Sunday, November 18, 2007

Antara Paradigma baru TPL dan Pos Polisi di Siraituruk

Oleh: Saurlin Siagian

Apa yang berubah setelah implementasi paradigma baru PT. Inti Indorayon Utama adalah pertanyaan penting karena korban dan perlawanan yang begitu sengit telah terjadi bertahun-tahun untuk mendorongkan perubahan itu. Diantaranya, dua orang petani, Panuju Manurung dan Hermanto Sitorus, adalah nyawa yang harus melayang diujung timah panas, ketika menyampaikan aspirasinya terhadap keberadaan Indorayon sekitar 7 tahun silam. Satu hal yang pasti, PT. Inti Indorayon berubah namanya menjadi lebih terasa lokal, PT. Toba Pulp Lestari disingkat PT. TPL.
Laporan jurnalistik, penjelasan ilmiah, hingga thesis dan disertasi telah ramai dituliskan, untuk melihat sebuah persoalan yang telah menyita perhatian nasional dan dunia ini. Namun ada satu hal kecil yang menarik yang luput dari perhatian publik, akan tetapi sangat mungkin menjelaskan apa arti paradigma baru Indorayon, serta menjelaskan pilihan kebijakan nasional, hingga penetrasi kekuatan kapital global ditingkat dusun. Simpang Siraituruk, menjadi ikon yang akrab ditelinga publik, sebuah lokasi yang menjadi begitu tersohor, yang terletak sekitar 1 kilometer diluar kota Porsea, Toba Samosir.
Siraituruk, dalam berbagai laporan, seringkali disebutkan secara keliru sebagai desa Siraituruk. Padahal, Simpang Siraituruk hanyalah sebuah ‘sosor’, semacam sub desa atau sub ‘huta’ yang terbentuk sebagai perluasan desa dalam tradisi Batak. Secara administratif, Siraituruk adalah salah satu ‘sosor’ dari desa Patane sada, kecamatan Porsea. Lanskapnya berbentuk memanjang mengikuti lekuk jalan raya lintas Sumatera, dan memiliki pertigaan atau persimpangan, jalan menuju pabrik PT. TPL di desa Sosor Ladang, sehingga namanya menjadi Simpang Siraituruk.
Sosor yang dihuni sekitar 25 kk ini menjadi menarik, utamanya bukan karena rumah salah seorang petani penentang keras Indorayon yang terkenal itu, Musa Gurning, berada tepat ditepi persimpangan jalan ini, tetapi lebih karena persimpangan ini menjadi saksi sejarah rapat akbar, demonstrasi, dan upacara ‘resmi’ ribuan petani laki-laki dan perempuan bersama tokoh-tokoh agama yang menentang Indorayon dilakukan bertahun-tahun. Tercatat, dipersimpangan kecil ini dirayakan hari bumi sedunia pada bulan april 2003 oleh 3000 orang petani dan utusan organisasi masyarakat sipil dari seluruh Indonesia (Kompas,23 april 2003). Acara tersebut sekaligus menyampaikan penghargaan “pahlawan bumi” kepada 16 orang petani dan pendeta yang pada saat itu masih dipenjarakan, serta kepada dua orang yang telah meninggal karena menentang Indorayon.
Bentuk perlawanan yang dicerminkan oleh ‘sosor’ ini juga dapat dilihat dari tulisan-tulisan didinding setiap rumah mereka di sepanjang jalan lintas Sumatera itu. Pasca reoperasi Indorayon atau TPL, represi yang meningkat, seperti penangkapan hingga pelarangan demonstrasi membuat mereka dengan rela “mengotori” setiap dinding rumah mereka dengan tulisan tulisan besar berisi ungkapan penolakan terhadap TPL, dan penolakan terhadap represi aparat Brimob yang terus meningkat setelah era paradigma baru yang dicanangkan pihak Indorayon. Antropolog, Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak, menyebut fenomena perlawanan ini sebagai tahap titik didih “magigi” (jijik), yang bermuara pada “muruk” (kemarahan) atas penghianatan dan kebohongan yang dilakukan Indorayon terhadap rakyat (Kompas, 9 April 2001).
Peningkatan eskalasi kekerasan sejak paradigma baru Indorayon Nopember 2000 sungguh ironis dengan mandat pertemuan para “pakar” September 2000 di Parapat yang menyampaikan lima prasyarat yang harus dilakukan oleh Indorayon jika ingin dibuka kembali: relokasi karena berada di lembah dan lokasi pemukiman penduduk, kesalahan teknologi membuat limbah tidak terkontrol, kesalahan pendekatan kepemimpinan yang arogan terhadap rakyat, kesalahan managemen dan merusak budaya lokal (Kompas, idem). Apa yang dilakukan oleh paradigma baru TPL, selain mengganti nama, adalah memberikan keuntungan perusahaan sebanyak 1 persen pertahun kepada pemerintah kabupaten Tobasa, yang diperkirakan sebesar 6,6 milyar (Kompas,idem). Jauh panggang dari api, paradigma baru hanya janji kosong yang menambah kemiskinan, eskalasi kekerasan, dan kemelaratan rakyat di Tapanuli.
Sebuah sosor, Simpang Siraituruk, lebih tragis lagi. Tepat di depan rumah-rumah mereka telah didirikan sejak awal 2003 sebuah pos polisi yang setiap siang dan malam hari dijaga oleh dua hingga tiga orang aparat kepolisian sektor Porsea. Polisi yang selalu berjaga-jaga siang dan malam tentu membuat mereka tidak tenang bekerja karena merasa selalu diawasi siang dan malam. Lain ceritanya bagi polisi-polisi yang berjaga-jaga itu. Setiap Logging truk milik TPL yang jumlahnya puluhan setiap hari, biasanya berhenti sebentar di depan pos polisi yang berjaga-jaga itu, dan mereka bersalaman. Perlu penelitian atau mungkin tesis lebih lanjut untuk mengetahui mengapa mereka senang bersalaman, apakah karena rindu atau mungkin ada sesuatu dibalik salam-menyalam itu.
Pos polisi di Simpang Siraituruk ini bisa menceritakan beberapa hal. Pertama, gagalnya paradigma baru. Kecuali penutupan pabrik rayon, paradigma baru ternyata tidak punya aspek substansi yang benar-benar baru, karena lima komitmen prasyarat pembukaan kembali Indorayon tidak diimplementasikan, antara lain TPL tetap di Sosor Ladang, dan pendekatan yang masih mengedepankan aparat keamanan terhadap rakyat yang berbeda pendapat, meningkatnya eskalasi kekerasan dan pemenjaraan terhadap tokoh tokoh petani. Selain itu, media massa juga diramaikan oleh berita menyedihkan tentang lembaga swadaya masyarakat “ciptaan” pemerintah yang menyelewengkan dana 6,6 milyar setiap tahun yang diberikan oleh PT. TPL sebagai biaya CSR ( tanggung jawab sosial perusahaan) sejak tahun 2003 itu.
Kedua, stakeholder utama atau pihak yang paling berkepentingan dengan keberadaan TPL, yakni rakyat sekitarnya khususnya Simpang Siraituruk, justru mendapat kerugian yang semakin besar. Bekerja dibawah bayang-bayang penjagaan aparat keamanan tentu sangat tidak kondusif. Sementara para pihak yang justru bukan utama dan tidak punya dampak apa-apa dengan kehadiran TPL, seperti aparat kepolisian setempat, dan lembaga swadaya masyarakat ciptaan pemerintah, justru pihak yang mendapat keuntungan.
Ketiga, pos polisi di Simpang Siraituruk ini menceritakan hubungan antara modal, negara, dan rakyat, dimana negara masih berpihak, melindungi dan tidak berdaya terhadap kepentingan modal. Sementara itu, rakyat masih dalam posisi terpinggirkan, dan tetap masih menjadi korban perselingkuhan antara negara dengan modal, sebagaimana era orde baru.

Penulis,
Saurlin Siagian
Mahasiswa pasca sarjana ISS The Hague, Netherlands.
Spesialisasi Human rights, Development, dan studi Internasional.

No comments: