Tuesday, September 20, 2005

memahami pilihan korban korban 65

Memahami Pilihan Korban Korban Peristiwa 65

Dengan menelisik karya-karya ilmiah seputar peristiwa Gerakan Tigapuluh September 1965 yang banyak beredar pasca jatuhnya Suharto tahun 1998, makin jernihlah kiranya bagi publik tentang kabut sejarah yang menyelimuti skandal pembantaian sistematik terbesar sepanjang berdirinya republik ini. Hembusan angin segar tengah bertiup menghalau kabut gelap yang seolah telah bosan menutup terlalu lama kebuntuan sejarah. Lebih dari 30 ahli sejarah dari dalam dan luar negari telah menuliskan sejarah yang meletakkan tesis yang setidaknya berbeda dengan buku putih yang diterbitkan oleh pemerintahan Soeharto tahun 1994 terbitan Setneg, tentang pelaku pembunuhan Jendral 1 oktober 1965 dini hari di Jakarta dan peristiwa pembantaian sesudahnya.

Dari berbagai penelitian itu, belum ada angka yang benar-benar pasti tentang jumlah korban pembantaian, penahanan dan penyiksaan yang berlangsung pasca peristiwa G 30 S terhadap orang orang yang dituduhkan terlibat PKI. Robert Cribb (2004) mencoba mengumpulkan buku-buku yang menulis tentang jumlah korban tewas. Dari 40 jenis referensi yang berhasil dikumpulkan, terdapat data bervariasi mulai dari 78.000 orang (Komisi Pencari Fakta, 1965) hingga 2.000.000 orang ( Mellor,1966) tewas dibantai. Selain itu, para sejarawan juga kebanyakan melakukan penelitian di Jawa dan Bali, sementara di daerah-daerah sangat sulit mendapatkan hasil penelitiannya, misalnya hasil data tentang korban 65 di Sumatera Utara.

Korban antara lain terdiri atas orang yang terlibat sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, orang yang terlibat sebagai anggota organisasi massa underbow PKI, orang yang terlibat organisasi massa bukan underbow PKI namun beraliran kiri , anggota TNI yang diduga mendukung Partai Komunis Indonesia, hingga orang –orang yang tidak tergabung dengan organisasi apapun tetapi distigmakan atau dikaitkan dengan PKI. Oleh pemerintah mereka digolongkan ke dalam golongan pelaku langsung G 30S (golongan A), golongan yang terindikasi terlibat secara tidak langsung atau punya hubungan dengan G 30S ( golongan B), golongan yang terindikasi terlibat PKI (golongan C), dan golongan D, E, serta F masing masing terindikasi punya hubungan dengan PKI namun tidak termasuk golongan A, B, dan C. Lebih luas lagi, keluarga keluarga mereka yang disebutkan diatas menjadi jutaan korban tambahan yang mengalami ketidakadilan sosial yang tidak kalah buruknya. Pemerintah “menghukum” mereka dengan memutus akses terhadap berbagai kehidupan publik, seperti tidak bisa bekerja di instansi-instansi pemerintah. Mereka menjadi orang orang yang “tidak bersih lingkungan”, yang dikucilkan secara politik, sosial, budaya dan ekonomi selama puluhan tahun bahkan hingga sekarang dalam masyarakat Indonesia.

Hingga kini, sejarah resmi masih belum berubah walaupun begitu banyak tesis ilmiah yang menarasikan bahwa PKI bukan seperti apa yang dinarasikan rejim orde baru beserta propagandanya tentang peristiwa G 30S. Terdapat lebih dari 20 peraturan yang masih saja mendiskriminasi mantan tahanan politik 65, mulai dari TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang pelarangan ajaran Marxisme Leninisme di Indonesia, hingga Kepmendagri No. 32 tahun 1981 sebagai dasar pencantuman kode khusus pada KTP eks tapol.

Di akhir Era pemerintahan Megawati Soekarno Putri tahun 2004, pemerintah memproduksi UU No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dimaksudkan untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa serta mewujudkan rekonsiliasi ( pasal 3). Dilahirkannya UU ini ditengarai berbagai kalangan sebagai usaha berdamai dengan masa lalu yang sudah mulai disadari mengalami banyak manipulasi. Peristiwa pembantaian dan penahanan massal pasca peristiwa G 30 S PKI adalah salah satu kasus terpenting berskala nasional (bahkan internasional) yang -juga dianggap- menjadi semangat lahirnya UU KKR itu, disamping menerima pengaduan serta menyelidiki peristiwa- perisitwa kejahatan HAM berskala lokal selama Orde baru berkuasa, dan menyampaikan rekomendasi atas pemberian amnesti, kompensasi serta rehabilitasi ( pasal 6)

Dilahirkannya UU ini diharapkan memberikan ruang legal bagi korban untuk bersuara, dimana selama ini suaranya telah terdengar diluar arena resmi. Hal ini juga berarti, dalam persfektif pemerintah, ada pengakuan atas adanya korban-korban kejahatan HAM luar biasa pada masa lalu yang perlu didengarkan dan diakomodasi kebenarannya. Atas dorongan berbagai kelompok masyarakat sipil, pemerintah disadarkan akan adanya perlakuan tidak adil di masa lalu terhadap sekelompok anak bangsa yang ikut berjasa dalam usaha mendirikan dan memperjuangkan berdirinya Republik ini.

Namun bagi korban korban 65 beserta keluarganya yang telah menderita dan mengalami ketidakadilan selama puluhan tahun, memiliki sikap yang bervariasi dalam memandang kehadiran UU KKR. Secara umum sikap korban-korban yang masih hidup dapat dikategorikan pada dua lingkaran sikap. Lingkaran pertama adalah korban yang menyikapi kehadiran UU KKR secara politik yang bersikap menolak secara tegas kehadiran UU KKR karena UU ini tidak akan menyelesaikan persoalan dengan tuntas. Korban di sikap ini memandang bahwa peristiwa 65 adalah persoalan politik yang harus diselesaikan pertama-tama dari akarnya, yakni mencabut kebijakan yang mendiskriminasi eks tapol/napol, antara lain TAP MPRS No. XXV tahun 1966 dan puluhan peraturan turunannya dan mengadili pelaku-pelaku utama pembunuhan. Budiawan(2004;249) menyebutkan korban yang memiliki sikap seperti ini lebih pada tuntutan dari orang orang terkemuka seperti Pramudya Ananta Toer . Sikap ini lebih mendekati apa yang disebutkan Hersri Setiawan (dalam Budiawan,2004) sebagai kelompok yang ‘tidak memaafkan dan tidak melupakan’, atau ‘memaafkan namun tidak melupakan’.

Jenis kedua adalah lingkaran sikap yang normatif – ekonomis. Korban korban dilingkaran ini akomodatif terhadap UU KKR karena memungkinkan diberikannya kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu. Kalangan ini tidak mempersoalkan lagi tentang ‘cacat’ UU KKR yang tidak tegas mengenai hukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM, bahkan melihat bahwa dengan kehadiran UU ini saja merupakan sesuatu yang positif bagi penghargaan terhadap korban. Diberikannya kompensasi dan dikembalikannya harta korban yang dirampas sudah cukup maksimal tanpa mempersoalkan stigma dalam masyarakat dan kebijakan pemerintah yang masih diskriminatif. Hersri Setiawan menyebut kecenderungan sikap ini sebagai sikap ‘memaafkan dan melupakan’ .
Walaupun ditengah pesimisme yang meluas, saat ini publik sedang menunggu keputusan akhir anggota terpilih Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan bekerja selama 5 tahun untuk melakukan pencarian fakta pelanggarn HAM berat, menerima pengaduan dan merekomendasikan kompensasi,rehabilitasi dan amnesti terhadap korban. Bagaimanapun, pilihan korban adalah yang terpenting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan kelompok kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap nasib korban korban 65. Mereka menjadi subjek yang paling berkepentingan dengan harapan-harapannya dibanding kelompok masyarakat yang bukan korban yang walaupun berada diposisi mendukung dan bersimpati sekalipun padanya, termasuk menentukan sikap terhadap kehadiran UU KKR.

Penulis:
Saurlin Siagian/
Divisi studi Bakumsu Medan
perigibening@yahoo.com

No comments: