Tuesday, June 13, 2006

Kepentingan Dibalik Proyek Pelurusan Sungai Deli

Pengendalian Banjir dan Penggusuran
Sungai Deli menjadi headline berita beberapa hari terakhir, setidaknya oleh dua hal. Pertama, mulai terjadinya penggusuran paksa ( involuntary resettlement) terhadap perumahan penduduk termasuk pekuburan di sepanjang bantaran sungai yang menimbulkan konflik dan perlawanan dari masyarakat. Kedua, berita banjir yang menjadi langganan masyarakat disekitar bantaran sungai Deli setiap hujan datang dan memakan banyak korban.
Sepintas lalu masalah ini sepertinya berhubungan sebab akibat. Seolah –olah masalah banjir ini hendak dipecahkan oleh pemerintah melalui penggusuran penduduk disepanjang bantaran sungai Deli. Tetapi jika dicermati, ada beberapa hal yang justru kontradiktif yang membuat hubungan banjir dan penggusuran bisa absurd. Disatu sisi pemerintah gencar melakukan penggusuran terhadap perumahan dan termasuk terhadap pekuburan dengan alasan pengendalian banjir, namun disisi lain para pengusaha berebut untuk membeli lahan dan lokasi disepanjang pinggiran sungai Deli. Deli River CafĂ© misalnya, adalah proyek besar salah satu pengusaha yang sedang melakukan pembangunan persis dibantaran sungai Deli.
Pertanyaannya adalah mengapa bangunan milik rakyat digusur, sementara pengusaha difasilitasi untuk mendirikan bangunan ditempat yang sama-sama dibantaran sungai Deli? Jawaban bahwa penggusuran dilakukan untuk mengatasi banjir kota Medan tentunya menjadi usaha pembodohan dan penjinakan terhadap rakyat korban yang sedang digusur, karena banjir itu sendiri adalah akibat dari sebuah proses kompleks mengenai ekosistem yang meliputi kondisi sungai, penggundulan hutan dan perubahan iklim yang semua proses itu kebanyakan berada di hulu sungai. Dengan melihat fakta disepanjang bataran sungai Deli, jawaban yang lebih logis justru penggusuran terhadap rakyat dilakukan untuk melanggengkan pengusaha untuk memiliki tanah disepanjang bantaran sungai. Praktek politik ekonomi tanah sedang berlangsung, dan seperti biasa, mengorbankan rakyat yang buta terhadap informasi yang secara sengaja ditutup aksesnya oleh pemerintah.

Politik Ekonomi Tanah
Hubungan logis premis ini dapat dimulai dari adanya sebuah mega proyek berjudul Medan Floodway Control Project yang sudah dimulai sejak tahun 1995 . Proyek diawali dengan riset yang dilakukan oleh konsultan proyek dari Jepang bernama Japan Bank For International Cooperation ( JBIC) untuk melakukan usaha komprehensif pengendalian banjir di kota Medan, yakni mengantisipasi banjir yang pernah melanda kota Medan pada era 80-an hingga menelan korban yang besar. Riset yang dilakukan merekomendasikan pembangunan kanal sepanjang 3,8 kilometer di hulu sungai yang menghubungkan sungai Deli dengan sungai Percut, perluasan sungai Percut dan pembangunan jembatan pendukung disepanjang sungai Percut.
Proyek paling ambisius tentunya adalah penyatuan dua sungai besar, yakni sungai Deli dengan sungai Percut. Tujuannya adalah untuk mengendalikan debit air sungai Deli yang melewati pusat kota Medan. Kelebihan debit air yang menimbukan banjir itu dipindahkan ke sungai Percut yang akan diperlebar dan diperdalam. Proyek ini membutuhkan keberanian untuk melakukan penggusuran di sepanjang areal padat bangunan dan penduduk kota meliputi Titi Kuning, daerah STM Ujung, hingga Harjosari.
Proyek ini disetujui dan mendapatkan dukungan utang dari ADB dan JBIC yang nilai totalnya masih simpang siur, karena pemerintah tidak pernah menginformasikan kepada publik berapa nilai mega proyek ini yang sesungguhnya. Salah satu media mencatat angka 155 Milyar untuk pembebasan tanah, dan 480 milyar untuk pekerjaan fisik ( Kompas, 7 Desember 2004). Proyek ini adalah salah satu dari 584 proyek JBIC di Indonesia dengan nilai total seluruh proyek 3.095.400.000 yen Jepang hingga tahun 1998 ( www.bappenas.co.id, 2004). Utang ini akan dibayar dalam jangka 10 hingga 30 tahun dengan bunga antara 2,3 hingga 3 % pertahun.
Proyek kanalisasi dalam rangka pengendalian banjir Medan ini seharusnya telah selesai tahun 2004, namun karena persoalan kesulitan pembebasan tanah, proyek masih menyisakan pekerjaan separuh dari total proyek yang masih terus berlanjut hingga saat ini. Pihak donor proyek juga memberikan keringanan, seiring dengan terjadinya bencana gempa dan tsunami di Sumatera bagian barat. Bagi proyek kanalisasi yang semrawut dan berlarut-larut itu, bencana tsunami menjadi semacam ‘blessing in disguise’, karena proyek bisa berlanjut dan lepas dari ancaman pemutusan dana.
Dengan demikian, dalam waktu yang tidak terlalu lama, jika proses kanalisasi telah selesai, daerah sepanjang sungai Deli akan menjadi sorga baru bagi pebisnis, lokasi sangat strategis yang aman dari banjir. Sebuah alat kontrol di hulu sungai akan memindahkan kelebihan debit air sungai Deli ke sungai Percut melalui kanal sepanjang 3,8 Kilometer yang melewati daerah Titi Kuning, STM Ujung dan Harjosari II. Tentunya informasi seperti ini tidak pernah diketahui masyarakat secara transparan, khususnya masyarakat disepanjang sungai Deli yang hanya mampu menonton tanahnya menjadi rebutan para pemilik modal.
Rakyat disepanjang sungai Percut sudah lebih dulu mengalami apa yang sedang dan akan dialami masyarakat di sepanjang bantaran sungai Deli. Tidak ada tanggapan yang baik dari pemerintah ketika rakyat menyampaikan keluhan dan ketidak setujuan atas masalah yang terjadi sepanjang proyek berlangsung. Lembaga donor termasuk bagian dari yang mengabaikan prinsip transparansi, keadilan dan prinsip hak asasi manusia serta tidak perduli dengan penggusuran paksa tanpa ganti rugi bagi korban penggusuran disepanjang bantaran sungai.
Penggusuran disepanjang bantaran sungai Deli hanya sebuah kamuflase atas sebuah proyek yang jauh lebih besar yang melibatkan utang luar negeri, kepentingan pemerintah dan kepentingan pemodal tanpa memikirkan kepentingan rakyat korban penggusuran. Tidak heran jika peta perencanaan kota hanya mampu diakses oleh pengusaha sebagai privilage yang diperoleh dari birokrasi pemerintah

Kesimpulan
Ada beberapa level institusi yang memiliki peran penting dalam kasus ini. Pertama level lembaga pemberi utang . Kesan yang didapat adalah lembaga donor seperti JBIC dan ADB tidak perduli dengan apapun yang terjadi terhadap masyarakat, asalkan proyeknya berjalan, mau mampus pun rakyat lokal korban proyek akibat dari dana yang mereka cairkan tidak menjadi bahan pertimbangan yaang penting. Level kedua adalah Pemerintah Lokal. Pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk mensosialisasikan segala informasi yang selayaknya harus diketahui oleh korban langsung dari proyek pembangunan sesuai dengan ketentuan pembangunan. Tidak ada media informasi yang disediakan bagi rakyat, katakanlah papan informasi proyek, pemberitahuan proyek melalui media massa, atau melalui lembaga-lembaga sosial lainnya, akibatnya rakyat korban tidak memiliki akses sama sekali terhadap pembangunan yang akan dilakukan terhadap lingkungannya sendiri.
Level yang paling diuntungkan adalah pihak pengusaha dan pengembang (kontraktor) yang memperoleh akses yang mudah terhadap informasi dan pembangunan. Merekalah yang bisa berekspektasi dan berspekulasi atas akses yang dimilikinya terhadap pembangunan. Sementara rakyat tidak memiliki posisi tawar apapun, sehingga dengan leluasa digusur dengan ganti rugi yang ditentukan pemerintah. Informasi yang seyogyanya diperoleh publik, ternyata hanya diperuntukkan pemerintah kepada pengusaha. Rakyat tidak pernah diberitahu jika tanah yang mereka tempati disepanjang bantaran sungai Deli menjadi daerah yang aman dari banjir, jika proyek kanalisasi di hulu sungai telah rampung dikerjakan.
Tak ubahnya seperti era Orde Baru, rakyat masih belum memiliki posisi tawar apapun dalam pembangunan, rakyat hanya menjadi penonton, dan acapkali menjadi korban dari pembangunan itu sendiri. Para pelaku dan penikmat pembangunan, masih belum berubah hingga kini, yakni birokrasi pemerintah dan pengusaha yang kolusi dan bekerjasama erat serta kekal.
By:Saurlin

No comments: