Belum ada kata sepakat masyarakat hingga sekarang tentang apa itu yang porno. Belum ada pula usaha mempertemukan semua pihak untuk
membahas apa itu porno. Yang ada adalah sikap satu kelompok yang memaksakan defenisi mengenai porno, demikian juga dengan kelompok yang lain, mendefenisikan sendiri bagi dirinya apa itu porno. Masalahnya bagaimana mungkin lahir undang undang yang mengatur tentang porno, sementara tidak ada defenisi yang jelas mengenai porno itu sendiri. Ini adalah lelucon yang tidak lucu, karena hukum selalu bicara tentang keadilan bagi semua golongan, bukan mendahulukan defenisi satu kelompok, tetapi mengakomodir defenisi-defenisi dari setiap elemen dalam masyarakat.
Pernah DPR di Senayan mengundang beberapa tokoh yang sering mempersoalkan dan saling menuding siapa yang porno dan siapa pula yang tidak porno. Undangan yang nota benenya masih bagian yang sangat kecil dari proses assesmen pendapat rakyat itu justru berakhir dengan pertengkaran, misalnya antara Rhoma Irama, yang menuding-nuding Inul Daratista—mereka adalah sama-sama artis dangdut, hanya goyangan mereka berbeda—sebagai pengumbar porno. Agak lucu memang peristiwa ini, kita belum pernah dengar di parlemen India ada diskusi seputar goyangan di film India yang porno dan yang tidak porno. Tentunya film-film India yang telah lama mewarnai televisi di negeri kita itu, jauh lebih erotis, pakaian dengan bahan yang sangat sedikit, dibanding artis-artis dangdut Indonesia yang dituding sebagai penyebar ‘agama’ porno di Indonesia.
Kasus terbaru yang terjadi di negeri kita adalah wacana tentang akan beroperasinya majalah Playboy di Indonesia. Seperti jamur di musim hujan, suara-suara berbagai kelompok berdatangan. Ada yang menolak dengan gaung yang lebih besar dibanding kelompok yang memilih menunggu seperti apa wajah playboy Indonesia itu. Majalah dengan lambang kelinci itu merupakan media raksasa yang berkuasa di Amerika dan beberapa negara di dunia, dengan topik yang berkaitan dengan manusia ‘pra sejarah’ (manusia dengan kepolosan, karena belum ada pakaian). Namun manajemen mereka yang ada di Indonesia langsung menyampaikan pernyataan bahwa majalah playboy yang akan terbit di Indonesia itu akan disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia, yakni minimal bangsa yang beradab karena sudah mengenal pakaian.
Namun penjelasan itu justru semakin menyulut aksi-aksi massa yang lebih besar yang terjadi di berbagai kota di Indonesia yang semakin menguatkan wacana penolakan majalah itu. Aksi-aksi itu adalah sesuatu yang wajar ditengah kegalauan dan kerisauan kita tentang masa depan anak-anak negeri ini. Hampir tidak ada yang bisa memotong sekat-sekat budaya global yang menyerang setiap sudut di seluruh permukaan bumi ini. Sesungguhnya, jika mau lebih jujur pada diri sendiri, tidak ada apa-apanya majalah playboy yang beredar di Amerika sekalipun, dibanding, buku-buku porno yang bebas dijual di pasaran. Kita hanya perlu beri kode sedikit, penjual buku di jalanan sudah mengerti apa yang kita butuhkan. Selain itu tabloid-tabloid yang mengumbar syahwat juga dapat kita lihat setiap waktu di setiap sudut jalan di kota-kota, katakanlah kota Medan misalnya. Selain itu, kita berani katakan bahwa hampir tidak ada kota di Indonesia ini yang tidak memiliki lokalisasi atau pelacuran, bahkan di Asia, Indonesia terkenal sebagai salah satu negara dimana prostitusi-nya sangat tinggi, dengan beberapa lokasi prostitusi-nya yang terkenal. Media televisi juga menayangkan adegan-adegan yang mengumbar syahwat setiap malamnya. Dan terbukti, rating peminatnya sangat tinggi. Tidak ada asap kalau tidak ada api, media tidak akan tampilkan itu jika memang tidak ada penontonnya. Pertanyaannya adalah apa yang terjadi dengan diri kita? Kita harus koreksi diri.
Kita sangat prihatin dengan budaya bangsa kita yang semakin hari habis digerogoti budaya barat yang liberal dari segala hal, khususnya pornografi dan pornoaksi. Hal yang terpenting saat ini adalah membuat regulasi yang tegas terhadap pornografi dan pornoaksi. Negara kita adalah negara hukum, oleh karena itu regulasi yang jelas melalui Undang-undang sangat penting untuk segera dirumuskan. Kita mengharapkan RUU anti pornografi mendapat masukan dari seluruh elemen masyarakat, sehingga nantinya tidak menimbulkan polemik yang baru. /saurlin siagian/ februari 2006
Thursday, February 02, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment