itu akan menimpa kami dan membawa kami kea rah lembah itu. Rupanya orang hutan itu yang mengais tanah ke gubuk kami. Diluar ada 3 orang laki-laki yang menjaga kami, gubuk itu kami sekat pakai tikar, tikar pandan yang lebar. Laki sebelah sini, perempuan sebelah sana. Rupanya laki-laki itu sudah tau orang utan itu yang buat tanah itu. Jadi sampai 3 kali tanah itu dikais, kami memasang api pake kayu besar biar lama panasnya dan ada baranya, rupanya kayu itu ada yang menarik. Dan itu orang utan itu.

Jadi saya datangi teman kunci, eh kunci, kunci kumpulin dulu kayu kayu itu biar nyala apinya ku bilang. Iya kak, katanya, rupanya 3 orang laki-laki itu udah takut dan udah ngumpul , nafasnya juga sudah ditahan-tahan, udah tak berani bernafas. Kami tidak sadar maka tak takut. Taunya setelah masuk tahanan di kabanjahe. Kami koyok-koyok (cakap2). Kakak tau kemarin kejadian di hutan itu? Ngga saya bilang. Itu oran hutan, begini ceritanya, begini2, katanya. Jadi kalian? Cemmana taunya? Kami kan sudah duduk itu tak berani lagi keatas. Katanya. Kalau kami tau itu orang utan, mungkin saya udah tak berani juga bernafas. Kami tidak diganggunya. Selama diatas gunung itu, kami tidak pernah masak, penjaga kami selalu ganti setiap hari, jadi yang datang itu yang membawa kami makanan dari kampung.

Setelah satu bulan kami diatas, diurus oleh orang orang desa Talin kuta, disitu tanah sinar parangin-angin menggarap ( mantan Bupati Karo). Kayunya habis ditebangi, termasuk kecamatan merek itu, kalau tak salah. Datang salah satu keluarga kita dari desa talin kuta, termasuk kakek, katanya ini sudah tak bisa dipertahankan nakku katanya, tidak bisa lagi ijin untuk membawa makanan keluar desa. Oleh hansip desa, itu peraturan desa, biar memperkecil ruang kita. Mereka mungkin sudah tahu semua kita, tapi mereka juga sebenarnya sayang sama kita, karena mereka satu kampung adalah anggota kita. Mereka hanya 1 orang yang tidak terlibat. Tapi yang masuk hanya beberapa oranglah yang ditahan dan wajib lapor, tidak semua ditangkap. Sebagian disembunyikan.

Skenario Penyerahan diri kepada Aparat
Kami banyak itu diatas, rombongan suami saya, rombongan loji sembiring, rombongan.., kurasa 4 rombongan itu kami diatas. Tapi kami tidak saling tahu dimana tempat kami masing masing. Saya sama suami saya saja Cuma sekali ketemu diatas, orang itu tidak mau memberitahu dimana tempat suami saya, kecuali kalau anak saya sakit. Jadi katanya kami tidak bisa lagi dipertahankan. Kami tidak diijinkan lagi keluar bawa bekal. Sudah dipersempit ruang gerak kami. Jadi lebih baik kami pulang saja. Kemudian saya beritahukan itu sama suami saya melalui seorang kawan.

Suami saya setuju kami menyerah saja. Karena punya anak kecil. Sering sakit lagi. Kemudian kami pikirkanlah bagaimana proses penyerahan diri saya. Jadi kami setting seperti ini. Kita buatlah seorang teman pura-pura ngambil rotan. Kami menyerahkan diri itu tanggal 10 , kami di kodim tanggal 11, bulan sebelas, 65. setelah kami tidak mungkin dipertahankan lagi di hutan, kami perlu penunjuk jalan dan pengawal untuk turun. Karena situasi makin gawat. Jadi diaturlah cara pulang. Jadi katanya kami diadakan acara karo. Air sirih yang merah itu diapakan disini. Namanya putari. Artinya biar nanti tendi ula tading. Merah sirih itu ditaruh kebadan. Tiga. Jadi nanti jam lima sore, turun kalian, dari sini kesini kesini katanya. Jam 3 itu turun dulu kami separuh jalan. Kemudian jam 5 turun ke gubuk di sawah orang. Bertiga, sama kawan Kunci br Bangun. Sampai setengah 6 disitu. Jam 7 berangkat ke talin kuta.

Caranya bawa lampu teplok satu, mulai nanti separuh jalan mendekati gerbang desa, pasang lampu itu, itu tanda-tanda kalian, supaya saya atur nanti siapa hansip jaga malam, katanya. Supaya bisa dibuat sandiwaranya. Mulai jam tujuh berangkat, memang sudah ada orang yang menunggu. Pake teplok lah. Sudah diatur kian. Jadi nyongosong lah orang itu. Siapa itu? Katanya. Kami. Saya bilang. Kami siapa itu? Pura-pura tak kenallah begitu. Kami dokan. Haahh? Mari….pura-pura disongsonglah kami.

Jadi dibantulah kami bawa barang barang itu, eceknya marah marah lah dijalan, kari maka kiam? Anak pe kitik, kam kin ketuana? Katanya. Datang pula yang satu, nggoh kita dat sun sekalienda ise dokan, geluh geluh entah pe mate, bereken kodim hadiahna limapuluh ribu rupiah. Nina. Marah-marah, marah-marah, akhirnya sampailah kami di desa itu. Memang sudah disiapkan kian semua. Ibu-ibu, nenek nenek, datanglah semua, kami diarak ke jambur di desa itu. Kumpullah semua disitu. Sambil dipasang lampu petromak semua. Itu kan sudah disiapkan semua sebelumnya.

Ada yang bertanya, kam Dokan e? .Ue. Ninindu aku ya, kempuku kam. Ng kai maka kam laos? Anak ndu kitik? Uih ateh anak ndu i. karati rengitlah, katanya. Kurasa ngga ada setengah jam kami di jambur itu di balai desa itu, yang dinamakan los desa. Tidak diapa-apakan di desa, hanya tegoran tegoran itu saja.

Udah itu kami dibawa ke rumah oleh pengetua adat di desa itu. Udah-udah, nanti kedinginan anaknya. Sekitar jam 8 malam itu. Terus dibawa kerumah, masuk juga itu famili sebenarnya. Tetapi dia juga tokoh adat dan terpandang disitu. Baru sampai dirumah dikasih makan kami. Udah itu besoknya diantarlah kami ke kodim kabanjahe, jalan kaki dari kampung dari desa talin Kuta, jalan kaki menuju gunung raya, pagi sarapan berangkat, dikawal oleh hansip dari desa itu. Salah satu hansip yang mengawal saya, dan mengapakan bambu runcing kepada saya begini ( memperagakan hansip yang membuat bambu runcing ke arah Dokan) jam 12 sampai kami di Gunung Raya pasar, jalan ke Siantar, dekat titi. Dari situ baru dihubungi ke kodim kabanjahe, begitu sampai berita di kodim kabanjahe, datanglah satu mobil jeep, dibawa oleh sersan Sikepen Tarigan, menjemput kami.

Sampai disitu, kebetulan anakku buang air besar. Jadi si hansip tadi yang tetap di belakang saya, sambil saya menggantikan popok anak saya, diginikan juga bambu runcing itu ( ditodongkan). Ke saya. Jadi sampai kodim itu datang pun masih digitukan juga. Jadi apa kata kodim itu. Eh uga bah koe? Kalau kena bagaimana? Anaknya masih kecil. Marah si kodim itu. Tak mungkin dia lari. Nanti kalau kau tergelincir, kena gimana? Barulah dia pindah tempat, dan tidak menodongkan bambu runcing itu lagi.

Terus kami dibawa kodim dengan naik jeep itu. Dipikir hansip itu dia ikut naik jeep, dia mau naik. Datang si Kepen, eheh, endah, erdalan saja kerina, la siat motor enda. Orang memang mobilnya kecil. Jadi orang itu jalan terus, kami naik mobil, sampai di kodim kabanjahe, tanggal 11 bulan 11. sampai sekitar siang tahun 65 itu. Sampai disana, memang sudah kenalan sebelumnya sama apa itu, perwira itu. Di seksi satu. Sudah banyaklah kita kenal semua itu sebenarnya. Karena sebelum peristiwa itu kita selalu ada acara bersama, misalnya sama sama panitia hari ibu, panitia perayaan kemerdekaan, paitia 10 nopember, perayaan perayaan negara-lah. Jadi kita sudah saling kenal.

Jadi Tahanan Militer
Jadi sampai di kodim bukannya marah orang itu. Tapi sebelum dapat saya, dicanangkan untuk seluruh tanah karo, hidup atau mati Dokan br Ginting, dikasih hadiah 50.000. sampai saya di kodim, apa kata orang itu, lapar kau ma nusa? Makan lah. Katanya, hehee. Sampai supir bupati matang sitepu, marga karo-karo, mengambil nasi dan ikan dari rumah bupati , ayam. Makan kau ma nusa, entah kenapa kau pigi ke hutan, katanya. Bodoh kali kau, anakmu sudah habis dimakan nyamuk. Bukannya kami dibentak bentak. Tidak diapa-apai, dibaiki. Tapi lama-kelamaan setelah disana, banyak teman yang ditahan dan diperiksa. Besoknya saya diperiksa.

Mereka tanya tau tidak soal G30 S, kita kan tidak tahu, jadi tidak bilang apa-apa. Kami dikumpulkan di pesanggerahan, dimuka kodim lama di kabanjahe. Udah itu cerita ditahanan, saya diperiksa. Saya tidak mau pisah dengan anak saya. Waktu diperiksa, kalau saya dibentak-bentak, anak saya bangun dan menjerit-jerit sekuat-kuatnya. Jadi makanya kalau meja periksa itu panjang kali, sekali periksa banyak, dan yang memeriksa juga banyak. Berhadp-hadapan di meja panjang. Asal siapa yang membentak terhadap kami yang diperiksa anak itu terus menjerit, bangun. Kami diperiksa dari 5 hingga 10 orang sekaligus. Terganggu semua tim pemeriksa. Akhirnya kalau saya diperiksa, tidak mau orang itu campur dengan mereka. Kemudian saya diperiksa tersendiri.

Kemudian selain G 30 S, mereka tanya kedudukan saya sebagai anggota gerwani. Saya sebagai wakil ketua. Ketua itu pulung br sitepu, kami sama di pengurus kabupaten. Apa alasanmu masuk gerwani katanya. Saya ceritakan bahwa tuntutan gerwani , suaminya tidak boleh beristri dua, kedua emansipasi. Itu tuntutan gerwani. Itu alasan saya masuk gerwani. Terlebih suami saya anggota partai PKI. Jadi sejalan dengan istrinya. Kalaupun saya sebagai guru, suami saya juga guru, kami sejajar begitu. Itu alasanmu jadi gerwani? Ya mengikuti suami saya bilang. Perjuangan suami. Jadi banyak pertanyaan lain yang tak bisa saya jawab, saya bilang tidak tau, orang ditanya peristiwa di Jakarta, mana tau lah. Ngga ada diinstruksikan kedaerah bahwa tanggal sekian terjadi pemberontakan. Pembunuhan. Itu tidak pernah ada, sebagai saya ketua II di kabupaten. Jadi itu ditanya saya bilang tak tau. Dari situ terus ditahan, sampai 6 bulan baru bisa kami masak sendiri. Sebelumnya harus diantar dari kampung setiap hari. Ke pesanggerahan. Yang dipenjara sama sekali tidak bisa masaklah. Kami di dalam 3 orang ( keluarga), saya, suami saya dan adik suami saya.

Suami di Lau Gerbong-kan
Ibu mertua saya tiap hari mengantar nasi kami untuk 3 orang. Jadi sekarang kita sudah sampai ke kejadian suami saya dibawa malam. Kembali ke cerita saya dibawa ke kodim. Ada peristiwa di daerah batu karang. Pembunuhan terhadap seorang PNI namanya Perariken, di desa Rimokali, Batu Karang. Dia anggota PNI. Itulah yang membunuh dikambing hitamkan PKI sekitar itu. Itu peristiwa lobang buaya kayak dipusat katanya. Memang agak sadis pembunuhan itu. Badannya itu disayat-sayat. Maaf cakap kemaluannya dipotong, dimasukkan ke dalam mulutnya.

Yang membunuh dikambing hitamkan PKI, jadi pemeriksaan di intensifkan terhadap orang orang PKI. Yang dilistrik, dilibas, ditendang segala macam, padahal yang diperiksa itu orang tua. Saya tidak tahan mendengarnya, itu diseberang kamar kami di tahanan. Terus saya tendangi dinding itu, saya marah. Apa kau pikir kami? Kami bukan tukang bantai? Diam juru periksa itu. Datang komandan kodim setelah beberapa hari peristiwa itu. Belum ada seminggu lah. Tapi gambarnya sudah lengkap keluar. Fotonya yang dibunuh ini, letaknya kayak apa. Sayatan sayatan dibadannya lengkap di foto itu semua. Jadi datang Ichwanto, komandan Kodim, katanya sama saya, ku kasih surat sama kamu , surat jalan supaya kamu tidak diganggu sama hansip hansip di desa desa, kau cari suamimu. Anakmu, istriku yang memelihara dirumah. Katanya.

Mereka bersikeras ingin mendapatkan suami saya karena mereka kaitkan dengan kematian orang PNI itu, dan suami saya belum masuk tahanan. Eceknya suami saya masih mengelak-mengelak lah, masih kami tinggalkan di gunung tempo hari. Nah itu permintaan komandan kodim sama saya.

Akhir akhirnya setelah tiga tahun diketahui terbunuhnya Perariken Bangun yang membunuhnya memakai pistol Bupati Matang Sitepu. Informasi yang didapatkan pihak berwenang. Itu rupanya dendam pribadi, persoalan harta, intern keluarga. Itu informasinya. Tapi sudah lebih dulu dikambing hitamkan kita.

Selama di tim ada juga polisi dari tiga Binanga datang. Dia tiba-tiba menampari salah satu wanita yang ada di periksa itu, kawan Kunci br bangun, saya tidak tau pasalny apa. Ditampari di dapur tim itu. Kami pun geger semua. Tidak ada tanya langsung main pukul. Setelah beberapa bulan, sampai pada orang orang yang diangkat malam itu. Itu bulan februari 1966, sebelum diangkat malam, pada hari rabu, hari bertamu biasanya. Kami bertamu biasanya satu jam, setelah itu pulang ke penjara, atau ke sekolah Cina. Tapi pada hari rabu itu, jam bertamunya sampai jam 3 sore. Jadi kami pikir situasi makin longgar, udah makan siang sama-sama disitu, dah beberapa jam.

Kebetulan yang datang bapak dan ibu mertua saya bertamu. Ngumpullah sama keluarga disitu, suami saya, adik suami saya, dan saya. Kalaupun ada 2 adek saya yang masih kecil di kampung. Rame-rame, situasi berarti makin longgar. Tak taunya malam diangkat orang itu dari penjara.

Sebelumnya Suami saya udah ditangkap di dekat desa kandibata, di alur sungai kecil, ada irigasi kecil, krengen kitik. Mereka tertangkap disitu sekitar bulan 12 tahun 65. jadi sudah masuklah dia ketahanan. Di hari rabu ini yang mendapat waktu lama bertamu dan ngobrol. Kami pikir itu sudah longgarlah. Rupanya malam kamis tanggal 2 atau 3 bulan dua itu, tapi hari rabu itu. Mereka hilang malam itu.

Malam itu anak saya panas. Menangis terus menerus tak mau tidur. Jadi datanglah anggota tim yang terdiri dari polisi, kodim, jaksa, hakim, batalyon, dan PM. Mereka sudah pakaian lengkap dengan senjata. Ada pistol, ada bren, ada piso panjang. Dari PM Pak berani Bangun, Rasta Ginting(pembantu letnan), dan Jusuf Juda(komandan PM), komandan Tim dari PM itu. Dari polisi , Sihotang, namanya lupa, Ramlan Jamil dan pak Tukul. Dari kejaksaan, Mulak Girsang, dari kehakiman saya lupa, dari batalyon, lupa, dari kodim juga lupa. Dan orang itu ngobrol sama kami tahanan wanita. Saya berdiri sambil menggendong, jadi datang si Jaksa koyok( ngomong), oi bebre. Kai ma. Lit kalak keling dua rondong na, sada kalak keling, sada kalak cina, katanya. Oh, nggak, ada satu orang perempuan, dua rondongnya katanya, satu China, satu Keling. Jadi datang wanita ini katanya badannya di cat, satu putih dan satu hitam, jadi datang laki-laki itu, yang mana mau kubunuh, yang keeling apa yang cina. Rupanya dibunuhnya yang hitam. Suami saya memang hitam.

Kami tidak mengerti sama sekali apa artinya mereka ngobrol2 sama kami dengan persenjataan yang begitu lengkap, kayak mau perang. Jadi kami tanya, ku ja kinti kene. Er buru, lit enda PKI lang e tangkap ija, er buru kami, katanya. Jadi ise? Laboh kataken gelarna. Ngga mau menceritakan namanya. Rupanya buklan berburu rupanya. Membawa orang itu ( tahanan) mereka malam, mau dibunuh. Sudah jam 10 lewat, nanya salah satu anggota itu. Nggoh jam 11? Nggo jam sebelas berangkat kita, katanya. Datang kawannya jawab belum. Kami terus koyok2. saya berdiri menggendong karena anak saya nangis terus. Sebelumnya rupanya beberapa hari yang lewat sudah disidangkan siapa yang mau dibawa untuk dibunuh. Siapa yang tidak.

Rupanya untuk saya sendiri setengah hari baru ada kesimpulan. Mereka sulit memutuskan apakah akan membunuh saya atau tidak. Seperti cerita kejaksaan itu ke saya melalui perumpamaan itu . yang hitam dibunuh atau yang putih. Menurut dia malam itu yang hitam lah yang dibunuh, sementara yang putih, saya tidak dibumuh. Rupanya waktu sidang setengah hari, sampai beberapa kali pemungutan suara selalu lebih banyak mengatakan saya dibunuh, sebagian kecil tidak setuju. Jangan, soalnya suaminya sudah dibunuh, dia punya anak kecil. Yang sidang ada 30 orang. Perbedaan suara antara 16 dan 14 seperti itu silih berganti. Dibunuh atau tidak, pemungutan suara berulang2, dan terakhirnya saya tidak dibunuh.

Cerita ini saya dapatkan setelah tiga tahun. Akhirnya anggota tim itu mengatakan itu kepada saya maka saya mengerti. Malam itu sudah jam 11, datang perintah dari kondo tim pak Juda, ini udah jam 11. saya tanya, kemana kalian berangkat ma? Sama jaksanya kan saya panggil mama, oh erburu, lit jah tangkapen, katanya. Tutup pintu, nande nusa, ula kam nen darat, katanya. Ya saya bilang.

Tapi saya tidak bisa duduk karena anak saya terus menangis, sambil menggendong anak ini. Hingga datang tim yang berburu itu jam 3 pagi, mereka mengetok2 pintu. Buka, katanya. Saya tinggal yang bangun dan saya buka. Saya lihat muka mereka seperti mabuk semua, kayak minum minuman keras, kayak habis main judi. Terus masuk dan tidur di meja periksa, ada yang tidur di korsi. Sayapun heran, kenapa mereka seperti orang mabuk semua. Karena takut, saya melihat muka muka orang itu seram. Rupanya orang2 dikamar udah pada bangun, karena dengar suara suara orang datang itu. Tutup pintu kak, katanya. Terus ada juga orang itu yang nanya, mak nusa, masih ada teh di termos? Karena biasa saya buat teh di termos untuk si kecil.

Jangan kasih kak, kata orang itu. Nggo keri the, ku bilang karena takut nengok orang itu. Terus pagi saya bobokan si Nusa sekitar jam 6 pagi, dan saya nyucikan popoknya. Pagi itu datang seorang PM, Rasta Ginting, dia bilang, me, jendah pindah ke berastagi, karena anakmu itu perlu kau rawat baik, katanya. Teman saya ketua 1 juga punya anak seperti saya. Dia selama ini tidak ditahan. Karena rumah orang tuanya diberastagi. Dia jadi tahanan kota saja. Terakhir ini kami dikumpulkan semua, menjelang dibawanya orang ini malam. Pindah kalian berdua yang beranak kecil katanya.

Dipindahkan ke Berastagi jadi PRT
Jadi pindahlah kami ke Berastagi. Rupanya biar saya tidak tahu bahwa suami saya dibawa malam itu. Karena kalau saya tahu bisa menjerit jerit. Karena kalau seperti biasa kalau diperiksa teman teman, kalau dipukul saya ikut latah marah2, emangnya apa kami ini? Salah apa kami? Saya bilang begitu. Makanya mereka mungkin sebel sama saya. Makanya kalau ada pemeriksaan aku diungsikan kebelakang supaya tidak tahu. Makanya kami disuruh ke berastagi, katanya disini terlalu sempit satu kamar, dan anak sakit sakitan. Popok yang saya jemur tidak sempat saya bawa, katanya nanti diantar.

Berangkatlah kami, dikawal, jadi berenam, sama sopir, pake mobil pak Juda,komandan Tim. Sampai di berastagi saya dititipkan dirumah PM, tidak bisa bertamu. Di perumahan PM. Datanglah pengantar nasi dari desa ke tahanan. Dikasih makanan itu ke tahanan, tapi tidak diterima lagi, katanya sudah pindah. Jadi pada sibuklah semua. Sekali pindah mereka malam itu, sekitar 7- 8 orang, termasuk suami saya. Artinya suami saya juga sudah diambil /dibunuh malam itu. Sibuklah semua keluarga kemana pindahnya katanya. Apa kata PM sama mertua saya. Kempu ndu dai udah pindah ke berastagi. Mertua saya menanyakan suami saya kemana? Orang makanannya tidak diterima lagi. Ributlah disitu, pengantar nasi itu menangis2 semua.

Udah pada berunding kemana mau di cari. Ada yang bilang dibawa ke penjara Binjai, ada yang bilang kemedan, siantar, dan ke tebing. Dibagilah siapa yang kemana. Jadi mertua saya datang ke berastagi mengantar makan saya, udah tak tertahankannya air matanya.udah nangis. Jadi sampai diberastagi. Dia keluarkan makanan dari keranjang untuk saya. Kebetulan nasi yang biasanya ke suami saya itu dibawa ke saya.

Jadi sekali ini saya bertanya apa anak ndu udah dikasih makan ke penjara? Nggoh katanya. Ngguh ku bereken. Tapi biasanya yang ini untuk dia?. Ngkai maka silap? Dia bohong, dibilangnya dia pilek. Saya heran dia tidak makan, dan dia tidak memegang cucunya, biasanya terus itu dilakukan. Kutanya, uga kine? Kalau sakit, tambari ke rumah sakit. Ueh ertambar kari aku, katanya. Besok ngga kuantar lagi makanan kalian. Karena memang sangat jauh ke berastagi. Jadi kubikinlah disini yang masakkan nasi kalian. Iyalah.

Tapi rupanya dia udah berpesan sama tukang masak itu jangan ngasih tau apapun dipenjara, karena nanti saya tambah sakit karena beranak kecil. Jadi sulit info dari luar. Dia nitipkan beras. Datang teman saya pulung br sitepu ini suaminya juga dipenjara Kabanjahe. Ada datang adik perempuannya yang selalu datang, ngantar makanan ke penjara kabanjahe. Diantarnya nasi kami pagi2, dan kemudian diantar nasi abangnya ke kabanjahe setelah itu. Jadi sudah lama mertua saya tidak datang, sayapun mesan sama adik teman saya ini namanya Rakut . Kukasih dia uang 5000, saya bilang kasih ini sama suami saya di Kabanjahe. Dia terima, tapi sorenya dibalikkan, katanya mertua saya udah ngasih duit sama dia. Rupanya suami saya tidak ada di tahanan kabanjahe. Dia sekongkol semua bohong sama saya. Udah 6 hari saya kasih lagi uang itu, tukur kari isapna ras mi rebus ya. Diterima juga uangnya.

Sorenya dia kembali, uangnya dibalikkan lagi, dibilangnya udah bertamu mertua saya kesana. Jawabnya sama saja sampai 6 bulan. Aku makin lama curiga juga. Suatu saat saya mendengar orang istri PM itu ngomong-ngomong sama temannya di dapur, dia tidak tahu nama saya Dokan,yang tau saya ibu nusa saja. Cerita dia, em, suami dokan itu ikut ke lau gerbong itu, katanya, saya dengar begitu. Besoknya lagi cerita lagi mereka, tapi kayaknya cerita mereka keliru. Dokan dan anaknya yang masih kecil itu ngayap-ayap disungai ( terapung-apung), katanya. Diam juga saya sambil masak nasi .

Em, turangku pe ikut. Ada saudara bapaknya yang juga kena. Saya simak. Jadi setelah siap ngomong, aku tanya. Ise gelar turang ndu dai?. Kubilang. Payo Tarigan, katanya. Sama kami ngajar di kabanjahe. Turangku ikut. Bapa anakku pe ikut?, ninku, sebab bapa anakku ketuanya, ninku. Eh, lang nak, lang, bapa nak ndu ngga ikut, katanya. Taupun dia siapa nama suamiku tidak. Tapi terus dibantah. Kubilang, tanda ndu kin? Gugup lah dia, orang ngga kenal. Karena kalau ku desak terlalu pertanyaanpun dia tidak mau jawab. Rupanya mereka sudah sekongkol semua tidak boleh diberitakan apapun sama saya. Aku masak nasi lagi. Dia cerita lagi sama temannya.

Aku makin penasaran, keluar aku tak bisa, berobat juga tidak bisa, tamu pun tidak bisa datang. Tapi satu saat aku sakit, dikasih pergi tapi dikawal. Datang yang punya obat ini, menurut pemeriksaan aku sakit karena tekanan perasaan( mental). Saya mencret. Datang dia katanya, kita berencana, tapi Tuhan lah yang berkehandak, sabar ya, katanya. Saya tidak tau apa maksudnya. Rupanya semua yang diluar sudah pada tahu. Jadi, iyalah, saya bilang. Saya tidak mau tanya lebih jauh. Terus siap dikasih obat, dia tidak mau dibayar. Dia bilang udah, ngga apa-apa. Padahal tidak kenal sama dia. Anak saya juga sakit, tapi waktu berobat dia tidak mau dibayar, saya heran.

Lama-lama semakin jelas dari istri si kodim tadi. Setelah enam bulan saya tidak mendapat informasi tentang suami saya, juga karena bulang anakku sudah tidak mau cerita, malah agak menjauh. Aku mau akali mereka. Aku harus ke penjara kabanjahe cari tahu. Saya kasih alasan si Nusa punya dokter hanya di Kabanjahe, jadi dia harus dibawa. Si Kodim itu tidak kasih, namun terpaksa dikasih juga karena kubilang terus, tapi dikawal dengan supir pribadinya. Di kabanjahe, Nusa saya bawa ke RSU Kabanjahe. Disana saya berjumpa sama teman lama yang jadi perawat.

Dari dialah informasi tentang suami saya juga tidak saya dapatkan, tapi saya curiga juga waktu dia tidak mau menerima uang perobatan. Habis berobat, saya bilang sama sopir si Poniman itu, aku musti singgah ke Tim Poniman. Ngga boleh kak, nanti saya dimarahi. Popok Nusa kemarin tinggal disitu. Nanti saja kak, saya aja yang ngambil, nanti pak Rasta Ginting ( PM), marah sama saya. Mau kau tembak, mau kau seret, terserah, pokoknya aku mau kesana. Kalau dia marah sama kau, bilang kalau aku yang keras kepala. Dia nyembah-nyembah bilang jangan kak. Kubilang tidak.

Pigi aku ke tim. Sampai di tim. Berdiri komandannya di pintu, seperti tidak ngasih jalan, tapi aku terobos saja. Masih jauh-jauh di halaman sana, dia bilang, Ngapain kau kemari ma Nusa?. Ngga apa-apa pak, ngambil pakaian Nusa, kemarin tinggal. Dimana tinggalnya? Kucari nanti dikamar. Dia tetap menghalangi dipintu. Ku langgar dia kontan. Kau ini? Katanya. Terus aku masuk ke dalam. Sampai aku di dalam, menjerit-jerit saya, rupanya penipu kalian semua ya? Mengungsikan saya ke berastagi biar saya tidak tau suami saya dibawa malam, bapak penipu rupanya iya? bapak penipu rupanya iya? Lari dia entah kemana. Sampai puas aku marah dan nangis, baliklah ke berastagi lagi.

Ditahan bersama bayi
Saya jadi tahanan rumah selama tiga tahun. Kemudian masuklah saya ketahanan raya dekat kodim kabanjahe itu, 6 bulan, pindah lagi ke jalan Binjai, kodam, saya bawa Nusa juga. Sampai di Jl binjai itu, ada pula komandan itu, melarang anak-anak di dalam. Katanya suruh semua keluar. Kasihkan sama famili. Sama siapa mau dikasih anak? Tidak ada famili di luar?.

Itu diusir semua. Anak-anak bukan tahanan, kamu orang tua yang ditahan, katanya. Kami sudah pada nangis mama-mamak. Kami golongan berat pula, tidak bisa keluar. Dibarak 10, saya golongan B. ada yang bisa keluar masuk. Kalau kami tidak bisa. Jadi kawan –kawan itu lah yang bawa entah dimana dititipkan. Tahun 71 kami pindah ke tanjung kasau. Nusa mulai SD di tanjung Kasau. Dia langsung kelas 2, karena dia langsung bisa membaca, sering saya ajari. Tahun 78 baru saya bebas, setelah Sudomo masuk ke sana. Langsung pulang saya ke Kandibata. Sebelumnya diisukan kami mau dibawa ke pulau buru, golongan B semua. Kami sudah pada ketakutan semua. Kami mulai di Jalan Binjei sudah mulai buat kerja tangan ditahanan, bisa bikin kesek kaki, ayaman, ukiran. Itu kami lanjutkan di t kasau. Jadi sudah bisa tanpa kiriman dari luar.

Riwayat organisasi
Agak ke belakang, suami saya anggota Front Nasional, bukan anggota DPRD. Ndelasi Sinuraya. Dipartai dia sebagai di partai, tapi full di front nasional tk. Kabupaten. Kalau Gerwani sebelum tahun 65. sebenarnya saya diangkat bukan karena pendidikan organisasi yang sudah tinggi, tapi karena suami saya sudah duluan menjadi anggota partai, dan saya sebagai istri diangkat menjadi wakil ketua di tanah karo. Setelah jadi wakil ketua, baru saya mengikuti pendidikan kursus, juga menghadiri pertemuan propinsi. Di kepanitiaan dengan lembaga lain dan pemerintah saya sering juga menjadi pimpinan, makanya kenal sama orang orang yang menangkap saya. Gerwani sudah terbentuk di setiap desa dan Kecamatan di Karo.

Di desa minimal 10 orang baru berdiri organisasinya. Di gerwani biasanya yang sudah bersuami. Program kami memperjuangkan emansipasi dan suami hanya beristri satu. Kalau perempuan yang belum berkeluarga, mereka ikut di Pemuda Rakyat dan Lekra. Sebelum peristiwa, sewaktu datang dokter Tanti Aidit, kami semua disini. Dari semua desa datang. Kami bertemu di gedung nasional. Saya pernah minta ke dr Tanti supaya saya diperiksa, karena kemarin saya susah punya anak. Kami juga pernah seminar gerwani di Gedung Olah raga kabanjahe. Pertemuan di kantor Sobsi di Jalan Binjai. Itu sebelum peristiwa. Setelah peristiwa komunikasi terputus sama sekali. Tidak ada surat-menyurat yang saya ketahui.

Tapi hari itu, Pulung br Sitepu, ketua Gerwani Tanah Karo, tapi mungkin menurut tim itu saya yang menguasai politik, karena selain guru, saya wakil ketua. Urusan wakil ketua pengkaderan, sementara ketua urusan keluar, begitu. Pengurus di tanah karo itu; ketua Pulung br sitepu, wakil ketua, saya, sekretaris..lupa saya, bendahara, nyonya P Sitepu, beru Ginting. Ibu pulung sekarang masih hidup, dia di Jakarta, tetapi siap dari jalan Gandhi dan Tj. Kasau, dia sudah ada stress jadi sulit diajak bicara. Dia juga melahirkan 4 orang anak di tj kasau, karena dia satu rumah dengan suaminya di tahanan tj Kasau.

Anak saya Nusantara sudah berkeluarga tinggal di Bandung, tapi saya belum pernah kesana sama sekali. Dia udah menikah sama br sebayang, punya 3 anak. Saya guru SD Negeri 1 Kabanjahe dulu. Tapi tidak menerima pensiun, dipecat begitu saja. Saya udah PNS 7 tahun, tahun 58 sampai dengan 65.

saurlin,05

No comments: