Sedikitnya 288 orang penduduk desa Bandar Baru kecamatan Sibolangit digusur oleh militer dengan tuduhan terlibat Gestok ( terlibat PKI) pasca peristiwa September 1965. Penduduk yang telah tinggal dan mengelola tanah sejak tahun 1953 itu digusur begitu saja, tanpa ganti rugi, bahkan mendapat cap terlibat organisasi yang dilarang pemerintah orde baru pada masa itu. Penduduk juga dituduh sebagai penggarap tanah milik negara. Lahan bumi perkemahan Sibolangit, seluas kurang lebih 300 HA , saat ini dikelola oleh Pengurus Kwartir Daerah Pramuka Propinsi Sumatera Utara, selain beberapa bagian yang telah dibagikan kepada pejabat dan eks pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Deli Serdang. Sebagian tanah dimaksud telah menjadi milik beberapa pejabat, diantaranya seluas 16.502 M2 diperuntukkan kepada 30 orang pejabat, pengurus PKK, BPN dan pengurus Kwarda ditingkat kabupaten dan kecamatan melalui surat resmi mantan bupati Deli Serdang H Ruslan Mansyur, tahun 1994. Camat Sibolangit, Haris Ginting, ketika dikonfirmasi membenarkan perubahan status tanah itu, namun mengakui kebijakan itu bukan dilakukan oleh dirinya.
Proses penggusuran terjadi sekitar tahun 1970. “Tanaman padi kami yang sudah menguning diratakan oleh militer dengan memakai buldozer, kami tidak bisa melawan karena dicap PKI,”Kata NB, salah seorang korban penggusuran. Sebelumnya, lokasi itu sudah dipakai sebagai Tempat Penahanan Sementara ( TPS) bagi orang yang dianggap terlibat PKI mulai tahun 1965. Lokasi itu sendiri juga dipakai sebagai tempat kerja paksa bagi tahanan selama puluhan tahun, hingga berdiri bumi perkemahan Sibolangit. Salah satu karya besar tapol di Sibolangit adalah patung selamat datang pramuka yang tepat dipinggir jalan memasuki desa Bandar Baru. Pelukis yang sekalian tapol yang banyak terlibat dalam pekerjaan patung besar itu adalah seniman Punanta Sembiring dan Pelawi.
Era penjajahan Belanda, tanah ratusan hektar di Sibolangit itu adalah perkebunan yang dikontrak dari rakyat oleh warga keturunan bernama Hok Ceng Lie. Tahun 1954, seorang pengusaha bernama Paruhum, mengelola tanah itu setelah ditinggalkan oleh Hok Ceng Lie, namun sebentar saja, karena ternyata, tanah itu tidak produktif lagi untuk perkebunan homogen. Mulai tahun 1954 itu pula masyarakat mulai memfungsikan lahan sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam, termasuk lokasi pekuburan.
Pasca tahun 1965, tanah itu diambil alih oleh militer dengan cara yang sangat menyakitkan, yakni dengan menghancurkan seluruh perumahan dan tanaman milik rakyat, khususnya tanaman padi yang sudah menguning, tidak luput dari traktor yang dikerahkan militer. Tahun 1974, tanah itu kemudian dipergunakan oleh Pramuka sebagai tempat perkemahan sesuai dengan surat Bupati Deli Serdang No. 10111/3 tanggal 7 Agustus 1974.
Sebagian rakyat yang kembali tinggal disekitar lokasi bumi perkemahan, harus mengalami dua kali kesusahan. Penggusuran yang dahulu pernah dilakukan, kembali dipraktekkan dengan menggusur rumah dan tanaman milik rakyat setempat sebagai mana dialami oleh El,58 tahun. El kembali mendirikan rumah berdekatan dengan eks rumahnya yang digusur pemerintah beberapa tahun sebelumnya. Hingga 2006, masyarakat desa disekitar Bumi Perkemahan Sibolangit mulai melakukan upaya-upaya penuntutan kembali tanah mereka kepada pemerintah daerah Deli Serdang. Suatu saat, kami akan mengambil kembali hak kami yang dirampas itu,”kata El.
Tuesday, June 13, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment