tanah berbatu dan basah,
akar pohon tua sembarang,
rimbun pohon berwarna.
derap langkah jalan setapak,
udara segar dan dingin menyapu keringat.
topi lebar,
sarung tangan
jaket tebal,
semangat langkah.
suara burung malam,
sesayup sinar bulan terkadang,
tetes air ditebing berbatu cadas,
bau kelelawar malam,
dan raung burung hantu,
sengatan belerang..
asapmu bercampur awan..
gontai,
bersama tetesan terakhir sebotol air mineral,
kumelangkah, merangkak, mencarimu,
payudara kerinduan,
puncak sinabung,
diatas awan.
aku hampir menyesal mengenalmu,
karena telah menyita hidupku,
untuk selalu bersama denganmu,
dan untuk selalu kembali kepada keabadianmu.
jan 27, the hague,NL.
Sunday, January 27, 2008
Tuesday, January 22, 2008
Ambil Ginting, Ketua Pemuda Rakyat, sekaligus Permata GBKP
Lolos dari Lau Gerbong
Sebenarnya aku ikut kian itu di lau gerbongkan. Yang dilau gerbong itu (dibunuh) itu adalah teman teman sekamar saya semua. Pada waktu itu pak Juda dari Tim ( Juda adalah komandan CPM ) datang itu. Kita akan dibawa ke Lau gerbong semua. Waktu malam itu,lampu dimatikan, terus ada mobil truk yang sudah dihidupkan standby menunggu diluar. Itu mobil pra. Katanya kami mau dipindahkan. mobil truk itu , suaranya masih mengiang ditelinga saya sampai sekarang , udah 40 tahun . aku ngeri kalau mendengar suara mobil pra, aku teringat kesitu. Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa hanya saya yang luput malam itu. Besoknya saya tahu dari ibu saya waktu itu bahwa semua teman sekamarku itu di Lau gerbongkan. Saya tidak mengerti itu.
Mungkin Tuhanlah yang menyelamatkan saya waktu itu. Bayangkan sampai pakaian sayapun terbawa juga ke Lau gerbong, dan dipikir orang kampung itu aku juga sudah mati. Seharusnya aku yang harus mati sebagai atasan beberapa teman yang ikut dibunuh itu. (Tangsi Barus sebagai sekretaris satu. Saya sekretaris dua. Saya sebagai anggota dewan harian tingkat kabupaten. Kami ada 5 orang anggota dewan harian. Sama kami tidak ada istilah ketua) . Orang Karo bilang itu (kain itu) sebagai ‘pesilihi’ ( pesilihi artinya tumbal pengganti) Itu sebagai pengganti saya. Tikar saya dibawa dan dihanyutkan kesana.
Sebernarnya saya tahu kejadian itu (Lau Gerbong) setelah kejadian ini. Karena saya kan ditahan pada waktu itu. Karena ini semua kan teman saya satu kamar semua ini. Ceritanya waktu sya disiksa di peranggerahan itu. Kalau ketua tim itu pak Juda, CPM. Ada yang bilang ke penjara. Malam itulah mulai dipanggil teman teman saya disitu. Dipenjara kabanjahe. Waktu itu listrik dimatikan. Diperintahkan semua yang di penjara termasuk komandan tidak bisa negok gitu. Tapi saya memberanikan diri menengok lewat jendela. Waktu itu saya lihat teman saya diikat tangannya. Saya dengar ada motor pra yang suaranya sampai sekarang masih mendenging ditelinga saya, coba bayangkan sudah 40 tahun. Kira kira jika mesinnya itu sekarang dihidupkan saya masih hafal itu suara truknya. Standbay disitu. Baru lah mereka berangkat malam. Kami ini belum tahu mau dikemanakan. Karena katanya dipindahkan . besoknya malam kedua juga sama. Istilahnya tetap sama , dipindahkan, dan sama juga perlakuak terhadp orang itu , diikat. Jadi 4 hari kemudain kami baru tahu bahwa teman teman kami dibawa ke lau gerbong ini. Termasuk ibu saya sendiri menjelaskan bahwa teman teman saya sudah dibawa ke lau gerbong.
Jenisnya mobil pra itu. Bayangannya mobil pra itu seperti mobil perang Jepang, yang ada atapnya dan ada dindingnya. Itu ngga persis saya lihat karena ditahanan. Hanya dengar suaranya. Sudah itu baru kami sadar mereka dibawa kemari (Lau gerbong). Tahanan kriminal juga cerita kepada kami, teman teman kalian sudah di bunuh di lau gerbong. Setelah itu kami udah menggigil. Rasa takut sudah membanyangi kami.
Pelaku-pelaku Pembunuhan
Kalau menurut informasi yang saya ketahui dari KODIM, mereka ( pembunuh-pembunuh itu) adalah orang-orang pemuda pancasila dan komando aksi. Yang jelas dari KODIM juga. Komando aksi itu adalah ujung tombaknya untuk menghabisi kami. Selain itu juga dari PNI.
Keterlibatan PNI
Pernah saya dengar cerita sebelum saya ditangkap, katanya begini. Datang orang PNI ke kampung kita. Di kedai kopi dia cerita. Bahwa kita (PKI) ini sudah jaya, katanya. PNI adalah partai terbesar di tanah Karo beberapa tahun sebelumnya, itu terbukti dengan pemilu 55, mereka mayoritas di DPRD. Mereka tidak tahu saya kira. PNI melihat kita sebagai saingan utama, bahkan lawan. Sehingga mereka sangat benci dan ikut menghabisi kita tahun 65 itu.
Setelah Sukarno jatuh baru mereka sadar. Mereka (di)habis(i) juga. Tapi ada kemarin ditonjol tonjolkan kepada kami , bahwa peristiwa Bandar Betsi , letnan Sujono dibunuh PKI menjadi contoh yang terus menerus dikampanyekan untuk menghabisi kami . makanya tentara anti kali sama kami, karena itu saja yang ditonjolkan. PNI itu kan ada dua, jadi aku lupa itu PNI apa yang menghantam kita.
Komite Bayangan pengganti Komite Seksi
Terus satu lagi, biar kam tau. Setelah abang ini lari ( maksudnya Kumpul Ginting), termasuk abang Jenda Tarigan, maka kami bentuklah pada waktu itu Komite Bayangan. Komite bayangan itu untuk mengkordinir teman teman diseluruh tanah karo. Kami tidak tau abang ini dimana waktu itu.
Komite bayangan dibentuk kira kira tahun 1965. Karena bapak ini tidak nampak lagi, langsung kami dirikan itu. Bapak ini udah sporing waktu itu. Setelah itu lah aku baru ditangkap. Aku sebenarnya tertengkap karena saya tetap bertahan. Saya bertahan karena ingin terus memiliki dan bisa membagikaninformasi ke teman teman yang ada di desa. Jadi setelah saya ditangkap, habislah semua informasi tidak bisa diketahui lagi perkebangannya. Padahal saya juga sebenarnya sebagai guru politik dulu di tingkat kabupaten. Kalau PR itu kan disebut DN Aidit sebagai komunis muda.
Perlakuan ditahanan
Di tahanan, mereka (para pemeriksa) pikir aku punya ilmu kebal. Kam tau keladi? Nah batangnya itulah dipukulkan ke saya Biar kam tau, selama 9 hari sembilan malam dilistrik dikantor kodim itu. Mereka berfikir sama aku ada informasi karena aku pengurus waktu itu. Setelah saya dipindahkan ke Medan, baru sedikit tenang, karena mungkin di medan sudah lebih berpangkat dan lebih berpendidikan orang itu.
Saya ditahan diberbagai tempat tahanan. Pertama ditahan di kodim, setahun kemudian ke jalan Sena Medan, sudah itu satu tahun lagi, terus ke kilometer tujuh jalan Binjai, waktu itu kami ada ditahan 2000 orang, sudah itu ke Tanjung Kasau, 3 tahun. Aku sering bolak balik dibawa ke medan untuk diperiksa. Pemeriksaan saya terakhir di jalan binjai lagi, di suka mulia saya dibuat jadi saksi, disitu ketemu sama ibu Lintang( sekretaris Gerwani Kabupaten Labuhan Batu) dari labuhan batu itu.
Saya juga pernah jadi saksi dalam persidangan. Kalau tak silap saya dibebaskan tahun 1973. kemudian wajib lapor di Kabanjahe sama kodim . Saya tidak terlalu lama wajib lapor karena saya tidak banyak tingkah, saya patu sajalah. Setelah itu saya jadi saksi lagi, untuk abang Jenda Tarigan. Tahun 1973 atau tahun 1974. itu pimpinan di tanah Karo, orang nomor satu ,baru abang ini ( Kumpul Ginting). Dia masih hidup sekarang. Dipahanya ada ditembak itu. Dia juga anggota CDB Sumatera Utara. Dia tertinggi di CS ( Comite Seksi) kabupaten. Pak Jenda sekarang dikampung, istrinya juga ada, tapi sudah kurang waras dan sudah buta.
Menjadi pimpinan Pemuda Rakyat Kabupaten
Di Pemuda Rakyat ada jenjang pendidikan politik. Pertama ada SP, itu sekolah politik tingkat dasar. Dari SP tingkat Kecamatan ke SP kabupaten. Kalau saya dulu tamat dari SPDB, itu sekolah pilitik daerah besar, tingkat propinsi. Saya sekolah di Tanjung Balai dulu, selama 2 bulan. Makanya saya pernah gurunya dulu ditingkat kabupaten
Pendidikan –pendidikan politik di tingkat kecamatan dan desa aktif sekali kami lakukan untuk merekrut kader-kader baru di desa dan kecamatan. Bahkan kami melakukan pendidikan politik sampai ke daerah Aceh.
Eks tapol yang diterima baik keluarga
Penerimaan keluarga terhadap eks tahanan lebih baik di karo ini daripada didaerah lain. Salah satunya adalah karena disini adat itu sangat kuat. Kekerabatan membuat kita harus saling menghormati dan punya peran tertentu di adat. Saya kira juga batak seperti itu. Kami memang dari PR itu punya disiplin. Tidak seperti OKP sekarang. Kami dulu tidak main judi, tidak merampok, tidak main ganja, tidak mabuk-mabukan, makanya orang simpati kepada kita. Jangankan istri, pacar juga harus satu. Makanya orang simpati sama kita, begitu pula waktu kita keluar dari penjara. Karena prinsip kita adalah membebaskan manusia dari penindasan. Kalau seperti itu kan sudah penindasan. Makanya Amerika tidak senang sama kami. Mereka kan hanya perpikir untung , kalau tidak untung dihabisi. Makanya karena kami tidak suka penindasan, kami dihabisi Amerika.
saurlin.
Sebenarnya aku ikut kian itu di lau gerbongkan. Yang dilau gerbong itu (dibunuh) itu adalah teman teman sekamar saya semua. Pada waktu itu pak Juda dari Tim ( Juda adalah komandan CPM ) datang itu. Kita akan dibawa ke Lau gerbong semua. Waktu malam itu,lampu dimatikan, terus ada mobil truk yang sudah dihidupkan standby menunggu diluar. Itu mobil pra. Katanya kami mau dipindahkan. mobil truk itu , suaranya masih mengiang ditelinga saya sampai sekarang , udah 40 tahun . aku ngeri kalau mendengar suara mobil pra, aku teringat kesitu. Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa hanya saya yang luput malam itu. Besoknya saya tahu dari ibu saya waktu itu bahwa semua teman sekamarku itu di Lau gerbongkan. Saya tidak mengerti itu.
Mungkin Tuhanlah yang menyelamatkan saya waktu itu. Bayangkan sampai pakaian sayapun terbawa juga ke Lau gerbong, dan dipikir orang kampung itu aku juga sudah mati. Seharusnya aku yang harus mati sebagai atasan beberapa teman yang ikut dibunuh itu. (Tangsi Barus sebagai sekretaris satu. Saya sekretaris dua. Saya sebagai anggota dewan harian tingkat kabupaten. Kami ada 5 orang anggota dewan harian. Sama kami tidak ada istilah ketua) . Orang Karo bilang itu (kain itu) sebagai ‘pesilihi’ ( pesilihi artinya tumbal pengganti) Itu sebagai pengganti saya. Tikar saya dibawa dan dihanyutkan kesana.
Sebernarnya saya tahu kejadian itu (Lau Gerbong) setelah kejadian ini. Karena saya kan ditahan pada waktu itu. Karena ini semua kan teman saya satu kamar semua ini. Ceritanya waktu sya disiksa di peranggerahan itu. Kalau ketua tim itu pak Juda, CPM. Ada yang bilang ke penjara. Malam itulah mulai dipanggil teman teman saya disitu. Dipenjara kabanjahe. Waktu itu listrik dimatikan. Diperintahkan semua yang di penjara termasuk komandan tidak bisa negok gitu. Tapi saya memberanikan diri menengok lewat jendela. Waktu itu saya lihat teman saya diikat tangannya. Saya dengar ada motor pra yang suaranya sampai sekarang masih mendenging ditelinga saya, coba bayangkan sudah 40 tahun. Kira kira jika mesinnya itu sekarang dihidupkan saya masih hafal itu suara truknya. Standbay disitu. Baru lah mereka berangkat malam. Kami ini belum tahu mau dikemanakan. Karena katanya dipindahkan . besoknya malam kedua juga sama. Istilahnya tetap sama , dipindahkan, dan sama juga perlakuak terhadp orang itu , diikat. Jadi 4 hari kemudain kami baru tahu bahwa teman teman kami dibawa ke lau gerbong ini. Termasuk ibu saya sendiri menjelaskan bahwa teman teman saya sudah dibawa ke lau gerbong.
Jenisnya mobil pra itu. Bayangannya mobil pra itu seperti mobil perang Jepang, yang ada atapnya dan ada dindingnya. Itu ngga persis saya lihat karena ditahanan. Hanya dengar suaranya. Sudah itu baru kami sadar mereka dibawa kemari (Lau gerbong). Tahanan kriminal juga cerita kepada kami, teman teman kalian sudah di bunuh di lau gerbong. Setelah itu kami udah menggigil. Rasa takut sudah membanyangi kami.
Pelaku-pelaku Pembunuhan
Kalau menurut informasi yang saya ketahui dari KODIM, mereka ( pembunuh-pembunuh itu) adalah orang-orang pemuda pancasila dan komando aksi. Yang jelas dari KODIM juga. Komando aksi itu adalah ujung tombaknya untuk menghabisi kami. Selain itu juga dari PNI.
Keterlibatan PNI
Pernah saya dengar cerita sebelum saya ditangkap, katanya begini. Datang orang PNI ke kampung kita. Di kedai kopi dia cerita. Bahwa kita (PKI) ini sudah jaya, katanya. PNI adalah partai terbesar di tanah Karo beberapa tahun sebelumnya, itu terbukti dengan pemilu 55, mereka mayoritas di DPRD. Mereka tidak tahu saya kira. PNI melihat kita sebagai saingan utama, bahkan lawan. Sehingga mereka sangat benci dan ikut menghabisi kita tahun 65 itu.
Setelah Sukarno jatuh baru mereka sadar. Mereka (di)habis(i) juga. Tapi ada kemarin ditonjol tonjolkan kepada kami , bahwa peristiwa Bandar Betsi , letnan Sujono dibunuh PKI menjadi contoh yang terus menerus dikampanyekan untuk menghabisi kami . makanya tentara anti kali sama kami, karena itu saja yang ditonjolkan. PNI itu kan ada dua, jadi aku lupa itu PNI apa yang menghantam kita.
Komite Bayangan pengganti Komite Seksi
Terus satu lagi, biar kam tau. Setelah abang ini lari ( maksudnya Kumpul Ginting), termasuk abang Jenda Tarigan, maka kami bentuklah pada waktu itu Komite Bayangan. Komite bayangan itu untuk mengkordinir teman teman diseluruh tanah karo. Kami tidak tau abang ini dimana waktu itu.
Komite bayangan dibentuk kira kira tahun 1965. Karena bapak ini tidak nampak lagi, langsung kami dirikan itu. Bapak ini udah sporing waktu itu. Setelah itu lah aku baru ditangkap. Aku sebenarnya tertengkap karena saya tetap bertahan. Saya bertahan karena ingin terus memiliki dan bisa membagikaninformasi ke teman teman yang ada di desa. Jadi setelah saya ditangkap, habislah semua informasi tidak bisa diketahui lagi perkebangannya. Padahal saya juga sebenarnya sebagai guru politik dulu di tingkat kabupaten. Kalau PR itu kan disebut DN Aidit sebagai komunis muda.
Perlakuan ditahanan
Di tahanan, mereka (para pemeriksa) pikir aku punya ilmu kebal. Kam tau keladi? Nah batangnya itulah dipukulkan ke saya Biar kam tau, selama 9 hari sembilan malam dilistrik dikantor kodim itu. Mereka berfikir sama aku ada informasi karena aku pengurus waktu itu. Setelah saya dipindahkan ke Medan, baru sedikit tenang, karena mungkin di medan sudah lebih berpangkat dan lebih berpendidikan orang itu.
Saya ditahan diberbagai tempat tahanan. Pertama ditahan di kodim, setahun kemudian ke jalan Sena Medan, sudah itu satu tahun lagi, terus ke kilometer tujuh jalan Binjai, waktu itu kami ada ditahan 2000 orang, sudah itu ke Tanjung Kasau, 3 tahun. Aku sering bolak balik dibawa ke medan untuk diperiksa. Pemeriksaan saya terakhir di jalan binjai lagi, di suka mulia saya dibuat jadi saksi, disitu ketemu sama ibu Lintang( sekretaris Gerwani Kabupaten Labuhan Batu) dari labuhan batu itu.
Saya juga pernah jadi saksi dalam persidangan. Kalau tak silap saya dibebaskan tahun 1973. kemudian wajib lapor di Kabanjahe sama kodim . Saya tidak terlalu lama wajib lapor karena saya tidak banyak tingkah, saya patu sajalah. Setelah itu saya jadi saksi lagi, untuk abang Jenda Tarigan. Tahun 1973 atau tahun 1974. itu pimpinan di tanah Karo, orang nomor satu ,baru abang ini ( Kumpul Ginting). Dia masih hidup sekarang. Dipahanya ada ditembak itu. Dia juga anggota CDB Sumatera Utara. Dia tertinggi di CS ( Comite Seksi) kabupaten. Pak Jenda sekarang dikampung, istrinya juga ada, tapi sudah kurang waras dan sudah buta.
Menjadi pimpinan Pemuda Rakyat Kabupaten
Di Pemuda Rakyat ada jenjang pendidikan politik. Pertama ada SP, itu sekolah politik tingkat dasar. Dari SP tingkat Kecamatan ke SP kabupaten. Kalau saya dulu tamat dari SPDB, itu sekolah pilitik daerah besar, tingkat propinsi. Saya sekolah di Tanjung Balai dulu, selama 2 bulan. Makanya saya pernah gurunya dulu ditingkat kabupaten
Pendidikan –pendidikan politik di tingkat kecamatan dan desa aktif sekali kami lakukan untuk merekrut kader-kader baru di desa dan kecamatan. Bahkan kami melakukan pendidikan politik sampai ke daerah Aceh.
Eks tapol yang diterima baik keluarga
Penerimaan keluarga terhadap eks tahanan lebih baik di karo ini daripada didaerah lain. Salah satunya adalah karena disini adat itu sangat kuat. Kekerabatan membuat kita harus saling menghormati dan punya peran tertentu di adat. Saya kira juga batak seperti itu. Kami memang dari PR itu punya disiplin. Tidak seperti OKP sekarang. Kami dulu tidak main judi, tidak merampok, tidak main ganja, tidak mabuk-mabukan, makanya orang simpati kepada kita. Jangankan istri, pacar juga harus satu. Makanya orang simpati sama kita, begitu pula waktu kita keluar dari penjara. Karena prinsip kita adalah membebaskan manusia dari penindasan. Kalau seperti itu kan sudah penindasan. Makanya Amerika tidak senang sama kami. Mereka kan hanya perpikir untung , kalau tidak untung dihabisi. Makanya karena kami tidak suka penindasan, kami dihabisi Amerika.
saurlin.
Dokan br Ginting, Selamat karena punya Bayi
Peristiwa seputar September 65 di Desa Kandibata
Peristiwa itu bulan oktober, kerja tahun di Kandibata kebetulan bulan Oktober. Jadi anak itu lahir bulan juni , jadi selama dia lahir belum pernah ke kampung , karma kami tinggal di kabanjahe. Jadi ketika bulan Oktober, sambil membawa anak itu kesana, kebetulan pula disitu terjadi peristiwa itu. Jadi kami sampai disana, sudah banyak pemuda pemuda disana dari pemuda pancasila yang sudah mondar mandir di depan rumah mertua saya, yang sambil lewat dia mengatakan, oh ini salah satu gerwani, maunya kita masukkan kegoni bersama anaknya dan kita hanyutkan ke lau Biang, katanya . Mendengar itu saya agak takut gitulah, jadi saya bilang sama suami dan mertua saya. Orang itu kok bilang begitu? Kenapa ini, ada apa
Oh kalau begitu, kata mereka ada kejadian di pusat, katanya PKI yang memberontak. Jadi katanya kalian menghindar lah dulu. Jadi saya disuruh menghindar ke kampung adik mertua saya namanya kampung Kacaribu yang kebetulan disana juga ada pesta tahunan, kesanalah kami sore. Si adek mertua saya suaminya PNI. Sampai disana kami sore, kebetulan musim hujan. Inilah bulan oktober, apa katanya, jenda pe labolih ingen nini. Ula kari kit ape ikut, jadi permenena mesti berkat, uja kin permenena maka taruhken. Katanya. Jadi dipanggil lah kawan itu sudah gelaplah setengah tujuh hari hujan. Kata kawan ini mari kuantar ke kampung nang Belawan. Jadi malam malam dihujan deras itu bersama kawan Kunci br Bangun.
Memang kami sebelum peristiwa juga sudah satu rumah di Kabanjahe, dia masih gadis. Dia hari itu pegawai seksi satu kodim kabanjahe. Jadi karena persta tahunan kami bersama kekampung, dan kekacaribu sama juag karena sama-sama terlibat. Sore itu kami disuruh pindah karena takut digrebek, diantar satu kawan ke kampung nang belawan. Tapi tidak sampai ke kampung itu. Kami disuruh menginap di ladang-ladang itu, kandang lembu. Disanalah kami 2 malam 2 hari. Lusanya baru berangkat lagi. Sampai disana. Eceknya di calling lah kawan kawan, diantarlah makanan kami, diantar sore. Jadi besoknya adalagi informasi karena kami tidak boleh lama-lama karena sudah tercium oleh hansip Nang Belawan.
Malam kami diantar pula dari nang belawan ke desa barong kersak, itu agak jauh itu, jalan malam, sekarang pun saya tidak tau itu karena jalannya malam. Disana kami bukan dirumah, tapi digubuk diladang orang, disana kami sampai 5 hari 5 malam. Gubuk itu agak lengkap. Ada periuk untuk masak. Tapi kami tidak mau masak siang karena kalau ada asap nampak sama orang. Udah itu ada pula informasi, kami disitu sudah tercium sama hansip kampung barong kersak, dan harus dipindahkan ke desa kuta mbaru kecamatan Munthe, kalau tidak silap. Disana kami tidak diladang tapi diterima di rumah keluarga. Disana anakku sakit pula. Kebetulan yang punya rumah pegawai puskesmas . kami disana selama 2 minggu, pindah dari satu rumah ke rumah lain, masih famili semua. Udah itu tercium lagi bahwa kami itu ada disana, dan disuruh lagi kami pindah ke desa Kaban Tua. Jadi selama kami pindah tempat dari satu tempat ke tempat lain anak saya sering sakit. Baru berumur 3 bulan pula dia lahir tanggal 21 bulan 6 , 65. peristiwa bulan 10, jadi 3 bulan. Sakit karena sering jalan malam kena hujan, jadi demam, batuk mencret. Begitu. Kami tidak dibiarkan keluar. Kami dikunci dirumah terus menerus. Sakit dia diobati menteri puskesmas. Akhirnya menteri puskesmas itu ditangkap juga, karena tercium juga dimana kami. Jadi sudah 2 minggu kami ada disini, tercium lagi, terpaksa kami dipindahlan malam malam di hujan deras. Kami jalan ke jalan kaban tuah. Diperjalanan kami menyeberangi satu sungai, airnya lagi deras, dan bisa menghanyutkan. Airnya meluap waktu itu. Orang orang tidak menyangka bahwa air lagi meluap, jadi membiarkan saya didepan menggendong anak itu. Jadi kami hampir hanyut, untung tangan anak itu masih bisa kuraih, dia sudah basah semua. Jadi saya juga sudah basah. Di desa itu kami sampai dan ditempatkan di ladang, itupun berpindah-pindah. Sampai kebukit desa kaban tua, yang namanya deleng Paku. Kami diatas bukit . disitu ada 1 bulan.
Tinggal di Hutan dengan bayi berumur 3 bulan.
Di atas bukit itu ada pula gubuk orang yang mengambil balok untuk kayu perumahan. Disitu kami menginap. Disitu panas pula anak itu sampai 40 derajat lewat.hari hujan, rintik-rintik, bulan pun tidak ada cerah, rupanya gubuk kami itu ada orang utan. Jadi kami sama suami saya satu bulan, walupun tidak satu tempat digunung itu. Baru sekali kami berjumpa disatu tempat di hutan itu. Pakaiannya penuh dengan kutu, kalau bahasa karo namanya TUMA, yang kutu dipakaian itu, kayak kutu kepala tapi lebih besar, penuh kali, pakaian singlet, sampai tak bisa kita tindesi, sampai kami pun diatas gunung itu penuh tuma juga. Sampai sekarang masih ada bekas gigitan tuma itu.udah 40 tahun ini, lihat ( dia menunjukkan bekas gigitan di lengan). Ini hah.
Dulu besar ini, sebesar jagung ini, dari sini dia sering makan, hingga sampai benjol seperti ini. Sapai 40 tahun masih ada ini, hitam. Begitulah sampai kasihan kali aku nengoknya , kalau dicuci pake sabun tidak ada sabun. Ada air diatas gunung itu disitulah kami mandi. Disitu pula anak itu sakit sampai lewat 40. dan disitu pula kami yang ditaburi arimo begitu namanya, istilahnya diatas tempat kami tinggal ada batu besar, dibawahnya dibuat gubuk, atapnya daun kempawa namanya semacam pinang. Kami ngina beberpa lama disitu. Waktu anak saya panas saya sudah berpikiran kalau samapai dia meninggal dimana harus saya kebumikan. Kalau dibawah pokok kayu yang sudah besar, nanti kalau 11 tahun lagi kemari, mungkin kayu ini sudah dipotong orang yang mengambil balok. Tapi kalau saya nanti kuburkan dia nanti dibawha pokok kayu yang kecil, jadi tidak tau mungkin saya dimana kuburan anak saya ini, disitu saya sudah bingung itu, karena aku bawa thermometer itu ke hutan makanya saya tahu.
Begitulah kami sampai siang menggendong dia. Disitulah orang utan itu mengais tanah ke gubuk kami itu dari atas, itu kurang saya mengerti kalau orang utan yang melakukan itu ku pikir batu itu mau longsor. Karena hujan. Dibawah kami ituada sungai kecil. Jadi saya pikir pula, waktu tanah itu sarrr…begitu berbunyi di atap, saya pikir batu itu akan menimpa kami dan membawa kami kea rah lembah itu. Rupanya orang hutan itu yang mengais tanah ke gubuk kami. Diluar ada 3 orang laki-laki yang menjaga kami, gubuk itu kami sekat pakai tikar, tikar pandan yang lebar. Laki sebelah sini, perempuan sebelah sana. Rupanya laki-laki itu sudah tau orang utan itu yang buat tanah itu. Jadi sampai 3 kali tanah itu dikais, kami memasang api pake kayu besar biar lama panasnya dan ada baranya, rupanya kayu itu ada yang menarik. Dan itu orang utan itu.
Jadi saya datangi teman kunci, eh kunci, kunci kumpulin dulu kayu kayu itu biar nyala apinya ku bilang. Iya kak, katanya, rupanya 3 orang laki-laki itu udah takut dan udah ngumpul , nafasnya juga sudah ditahan-tahan, udah tak berani bernafas. Kami tidak sadar maka tak takut. Taunya setelah masuk tahanan di kabanjahe. Kami koyok-koyok (cakap2). Kakak tau kemarin kejadian di hutan itu? Ngga saya bilang. Itu oran hutan, begini ceritanya, begini2, katanya. Jadi kalian? Cemmana taunya? Kami kan sudah duduk itu tak berani lagi keatas. Katanya. Kalau kami tau itu orang utan, mungkin saya udah tak berani juga bernafas. Kami tidak diganggunya. Selama diatas gunung itu, kami tidak pernah masak, penjaga kami selalu ganti setiap hari, jadi yang datang itu yang membawa kami makanan dari kampung.
Setelah satu bulan kami diatas, diurus oleh orang orang desa Talin kuta, disitu tanah sinar parangin-angin menggarap ( mantan Bupati Karo). Kayunya habis ditebangi, termasuk kecamatan merek itu, kalau tak salah. Datang salah satu keluarga kita dari desa talin kuta, termasuk kakek, katanya ini sudah tak bisa dipertahankan nakku katanya, tidak bisa lagi ijin untuk membawa makanan keluar desa. Oleh hansip desa, itu peraturan desa, biar memperkecil ruang kita. Mereka mungkin sudah tahu semua kita, tapi mereka juga sebenarnya sayang sama kita, karena mereka satu kampung adalah anggota kita. Mereka hanya 1 orang yang tidak terlibat. Tapi yang masuk hanya beberapa oranglah yang ditahan dan wajib lapor, tidak semua ditangkap. Sebagian disembunyikan.
Skenario Penyerahan diri kepada Aparat
Kami banyak itu diatas, rombongan suami saya, rombongan loji sembiring, rombongan.., kurasa 4 rombongan itu kami diatas. Tapi kami tidak saling tahu dimana tempat kami masing masing. Saya sama suami saya saja Cuma sekali ketemu diatas, orang itu tidak mau memberitahu dimana tempat suami saya, kecuali kalau anak saya sakit. Jadi katanya kami tidak bisa lagi dipertahankan. Kami tidak diijinkan lagi keluar bawa bekal. Sudah dipersempit ruang gerak kami. Jadi lebih baik kami pulang saja. Kemudian saya beritahukan itu sama suami saya melalui seorang kawan.
Suami saya setuju kami menyerah saja. Karena punya anak kecil. Sering sakit lagi. Kemudian kami pikirkanlah bagaimana proses penyerahan diri saya. Jadi kami setting seperti ini. Kita buatlah seorang teman pura-pura ngambil rotan. Kami menyerahkan diri itu tanggal 10 , kami di kodim tanggal 11, bulan sebelas, 65. setelah kami tidak mungkin dipertahankan lagi di hutan, kami perlu penunjuk jalan dan pengawal untuk turun. Karena situasi makin gawat. Jadi diaturlah cara pulang. Jadi katanya kami diadakan acara karo. Air sirih yang merah itu diapakan disini. Namanya putari. Artinya biar nanti tendi ula tading. Merah sirih itu ditaruh kebadan. Tiga. Jadi nanti jam lima sore, turun kalian, dari sini kesini kesini katanya. Jam 3 itu turun dulu kami separuh jalan. Kemudian jam 5 turun ke gubuk di sawah orang. Bertiga, sama kawan Kunci br Bangun. Sampai setengah 6 disitu. Jam 7 berangkat ke talin kuta.
Caranya bawa lampu teplok satu, mulai nanti separuh jalan mendekati gerbang desa, pasang lampu itu, itu tanda-tanda kalian, supaya saya atur nanti siapa hansip jaga malam, katanya. Supaya bisa dibuat sandiwaranya. Mulai jam tujuh berangkat, memang sudah ada orang yang menunggu. Pake teplok lah. Sudah diatur kian. Jadi nyongosong lah orang itu. Siapa itu? Katanya. Kami. Saya bilang. Kami siapa itu? Pura-pura tak kenallah begitu. Kami dokan. Haahh? Mari….pura-pura disongsonglah kami.
Jadi dibantulah kami bawa barang barang itu, eceknya marah marah lah dijalan, kari maka kiam? Anak pe kitik, kam kin ketuana? Katanya. Datang pula yang satu, nggoh kita dat sun sekalienda ise dokan, geluh geluh entah pe mate, bereken kodim hadiahna limapuluh ribu rupiah. Nina. Marah-marah, marah-marah, akhirnya sampailah kami di desa itu. Memang sudah disiapkan kian semua. Ibu-ibu, nenek nenek, datanglah semua, kami diarak ke jambur di desa itu. Kumpullah semua disitu. Sambil dipasang lampu petromak semua. Itu kan sudah disiapkan semua sebelumnya.
Ada yang bertanya, kam Dokan e? .Ue. Ninindu aku ya, kempuku kam. Ng kai maka kam laos? Anak ndu kitik? Uih ateh anak ndu i. karati rengitlah, katanya. Kurasa ngga ada setengah jam kami di jambur itu di balai desa itu, yang dinamakan los desa. Tidak diapa-apakan di desa, hanya tegoran tegoran itu saja.
Udah itu kami dibawa ke rumah oleh pengetua adat di desa itu. Udah-udah, nanti kedinginan anaknya. Sekitar jam 8 malam itu. Terus dibawa kerumah, masuk juga itu famili sebenarnya. Tetapi dia juga tokoh adat dan terpandang disitu. Baru sampai dirumah dikasih makan kami. Udah itu besoknya diantarlah kami ke kodim kabanjahe, jalan kaki dari kampung dari desa talin Kuta, jalan kaki menuju gunung raya, pagi sarapan berangkat, dikawal oleh hansip dari desa itu. Salah satu hansip yang mengawal saya, dan mengapakan bambu runcing kepada saya begini ( memperagakan hansip yang membuat bambu runcing ke arah Dokan) jam 12 sampai kami di Gunung Raya pasar, jalan ke Siantar, dekat titi. Dari situ baru dihubungi ke kodim kabanjahe, begitu sampai berita di kodim kabanjahe, datanglah satu mobil jeep, dibawa oleh sersan Sikepen Tarigan, menjemput kami.
Sampai disitu, kebetulan anakku buang air besar. Jadi si hansip tadi yang tetap di belakang saya, sambil saya menggantikan popok anak saya, diginikan juga bambu runcing itu ( ditodongkan). Ke saya. Jadi sampai kodim itu datang pun masih digitukan juga. Jadi apa kata kodim itu. Eh uga bah koe? Kalau kena bagaimana? Anaknya masih kecil. Marah si kodim itu. Tak mungkin dia lari. Nanti kalau kau tergelincir, kena gimana? Barulah dia pindah tempat, dan tidak menodongkan bambu runcing itu lagi.
Terus kami dibawa kodim dengan naik jeep itu. Dipikir hansip itu dia ikut naik jeep, dia mau naik. Datang si Kepen, eheh, endah, erdalan saja kerina, la siat motor enda. Orang memang mobilnya kecil. Jadi orang itu jalan terus, kami naik mobil, sampai di kodim kabanjahe, tanggal 11 bulan 11. sampai sekitar siang tahun 65 itu. Sampai disana, memang sudah kenalan sebelumnya sama apa itu, perwira itu. Di seksi satu. Sudah banyaklah kita kenal semua itu sebenarnya. Karena sebelum peristiwa itu kita selalu ada acara bersama, misalnya sama sama panitia hari ibu, panitia perayaan kemerdekaan, paitia 10 nopember, perayaan perayaan negara-lah. Jadi kita sudah saling kenal.
Jadi Tahanan Militer
Jadi sampai di kodim bukannya marah orang itu. Tapi sebelum dapat saya, dicanangkan untuk seluruh tanah karo, hidup atau mati Dokan br Ginting, dikasih hadiah 50.000. sampai saya di kodim, apa kata orang itu, lapar kau ma nusa? Makan lah. Katanya, hehee. Sampai supir bupati matang sitepu, marga karo-karo, mengambil nasi dan ikan dari rumah bupati , ayam. Makan kau ma nusa, entah kenapa kau pigi ke hutan, katanya. Bodoh kali kau, anakmu sudah habis dimakan nyamuk. Bukannya kami dibentak bentak. Tidak diapa-apai, dibaiki. Tapi lama-kelamaan setelah disana, banyak teman yang ditahan dan diperiksa. Besoknya saya diperiksa.
Mereka tanya tau tidak soal G30 S, kita kan tidak tahu, jadi tidak bilang apa-apa. Kami dikumpulkan di pesanggerahan, dimuka kodim lama di kabanjahe. Udah itu cerita ditahanan, saya diperiksa. Saya tidak mau pisah dengan anak saya. Waktu diperiksa, kalau saya dibentak-bentak, anak saya bangun dan menjerit-jerit sekuat-kuatnya. Jadi makanya kalau meja periksa itu panjang kali, sekali periksa banyak, dan yang memeriksa juga banyak. Berhadp-hadapan di meja panjang. Asal siapa yang membentak terhadap kami yang diperiksa anak itu terus menjerit, bangun. Kami diperiksa dari 5 hingga 10 orang sekaligus. Terganggu semua tim pemeriksa. Akhirnya kalau saya diperiksa, tidak mau orang itu campur dengan mereka. Kemudian saya diperiksa tersendiri.
Kemudian selain G 30 S, mereka tanya kedudukan saya sebagai anggota gerwani. Saya sebagai wakil ketua. Ketua itu pulung br sitepu, kami sama di pengurus kabupaten. Apa alasanmu masuk gerwani katanya. Saya ceritakan bahwa tuntutan gerwani , suaminya tidak boleh beristri dua, kedua emansipasi. Itu tuntutan gerwani. Itu alasan saya masuk gerwani. Terlebih suami saya anggota partai PKI. Jadi sejalan dengan istrinya. Kalaupun saya sebagai guru, suami saya juga guru, kami sejajar begitu. Itu alasanmu jadi gerwani? Ya mengikuti suami saya bilang. Perjuangan suami. Jadi banyak pertanyaan lain yang tak bisa saya jawab, saya bilang tidak tau, orang ditanya peristiwa di Jakarta, mana tau lah. Ngga ada diinstruksikan kedaerah bahwa tanggal sekian terjadi pemberontakan. Pembunuhan. Itu tidak pernah ada, sebagai saya ketua II di kabupaten. Jadi itu ditanya saya bilang tak tau. Dari situ terus ditahan, sampai 6 bulan baru bisa kami masak sendiri. Sebelumnya harus diantar dari kampung setiap hari. Ke pesanggerahan. Yang dipenjara sama sekali tidak bisa masaklah. Kami di dalam 3 orang ( keluarga), saya, suami saya dan adik suami saya.
Suami di Lau Gerbong-kan
Ibu mertua saya tiap hari mengantar nasi kami untuk 3 orang. Jadi sekarang kita sudah sampai ke kejadian suami saya dibawa malam. Kembali ke cerita saya dibawa ke kodim. Ada peristiwa di daerah batu karang. Pembunuhan terhadap seorang PNI namanya Perariken, di desa Rimokali, Batu Karang. Dia anggota PNI. Itulah yang membunuh dikambing hitamkan PKI sekitar itu. Itu peristiwa lobang buaya kayak dipusat katanya. Memang agak sadis pembunuhan itu. Badannya itu disayat-sayat. Maaf cakap kemaluannya dipotong, dimasukkan ke dalam mulutnya.
Yang membunuh dikambing hitamkan PKI, jadi pemeriksaan di intensifkan terhadap orang orang PKI. Yang dilistrik, dilibas, ditendang segala macam, padahal yang diperiksa itu orang tua. Saya tidak tahan mendengarnya, itu diseberang kamar kami di tahanan. Terus saya tendangi dinding itu, saya marah. Apa kau pikir kami? Kami bukan tukang bantai? Diam juru periksa itu. Datang komandan kodim setelah beberapa hari peristiwa itu. Belum ada seminggu lah. Tapi gambarnya sudah lengkap keluar. Fotonya yang dibunuh ini, letaknya kayak apa. Sayatan sayatan dibadannya lengkap di foto itu semua. Jadi datang Ichwanto, komandan Kodim, katanya sama saya, ku kasih surat sama kamu , surat jalan supaya kamu tidak diganggu sama hansip hansip di desa desa, kau cari suamimu. Anakmu, istriku yang memelihara dirumah. Katanya.
Mereka bersikeras ingin mendapatkan suami saya karena mereka kaitkan dengan kematian orang PNI itu, dan suami saya belum masuk tahanan. Eceknya suami saya masih mengelak-mengelak lah, masih kami tinggalkan di gunung tempo hari. Nah itu permintaan komandan kodim sama saya.
Akhir akhirnya setelah tiga tahun diketahui terbunuhnya Perariken Bangun yang membunuhnya memakai pistol Bupati Matang Sitepu. Informasi yang didapatkan pihak berwenang. Itu rupanya dendam pribadi, persoalan harta, intern keluarga. Itu informasinya. Tapi sudah lebih dulu dikambing hitamkan kita.
Selama di tim ada juga polisi dari tiga Binanga datang. Dia tiba-tiba menampari salah satu wanita yang ada di periksa itu, kawan Kunci br bangun, saya tidak tau pasalny apa. Ditampari di dapur tim itu. Kami pun geger semua. Tidak ada tanya langsung main pukul. Setelah beberapa bulan, sampai pada orang orang yang diangkat malam itu. Itu bulan februari 1966, sebelum diangkat malam, pada hari rabu, hari bertamu biasanya. Kami bertamu biasanya satu jam, setelah itu pulang ke penjara, atau ke sekolah Cina. Tapi pada hari rabu itu, jam bertamunya sampai jam 3 sore. Jadi kami pikir situasi makin longgar, udah makan siang sama-sama disitu, dah beberapa jam.
Kebetulan yang datang bapak dan ibu mertua saya bertamu. Ngumpullah sama keluarga disitu, suami saya, adik suami saya, dan saya. Kalaupun ada 2 adek saya yang masih kecil di kampung. Rame-rame, situasi berarti makin longgar. Tak taunya malam diangkat orang itu dari penjara.
Sebelumnya Suami saya udah ditangkap di dekat desa kandibata, di alur sungai kecil, ada irigasi kecil, krengen kitik. Mereka tertangkap disitu sekitar bulan 12 tahun 65. jadi sudah masuklah dia ketahanan. Di hari rabu ini yang mendapat waktu lama bertamu dan ngobrol. Kami pikir itu sudah longgarlah. Rupanya malam kamis tanggal 2 atau 3 bulan dua itu, tapi hari rabu itu. Mereka hilang malam itu.
Malam itu anak saya panas. Menangis terus menerus tak mau tidur. Jadi datanglah anggota tim yang terdiri dari polisi, kodim, jaksa, hakim, batalyon, dan PM. Mereka sudah pakaian lengkap dengan senjata. Ada pistol, ada bren, ada piso panjang. Dari PM Pak berani Bangun, Rasta Ginting(pembantu letnan), dan Jusuf Juda(komandan PM), komandan Tim dari PM itu. Dari polisi , Sihotang, namanya lupa, Ramlan Jamil dan pak Tukul. Dari kejaksaan, Mulak Girsang, dari kehakiman saya lupa, dari batalyon, lupa, dari kodim juga lupa. Dan orang itu ngobrol sama kami tahanan wanita. Saya berdiri sambil menggendong, jadi datang si Jaksa koyok( ngomong), oi bebre. Kai ma. Lit kalak keling dua rondong na, sada kalak keling, sada kalak cina, katanya. Oh, nggak, ada satu orang perempuan, dua rondongnya katanya, satu China, satu Keling. Jadi datang wanita ini katanya badannya di cat, satu putih dan satu hitam, jadi datang laki-laki itu, yang mana mau kubunuh, yang keeling apa yang cina. Rupanya dibunuhnya yang hitam. Suami saya memang hitam.
Kami tidak mengerti sama sekali apa artinya mereka ngobrol2 sama kami dengan persenjataan yang begitu lengkap, kayak mau perang. Jadi kami tanya, ku ja kinti kene. Er buru, lit enda PKI lang e tangkap ija, er buru kami, katanya. Jadi ise? Laboh kataken gelarna. Ngga mau menceritakan namanya. Rupanya buklan berburu rupanya. Membawa orang itu ( tahanan) mereka malam, mau dibunuh. Sudah jam 10 lewat, nanya salah satu anggota itu. Nggoh jam 11? Nggo jam sebelas berangkat kita, katanya. Datang kawannya jawab belum. Kami terus koyok2. saya berdiri menggendong karena anak saya nangis terus. Sebelumnya rupanya beberapa hari yang lewat sudah disidangkan siapa yang mau dibawa untuk dibunuh. Siapa yang tidak.
Rupanya untuk saya sendiri setengah hari baru ada kesimpulan. Mereka sulit memutuskan apakah akan membunuh saya atau tidak. Seperti cerita kejaksaan itu ke saya melalui perumpamaan itu . yang hitam dibunuh atau yang putih. Menurut dia malam itu yang hitam lah yang dibunuh, sementara yang putih, saya tidak dibumuh. Rupanya waktu sidang setengah hari, sampai beberapa kali pemungutan suara selalu lebih banyak mengatakan saya dibunuh, sebagian kecil tidak setuju. Jangan, soalnya suaminya sudah dibunuh, dia punya anak kecil. Yang sidang ada 30 orang. Perbedaan suara antara 16 dan 14 seperti itu silih berganti. Dibunuh atau tidak, pemungutan suara berulang2, dan terakhirnya saya tidak dibunuh.
Cerita ini saya dapatkan setelah tiga tahun. Akhirnya anggota tim itu mengatakan itu kepada saya maka saya mengerti. Malam itu sudah jam 11, datang perintah dari kondo tim pak Juda, ini udah jam 11. saya tanya, kemana kalian berangkat ma? Sama jaksanya kan saya panggil mama, oh erburu, lit jah tangkapen, katanya. Tutup pintu, nande nusa, ula kam nen darat, katanya. Ya saya bilang.
Tapi saya tidak bisa duduk karena anak saya terus menangis, sambil menggendong anak ini. Hingga datang tim yang berburu itu jam 3 pagi, mereka mengetok2 pintu. Buka, katanya. Saya tinggal yang bangun dan saya buka. Saya lihat muka mereka seperti mabuk semua, kayak minum minuman keras, kayak habis main judi. Terus masuk dan tidur di meja periksa, ada yang tidur di korsi. Sayapun heran, kenapa mereka seperti orang mabuk semua. Karena takut, saya melihat muka muka orang itu seram. Rupanya orang2 dikamar udah pada bangun, karena dengar suara suara orang datang itu. Tutup pintu kak, katanya. Terus ada juga orang itu yang nanya, mak nusa, masih ada teh di termos? Karena biasa saya buat teh di termos untuk si kecil.
Jangan kasih kak, kata orang itu. Nggo keri the, ku bilang karena takut nengok orang itu. Terus pagi saya bobokan si Nusa sekitar jam 6 pagi, dan saya nyucikan popoknya. Pagi itu datang seorang PM, Rasta Ginting, dia bilang, me, jendah pindah ke berastagi, karena anakmu itu perlu kau rawat baik, katanya. Teman saya ketua 1 juga punya anak seperti saya. Dia selama ini tidak ditahan. Karena rumah orang tuanya diberastagi. Dia jadi tahanan kota saja. Terakhir ini kami dikumpulkan semua, menjelang dibawanya orang ini malam. Pindah kalian berdua yang beranak kecil katanya.
Dipindahkan ke Berastagi jadi PRT
Jadi pindahlah kami ke Berastagi. Rupanya biar saya tidak tahu bahwa suami saya dibawa malam itu. Karena kalau saya tahu bisa menjerit jerit. Karena kalau seperti biasa kalau diperiksa teman teman, kalau dipukul saya ikut latah marah2, emangnya apa kami ini? Salah apa kami? Saya bilang begitu. Makanya mereka mungkin sebel sama saya. Makanya kalau ada pemeriksaan aku diungsikan kebelakang supaya tidak tahu. Makanya kami disuruh ke berastagi, katanya disini terlalu sempit satu kamar, dan anak sakit sakitan. Popok yang saya jemur tidak sempat saya bawa, katanya nanti diantar.
Berangkatlah kami, dikawal, jadi berenam, sama sopir, pake mobil pak Juda,komandan Tim. Sampai di berastagi saya dititipkan dirumah PM, tidak bisa bertamu. Di perumahan PM. Datanglah pengantar nasi dari desa ke tahanan. Dikasih makanan itu ke tahanan, tapi tidak diterima lagi, katanya sudah pindah. Jadi pada sibuklah semua. Sekali pindah mereka malam itu, sekitar 7- 8 orang, termasuk suami saya. Artinya suami saya juga sudah diambil /dibunuh malam itu. Sibuklah semua keluarga kemana pindahnya katanya. Apa kata PM sama mertua saya. Kempu ndu dai udah pindah ke berastagi. Mertua saya menanyakan suami saya kemana? Orang makanannya tidak diterima lagi. Ributlah disitu, pengantar nasi itu menangis2 semua.
Udah pada berunding kemana mau di cari. Ada yang bilang dibawa ke penjara Binjai, ada yang bilang kemedan, siantar, dan ke tebing. Dibagilah siapa yang kemana. Jadi mertua saya datang ke berastagi mengantar makan saya, udah tak tertahankannya air matanya.udah nangis. Jadi sampai diberastagi. Dia keluarkan makanan dari keranjang untuk saya. Kebetulan nasi yang biasanya ke suami saya itu dibawa ke saya.
Jadi sekali ini saya bertanya apa anak ndu udah dikasih makan ke penjara? Nggoh katanya. Ngguh ku bereken. Tapi biasanya yang ini untuk dia?. Ngkai maka silap? Dia bohong, dibilangnya dia pilek. Saya heran dia tidak makan, dan dia tidak memegang cucunya, biasanya terus itu dilakukan. Kutanya, uga kine? Kalau sakit, tambari ke rumah sakit. Ueh ertambar kari aku, katanya. Besok ngga kuantar lagi makanan kalian. Karena memang sangat jauh ke berastagi. Jadi kubikinlah disini yang masakkan nasi kalian. Iyalah.
Tapi rupanya dia udah berpesan sama tukang masak itu jangan ngasih tau apapun dipenjara, karena nanti saya tambah sakit karena beranak kecil. Jadi sulit info dari luar. Dia nitipkan beras. Datang teman saya pulung br sitepu ini suaminya juga dipenjara Kabanjahe. Ada datang adik perempuannya yang selalu datang, ngantar makanan ke penjara kabanjahe. Diantarnya nasi kami pagi2, dan kemudian diantar nasi abangnya ke kabanjahe setelah itu. Jadi sudah lama mertua saya tidak datang, sayapun mesan sama adik teman saya ini namanya Rakut . Kukasih dia uang 5000, saya bilang kasih ini sama suami saya di Kabanjahe. Dia terima, tapi sorenya dibalikkan, katanya mertua saya udah ngasih duit sama dia. Rupanya suami saya tidak ada di tahanan kabanjahe. Dia sekongkol semua bohong sama saya. Udah 6 hari saya kasih lagi uang itu, tukur kari isapna ras mi rebus ya. Diterima juga uangnya.
Sorenya dia kembali, uangnya dibalikkan lagi, dibilangnya udah bertamu mertua saya kesana. Jawabnya sama saja sampai 6 bulan. Aku makin lama curiga juga. Suatu saat saya mendengar orang istri PM itu ngomong-ngomong sama temannya di dapur, dia tidak tahu nama saya Dokan,yang tau saya ibu nusa saja. Cerita dia, em, suami dokan itu ikut ke lau gerbong itu, katanya, saya dengar begitu. Besoknya lagi cerita lagi mereka, tapi kayaknya cerita mereka keliru. Dokan dan anaknya yang masih kecil itu ngayap-ayap disungai ( terapung-apung), katanya. Diam juga saya sambil masak nasi .
Em, turangku pe ikut. Ada saudara bapaknya yang juga kena. Saya simak. Jadi setelah siap ngomong, aku tanya. Ise gelar turang ndu dai?. Kubilang. Payo Tarigan, katanya. Sama kami ngajar di kabanjahe. Turangku ikut. Bapa anakku pe ikut?, ninku, sebab bapa anakku ketuanya, ninku. Eh, lang nak, lang, bapa nak ndu ngga ikut, katanya. Taupun dia siapa nama suamiku tidak. Tapi terus dibantah. Kubilang, tanda ndu kin? Gugup lah dia, orang ngga kenal. Karena kalau ku desak terlalu pertanyaanpun dia tidak mau jawab. Rupanya mereka sudah sekongkol semua tidak boleh diberitakan apapun sama saya. Aku masak nasi lagi. Dia cerita lagi sama temannya.
Aku makin penasaran, keluar aku tak bisa, berobat juga tidak bisa, tamu pun tidak bisa datang. Tapi satu saat aku sakit, dikasih pergi tapi dikawal. Datang yang punya obat ini, menurut pemeriksaan aku sakit karena tekanan perasaan( mental). Saya mencret. Datang dia katanya, kita berencana, tapi Tuhan lah yang berkehandak, sabar ya, katanya. Saya tidak tau apa maksudnya. Rupanya semua yang diluar sudah pada tahu. Jadi, iyalah, saya bilang. Saya tidak mau tanya lebih jauh. Terus siap dikasih obat, dia tidak mau dibayar. Dia bilang udah, ngga apa-apa. Padahal tidak kenal sama dia. Anak saya juga sakit, tapi waktu berobat dia tidak mau dibayar, saya heran.
Lama-lama semakin jelas dari istri si kodim tadi. Setelah enam bulan saya tidak mendapat informasi tentang suami saya, juga karena bulang anakku sudah tidak mau cerita, malah agak menjauh. Aku mau akali mereka. Aku harus ke penjara kabanjahe cari tahu. Saya kasih alasan si Nusa punya dokter hanya di Kabanjahe, jadi dia harus dibawa. Si Kodim itu tidak kasih, namun terpaksa dikasih juga karena kubilang terus, tapi dikawal dengan supir pribadinya. Di kabanjahe, Nusa saya bawa ke RSU Kabanjahe. Disana saya berjumpa sama teman lama yang jadi perawat.
Dari dialah informasi tentang suami saya juga tidak saya dapatkan, tapi saya curiga juga waktu dia tidak mau menerima uang perobatan. Habis berobat, saya bilang sama sopir si Poniman itu, aku musti singgah ke Tim Poniman. Ngga boleh kak, nanti saya dimarahi. Popok Nusa kemarin tinggal disitu. Nanti saja kak, saya aja yang ngambil, nanti pak Rasta Ginting ( PM), marah sama saya. Mau kau tembak, mau kau seret, terserah, pokoknya aku mau kesana. Kalau dia marah sama kau, bilang kalau aku yang keras kepala. Dia nyembah-nyembah bilang jangan kak. Kubilang tidak.
Pigi aku ke tim. Sampai di tim. Berdiri komandannya di pintu, seperti tidak ngasih jalan, tapi aku terobos saja. Masih jauh-jauh di halaman sana, dia bilang, Ngapain kau kemari ma Nusa?. Ngga apa-apa pak, ngambil pakaian Nusa, kemarin tinggal. Dimana tinggalnya? Kucari nanti dikamar. Dia tetap menghalangi dipintu. Ku langgar dia kontan. Kau ini? Katanya. Terus aku masuk ke dalam. Sampai aku di dalam, menjerit-jerit saya, rupanya penipu kalian semua ya? Mengungsikan saya ke berastagi biar saya tidak tau suami saya dibawa malam, bapak penipu rupanya iya? bapak penipu rupanya iya? Lari dia entah kemana. Sampai puas aku marah dan nangis, baliklah ke berastagi lagi.
Ditahan bersama bayi
Saya jadi tahanan rumah selama tiga tahun. Kemudian masuklah saya ketahanan raya dekat kodim kabanjahe itu, 6 bulan, pindah lagi ke jalan Binjai, kodam, saya bawa Nusa juga. Sampai di Jl binjai itu, ada pula komandan itu, melarang anak-anak di dalam. Katanya suruh semua keluar. Kasihkan sama famili. Sama siapa mau dikasih anak? Tidak ada famili di luar?.
Itu diusir semua. Anak-anak bukan tahanan, kamu orang tua yang ditahan, katanya. Kami sudah pada nangis mama-mamak. Kami golongan berat pula, tidak bisa keluar. Dibarak 10, saya golongan B. ada yang bisa keluar masuk. Kalau kami tidak bisa. Jadi kawan –kawan itu lah yang bawa entah dimana dititipkan. Tahun 71 kami pindah ke tanjung kasau. Nusa mulai SD di tanjung Kasau. Dia langsung kelas 2, karena dia langsung bisa membaca, sering saya ajari. Tahun 78 baru saya bebas, setelah Sudomo masuk ke sana. Langsung pulang saya ke Kandibata. Sebelumnya diisukan kami mau dibawa ke pulau buru, golongan B semua. Kami sudah pada ketakutan semua. Kami mulai di Jalan Binjei sudah mulai buat kerja tangan ditahanan, bisa bikin kesek kaki, ayaman, ukiran. Itu kami lanjutkan di t kasau. Jadi sudah bisa tanpa kiriman dari luar.
Riwayat organisasi
Agak ke belakang, suami saya anggota Front Nasional, bukan anggota DPRD. Ndelasi Sinuraya. Dipartai dia sebagai di partai, tapi full di front nasional tk. Kabupaten. Kalau Gerwani sebelum tahun 65. sebenarnya saya diangkat bukan karena pendidikan organisasi yang sudah tinggi, tapi karena suami saya sudah duluan menjadi anggota partai, dan saya sebagai istri diangkat menjadi wakil ketua di tanah karo. Setelah jadi wakil ketua, baru saya mengikuti pendidikan kursus, juga menghadiri pertemuan propinsi. Di kepanitiaan dengan lembaga lain dan pemerintah saya sering juga menjadi pimpinan, makanya kenal sama orang orang yang menangkap saya. Gerwani sudah terbentuk di setiap desa dan Kecamatan di Karo.
Di desa minimal 10 orang baru berdiri organisasinya. Di gerwani biasanya yang sudah bersuami. Program kami memperjuangkan emansipasi dan suami hanya beristri satu. Kalau perempuan yang belum berkeluarga, mereka ikut di Pemuda Rakyat dan Lekra. Sebelum peristiwa, sewaktu datang dokter Tanti Aidit, kami semua disini. Dari semua desa datang. Kami bertemu di gedung nasional. Saya pernah minta ke dr Tanti supaya saya diperiksa, karena kemarin saya susah punya anak. Kami juga pernah seminar gerwani di Gedung Olah raga kabanjahe. Pertemuan di kantor Sobsi di Jalan Binjai. Itu sebelum peristiwa. Setelah peristiwa komunikasi terputus sama sekali. Tidak ada surat-menyurat yang saya ketahui.
Tapi hari itu, Pulung br Sitepu, ketua Gerwani Tanah Karo, tapi mungkin menurut tim itu saya yang menguasai politik, karena selain guru, saya wakil ketua. Urusan wakil ketua pengkaderan, sementara ketua urusan keluar, begitu. Pengurus di tanah karo itu; ketua Pulung br sitepu, wakil ketua, saya, sekretaris..lupa saya, bendahara, nyonya P Sitepu, beru Ginting. Ibu pulung sekarang masih hidup, dia di Jakarta, tetapi siap dari jalan Gandhi dan Tj. Kasau, dia sudah ada stress jadi sulit diajak bicara. Dia juga melahirkan 4 orang anak di tj kasau, karena dia satu rumah dengan suaminya di tahanan tj Kasau.
Anak saya Nusantara sudah berkeluarga tinggal di Bandung, tapi saya belum pernah kesana sama sekali. Dia udah menikah sama br sebayang, punya 3 anak. Saya guru SD Negeri 1 Kabanjahe dulu. Tapi tidak menerima pensiun, dipecat begitu saja. Saya udah PNS 7 tahun, tahun 58 sampai dengan 65.
saurlin,05
Peristiwa itu bulan oktober, kerja tahun di Kandibata kebetulan bulan Oktober. Jadi anak itu lahir bulan juni , jadi selama dia lahir belum pernah ke kampung , karma kami tinggal di kabanjahe. Jadi ketika bulan Oktober, sambil membawa anak itu kesana, kebetulan pula disitu terjadi peristiwa itu. Jadi kami sampai disana, sudah banyak pemuda pemuda disana dari pemuda pancasila yang sudah mondar mandir di depan rumah mertua saya, yang sambil lewat dia mengatakan, oh ini salah satu gerwani, maunya kita masukkan kegoni bersama anaknya dan kita hanyutkan ke lau Biang, katanya . Mendengar itu saya agak takut gitulah, jadi saya bilang sama suami dan mertua saya. Orang itu kok bilang begitu? Kenapa ini, ada apa
Oh kalau begitu, kata mereka ada kejadian di pusat, katanya PKI yang memberontak. Jadi katanya kalian menghindar lah dulu. Jadi saya disuruh menghindar ke kampung adik mertua saya namanya kampung Kacaribu yang kebetulan disana juga ada pesta tahunan, kesanalah kami sore. Si adek mertua saya suaminya PNI. Sampai disana kami sore, kebetulan musim hujan. Inilah bulan oktober, apa katanya, jenda pe labolih ingen nini. Ula kari kit ape ikut, jadi permenena mesti berkat, uja kin permenena maka taruhken. Katanya. Jadi dipanggil lah kawan itu sudah gelaplah setengah tujuh hari hujan. Kata kawan ini mari kuantar ke kampung nang Belawan. Jadi malam malam dihujan deras itu bersama kawan Kunci br Bangun.
Memang kami sebelum peristiwa juga sudah satu rumah di Kabanjahe, dia masih gadis. Dia hari itu pegawai seksi satu kodim kabanjahe. Jadi karena persta tahunan kami bersama kekampung, dan kekacaribu sama juag karena sama-sama terlibat. Sore itu kami disuruh pindah karena takut digrebek, diantar satu kawan ke kampung nang belawan. Tapi tidak sampai ke kampung itu. Kami disuruh menginap di ladang-ladang itu, kandang lembu. Disanalah kami 2 malam 2 hari. Lusanya baru berangkat lagi. Sampai disana. Eceknya di calling lah kawan kawan, diantarlah makanan kami, diantar sore. Jadi besoknya adalagi informasi karena kami tidak boleh lama-lama karena sudah tercium oleh hansip Nang Belawan.
Malam kami diantar pula dari nang belawan ke desa barong kersak, itu agak jauh itu, jalan malam, sekarang pun saya tidak tau itu karena jalannya malam. Disana kami bukan dirumah, tapi digubuk diladang orang, disana kami sampai 5 hari 5 malam. Gubuk itu agak lengkap. Ada periuk untuk masak. Tapi kami tidak mau masak siang karena kalau ada asap nampak sama orang. Udah itu ada pula informasi, kami disitu sudah tercium sama hansip kampung barong kersak, dan harus dipindahkan ke desa kuta mbaru kecamatan Munthe, kalau tidak silap. Disana kami tidak diladang tapi diterima di rumah keluarga. Disana anakku sakit pula. Kebetulan yang punya rumah pegawai puskesmas . kami disana selama 2 minggu, pindah dari satu rumah ke rumah lain, masih famili semua. Udah itu tercium lagi bahwa kami itu ada disana, dan disuruh lagi kami pindah ke desa Kaban Tua. Jadi selama kami pindah tempat dari satu tempat ke tempat lain anak saya sering sakit. Baru berumur 3 bulan pula dia lahir tanggal 21 bulan 6 , 65. peristiwa bulan 10, jadi 3 bulan. Sakit karena sering jalan malam kena hujan, jadi demam, batuk mencret. Begitu. Kami tidak dibiarkan keluar. Kami dikunci dirumah terus menerus. Sakit dia diobati menteri puskesmas. Akhirnya menteri puskesmas itu ditangkap juga, karena tercium juga dimana kami. Jadi sudah 2 minggu kami ada disini, tercium lagi, terpaksa kami dipindahlan malam malam di hujan deras. Kami jalan ke jalan kaban tuah. Diperjalanan kami menyeberangi satu sungai, airnya lagi deras, dan bisa menghanyutkan. Airnya meluap waktu itu. Orang orang tidak menyangka bahwa air lagi meluap, jadi membiarkan saya didepan menggendong anak itu. Jadi kami hampir hanyut, untung tangan anak itu masih bisa kuraih, dia sudah basah semua. Jadi saya juga sudah basah. Di desa itu kami sampai dan ditempatkan di ladang, itupun berpindah-pindah. Sampai kebukit desa kaban tua, yang namanya deleng Paku. Kami diatas bukit . disitu ada 1 bulan.
Tinggal di Hutan dengan bayi berumur 3 bulan.
Di atas bukit itu ada pula gubuk orang yang mengambil balok untuk kayu perumahan. Disitu kami menginap. Disitu panas pula anak itu sampai 40 derajat lewat.hari hujan, rintik-rintik, bulan pun tidak ada cerah, rupanya gubuk kami itu ada orang utan. Jadi kami sama suami saya satu bulan, walupun tidak satu tempat digunung itu. Baru sekali kami berjumpa disatu tempat di hutan itu. Pakaiannya penuh dengan kutu, kalau bahasa karo namanya TUMA, yang kutu dipakaian itu, kayak kutu kepala tapi lebih besar, penuh kali, pakaian singlet, sampai tak bisa kita tindesi, sampai kami pun diatas gunung itu penuh tuma juga. Sampai sekarang masih ada bekas gigitan tuma itu.udah 40 tahun ini, lihat ( dia menunjukkan bekas gigitan di lengan). Ini hah.
Dulu besar ini, sebesar jagung ini, dari sini dia sering makan, hingga sampai benjol seperti ini. Sapai 40 tahun masih ada ini, hitam. Begitulah sampai kasihan kali aku nengoknya , kalau dicuci pake sabun tidak ada sabun. Ada air diatas gunung itu disitulah kami mandi. Disitu pula anak itu sakit sampai lewat 40. dan disitu pula kami yang ditaburi arimo begitu namanya, istilahnya diatas tempat kami tinggal ada batu besar, dibawahnya dibuat gubuk, atapnya daun kempawa namanya semacam pinang. Kami ngina beberpa lama disitu. Waktu anak saya panas saya sudah berpikiran kalau samapai dia meninggal dimana harus saya kebumikan. Kalau dibawah pokok kayu yang sudah besar, nanti kalau 11 tahun lagi kemari, mungkin kayu ini sudah dipotong orang yang mengambil balok. Tapi kalau saya nanti kuburkan dia nanti dibawha pokok kayu yang kecil, jadi tidak tau mungkin saya dimana kuburan anak saya ini, disitu saya sudah bingung itu, karena aku bawa thermometer itu ke hutan makanya saya tahu.
Begitulah kami sampai siang menggendong dia. Disitulah orang utan itu mengais tanah ke gubuk kami itu dari atas, itu kurang saya mengerti kalau orang utan yang melakukan itu ku pikir batu itu mau longsor. Karena hujan. Dibawah kami ituada sungai kecil. Jadi saya pikir pula, waktu tanah itu sarrr…begitu berbunyi di atap, saya pikir batu itu akan menimpa kami dan membawa kami kea rah lembah itu. Rupanya orang hutan itu yang mengais tanah ke gubuk kami. Diluar ada 3 orang laki-laki yang menjaga kami, gubuk itu kami sekat pakai tikar, tikar pandan yang lebar. Laki sebelah sini, perempuan sebelah sana. Rupanya laki-laki itu sudah tau orang utan itu yang buat tanah itu. Jadi sampai 3 kali tanah itu dikais, kami memasang api pake kayu besar biar lama panasnya dan ada baranya, rupanya kayu itu ada yang menarik. Dan itu orang utan itu.
Jadi saya datangi teman kunci, eh kunci, kunci kumpulin dulu kayu kayu itu biar nyala apinya ku bilang. Iya kak, katanya, rupanya 3 orang laki-laki itu udah takut dan udah ngumpul , nafasnya juga sudah ditahan-tahan, udah tak berani bernafas. Kami tidak sadar maka tak takut. Taunya setelah masuk tahanan di kabanjahe. Kami koyok-koyok (cakap2). Kakak tau kemarin kejadian di hutan itu? Ngga saya bilang. Itu oran hutan, begini ceritanya, begini2, katanya. Jadi kalian? Cemmana taunya? Kami kan sudah duduk itu tak berani lagi keatas. Katanya. Kalau kami tau itu orang utan, mungkin saya udah tak berani juga bernafas. Kami tidak diganggunya. Selama diatas gunung itu, kami tidak pernah masak, penjaga kami selalu ganti setiap hari, jadi yang datang itu yang membawa kami makanan dari kampung.
Setelah satu bulan kami diatas, diurus oleh orang orang desa Talin kuta, disitu tanah sinar parangin-angin menggarap ( mantan Bupati Karo). Kayunya habis ditebangi, termasuk kecamatan merek itu, kalau tak salah. Datang salah satu keluarga kita dari desa talin kuta, termasuk kakek, katanya ini sudah tak bisa dipertahankan nakku katanya, tidak bisa lagi ijin untuk membawa makanan keluar desa. Oleh hansip desa, itu peraturan desa, biar memperkecil ruang kita. Mereka mungkin sudah tahu semua kita, tapi mereka juga sebenarnya sayang sama kita, karena mereka satu kampung adalah anggota kita. Mereka hanya 1 orang yang tidak terlibat. Tapi yang masuk hanya beberapa oranglah yang ditahan dan wajib lapor, tidak semua ditangkap. Sebagian disembunyikan.
Skenario Penyerahan diri kepada Aparat
Kami banyak itu diatas, rombongan suami saya, rombongan loji sembiring, rombongan.., kurasa 4 rombongan itu kami diatas. Tapi kami tidak saling tahu dimana tempat kami masing masing. Saya sama suami saya saja Cuma sekali ketemu diatas, orang itu tidak mau memberitahu dimana tempat suami saya, kecuali kalau anak saya sakit. Jadi katanya kami tidak bisa lagi dipertahankan. Kami tidak diijinkan lagi keluar bawa bekal. Sudah dipersempit ruang gerak kami. Jadi lebih baik kami pulang saja. Kemudian saya beritahukan itu sama suami saya melalui seorang kawan.
Suami saya setuju kami menyerah saja. Karena punya anak kecil. Sering sakit lagi. Kemudian kami pikirkanlah bagaimana proses penyerahan diri saya. Jadi kami setting seperti ini. Kita buatlah seorang teman pura-pura ngambil rotan. Kami menyerahkan diri itu tanggal 10 , kami di kodim tanggal 11, bulan sebelas, 65. setelah kami tidak mungkin dipertahankan lagi di hutan, kami perlu penunjuk jalan dan pengawal untuk turun. Karena situasi makin gawat. Jadi diaturlah cara pulang. Jadi katanya kami diadakan acara karo. Air sirih yang merah itu diapakan disini. Namanya putari. Artinya biar nanti tendi ula tading. Merah sirih itu ditaruh kebadan. Tiga. Jadi nanti jam lima sore, turun kalian, dari sini kesini kesini katanya. Jam 3 itu turun dulu kami separuh jalan. Kemudian jam 5 turun ke gubuk di sawah orang. Bertiga, sama kawan Kunci br Bangun. Sampai setengah 6 disitu. Jam 7 berangkat ke talin kuta.
Caranya bawa lampu teplok satu, mulai nanti separuh jalan mendekati gerbang desa, pasang lampu itu, itu tanda-tanda kalian, supaya saya atur nanti siapa hansip jaga malam, katanya. Supaya bisa dibuat sandiwaranya. Mulai jam tujuh berangkat, memang sudah ada orang yang menunggu. Pake teplok lah. Sudah diatur kian. Jadi nyongosong lah orang itu. Siapa itu? Katanya. Kami. Saya bilang. Kami siapa itu? Pura-pura tak kenallah begitu. Kami dokan. Haahh? Mari….pura-pura disongsonglah kami.
Jadi dibantulah kami bawa barang barang itu, eceknya marah marah lah dijalan, kari maka kiam? Anak pe kitik, kam kin ketuana? Katanya. Datang pula yang satu, nggoh kita dat sun sekalienda ise dokan, geluh geluh entah pe mate, bereken kodim hadiahna limapuluh ribu rupiah. Nina. Marah-marah, marah-marah, akhirnya sampailah kami di desa itu. Memang sudah disiapkan kian semua. Ibu-ibu, nenek nenek, datanglah semua, kami diarak ke jambur di desa itu. Kumpullah semua disitu. Sambil dipasang lampu petromak semua. Itu kan sudah disiapkan semua sebelumnya.
Ada yang bertanya, kam Dokan e? .Ue. Ninindu aku ya, kempuku kam. Ng kai maka kam laos? Anak ndu kitik? Uih ateh anak ndu i. karati rengitlah, katanya. Kurasa ngga ada setengah jam kami di jambur itu di balai desa itu, yang dinamakan los desa. Tidak diapa-apakan di desa, hanya tegoran tegoran itu saja.
Udah itu kami dibawa ke rumah oleh pengetua adat di desa itu. Udah-udah, nanti kedinginan anaknya. Sekitar jam 8 malam itu. Terus dibawa kerumah, masuk juga itu famili sebenarnya. Tetapi dia juga tokoh adat dan terpandang disitu. Baru sampai dirumah dikasih makan kami. Udah itu besoknya diantarlah kami ke kodim kabanjahe, jalan kaki dari kampung dari desa talin Kuta, jalan kaki menuju gunung raya, pagi sarapan berangkat, dikawal oleh hansip dari desa itu. Salah satu hansip yang mengawal saya, dan mengapakan bambu runcing kepada saya begini ( memperagakan hansip yang membuat bambu runcing ke arah Dokan) jam 12 sampai kami di Gunung Raya pasar, jalan ke Siantar, dekat titi. Dari situ baru dihubungi ke kodim kabanjahe, begitu sampai berita di kodim kabanjahe, datanglah satu mobil jeep, dibawa oleh sersan Sikepen Tarigan, menjemput kami.
Sampai disitu, kebetulan anakku buang air besar. Jadi si hansip tadi yang tetap di belakang saya, sambil saya menggantikan popok anak saya, diginikan juga bambu runcing itu ( ditodongkan). Ke saya. Jadi sampai kodim itu datang pun masih digitukan juga. Jadi apa kata kodim itu. Eh uga bah koe? Kalau kena bagaimana? Anaknya masih kecil. Marah si kodim itu. Tak mungkin dia lari. Nanti kalau kau tergelincir, kena gimana? Barulah dia pindah tempat, dan tidak menodongkan bambu runcing itu lagi.
Terus kami dibawa kodim dengan naik jeep itu. Dipikir hansip itu dia ikut naik jeep, dia mau naik. Datang si Kepen, eheh, endah, erdalan saja kerina, la siat motor enda. Orang memang mobilnya kecil. Jadi orang itu jalan terus, kami naik mobil, sampai di kodim kabanjahe, tanggal 11 bulan 11. sampai sekitar siang tahun 65 itu. Sampai disana, memang sudah kenalan sebelumnya sama apa itu, perwira itu. Di seksi satu. Sudah banyaklah kita kenal semua itu sebenarnya. Karena sebelum peristiwa itu kita selalu ada acara bersama, misalnya sama sama panitia hari ibu, panitia perayaan kemerdekaan, paitia 10 nopember, perayaan perayaan negara-lah. Jadi kita sudah saling kenal.
Jadi Tahanan Militer
Jadi sampai di kodim bukannya marah orang itu. Tapi sebelum dapat saya, dicanangkan untuk seluruh tanah karo, hidup atau mati Dokan br Ginting, dikasih hadiah 50.000. sampai saya di kodim, apa kata orang itu, lapar kau ma nusa? Makan lah. Katanya, hehee. Sampai supir bupati matang sitepu, marga karo-karo, mengambil nasi dan ikan dari rumah bupati , ayam. Makan kau ma nusa, entah kenapa kau pigi ke hutan, katanya. Bodoh kali kau, anakmu sudah habis dimakan nyamuk. Bukannya kami dibentak bentak. Tidak diapa-apai, dibaiki. Tapi lama-kelamaan setelah disana, banyak teman yang ditahan dan diperiksa. Besoknya saya diperiksa.
Mereka tanya tau tidak soal G30 S, kita kan tidak tahu, jadi tidak bilang apa-apa. Kami dikumpulkan di pesanggerahan, dimuka kodim lama di kabanjahe. Udah itu cerita ditahanan, saya diperiksa. Saya tidak mau pisah dengan anak saya. Waktu diperiksa, kalau saya dibentak-bentak, anak saya bangun dan menjerit-jerit sekuat-kuatnya. Jadi makanya kalau meja periksa itu panjang kali, sekali periksa banyak, dan yang memeriksa juga banyak. Berhadp-hadapan di meja panjang. Asal siapa yang membentak terhadap kami yang diperiksa anak itu terus menjerit, bangun. Kami diperiksa dari 5 hingga 10 orang sekaligus. Terganggu semua tim pemeriksa. Akhirnya kalau saya diperiksa, tidak mau orang itu campur dengan mereka. Kemudian saya diperiksa tersendiri.
Kemudian selain G 30 S, mereka tanya kedudukan saya sebagai anggota gerwani. Saya sebagai wakil ketua. Ketua itu pulung br sitepu, kami sama di pengurus kabupaten. Apa alasanmu masuk gerwani katanya. Saya ceritakan bahwa tuntutan gerwani , suaminya tidak boleh beristri dua, kedua emansipasi. Itu tuntutan gerwani. Itu alasan saya masuk gerwani. Terlebih suami saya anggota partai PKI. Jadi sejalan dengan istrinya. Kalaupun saya sebagai guru, suami saya juga guru, kami sejajar begitu. Itu alasanmu jadi gerwani? Ya mengikuti suami saya bilang. Perjuangan suami. Jadi banyak pertanyaan lain yang tak bisa saya jawab, saya bilang tidak tau, orang ditanya peristiwa di Jakarta, mana tau lah. Ngga ada diinstruksikan kedaerah bahwa tanggal sekian terjadi pemberontakan. Pembunuhan. Itu tidak pernah ada, sebagai saya ketua II di kabupaten. Jadi itu ditanya saya bilang tak tau. Dari situ terus ditahan, sampai 6 bulan baru bisa kami masak sendiri. Sebelumnya harus diantar dari kampung setiap hari. Ke pesanggerahan. Yang dipenjara sama sekali tidak bisa masaklah. Kami di dalam 3 orang ( keluarga), saya, suami saya dan adik suami saya.
Suami di Lau Gerbong-kan
Ibu mertua saya tiap hari mengantar nasi kami untuk 3 orang. Jadi sekarang kita sudah sampai ke kejadian suami saya dibawa malam. Kembali ke cerita saya dibawa ke kodim. Ada peristiwa di daerah batu karang. Pembunuhan terhadap seorang PNI namanya Perariken, di desa Rimokali, Batu Karang. Dia anggota PNI. Itulah yang membunuh dikambing hitamkan PKI sekitar itu. Itu peristiwa lobang buaya kayak dipusat katanya. Memang agak sadis pembunuhan itu. Badannya itu disayat-sayat. Maaf cakap kemaluannya dipotong, dimasukkan ke dalam mulutnya.
Yang membunuh dikambing hitamkan PKI, jadi pemeriksaan di intensifkan terhadap orang orang PKI. Yang dilistrik, dilibas, ditendang segala macam, padahal yang diperiksa itu orang tua. Saya tidak tahan mendengarnya, itu diseberang kamar kami di tahanan. Terus saya tendangi dinding itu, saya marah. Apa kau pikir kami? Kami bukan tukang bantai? Diam juru periksa itu. Datang komandan kodim setelah beberapa hari peristiwa itu. Belum ada seminggu lah. Tapi gambarnya sudah lengkap keluar. Fotonya yang dibunuh ini, letaknya kayak apa. Sayatan sayatan dibadannya lengkap di foto itu semua. Jadi datang Ichwanto, komandan Kodim, katanya sama saya, ku kasih surat sama kamu , surat jalan supaya kamu tidak diganggu sama hansip hansip di desa desa, kau cari suamimu. Anakmu, istriku yang memelihara dirumah. Katanya.
Mereka bersikeras ingin mendapatkan suami saya karena mereka kaitkan dengan kematian orang PNI itu, dan suami saya belum masuk tahanan. Eceknya suami saya masih mengelak-mengelak lah, masih kami tinggalkan di gunung tempo hari. Nah itu permintaan komandan kodim sama saya.
Akhir akhirnya setelah tiga tahun diketahui terbunuhnya Perariken Bangun yang membunuhnya memakai pistol Bupati Matang Sitepu. Informasi yang didapatkan pihak berwenang. Itu rupanya dendam pribadi, persoalan harta, intern keluarga. Itu informasinya. Tapi sudah lebih dulu dikambing hitamkan kita.
Selama di tim ada juga polisi dari tiga Binanga datang. Dia tiba-tiba menampari salah satu wanita yang ada di periksa itu, kawan Kunci br bangun, saya tidak tau pasalny apa. Ditampari di dapur tim itu. Kami pun geger semua. Tidak ada tanya langsung main pukul. Setelah beberapa bulan, sampai pada orang orang yang diangkat malam itu. Itu bulan februari 1966, sebelum diangkat malam, pada hari rabu, hari bertamu biasanya. Kami bertamu biasanya satu jam, setelah itu pulang ke penjara, atau ke sekolah Cina. Tapi pada hari rabu itu, jam bertamunya sampai jam 3 sore. Jadi kami pikir situasi makin longgar, udah makan siang sama-sama disitu, dah beberapa jam.
Kebetulan yang datang bapak dan ibu mertua saya bertamu. Ngumpullah sama keluarga disitu, suami saya, adik suami saya, dan saya. Kalaupun ada 2 adek saya yang masih kecil di kampung. Rame-rame, situasi berarti makin longgar. Tak taunya malam diangkat orang itu dari penjara.
Sebelumnya Suami saya udah ditangkap di dekat desa kandibata, di alur sungai kecil, ada irigasi kecil, krengen kitik. Mereka tertangkap disitu sekitar bulan 12 tahun 65. jadi sudah masuklah dia ketahanan. Di hari rabu ini yang mendapat waktu lama bertamu dan ngobrol. Kami pikir itu sudah longgarlah. Rupanya malam kamis tanggal 2 atau 3 bulan dua itu, tapi hari rabu itu. Mereka hilang malam itu.
Malam itu anak saya panas. Menangis terus menerus tak mau tidur. Jadi datanglah anggota tim yang terdiri dari polisi, kodim, jaksa, hakim, batalyon, dan PM. Mereka sudah pakaian lengkap dengan senjata. Ada pistol, ada bren, ada piso panjang. Dari PM Pak berani Bangun, Rasta Ginting(pembantu letnan), dan Jusuf Juda(komandan PM), komandan Tim dari PM itu. Dari polisi , Sihotang, namanya lupa, Ramlan Jamil dan pak Tukul. Dari kejaksaan, Mulak Girsang, dari kehakiman saya lupa, dari batalyon, lupa, dari kodim juga lupa. Dan orang itu ngobrol sama kami tahanan wanita. Saya berdiri sambil menggendong, jadi datang si Jaksa koyok( ngomong), oi bebre. Kai ma. Lit kalak keling dua rondong na, sada kalak keling, sada kalak cina, katanya. Oh, nggak, ada satu orang perempuan, dua rondongnya katanya, satu China, satu Keling. Jadi datang wanita ini katanya badannya di cat, satu putih dan satu hitam, jadi datang laki-laki itu, yang mana mau kubunuh, yang keeling apa yang cina. Rupanya dibunuhnya yang hitam. Suami saya memang hitam.
Kami tidak mengerti sama sekali apa artinya mereka ngobrol2 sama kami dengan persenjataan yang begitu lengkap, kayak mau perang. Jadi kami tanya, ku ja kinti kene. Er buru, lit enda PKI lang e tangkap ija, er buru kami, katanya. Jadi ise? Laboh kataken gelarna. Ngga mau menceritakan namanya. Rupanya buklan berburu rupanya. Membawa orang itu ( tahanan) mereka malam, mau dibunuh. Sudah jam 10 lewat, nanya salah satu anggota itu. Nggoh jam 11? Nggo jam sebelas berangkat kita, katanya. Datang kawannya jawab belum. Kami terus koyok2. saya berdiri menggendong karena anak saya nangis terus. Sebelumnya rupanya beberapa hari yang lewat sudah disidangkan siapa yang mau dibawa untuk dibunuh. Siapa yang tidak.
Rupanya untuk saya sendiri setengah hari baru ada kesimpulan. Mereka sulit memutuskan apakah akan membunuh saya atau tidak. Seperti cerita kejaksaan itu ke saya melalui perumpamaan itu . yang hitam dibunuh atau yang putih. Menurut dia malam itu yang hitam lah yang dibunuh, sementara yang putih, saya tidak dibumuh. Rupanya waktu sidang setengah hari, sampai beberapa kali pemungutan suara selalu lebih banyak mengatakan saya dibunuh, sebagian kecil tidak setuju. Jangan, soalnya suaminya sudah dibunuh, dia punya anak kecil. Yang sidang ada 30 orang. Perbedaan suara antara 16 dan 14 seperti itu silih berganti. Dibunuh atau tidak, pemungutan suara berulang2, dan terakhirnya saya tidak dibunuh.
Cerita ini saya dapatkan setelah tiga tahun. Akhirnya anggota tim itu mengatakan itu kepada saya maka saya mengerti. Malam itu sudah jam 11, datang perintah dari kondo tim pak Juda, ini udah jam 11. saya tanya, kemana kalian berangkat ma? Sama jaksanya kan saya panggil mama, oh erburu, lit jah tangkapen, katanya. Tutup pintu, nande nusa, ula kam nen darat, katanya. Ya saya bilang.
Tapi saya tidak bisa duduk karena anak saya terus menangis, sambil menggendong anak ini. Hingga datang tim yang berburu itu jam 3 pagi, mereka mengetok2 pintu. Buka, katanya. Saya tinggal yang bangun dan saya buka. Saya lihat muka mereka seperti mabuk semua, kayak minum minuman keras, kayak habis main judi. Terus masuk dan tidur di meja periksa, ada yang tidur di korsi. Sayapun heran, kenapa mereka seperti orang mabuk semua. Karena takut, saya melihat muka muka orang itu seram. Rupanya orang2 dikamar udah pada bangun, karena dengar suara suara orang datang itu. Tutup pintu kak, katanya. Terus ada juga orang itu yang nanya, mak nusa, masih ada teh di termos? Karena biasa saya buat teh di termos untuk si kecil.
Jangan kasih kak, kata orang itu. Nggo keri the, ku bilang karena takut nengok orang itu. Terus pagi saya bobokan si Nusa sekitar jam 6 pagi, dan saya nyucikan popoknya. Pagi itu datang seorang PM, Rasta Ginting, dia bilang, me, jendah pindah ke berastagi, karena anakmu itu perlu kau rawat baik, katanya. Teman saya ketua 1 juga punya anak seperti saya. Dia selama ini tidak ditahan. Karena rumah orang tuanya diberastagi. Dia jadi tahanan kota saja. Terakhir ini kami dikumpulkan semua, menjelang dibawanya orang ini malam. Pindah kalian berdua yang beranak kecil katanya.
Dipindahkan ke Berastagi jadi PRT
Jadi pindahlah kami ke Berastagi. Rupanya biar saya tidak tahu bahwa suami saya dibawa malam itu. Karena kalau saya tahu bisa menjerit jerit. Karena kalau seperti biasa kalau diperiksa teman teman, kalau dipukul saya ikut latah marah2, emangnya apa kami ini? Salah apa kami? Saya bilang begitu. Makanya mereka mungkin sebel sama saya. Makanya kalau ada pemeriksaan aku diungsikan kebelakang supaya tidak tahu. Makanya kami disuruh ke berastagi, katanya disini terlalu sempit satu kamar, dan anak sakit sakitan. Popok yang saya jemur tidak sempat saya bawa, katanya nanti diantar.
Berangkatlah kami, dikawal, jadi berenam, sama sopir, pake mobil pak Juda,komandan Tim. Sampai di berastagi saya dititipkan dirumah PM, tidak bisa bertamu. Di perumahan PM. Datanglah pengantar nasi dari desa ke tahanan. Dikasih makanan itu ke tahanan, tapi tidak diterima lagi, katanya sudah pindah. Jadi pada sibuklah semua. Sekali pindah mereka malam itu, sekitar 7- 8 orang, termasuk suami saya. Artinya suami saya juga sudah diambil /dibunuh malam itu. Sibuklah semua keluarga kemana pindahnya katanya. Apa kata PM sama mertua saya. Kempu ndu dai udah pindah ke berastagi. Mertua saya menanyakan suami saya kemana? Orang makanannya tidak diterima lagi. Ributlah disitu, pengantar nasi itu menangis2 semua.
Udah pada berunding kemana mau di cari. Ada yang bilang dibawa ke penjara Binjai, ada yang bilang kemedan, siantar, dan ke tebing. Dibagilah siapa yang kemana. Jadi mertua saya datang ke berastagi mengantar makan saya, udah tak tertahankannya air matanya.udah nangis. Jadi sampai diberastagi. Dia keluarkan makanan dari keranjang untuk saya. Kebetulan nasi yang biasanya ke suami saya itu dibawa ke saya.
Jadi sekali ini saya bertanya apa anak ndu udah dikasih makan ke penjara? Nggoh katanya. Ngguh ku bereken. Tapi biasanya yang ini untuk dia?. Ngkai maka silap? Dia bohong, dibilangnya dia pilek. Saya heran dia tidak makan, dan dia tidak memegang cucunya, biasanya terus itu dilakukan. Kutanya, uga kine? Kalau sakit, tambari ke rumah sakit. Ueh ertambar kari aku, katanya. Besok ngga kuantar lagi makanan kalian. Karena memang sangat jauh ke berastagi. Jadi kubikinlah disini yang masakkan nasi kalian. Iyalah.
Tapi rupanya dia udah berpesan sama tukang masak itu jangan ngasih tau apapun dipenjara, karena nanti saya tambah sakit karena beranak kecil. Jadi sulit info dari luar. Dia nitipkan beras. Datang teman saya pulung br sitepu ini suaminya juga dipenjara Kabanjahe. Ada datang adik perempuannya yang selalu datang, ngantar makanan ke penjara kabanjahe. Diantarnya nasi kami pagi2, dan kemudian diantar nasi abangnya ke kabanjahe setelah itu. Jadi sudah lama mertua saya tidak datang, sayapun mesan sama adik teman saya ini namanya Rakut . Kukasih dia uang 5000, saya bilang kasih ini sama suami saya di Kabanjahe. Dia terima, tapi sorenya dibalikkan, katanya mertua saya udah ngasih duit sama dia. Rupanya suami saya tidak ada di tahanan kabanjahe. Dia sekongkol semua bohong sama saya. Udah 6 hari saya kasih lagi uang itu, tukur kari isapna ras mi rebus ya. Diterima juga uangnya.
Sorenya dia kembali, uangnya dibalikkan lagi, dibilangnya udah bertamu mertua saya kesana. Jawabnya sama saja sampai 6 bulan. Aku makin lama curiga juga. Suatu saat saya mendengar orang istri PM itu ngomong-ngomong sama temannya di dapur, dia tidak tahu nama saya Dokan,yang tau saya ibu nusa saja. Cerita dia, em, suami dokan itu ikut ke lau gerbong itu, katanya, saya dengar begitu. Besoknya lagi cerita lagi mereka, tapi kayaknya cerita mereka keliru. Dokan dan anaknya yang masih kecil itu ngayap-ayap disungai ( terapung-apung), katanya. Diam juga saya sambil masak nasi .
Em, turangku pe ikut. Ada saudara bapaknya yang juga kena. Saya simak. Jadi setelah siap ngomong, aku tanya. Ise gelar turang ndu dai?. Kubilang. Payo Tarigan, katanya. Sama kami ngajar di kabanjahe. Turangku ikut. Bapa anakku pe ikut?, ninku, sebab bapa anakku ketuanya, ninku. Eh, lang nak, lang, bapa nak ndu ngga ikut, katanya. Taupun dia siapa nama suamiku tidak. Tapi terus dibantah. Kubilang, tanda ndu kin? Gugup lah dia, orang ngga kenal. Karena kalau ku desak terlalu pertanyaanpun dia tidak mau jawab. Rupanya mereka sudah sekongkol semua tidak boleh diberitakan apapun sama saya. Aku masak nasi lagi. Dia cerita lagi sama temannya.
Aku makin penasaran, keluar aku tak bisa, berobat juga tidak bisa, tamu pun tidak bisa datang. Tapi satu saat aku sakit, dikasih pergi tapi dikawal. Datang yang punya obat ini, menurut pemeriksaan aku sakit karena tekanan perasaan( mental). Saya mencret. Datang dia katanya, kita berencana, tapi Tuhan lah yang berkehandak, sabar ya, katanya. Saya tidak tau apa maksudnya. Rupanya semua yang diluar sudah pada tahu. Jadi, iyalah, saya bilang. Saya tidak mau tanya lebih jauh. Terus siap dikasih obat, dia tidak mau dibayar. Dia bilang udah, ngga apa-apa. Padahal tidak kenal sama dia. Anak saya juga sakit, tapi waktu berobat dia tidak mau dibayar, saya heran.
Lama-lama semakin jelas dari istri si kodim tadi. Setelah enam bulan saya tidak mendapat informasi tentang suami saya, juga karena bulang anakku sudah tidak mau cerita, malah agak menjauh. Aku mau akali mereka. Aku harus ke penjara kabanjahe cari tahu. Saya kasih alasan si Nusa punya dokter hanya di Kabanjahe, jadi dia harus dibawa. Si Kodim itu tidak kasih, namun terpaksa dikasih juga karena kubilang terus, tapi dikawal dengan supir pribadinya. Di kabanjahe, Nusa saya bawa ke RSU Kabanjahe. Disana saya berjumpa sama teman lama yang jadi perawat.
Dari dialah informasi tentang suami saya juga tidak saya dapatkan, tapi saya curiga juga waktu dia tidak mau menerima uang perobatan. Habis berobat, saya bilang sama sopir si Poniman itu, aku musti singgah ke Tim Poniman. Ngga boleh kak, nanti saya dimarahi. Popok Nusa kemarin tinggal disitu. Nanti saja kak, saya aja yang ngambil, nanti pak Rasta Ginting ( PM), marah sama saya. Mau kau tembak, mau kau seret, terserah, pokoknya aku mau kesana. Kalau dia marah sama kau, bilang kalau aku yang keras kepala. Dia nyembah-nyembah bilang jangan kak. Kubilang tidak.
Pigi aku ke tim. Sampai di tim. Berdiri komandannya di pintu, seperti tidak ngasih jalan, tapi aku terobos saja. Masih jauh-jauh di halaman sana, dia bilang, Ngapain kau kemari ma Nusa?. Ngga apa-apa pak, ngambil pakaian Nusa, kemarin tinggal. Dimana tinggalnya? Kucari nanti dikamar. Dia tetap menghalangi dipintu. Ku langgar dia kontan. Kau ini? Katanya. Terus aku masuk ke dalam. Sampai aku di dalam, menjerit-jerit saya, rupanya penipu kalian semua ya? Mengungsikan saya ke berastagi biar saya tidak tau suami saya dibawa malam, bapak penipu rupanya iya? bapak penipu rupanya iya? Lari dia entah kemana. Sampai puas aku marah dan nangis, baliklah ke berastagi lagi.
Ditahan bersama bayi
Saya jadi tahanan rumah selama tiga tahun. Kemudian masuklah saya ketahanan raya dekat kodim kabanjahe itu, 6 bulan, pindah lagi ke jalan Binjai, kodam, saya bawa Nusa juga. Sampai di Jl binjai itu, ada pula komandan itu, melarang anak-anak di dalam. Katanya suruh semua keluar. Kasihkan sama famili. Sama siapa mau dikasih anak? Tidak ada famili di luar?.
Itu diusir semua. Anak-anak bukan tahanan, kamu orang tua yang ditahan, katanya. Kami sudah pada nangis mama-mamak. Kami golongan berat pula, tidak bisa keluar. Dibarak 10, saya golongan B. ada yang bisa keluar masuk. Kalau kami tidak bisa. Jadi kawan –kawan itu lah yang bawa entah dimana dititipkan. Tahun 71 kami pindah ke tanjung kasau. Nusa mulai SD di tanjung Kasau. Dia langsung kelas 2, karena dia langsung bisa membaca, sering saya ajari. Tahun 78 baru saya bebas, setelah Sudomo masuk ke sana. Langsung pulang saya ke Kandibata. Sebelumnya diisukan kami mau dibawa ke pulau buru, golongan B semua. Kami sudah pada ketakutan semua. Kami mulai di Jalan Binjei sudah mulai buat kerja tangan ditahanan, bisa bikin kesek kaki, ayaman, ukiran. Itu kami lanjutkan di t kasau. Jadi sudah bisa tanpa kiriman dari luar.
Riwayat organisasi
Agak ke belakang, suami saya anggota Front Nasional, bukan anggota DPRD. Ndelasi Sinuraya. Dipartai dia sebagai di partai, tapi full di front nasional tk. Kabupaten. Kalau Gerwani sebelum tahun 65. sebenarnya saya diangkat bukan karena pendidikan organisasi yang sudah tinggi, tapi karena suami saya sudah duluan menjadi anggota partai, dan saya sebagai istri diangkat menjadi wakil ketua di tanah karo. Setelah jadi wakil ketua, baru saya mengikuti pendidikan kursus, juga menghadiri pertemuan propinsi. Di kepanitiaan dengan lembaga lain dan pemerintah saya sering juga menjadi pimpinan, makanya kenal sama orang orang yang menangkap saya. Gerwani sudah terbentuk di setiap desa dan Kecamatan di Karo.
Di desa minimal 10 orang baru berdiri organisasinya. Di gerwani biasanya yang sudah bersuami. Program kami memperjuangkan emansipasi dan suami hanya beristri satu. Kalau perempuan yang belum berkeluarga, mereka ikut di Pemuda Rakyat dan Lekra. Sebelum peristiwa, sewaktu datang dokter Tanti Aidit, kami semua disini. Dari semua desa datang. Kami bertemu di gedung nasional. Saya pernah minta ke dr Tanti supaya saya diperiksa, karena kemarin saya susah punya anak. Kami juga pernah seminar gerwani di Gedung Olah raga kabanjahe. Pertemuan di kantor Sobsi di Jalan Binjai. Itu sebelum peristiwa. Setelah peristiwa komunikasi terputus sama sekali. Tidak ada surat-menyurat yang saya ketahui.
Tapi hari itu, Pulung br Sitepu, ketua Gerwani Tanah Karo, tapi mungkin menurut tim itu saya yang menguasai politik, karena selain guru, saya wakil ketua. Urusan wakil ketua pengkaderan, sementara ketua urusan keluar, begitu. Pengurus di tanah karo itu; ketua Pulung br sitepu, wakil ketua, saya, sekretaris..lupa saya, bendahara, nyonya P Sitepu, beru Ginting. Ibu pulung sekarang masih hidup, dia di Jakarta, tetapi siap dari jalan Gandhi dan Tj. Kasau, dia sudah ada stress jadi sulit diajak bicara. Dia juga melahirkan 4 orang anak di tj kasau, karena dia satu rumah dengan suaminya di tahanan tj Kasau.
Anak saya Nusantara sudah berkeluarga tinggal di Bandung, tapi saya belum pernah kesana sama sekali. Dia udah menikah sama br sebayang, punya 3 anak. Saya guru SD Negeri 1 Kabanjahe dulu. Tapi tidak menerima pensiun, dipecat begitu saja. Saya udah PNS 7 tahun, tahun 58 sampai dengan 65.
saurlin,05
Kumpul Ginting, Pelarian yang ‘Sukses’
Saya lahir pada tahun 1931 di Desa Negeri, Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo. Saya adalah anak dari seorang kaum tani sedang. Kam tahu, kan bagaimana watak kaum tani sedang, kan? Itulah yang tergores dalam diri saya. Pendidikan saya terakhir hanya sampai di.., apa itu, dulu pada waktu kami disebut memang sudah S2. Kalau S2 sekarang pada saat itu disebut sarjana muda. Kalau S1 berarti tingkat 1 pada waktu itu. Namun karena meletus peristiwa, saya tidak bisa menyelesaikan studi saya di USU, studi Hukum. Extenkost dulu saya di USU.
Kami ada 400 orang yang extenkost dan hanya 25 orang yang lulus. Suku Karo hanya 5 orang. Ketika itu sebenarnya saya sudah di partai (baca: PKI–Red). Namun sebelum di partai saya sudah bergabung di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Saya dulu di Solo selama 4 tahun setelah saya tamat SMP. Saya belajar di Sekolah Kemasyarakatan (SPKN) di sana. Saya sekretaris di Solo.
Kembali saya di Medan, saya ditempatkan di tempat terendah dalam partai, yaitu CR Comitte Resort) di Kampung Babura. Saya juga ditempatkan di Departemen Perburuhan. Begitulah sulitnya peningkatan di PKI itu. Sesudah beberapa tahun saya di CR, barulah saya dipindahkan di anggota Dewan Harian Pimpinan Partai Tingkat Medan Baru. Menjelang peristiwa, saya sudah ditempatkan sebagai orang kedua partai di Tanah Karo. Pada saat itu sudah tahun 1964.
Saya punya sebuah pengalaman menarik di sana. Pada tanggal 1 Mei 1964 terjadi peristiwa yang cukup besar. Yaitu pertentangan antara Pemuda Rakyat dengan Pemuda Pancasila, yang pada waktu dipimpin oleh Murba. Pada saat kejadian itu nama saya disebut-sebut di Tanah Karo bahkan sampai ke Jakarta. Makanya pada tahun 1965 pada saat peristiwa G30S/PKI ada pengumuman yang mengatakan, “Barangsiapa yang bisa menangkap Kumpul Ginting akan mendapat hadiah”. Yang mengatakan itu dulu adalah Matang Sitepu, mantan bupati Tanah Karo.
Jadi, pertentangan yang terjadi di Tanah Karo itu tajam sekali. Sebab PNI sendiri juga merasa cemburu dengan PKI. Sebab pada saat itu hanya ada dua partai besar yaitu PKI dan PNI. Mereka cemburu karena PKI makin lama makin besar, apalagi menjelang peristiwa (baca: G30S–Red) itu. Malah PKI mengusulkan agar dilakukan pemilihan umum. Sementara partai yang lain tidak berani mengusulkan pemilu, karena PKI semakin besar.
Sesudah terjadi peristiwa saya dicari-cari. Arahan partai (PKI) pada saat itu adalah kondisi sudah gawat. Tidak ada arahan partai untuk menyerah, sama sekali tidak ada. Jadi kalau ada kawan-kawan yang menyerah, ya, saya tidak tahu. Itu bukan garis partai.
Menyingkir ke desa! Itulah garis partai pada waktu itu. Makanya saya menyingkir ke desa-desa. Saya juga pindah dari desa ke kota, dari kota ke kota, lalu saya pidah ke desa lagi.
Saya berpindah dari Tanah Karo ke Langkat, ke Dairi, Tebing Tinggi, Deli Serdang, Medan lagi, begitu seterusnya. Yang mengejar-ngejar kami pada saat itu adalah Buterpra bersama Komanda Aksi. Komando aksi adalah gabungan para pemuda. Di Kampung Telaga pada saat itu diserbu di sana. Pada sat itu teman kami ditangkap 6 orang. Dan sampai sekarang tidak tahu kami bagaimana nasib mereka.
Dan itu juga adalah salah satu keuntungan kita yang bermarga ini, baik suku Karo, Batak Toba, Simalungun, dan sebagainya itu. Saya banyak diselamatkan oleh karena faktor-faktor suku itu. Seperti contoh, saya pernah bersembunyi di markas Bataliyon Kisaran, di sana pada waktu itu komandannya Mayor Bangun. Dia itu kalimbubu saya dari Payung. Saya dibiarkannya. Tetapi sesudah keadaan agak gawat saya disuruhnya pergi. Di sini juga keuntungan adanya marga-marga tadi. Itupula makanya menurut saya tidak banyak di Tanah Karo yang mati. Mungkin diselamatkan oleh keluarga-keluarga. Setahu kami yang mati di sana “hanya” 33 orang. Tetapi kalau di daerah lain seperti di Langkat, Rantau Prapat, dan daerah lain jumlahnya bisa ratusan.
Mungkin karena faktor suku juga makanya di daerah Dairi yang meninggal hanya 7 orang. Mungkin juga karena marga-marga Dalihan Na Tolu itu kita. Jadi sesudah agak aman sedikit, barus saya pindah ke Jakarta, yaitu pada tahun 80-an. Dan baru kembali ke sini (Medan) sesudah Suharto lengser. Saya sudah beberapa kali ke Medan, tapi pastinya saya kembali di Medan pada tahun 2001. Tapi di sana (Jakarta) pun saya bergabung juga dengan teman-teman walaupun secara sembunyi-sembunyi. Lebih banyak dengan orang-orang PDI-P lah.
Seputar pemilu tahun 1955 di Tanah Karo
Waktu pemilu 1955 hanya ada PNI dan PKI. Ada juga partai yang lain seperti partai-partai Kristen. Dan pada saat itu partai yang terbesar adalah PKI, tetapi wakil kita hanya 3 orang. Murba juga ada, yang lain juga ada. Yang paling banyak adalah PNI di DPR itu.
PNI lebih banyak pada saat itu memang karena digambarkan PNI yang lebih banyak. Juga karena bupati yang pertama di sana pada waktu itu adalah Rakut Sembiring Brahmana. Dan bupati-bupati yang berganti kemudian tetap berasal dari PNI. Jadi PNI yang paling besar. Jadi wajar juga kalau PNI yang paling banyak di DPR pada waktu itu. Terbesar kedua adalah kita (PKI), dan terbesar ketiga adalah Partai Kristen. Murba seingat saya hanya 1 orang di DPR pada waktu itu.
Sepanjang pengetahuan saya mengenai pengaruh PKI di Tanah karo sudah ada pada tahun 1901. Karena pada waktu itu sudah ada gerakan dari luar negeri, saya lupa namanyan. Gerakan itu melawan Belanda. Seperti di daerah kami, ada perlawanan yang dipimpin oleh Garamata. Nama ayahnya Payung Bangun.
Konflik dengan MURBA
Waktu itu–kalau saya tidak silap begini–pada waktu itu mungkin kita memang sedikit arogan. “Ganyang itu, ganyang ini,” mungkin juga ada kalimat “Ganyang Pemuda Pancasila”, barulah terjadi bentrokan. Mungkin karena itu, saya tidak tahu pasti. Memang kita akui bahwa kita agak sedikit arogan juga pada waktu itu. Akibatnya lawan-lawan politik bersatu melawan kita.
Yang dominan Saya rasa di Tanah Karo itu PNI dan PKI merata di semua daerah. Tapi kalau daerah yang sangat dominan dikuasai oleh PNI ada, yakni di daerah Singalor Lau. Singalor lau itu termasuk daerahnya Tampak Sebayang. Juga di daerah Perbesi, daerahnya Rakut Sembiring. Di sana dominanlah mereka. Tapi kalau di daerah Batu Karang lebih banyak orang PKI. Itu karena pengaruh Garamata dan sebagainya. Jadi pada umumnya dominasi PKI dan PNI itu merata.
Kondisi pacsa gerakan 30 September
Semua partai selain Partai Kristen berupaya menghabisi PKI. PKI memang dimusuhi di sana. Tetapi Parkindo tidak demikian. Dari setiap rapat-rapat yang diadakanjuga sangat terlihat bahwa mereka bersikap sangat netral. Mana yang benar mereka benarkan, dan yang salah mereka katakan juga salah. Itu kelihatan sekali. Setelah kejadian 30 September 1965 terdengar ke Tanah Karo, kita semua jadi saling curiga.
PKI sendiri tidak begitu tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Siapa yang sesungguhnya atau partai mana yang sebenarnya melakukan tindakan itu kita tidak tahu. Yang kami dengar pada saat itu bahwa gerakan yang terjadi pada tanggal 30 September adalah gerakan revolusioner.
Seingat saya, mulai Oktober 1965 sudah mulai ada penangkapan-penangkapan. Yang melakukan penangkapan adalah Buterpra dan Komando Aksi. Hanya PKI saja yang diincar, yang lain sama sekali tidak. Istilah yang dipakai mereka pada waktu itu bukan penangkapan tetapi pengamanan. Jadi PKI diamankanlah ceritanya.
Itu makanya saya kenal dekat dengan Dogar. Saya ingat pada tanggal 6 Oktober, saya ingat pada saat itu adalah hari Jumat. Saya datang ke Kodim Tanah Karo dan berjumpa dengan Mayor Dogar Sembiring. Kami memang akrablah. Saya bilang padanya, “Sembiring, mengapa kami ditangkapi?” Dia bilang begini, “Ini pengamanan, Bung Ginting. Tidak apa-apa,” katanya. “Sekarang Komandan Kodim, Iswanto, sedang berada di Medan. Kalau Bung Ginting mau diamankan juga, datanglah besok,” katanya.
Jadi karena begitu katanya maka saya lari. Menyingkirlah saya. Maka saya ingat selalu Dogar Sembiring, karena dialah yang menyelamatkan saya. Padahal pada waktu itu bisa saja saya ditangkap. Teman-teman saya juga sudah banyak yang ditangkap.
Cara penangkapan
Ada yang dipaksa. Tapi ada juga yang secara umum seperti ini; kawan-kawanitu sepertinya mau saja. Karena apa? Karena orang komandan bataliyon di sana, Manisyo, adalah orang PKI, simpati PKI lah saya bilang. Jadi kawan-kawan kita ini biasa ke markas bataliyon itu. Kawan-kawan itu tidak takut. Walaupun dipanggil begitu mereka tidak takut. Itulah kondisi pada waktu itu. Sama sekali mereka tidak berpikir akan “dipotong”. Sama sekali tidak ada.
Manisyo itu juga ditangkap karena dia sudah menonjol sekali membela PKI.
Lokasi Pembunuhan
Oh ya. Pembantaian hanya di satu tempat, yaitu di jembatan Lau Gerbong, dekat Desa Perbesi, Kecamatan Tiga Binanga. Di situ sejumlah 30 orang. Semua sebenarnya 33 orang dibunuh. 3 orang katanya dibunuh di Lau Pondom, di Dairi. Mereka itu tidak hanya berasal dari kampung itu saja. Mereka dari seluruh tanah Karo.
Selain itu saya juga ada mendengar dibunuh 1 orang di Kampung Juhar. Hanya satu orang, tapi dia ditembak Buterpra di tempat umum.
Di Tanah Karo memang “hanya” 33 orang yang dibunuh. Itu yang saya katakan tadi. Mungkin karena faktor suku dan marga.
Jumlah pengikut PKI di Tanah Karo pada saat itu banyak sekali. Saya rasa ada mencapai 5 ribuan lah.Dari sekitar 5 ribuan tadi, hanya 33 orang yang dibunuh. Nah, yang dibunuh itu kan hanya gembong-gembongnya saja. Kalau anggotanya hanya diwajibkan melapor harian, mingguan, bulanan, sampai tahunan. Mereka tidak ditahan. Memang ada sebagian yang ditahan di Kodim. Jadi pusat penahanan di kodim. Namun setelah 33 orang ini dibunuh, mereka dipulangkan.
Yang dibawa ke Medan Ada juga, 2 orang. Namanya Langit Ginting dan Taman Pandia. Saya dengar mereka dibunuh di Sei Ular. Tapi kita masukkan dia ke Tanah Karo.
Mereka yang dibunuh 33 orang di Lau Gerbong itu bisa tertangkap, pertama, mungkin karena tidak bisa melarikan diri. Kedua, ya karena tidak menyangka akan dibunuh. Karena pimpinan nomor satu batalyon di sana simpatisan PKI. Ada juga yang namanya Tandek Ginting. Asalnya dari Kampung Gajah. Dia punya famili di kodim berpangkat Letnan Kolonel. Dirayu-rayu supaya dia menyerah. Akhirnya dia menyerah. Matilah dia.
Dari antara sekian itu, ada dua orang kami yang berhasil menyingkir. Jenda Tarigan orang pertama, dan saya sebagai orang kedua. Dan kami masih hidup sampai sekarang. Jenda Tarigan itu sekarang masih bersama istrinya di Desa Gambir. Dia tidak bisa lagi bergabung dengan kita karena istrinya buta akibat kejadian itu.
Sampai dia berkata pada saya, pada waktu saya ke sana bersama Saurlin, “Bagaimana silih. Kalau kita masukkan istri saya ke panti jompo, malu juga kita sebagai suku Karo. Saya mau aktif kembali,” katanya. Jadi karena istrinya itu buta, maka dia tidak berani meninggalkan gubuknya itu. Takut dia terbakar. Dialah satu-satunya tokoh PKI di Sumatera Utara yang masih hidup, yang lain tidak ada lagi. Dia anggota pleno dan juga CDB (Committe Daerah Besar) di tingkat propinsi.
Kalau kita lihat peristiwa ini, G30S/PKI ini usianya singkat, kan? Sudah langsung dihabisi oleh Suharto. Secara tidak langsung pasti ada perintah langsung dari Soharto, mana mungkin Irwanto yang dulunya simpati PKI malah menangkapi. Akhirnya dia juga ditangkap.
Kalau yang mengkonsolidasikan gerakan penangkapan itu tentara. Memang ada juga polisi, tetapi umumnya tentara. Luar biasa kejadiannya, sungguh luar biasa. Cobalah bayangkan, ada seorang wanita ber-beru Ginting cerita pada saya. Dia bilang pada saya, “Bang, luar biasa. Tiap malam rumah kami diketuk, selalu ditegur, setiap hari kami absen,”. Padahal dia itu istri, tetapi disuruh melapor.
Dan pemerkosaan juga ada terjadi merata hampir di setiap desa dan setiap kecamatan. Tetapi kita yang beradat Karo dan Batak ini kan agak repot kalau menyebutkan itu. Tetapi saya tahu siapa saja yang diperkosa. Saya tahu.
PKI punya beberapa organisasi onderbow di Tanah Karo. Gerwani, Lekra, Pemuda Rakyat, Buruh, BTI. Yang berpengaruh itu Pemuda Rakyat. Karena kita katakan mereka adalah komunis muda. Jadi kami yang sisa-sisa sampai sekarang ini, yang masih teguh adalah yang dahulunya di PKI dan Pemuda Rakyat. kalau yang lain itu kadang-kadang mau goyang, gitu. Secara umum begitu.
Penyebabnya Karena mereka diajar, dididik mereka. Dulu yang paling terkenal itu adalah A,B,C politik. Ada tingkatannya itu. Jadi dia harus tahu secara singkat mengenai filsafat, sejarah perkembangan masyarakat. Sudah harus tahu dia. Jadi dia sudah punya pegangan ideologi. Yang lainnya tidak begitu.
Ini agak pribadi saya 4 tahun berada di Solo, pendidikan saya memang 4 tahun, tapi saya hampir 5 tahun di sana. Di sana juga saya ditugaskan partai turun ke desa-desa. Jadi kami dulu di sana disebut calon partai, semacam maganglah! Jadi kami diberi tugas terlebih dahulu, baru kemudian menjadi anggota partai. Itupun tidak bisa sekaligus semua menjadi anggota partai. Tidak bisa!
Pimpinan IPPI biasanya sudah orang partai. Bagaimanapun kalau dia sudah pimpinan IPPI pasti orang partai. Baik dia pimpinan kabupaten atau propinsi pasti dia anggota partai. Tetapi kalau pimpinan kecamatan belum tentu.
Tetapi kalau Pemuda Rakyat pasti semua sudah anggota partai, meskipun masih pimpian di desa-desa. Karena mereka disebut sebagai komunis muda.
Pernikahan
Saya ketemu nenekndu tahun 1959. Dan tahun itu pula kami menikah di Jember, setelah saya selesai sekolah di Solo. Istri saya itu orang jawa. Adapun dia dulu sekolah bidan. Kami ketemunya sama-sama di Solo. Sebenarnya kami punya anak 5 orang, tapi sudah meninggal satu orang. Satu orang perempuan dan empat laki-laki. Sekarang laki-lakinya tinggal 3 orang.
Sejak tahun 1965 sampai sebelum berangkat ke Jakarta pada tahun 1980, apa saja yang dikerjakan?
Saya berpindah pindah sejak tahun 1965 hingga tahun 1980, saya ke Jakarta. Selama berpindah-pindah itu saya menyesuaikan diri dengan kaum tani. Umpamanyalah seperti pada waktu itu saya di kampung Telaga, langkat. Saya bertani, malah bergula, mengambil enau.Sesudah daerah itu digrebek oleh tentara dan komando aksi, saya pindah ke Sibolangit. Di situ pun saya bergula juga.
Karena pada umumnya orang-orang kita itu ada di mana-mana. Memang PKI ini sudah besar sekali. Jadi di mana-mana ada saja yang menampung. Seperti di Telaga tadi, memang mayoritas kita di situ.
Juga seperti di Sembahe, tepatnya di Sayum Sabah, kita mutlak di situ. Di situlah saya sekitar 4 bulan di situ.Keluarga saya tinggal di Medan ini. Jadi kita selalu menyesuaikan diri dengan kaum tani. Saya tidak pernah ke Medan kecuali hanya melintas.
Sudah lama sekali tidak jumpa dengan nenekmu. . Tapi sejak saya berada di Jakarta itu, nenekmu sekali-kali pergi juga ke sana.
Di Jakarta, sehari-harinya kerja Begini. Di Jakarta itu ada yang menampung saya. Kalau bahasa Karonya puang Kalimbubu. Dia kebetulan dekat dengan Tutut, anak Suharto. Jadi kami pada waktu itu ditampungnya untuk mengirim tenaga kerja ke Arab. Kitalah yang pertama-tama mengirim tenaga kerja ke Arab. Jadi kecurigaan sama sekali tidak ada. Malah Tutut sendiri pernah datang ke kantor. Ha.ha…karena memang dia akrab.
Saya juga berdiskusi dengan kawan-kawan. Tetapi tidak atas nama PKI. Saya juga ikut PRD pada waktu itu. Saya ikut dalam mendidik kawan-kawan. Malah ada didikan saya dulu yang sekarang menjadi anggota DPRD Banten.
Keluarga yang ditinggalkan di Medan ini, berbeda dengan ditempat lain, tidak dikucilkan masyarakat. Kebetulan di daerah ini tidak. Jadi anak-anak pada waktu itu memang mandiri. Di situlah benarnya yang saya katakan pada kawan-kawan sebagai 3 BAIK. Yaitu belajar baik, bekerja baik, dan moral baik.Jadi anak-anak ini selalu juara di sekolah. Yang tertua, perempuan, dia naik kelas dari kelas 2 langsung ke kelas 4. Itu gurunya yang mengusulkan.
Yang nomor 2, dia naik kelas dari kelas 5 SD langsung ke SMP Negeri. Pada waktu itu masih bisa yang demikian.Mereka tidak menjadi ejekan orang karena mereka memang berprestasi di sekolah.Begitu juga yang paling muda. Dialah satu-satunya yang bisa kuliah di Syah Kuala.Dan anak-anak itu, untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya, mereka jualan. Jualan kue di sekitar sini setiap hari, setiap hari. Mereka buat sendiri dan jual sendiri kue itu. kalau tidak demikian dari mana uang mereka untuk sekolah?
Sebab pernah juga nenek ditahan dua setengah tahun. Nenek itu ditahan karena saya tidak tertangkap. Waktu itu nenekndu ditahan di Sukamulia, Jalan Listrik. Anak-anak di rumah ini dengan neneknya. Jadi karena mereka sudah dididik 3 BAIK tadi dan mereka mau melaksanakan makanya mereka bisa berhasil. Mereka ini sudah sarjana semua. Ada yang tamat dari USU, Syah Kuala, dari Kupang, dan dari Binjei.Dengan tetangga kita di sini kita akrab semua. Di sekitar sini juga banyak yang dari militer. Namun kita akrab dengan mereka semua.
Wawancara dilakukan di Kediaman Kumpul Ginting, Jl. Berdikari No. 64, Padang Bulan Medan, pada bulan November 2005/ Samuel
Kami ada 400 orang yang extenkost dan hanya 25 orang yang lulus. Suku Karo hanya 5 orang. Ketika itu sebenarnya saya sudah di partai (baca: PKI–Red). Namun sebelum di partai saya sudah bergabung di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Saya dulu di Solo selama 4 tahun setelah saya tamat SMP. Saya belajar di Sekolah Kemasyarakatan (SPKN) di sana. Saya sekretaris di Solo.
Kembali saya di Medan, saya ditempatkan di tempat terendah dalam partai, yaitu CR Comitte Resort) di Kampung Babura. Saya juga ditempatkan di Departemen Perburuhan. Begitulah sulitnya peningkatan di PKI itu. Sesudah beberapa tahun saya di CR, barulah saya dipindahkan di anggota Dewan Harian Pimpinan Partai Tingkat Medan Baru. Menjelang peristiwa, saya sudah ditempatkan sebagai orang kedua partai di Tanah Karo. Pada saat itu sudah tahun 1964.
Saya punya sebuah pengalaman menarik di sana. Pada tanggal 1 Mei 1964 terjadi peristiwa yang cukup besar. Yaitu pertentangan antara Pemuda Rakyat dengan Pemuda Pancasila, yang pada waktu dipimpin oleh Murba. Pada saat kejadian itu nama saya disebut-sebut di Tanah Karo bahkan sampai ke Jakarta. Makanya pada tahun 1965 pada saat peristiwa G30S/PKI ada pengumuman yang mengatakan, “Barangsiapa yang bisa menangkap Kumpul Ginting akan mendapat hadiah”. Yang mengatakan itu dulu adalah Matang Sitepu, mantan bupati Tanah Karo.
Jadi, pertentangan yang terjadi di Tanah Karo itu tajam sekali. Sebab PNI sendiri juga merasa cemburu dengan PKI. Sebab pada saat itu hanya ada dua partai besar yaitu PKI dan PNI. Mereka cemburu karena PKI makin lama makin besar, apalagi menjelang peristiwa (baca: G30S–Red) itu. Malah PKI mengusulkan agar dilakukan pemilihan umum. Sementara partai yang lain tidak berani mengusulkan pemilu, karena PKI semakin besar.
Sesudah terjadi peristiwa saya dicari-cari. Arahan partai (PKI) pada saat itu adalah kondisi sudah gawat. Tidak ada arahan partai untuk menyerah, sama sekali tidak ada. Jadi kalau ada kawan-kawan yang menyerah, ya, saya tidak tahu. Itu bukan garis partai.
Menyingkir ke desa! Itulah garis partai pada waktu itu. Makanya saya menyingkir ke desa-desa. Saya juga pindah dari desa ke kota, dari kota ke kota, lalu saya pidah ke desa lagi.
Saya berpindah dari Tanah Karo ke Langkat, ke Dairi, Tebing Tinggi, Deli Serdang, Medan lagi, begitu seterusnya. Yang mengejar-ngejar kami pada saat itu adalah Buterpra bersama Komanda Aksi. Komando aksi adalah gabungan para pemuda. Di Kampung Telaga pada saat itu diserbu di sana. Pada sat itu teman kami ditangkap 6 orang. Dan sampai sekarang tidak tahu kami bagaimana nasib mereka.
Dan itu juga adalah salah satu keuntungan kita yang bermarga ini, baik suku Karo, Batak Toba, Simalungun, dan sebagainya itu. Saya banyak diselamatkan oleh karena faktor-faktor suku itu. Seperti contoh, saya pernah bersembunyi di markas Bataliyon Kisaran, di sana pada waktu itu komandannya Mayor Bangun. Dia itu kalimbubu saya dari Payung. Saya dibiarkannya. Tetapi sesudah keadaan agak gawat saya disuruhnya pergi. Di sini juga keuntungan adanya marga-marga tadi. Itupula makanya menurut saya tidak banyak di Tanah Karo yang mati. Mungkin diselamatkan oleh keluarga-keluarga. Setahu kami yang mati di sana “hanya” 33 orang. Tetapi kalau di daerah lain seperti di Langkat, Rantau Prapat, dan daerah lain jumlahnya bisa ratusan.
Mungkin karena faktor suku juga makanya di daerah Dairi yang meninggal hanya 7 orang. Mungkin juga karena marga-marga Dalihan Na Tolu itu kita. Jadi sesudah agak aman sedikit, barus saya pindah ke Jakarta, yaitu pada tahun 80-an. Dan baru kembali ke sini (Medan) sesudah Suharto lengser. Saya sudah beberapa kali ke Medan, tapi pastinya saya kembali di Medan pada tahun 2001. Tapi di sana (Jakarta) pun saya bergabung juga dengan teman-teman walaupun secara sembunyi-sembunyi. Lebih banyak dengan orang-orang PDI-P lah.
Seputar pemilu tahun 1955 di Tanah Karo
Waktu pemilu 1955 hanya ada PNI dan PKI. Ada juga partai yang lain seperti partai-partai Kristen. Dan pada saat itu partai yang terbesar adalah PKI, tetapi wakil kita hanya 3 orang. Murba juga ada, yang lain juga ada. Yang paling banyak adalah PNI di DPR itu.
PNI lebih banyak pada saat itu memang karena digambarkan PNI yang lebih banyak. Juga karena bupati yang pertama di sana pada waktu itu adalah Rakut Sembiring Brahmana. Dan bupati-bupati yang berganti kemudian tetap berasal dari PNI. Jadi PNI yang paling besar. Jadi wajar juga kalau PNI yang paling banyak di DPR pada waktu itu. Terbesar kedua adalah kita (PKI), dan terbesar ketiga adalah Partai Kristen. Murba seingat saya hanya 1 orang di DPR pada waktu itu.
Sepanjang pengetahuan saya mengenai pengaruh PKI di Tanah karo sudah ada pada tahun 1901. Karena pada waktu itu sudah ada gerakan dari luar negeri, saya lupa namanyan. Gerakan itu melawan Belanda. Seperti di daerah kami, ada perlawanan yang dipimpin oleh Garamata. Nama ayahnya Payung Bangun.
Konflik dengan MURBA
Waktu itu–kalau saya tidak silap begini–pada waktu itu mungkin kita memang sedikit arogan. “Ganyang itu, ganyang ini,” mungkin juga ada kalimat “Ganyang Pemuda Pancasila”, barulah terjadi bentrokan. Mungkin karena itu, saya tidak tahu pasti. Memang kita akui bahwa kita agak sedikit arogan juga pada waktu itu. Akibatnya lawan-lawan politik bersatu melawan kita.
Yang dominan Saya rasa di Tanah Karo itu PNI dan PKI merata di semua daerah. Tapi kalau daerah yang sangat dominan dikuasai oleh PNI ada, yakni di daerah Singalor Lau. Singalor lau itu termasuk daerahnya Tampak Sebayang. Juga di daerah Perbesi, daerahnya Rakut Sembiring. Di sana dominanlah mereka. Tapi kalau di daerah Batu Karang lebih banyak orang PKI. Itu karena pengaruh Garamata dan sebagainya. Jadi pada umumnya dominasi PKI dan PNI itu merata.
Kondisi pacsa gerakan 30 September
Semua partai selain Partai Kristen berupaya menghabisi PKI. PKI memang dimusuhi di sana. Tetapi Parkindo tidak demikian. Dari setiap rapat-rapat yang diadakanjuga sangat terlihat bahwa mereka bersikap sangat netral. Mana yang benar mereka benarkan, dan yang salah mereka katakan juga salah. Itu kelihatan sekali. Setelah kejadian 30 September 1965 terdengar ke Tanah Karo, kita semua jadi saling curiga.
PKI sendiri tidak begitu tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Siapa yang sesungguhnya atau partai mana yang sebenarnya melakukan tindakan itu kita tidak tahu. Yang kami dengar pada saat itu bahwa gerakan yang terjadi pada tanggal 30 September adalah gerakan revolusioner.
Seingat saya, mulai Oktober 1965 sudah mulai ada penangkapan-penangkapan. Yang melakukan penangkapan adalah Buterpra dan Komando Aksi. Hanya PKI saja yang diincar, yang lain sama sekali tidak. Istilah yang dipakai mereka pada waktu itu bukan penangkapan tetapi pengamanan. Jadi PKI diamankanlah ceritanya.
Itu makanya saya kenal dekat dengan Dogar. Saya ingat pada tanggal 6 Oktober, saya ingat pada saat itu adalah hari Jumat. Saya datang ke Kodim Tanah Karo dan berjumpa dengan Mayor Dogar Sembiring. Kami memang akrablah. Saya bilang padanya, “Sembiring, mengapa kami ditangkapi?” Dia bilang begini, “Ini pengamanan, Bung Ginting. Tidak apa-apa,” katanya. “Sekarang Komandan Kodim, Iswanto, sedang berada di Medan. Kalau Bung Ginting mau diamankan juga, datanglah besok,” katanya.
Jadi karena begitu katanya maka saya lari. Menyingkirlah saya. Maka saya ingat selalu Dogar Sembiring, karena dialah yang menyelamatkan saya. Padahal pada waktu itu bisa saja saya ditangkap. Teman-teman saya juga sudah banyak yang ditangkap.
Cara penangkapan
Ada yang dipaksa. Tapi ada juga yang secara umum seperti ini; kawan-kawanitu sepertinya mau saja. Karena apa? Karena orang komandan bataliyon di sana, Manisyo, adalah orang PKI, simpati PKI lah saya bilang. Jadi kawan-kawan kita ini biasa ke markas bataliyon itu. Kawan-kawan itu tidak takut. Walaupun dipanggil begitu mereka tidak takut. Itulah kondisi pada waktu itu. Sama sekali mereka tidak berpikir akan “dipotong”. Sama sekali tidak ada.
Manisyo itu juga ditangkap karena dia sudah menonjol sekali membela PKI.
Lokasi Pembunuhan
Oh ya. Pembantaian hanya di satu tempat, yaitu di jembatan Lau Gerbong, dekat Desa Perbesi, Kecamatan Tiga Binanga. Di situ sejumlah 30 orang. Semua sebenarnya 33 orang dibunuh. 3 orang katanya dibunuh di Lau Pondom, di Dairi. Mereka itu tidak hanya berasal dari kampung itu saja. Mereka dari seluruh tanah Karo.
Selain itu saya juga ada mendengar dibunuh 1 orang di Kampung Juhar. Hanya satu orang, tapi dia ditembak Buterpra di tempat umum.
Di Tanah Karo memang “hanya” 33 orang yang dibunuh. Itu yang saya katakan tadi. Mungkin karena faktor suku dan marga.
Jumlah pengikut PKI di Tanah Karo pada saat itu banyak sekali. Saya rasa ada mencapai 5 ribuan lah.Dari sekitar 5 ribuan tadi, hanya 33 orang yang dibunuh. Nah, yang dibunuh itu kan hanya gembong-gembongnya saja. Kalau anggotanya hanya diwajibkan melapor harian, mingguan, bulanan, sampai tahunan. Mereka tidak ditahan. Memang ada sebagian yang ditahan di Kodim. Jadi pusat penahanan di kodim. Namun setelah 33 orang ini dibunuh, mereka dipulangkan.
Yang dibawa ke Medan Ada juga, 2 orang. Namanya Langit Ginting dan Taman Pandia. Saya dengar mereka dibunuh di Sei Ular. Tapi kita masukkan dia ke Tanah Karo.
Mereka yang dibunuh 33 orang di Lau Gerbong itu bisa tertangkap, pertama, mungkin karena tidak bisa melarikan diri. Kedua, ya karena tidak menyangka akan dibunuh. Karena pimpinan nomor satu batalyon di sana simpatisan PKI. Ada juga yang namanya Tandek Ginting. Asalnya dari Kampung Gajah. Dia punya famili di kodim berpangkat Letnan Kolonel. Dirayu-rayu supaya dia menyerah. Akhirnya dia menyerah. Matilah dia.
Dari antara sekian itu, ada dua orang kami yang berhasil menyingkir. Jenda Tarigan orang pertama, dan saya sebagai orang kedua. Dan kami masih hidup sampai sekarang. Jenda Tarigan itu sekarang masih bersama istrinya di Desa Gambir. Dia tidak bisa lagi bergabung dengan kita karena istrinya buta akibat kejadian itu.
Sampai dia berkata pada saya, pada waktu saya ke sana bersama Saurlin, “Bagaimana silih. Kalau kita masukkan istri saya ke panti jompo, malu juga kita sebagai suku Karo. Saya mau aktif kembali,” katanya. Jadi karena istrinya itu buta, maka dia tidak berani meninggalkan gubuknya itu. Takut dia terbakar. Dialah satu-satunya tokoh PKI di Sumatera Utara yang masih hidup, yang lain tidak ada lagi. Dia anggota pleno dan juga CDB (Committe Daerah Besar) di tingkat propinsi.
Kalau kita lihat peristiwa ini, G30S/PKI ini usianya singkat, kan? Sudah langsung dihabisi oleh Suharto. Secara tidak langsung pasti ada perintah langsung dari Soharto, mana mungkin Irwanto yang dulunya simpati PKI malah menangkapi. Akhirnya dia juga ditangkap.
Kalau yang mengkonsolidasikan gerakan penangkapan itu tentara. Memang ada juga polisi, tetapi umumnya tentara. Luar biasa kejadiannya, sungguh luar biasa. Cobalah bayangkan, ada seorang wanita ber-beru Ginting cerita pada saya. Dia bilang pada saya, “Bang, luar biasa. Tiap malam rumah kami diketuk, selalu ditegur, setiap hari kami absen,”. Padahal dia itu istri, tetapi disuruh melapor.
Dan pemerkosaan juga ada terjadi merata hampir di setiap desa dan setiap kecamatan. Tetapi kita yang beradat Karo dan Batak ini kan agak repot kalau menyebutkan itu. Tetapi saya tahu siapa saja yang diperkosa. Saya tahu.
PKI punya beberapa organisasi onderbow di Tanah Karo. Gerwani, Lekra, Pemuda Rakyat, Buruh, BTI. Yang berpengaruh itu Pemuda Rakyat. Karena kita katakan mereka adalah komunis muda. Jadi kami yang sisa-sisa sampai sekarang ini, yang masih teguh adalah yang dahulunya di PKI dan Pemuda Rakyat. kalau yang lain itu kadang-kadang mau goyang, gitu. Secara umum begitu.
Penyebabnya Karena mereka diajar, dididik mereka. Dulu yang paling terkenal itu adalah A,B,C politik. Ada tingkatannya itu. Jadi dia harus tahu secara singkat mengenai filsafat, sejarah perkembangan masyarakat. Sudah harus tahu dia. Jadi dia sudah punya pegangan ideologi. Yang lainnya tidak begitu.
Ini agak pribadi saya 4 tahun berada di Solo, pendidikan saya memang 4 tahun, tapi saya hampir 5 tahun di sana. Di sana juga saya ditugaskan partai turun ke desa-desa. Jadi kami dulu di sana disebut calon partai, semacam maganglah! Jadi kami diberi tugas terlebih dahulu, baru kemudian menjadi anggota partai. Itupun tidak bisa sekaligus semua menjadi anggota partai. Tidak bisa!
Pimpinan IPPI biasanya sudah orang partai. Bagaimanapun kalau dia sudah pimpinan IPPI pasti orang partai. Baik dia pimpinan kabupaten atau propinsi pasti dia anggota partai. Tetapi kalau pimpinan kecamatan belum tentu.
Tetapi kalau Pemuda Rakyat pasti semua sudah anggota partai, meskipun masih pimpian di desa-desa. Karena mereka disebut sebagai komunis muda.
Pernikahan
Saya ketemu nenekndu tahun 1959. Dan tahun itu pula kami menikah di Jember, setelah saya selesai sekolah di Solo. Istri saya itu orang jawa. Adapun dia dulu sekolah bidan. Kami ketemunya sama-sama di Solo. Sebenarnya kami punya anak 5 orang, tapi sudah meninggal satu orang. Satu orang perempuan dan empat laki-laki. Sekarang laki-lakinya tinggal 3 orang.
Sejak tahun 1965 sampai sebelum berangkat ke Jakarta pada tahun 1980, apa saja yang dikerjakan?
Saya berpindah pindah sejak tahun 1965 hingga tahun 1980, saya ke Jakarta. Selama berpindah-pindah itu saya menyesuaikan diri dengan kaum tani. Umpamanyalah seperti pada waktu itu saya di kampung Telaga, langkat. Saya bertani, malah bergula, mengambil enau.Sesudah daerah itu digrebek oleh tentara dan komando aksi, saya pindah ke Sibolangit. Di situ pun saya bergula juga.
Karena pada umumnya orang-orang kita itu ada di mana-mana. Memang PKI ini sudah besar sekali. Jadi di mana-mana ada saja yang menampung. Seperti di Telaga tadi, memang mayoritas kita di situ.
Juga seperti di Sembahe, tepatnya di Sayum Sabah, kita mutlak di situ. Di situlah saya sekitar 4 bulan di situ.Keluarga saya tinggal di Medan ini. Jadi kita selalu menyesuaikan diri dengan kaum tani. Saya tidak pernah ke Medan kecuali hanya melintas.
Sudah lama sekali tidak jumpa dengan nenekmu. . Tapi sejak saya berada di Jakarta itu, nenekmu sekali-kali pergi juga ke sana.
Di Jakarta, sehari-harinya kerja Begini. Di Jakarta itu ada yang menampung saya. Kalau bahasa Karonya puang Kalimbubu. Dia kebetulan dekat dengan Tutut, anak Suharto. Jadi kami pada waktu itu ditampungnya untuk mengirim tenaga kerja ke Arab. Kitalah yang pertama-tama mengirim tenaga kerja ke Arab. Jadi kecurigaan sama sekali tidak ada. Malah Tutut sendiri pernah datang ke kantor. Ha.ha…karena memang dia akrab.
Saya juga berdiskusi dengan kawan-kawan. Tetapi tidak atas nama PKI. Saya juga ikut PRD pada waktu itu. Saya ikut dalam mendidik kawan-kawan. Malah ada didikan saya dulu yang sekarang menjadi anggota DPRD Banten.
Keluarga yang ditinggalkan di Medan ini, berbeda dengan ditempat lain, tidak dikucilkan masyarakat. Kebetulan di daerah ini tidak. Jadi anak-anak pada waktu itu memang mandiri. Di situlah benarnya yang saya katakan pada kawan-kawan sebagai 3 BAIK. Yaitu belajar baik, bekerja baik, dan moral baik.Jadi anak-anak ini selalu juara di sekolah. Yang tertua, perempuan, dia naik kelas dari kelas 2 langsung ke kelas 4. Itu gurunya yang mengusulkan.
Yang nomor 2, dia naik kelas dari kelas 5 SD langsung ke SMP Negeri. Pada waktu itu masih bisa yang demikian.Mereka tidak menjadi ejekan orang karena mereka memang berprestasi di sekolah.Begitu juga yang paling muda. Dialah satu-satunya yang bisa kuliah di Syah Kuala.Dan anak-anak itu, untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya, mereka jualan. Jualan kue di sekitar sini setiap hari, setiap hari. Mereka buat sendiri dan jual sendiri kue itu. kalau tidak demikian dari mana uang mereka untuk sekolah?
Sebab pernah juga nenek ditahan dua setengah tahun. Nenek itu ditahan karena saya tidak tertangkap. Waktu itu nenekndu ditahan di Sukamulia, Jalan Listrik. Anak-anak di rumah ini dengan neneknya. Jadi karena mereka sudah dididik 3 BAIK tadi dan mereka mau melaksanakan makanya mereka bisa berhasil. Mereka ini sudah sarjana semua. Ada yang tamat dari USU, Syah Kuala, dari Kupang, dan dari Binjei.Dengan tetangga kita di sini kita akrab semua. Di sekitar sini juga banyak yang dari militer. Namun kita akrab dengan mereka semua.
Wawancara dilakukan di Kediaman Kumpul Ginting, Jl. Berdikari No. 64, Padang Bulan Medan, pada bulan November 2005/ Samuel
Maaf nak, saya masih trauma
(Desa Payung, kec. Payung, 17 Nopember 2005)
Informan: PS, eks CGMI Medan, eks Mahasiswa FH USU)
Setelah melewati desa-desa yang terpencil di pegunungan tanah Karo, saya bersama tim mengunjungi rumah seorang tokoh yang menurut korban2 65 adalah salah satu tokoh yang cukup penting. Dia adalah Punanta Sembiring, mantan petinggi CGMI di Sumut. Sekitar pukul 3 sore kami sampai di rumahnya.
Dirumah itu terdapat banyak lukisan beserta peralatan melukis. Punanta ternyata adalah seorang pelukis. Pekerjaan sehari-harinya adalah melukis realitas sehari-hari yang diamatinya di desa-desa tanah karo dengan sangat baik sekali.
Saya Tanya harganya, karena saya memang ingin membelinya. Dia bilang sekitar tiga setengah juta yang paling murah. Wah, aku tidak menanyakan lagi, pun menawarnya, karena tidak punya uang sebanyak itu.
Kemudian kami memperkenalkan diri. Saya jelaskan seluruhnya tujuan kedatangan kami . tidak ketinggalan menceritakan realitas politik nasional yang sedang berubah. Khususnya tentang pembongkaran kembali sejarah peristiwa 65 di Indonesia. Dan menyelipkan diakhir cerita, oleh karena itu jangan lagi trauma.
Oleh karena mempertanyakan keberpuhakan saya, saya ceritakan pula secara pribadi bahwa saya berpihak kepada korban-korban 65, karena hubungan dan pengalaman yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Dia juga bertanya apa ada hubungan secara biologis. Saya jawab sebenarnya tidak terlalu ada, tapi kalau dicari-cari, bisa ya dan bisa tidak. Sebab kakek saya, orang tua ibu saya adalah seorang yang ikut menerima cangkul-nya BTI di Asahan, tepatnya di sungai Beluru, tapi itupun saya ketahui dua bulan lalu, ketika pulang kampong dan bertanya kepada ibu saya. Kemudian saya mendengarkan PS untuk bicara.
Saya sudah puluhan tahun di Jawa, sekarang karena sudah tua, saya pulang kemari. Saya bangga jika ada orang-orang yang menaruh simpati kepada korban korban 65, dan memperjuangkannya. Tapi kita masih kali ini bertemu saya sulit percaya sama orang, saya harap nak, kam mengerti, karena apa yang sudah saya alami. Saya bilang dinding juga bisa bicara, dan bisa saja kondisi negara kita ini akan berobah seketika, dan menghabisi kami kembali.
Terus terang saya masih trauma, dan tidak sembarangan menceritakan ini. Walaupun kita justru sudah bicara sekarang, kalau dulu seperti ini kita sudah ditangkap. Beberapa tahun lalu akan pulang dari Jakarta, karena tidak diterima bekerja dimana-mana. Saya kemudian putuskan untuk pulang kampung. Dikampung, tidak ada lagi yang cukup kenal dengan saya. Jadi tidak apa apa lagi.
Suatu waktu, pemuda pemuda desa Payung ini ngumpul. Aku tidak ada disitu dan tidak ikut. Aku di kedai kopi. Tapi ada teman teman yang muda mengajak saya, ngapain saya bilang. Katanya kami lagi merembukkan lapangan bola. Jadi saya ikut, sehingga saya akhirnya ikut nimbrung. Lapangan bola tidak ada lagi di kampong. Saya usulkan kita sewa aja tanah dan kita pake lapangan bola, kita bayar entah berapa, dari pada tanahnya kosong, atau kita minta kepada orang yang punya tanah. Itu saja saran saya.
Ternyata ada orang yang agresif. Itu ada tanah disini katanya, tanah sibayak. Sibayak itu kan orang besar disini, penguasa dijaman Belanda. Saya tidak campur tangan katanya bagaimana kalau itu kita ambil. Sekarang kan sudah jaman merdeka, tidak ada lagi itu raja-raja belanda, sedangkan tanah itu kan tidak mungkin milik orang lingga dari seberang sana, itu tanah desa ini.
Jadi semua orang itu bertepuk setuju. Jadi bagaimana? Besok kita garap itu? Kita ambil? Wah bertepuk semua. Jadi akhirnya besok betul, rakyat kampong ini semua kesana. Cangkul sini, cangkul sana. Ayok, kata orang pula sama saya. Tapi saya Cuma duduk-duduk saja disini ( di kedai).
Kemudian datang polisi, tangkap sana, tangkap sini. Eeeh, gampang saja dituduh dalangnya itu, saya. Gampang saja menuduh saya. Nah maka itu saya bilang kita tetap trauma . itu satu tahun yang lalu, aku baru satu setengah tahun disini. Masih traumalah. Saya mungkin lahir di jaman yang salah.
Perubaan yang kam ceritakan tadi masih angin berhembus saja. Apalagi pikir soal kompensasi, apa segala macam, gampang saja membicarakan itu. Itu kan hanya bisa jika pemerintah menyadari betul betul masalah itu, memang untuk membuat sadar pemerintah perlu ada gerak kita. Saya, biarlah kalian sebut seperti ini, ya memang saya trauma.
PS adalah salah seorang ketua CGMI propinsi Sumatera Utara, saat ini adalah salah seorang sintua(pelayan gereja) di gereja GBKP, pekerjaan sehari-harinya adalah melukis, hasil lukisannya di jual kepada orang-orang tertentu di Jakarta dan Medan. Salah satu karnya saat menjadi TAPOL adalah melukis lambang pramuka yang ada di bumi perkemahan sibolangit bersama seniman terkenal, Puji Tarigan. Sculpture itu menjadi icon penting dipintu masuk tanah karo saat ini.
saurlin,2005.
Informan: PS, eks CGMI Medan, eks Mahasiswa FH USU)
Setelah melewati desa-desa yang terpencil di pegunungan tanah Karo, saya bersama tim mengunjungi rumah seorang tokoh yang menurut korban2 65 adalah salah satu tokoh yang cukup penting. Dia adalah Punanta Sembiring, mantan petinggi CGMI di Sumut. Sekitar pukul 3 sore kami sampai di rumahnya.
Dirumah itu terdapat banyak lukisan beserta peralatan melukis. Punanta ternyata adalah seorang pelukis. Pekerjaan sehari-harinya adalah melukis realitas sehari-hari yang diamatinya di desa-desa tanah karo dengan sangat baik sekali.
Saya Tanya harganya, karena saya memang ingin membelinya. Dia bilang sekitar tiga setengah juta yang paling murah. Wah, aku tidak menanyakan lagi, pun menawarnya, karena tidak punya uang sebanyak itu.
Kemudian kami memperkenalkan diri. Saya jelaskan seluruhnya tujuan kedatangan kami . tidak ketinggalan menceritakan realitas politik nasional yang sedang berubah. Khususnya tentang pembongkaran kembali sejarah peristiwa 65 di Indonesia. Dan menyelipkan diakhir cerita, oleh karena itu jangan lagi trauma.
Oleh karena mempertanyakan keberpuhakan saya, saya ceritakan pula secara pribadi bahwa saya berpihak kepada korban-korban 65, karena hubungan dan pengalaman yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Dia juga bertanya apa ada hubungan secara biologis. Saya jawab sebenarnya tidak terlalu ada, tapi kalau dicari-cari, bisa ya dan bisa tidak. Sebab kakek saya, orang tua ibu saya adalah seorang yang ikut menerima cangkul-nya BTI di Asahan, tepatnya di sungai Beluru, tapi itupun saya ketahui dua bulan lalu, ketika pulang kampong dan bertanya kepada ibu saya. Kemudian saya mendengarkan PS untuk bicara.
Saya sudah puluhan tahun di Jawa, sekarang karena sudah tua, saya pulang kemari. Saya bangga jika ada orang-orang yang menaruh simpati kepada korban korban 65, dan memperjuangkannya. Tapi kita masih kali ini bertemu saya sulit percaya sama orang, saya harap nak, kam mengerti, karena apa yang sudah saya alami. Saya bilang dinding juga bisa bicara, dan bisa saja kondisi negara kita ini akan berobah seketika, dan menghabisi kami kembali.
Terus terang saya masih trauma, dan tidak sembarangan menceritakan ini. Walaupun kita justru sudah bicara sekarang, kalau dulu seperti ini kita sudah ditangkap. Beberapa tahun lalu akan pulang dari Jakarta, karena tidak diterima bekerja dimana-mana. Saya kemudian putuskan untuk pulang kampung. Dikampung, tidak ada lagi yang cukup kenal dengan saya. Jadi tidak apa apa lagi.
Suatu waktu, pemuda pemuda desa Payung ini ngumpul. Aku tidak ada disitu dan tidak ikut. Aku di kedai kopi. Tapi ada teman teman yang muda mengajak saya, ngapain saya bilang. Katanya kami lagi merembukkan lapangan bola. Jadi saya ikut, sehingga saya akhirnya ikut nimbrung. Lapangan bola tidak ada lagi di kampong. Saya usulkan kita sewa aja tanah dan kita pake lapangan bola, kita bayar entah berapa, dari pada tanahnya kosong, atau kita minta kepada orang yang punya tanah. Itu saja saran saya.
Ternyata ada orang yang agresif. Itu ada tanah disini katanya, tanah sibayak. Sibayak itu kan orang besar disini, penguasa dijaman Belanda. Saya tidak campur tangan katanya bagaimana kalau itu kita ambil. Sekarang kan sudah jaman merdeka, tidak ada lagi itu raja-raja belanda, sedangkan tanah itu kan tidak mungkin milik orang lingga dari seberang sana, itu tanah desa ini.
Jadi semua orang itu bertepuk setuju. Jadi bagaimana? Besok kita garap itu? Kita ambil? Wah bertepuk semua. Jadi akhirnya besok betul, rakyat kampong ini semua kesana. Cangkul sini, cangkul sana. Ayok, kata orang pula sama saya. Tapi saya Cuma duduk-duduk saja disini ( di kedai).
Kemudian datang polisi, tangkap sana, tangkap sini. Eeeh, gampang saja dituduh dalangnya itu, saya. Gampang saja menuduh saya. Nah maka itu saya bilang kita tetap trauma . itu satu tahun yang lalu, aku baru satu setengah tahun disini. Masih traumalah. Saya mungkin lahir di jaman yang salah.
Perubaan yang kam ceritakan tadi masih angin berhembus saja. Apalagi pikir soal kompensasi, apa segala macam, gampang saja membicarakan itu. Itu kan hanya bisa jika pemerintah menyadari betul betul masalah itu, memang untuk membuat sadar pemerintah perlu ada gerak kita. Saya, biarlah kalian sebut seperti ini, ya memang saya trauma.
PS adalah salah seorang ketua CGMI propinsi Sumatera Utara, saat ini adalah salah seorang sintua(pelayan gereja) di gereja GBKP, pekerjaan sehari-harinya adalah melukis, hasil lukisannya di jual kepada orang-orang tertentu di Jakarta dan Medan. Salah satu karnya saat menjadi TAPOL adalah melukis lambang pramuka yang ada di bumi perkemahan sibolangit bersama seniman terkenal, Puji Tarigan. Sculpture itu menjadi icon penting dipintu masuk tanah karo saat ini.
saurlin,2005.
Wednesday, January 16, 2008
leiden...
identik dengan kota pelajar, dan perpustakaan2 yg sangat lengkap,
sangat terkesan dengan perpustakaannya yg tertata baik.
let say di regional archieve leiden, kitlv yg lengkap mengenai east asia.
kota tua ini juga memelihara bangunan tua bersejarah, seperti jembatan yg berumur 600 an tahun, kincir angin, dan rumah diatas air.universitas leiden menjadi
pusat perhatian di kota ini, dan menjadi tujuan studi dari seluruh dunia.
leiden, january 16, 2008.
sangat terkesan dengan perpustakaannya yg tertata baik.
let say di regional archieve leiden, kitlv yg lengkap mengenai east asia.
kota tua ini juga memelihara bangunan tua bersejarah, seperti jembatan yg berumur 600 an tahun, kincir angin, dan rumah diatas air.universitas leiden menjadi
pusat perhatian di kota ini, dan menjadi tujuan studi dari seluruh dunia.
leiden, january 16, 2008.
Subscribe to:
Posts (Atom)