Bangunan Dasar Orde Baru
Dalam buku hasil penelitian Daniel Dhakidae,PhD. berjudul “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru”, orde baru disamakan dengan rejim fasisme Hitler di Jerman. Pemerintah Orde baru memiliki partai sebagai mesin politik, tentara sebagai hardware kekuasaan yang selalu siap mendukungnya, serta indoktrinasi P4 kedalam seluruh segmentasi masyarakat sebagai software. Harapan akhirnya adalah lahirnya Indonesia-men atau manusia Suharto, yang disamakan Daniel dengan Uberman-nya Hitler. Disisi lain pemerintah orde baru menerapkan sistem ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan. Pembangunan menjadi ‘agama’ yang tidak bisa diganggu gugat atau dikritik kebenarannya. Kritik berarti berlawanan dengan negara dan dicap sedemikan rupa sebagai musuh negara, ekstrimis, atau bahkan komunis yang harus dimusnahkan. Cap itu selalu menjadi alat legitimasi menghabisi lawan politik dan gerakan pro demokrasi di Indonesia. Bangunan dasar politik – ekonomi ini dibangun rejim Suharto sejak tahun 1966 hingga digugat dan dilengserkan tahun 1998.
Manifestasi dari bangunan ini yang telah terbuka jelas di muka publik adalah terjadinya pembunuhan sistematis terhadap kalangan yang mengkritik pemerintah oleh aparat militer, utang raksasa- 136 milyar dollar- yang hampir mustahil untuk dibayar, munculnya jurang kesenjangan yang sangat dalam antara mayoritas miskin dan minoritas kaya, konflik antar kelompok yang berkepanjangan, pendidikan yang terbelakang, pengangguran, harga-harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi dan berbagai bentuk kemiskinan lainnya. Inilah buah dari pembangunan yang selama 32 tahun diusahakan oleh rejim Suharto di Indonesia. Inilah pembangunan yang berbuah keterbelakangan.
Agenda Reformasi
Perjuangan agenda reformasi tahun 1998 harus diakui menghasilkan beberapa perubahan yang reversible terhadap proses demokratisasi. Diantara tuntutan reformasi itu, terdapat beberapa agenda yang terpenuhi seperti turunnya Suharto dari kursi presiden, dicabutnya dwifungsi ABRI, serta adanya proses yang lebih demokratis dalam pemilihan umum. Pada awal pasca reformasi ini, orde baru menjadi semacam ‘musuh bersama’ masyarakat yang harus diganti dengan sistem yang baru, karena dianggap menjadi akar dari segala persoalan, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia dan kemiskinan di Indonesia.
Hanya saja, semangat ini hanya menjadi euforia sesaat saja, agenda menyeluruh reformasi ternyata begitu cepat dilupakan masyarakat. Jatuhnya Suharto tidak dibarengi dengan perubahan sistem yang dibangunnya dengan sabar selama 32 tahun. Pergantian Suharto secara personal tidak diikuti dengan pergantian sistem. Sistem yang tidak tersentuh itu menyebabkan mudahnya ‘rombongan’ orde baru kembali memasuki arena kekuasaan, bahkan kembali mengendalikan pemerintahan. Dalam terminologi sosiologi, bangunan dasar ini biasa disebut sebagai masalah laten (latent problems) yang kasat mata dan sulit disentuh.
Maka sebagai konsekuensi dari kondisi ini, tidak heran jika korupsi, kolusi dan nepotisme masih merajalela, kemiskinan, kelaparan, pengangguran semakin bertambah, sementara utang pemerintah semakin menumpuk. Level manifest problems, atau tumpukan masalah yang terlihat dengan jelas ini tentunya akan terus menerus terjadi tanpa ada perubahan mendasar pada level yang latent .
Bahaya Laten Orde Baru atau Komunis?
Kampanye anti komunis yang dilancarkan Suharto di jaman orde baru ternyata cukup ampuh. Suharto yang acap kali menyebut semua yang tidak setuju dengan kebijakannya sebagai komunis, memperoleh efek ‘mimesis’ bagi aparat negara hingga sekarang. Sekelompok orang tua bangka yang mempertanyakan pelanggaran hak asasi manusia malah dicap komunis.
Di jaman Suharto, petani yang menolak digusur dari tanahnya disebut komunis, jika terjadi kerusuhan sosial akan dihubungkan dengan komunis, mahasiswa yang demonstrasi disebut komunis. Ikonisasi komunis telah menjadi alat yang sangat ampuh memberangus daya kritis rakyat pada masa itu. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik ditingkat internasional yang disebut dengan perang dingin antara blok barat dan blok timur, antara kekuatan liberalisme dan komunisme.
Komunisme sebagai ideologi tentunya adalah sesuatu yang latent, sebagai ideologi politik yang berkembang pada abad 19 hingga abad 20. Namun diawal abad 21 ini, adalah lelucon yang tidak lucu menyebut komunisme sebagai hantu yang menakutkan. Di dunia internasional, isu komunisme dianggap bukan lagi sebagai ‘hantu yang menakutkan, sebagaimana terjadi di eropah pada abad 19, malah diawal abad 21 ini telah tergantikan oleh issu baru dari isu terorisme, hak asasi, kesetaraan, krisis energi , ekologi hingga isu krisis ekologi. Dengan demikian, mengkampanyekan bahaya laten komunisme sebagaimana dimuat media belakangan ini menjadi tidak berdasar.
Justru yang harus direfleksikan kembali oleh semua pihak adalah telah kembalinya orde baru menguasai seluruh ranah politik. Aktor-aktor dan institusi orde baru telah kembali berkuasa yang dimanifestasikan oleh masih langgengnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Semakin tingginya utang luar negeri, pengangguran dan kemiskinan yang semakin bertambah, ketidakberpihakan pemerintah kepada petani, tingginya harga-harga kebutuhan pokok, penggusuran-penggusuran paksa serta kejahatan hak asasi manusia lainnya, sebagai indikasi dari telah berkuasanya aktor dan institusi yang sama pada jaman orde baru berkuasa.
Bahaya laten orde baru ini tentu jauh lebih berbahaya daripada mencari-cari kambing hitam, apalagi dengan mengalihkan isu dan mempersalahkan kuburan “komunisme”. Bangsa ini memerlukan jawaban yang kongkrit dan segera untuk menghentikan pengangguran, kelaparan, dan kemiskinan yang terus menerus semakin meningkat, hingga agenda yang paling mendesak: menghentikan korupsi dengan cara seksama dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.
Saurlin Siagian
Alumni FISIP USU Medan
Bekerja di Perhimpunan BAKUMSU Medan
Monday, June 26, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment