Wednesday, May 16, 2007

Gereja vs negara di tanah karo

Lulus Ujian Menginjak Dewasa;Negara vs (Parpem) GBKP----by king---

Dipenghujung tahun 80-an, ujian berat menimpa GBKP. Campur tangan dari luar gereja, telah berhasil mempengaruhi sekelompok orang[i] dalam tubuh GBKP yang berakibat terjadinya goncangan kepemimpinan selama dua tahun, sebelum akhirnya campur tangan ‘negara’ terhadap gereja itu bisa dihentikan dengan elegan dalam sebuah sidang sinode istimewa gereja tahun 1991. Pimpinan gereja yang direstui ‘negara’ itu akhirnya diturunkan ditengah jalan sebelum periode-nya berakhir. Campur tangan pemerintah terhadap semua institusi masyarakat adalah hal yang lumrah terjadi di era presiden Suharto itu, seperti halnya intervensi pemerintah terhadap HKBP diwaktu yang bersamaan, yang merontokkan gereja terbesar di Asia Tenggara itu. Masalahnya tidak jauh berbeda, organisasi masyarakat yang dianggap tidak sejalan dengan penguasa, akan dijinakkan dengan cara yang ‘halus’ atau dengan cara yang ‘kasar’.

Ditingkat nasional, PGI (yang sudah berubah dari DGI) juga sedang tidak akur dengan pemerintah. Anggapen Ginting Suka, ketua moderamen GBKP masa itu, mengatakan bahwa ketidak-akuran itu berakar dari perbedaan memandang pembangunan. PGI memandang pembangunan sebagai proses membangun manusia secara utuh, dan melakukan kritik yang tajam terhadap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pembangunan yang salah kaprah. Dalam sidang raya PGI tahun 1989 yang diselenggarakan di Surabaya dengan sub thema “Bersama-sama menanggulangi kemiskinan dalamg rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila” ditegaskan bahwa semakin jelas, kondisi bangsa semakin terpuruk dan miskin dalam hiruk pikuk pembangunan[ii]. Jelaslah sudah dimana letak ketidak-akuran penguasa terhadap gereja-gereja pada masa itu. “Jika ditingkat nasional, Suharto tidak suka dengan PGI, maka di sini, bupati tidak suka dengan GBKP, “Kata Anggapen Ginting Suka[iii]

Langkah awal ‘kelompok pemerintah’ itu adalah mengadukan Anggapen Ginting Suka ke pengadilan dengan tuduhan pembiaran korupsi. Hanya saja, persidangan dihentikan, karena hakim menilai persidangan tidak layak dilanjutkan, karena tidak ada bukti apapun yang mendukung dugaan tersebut dilakukan oleh pimpinan tertinggi umat Kristen di Karo itu. Pembiaran yang dimaksudkan adalah korupsi ditubuh parpem, yang anehnya, sebagai sumber persoalan hukum, tidak ditemukan pula bukti-bukti korupsi ditubuh lembaga tersebut, sehingga sidang dagelan itu dianggap tidak layak diteruskan. Ironisnya, tidak penting terbukti atau tidak-tidak ada yang mustahil di era orde baru- dengan pengawalan ketat ratusan aparat kepolisian dan tentara, sidang sinode ke 30 GBKP tahun 1989, berhasil memilih kepengurusan baru jajaran pimpinan di GBKP yang banyak ditentang oleh arus bawah itu.

Dengan atribut sebagai implementor model pembangunan yang berbeda dengan pemerintah, Parpem dijadikan ‘sasaran tembak’ berikutnya setelah berhasil menguasai jabatan tertinggi di GBKP. “Gantian dulu dipancoran itu” begitu ungkapan yang terkenal dari ‘orang-orang’ pilihan pemerintah itu terhadap para pekerja di Parpem. Untuk menggantikan orang-orang Parpem, lagi-lagi isu korupsi menjadi senjata empuk. Para auditor diturunkan, memasuki kantor, dan meminta semua bukti-bukti laporan keuangan. Luar biasa, audit dilakukan selama 6 bulan terus menerus, namun tidak menghasilkan apa yang diharapkan, yakni menemukan korupsi ditubuh lembaga yang dana-nya diyakini bisa melampaui dana yang ada di kantor pusat Moderamen GBKP.

Ungkapan “gantian dulu di pancoran” -yang tentunya tidak berkaitan dengan pacoran air untuk turbin listrik pembangkit listrik tenaga lau itu- dirasakan orang-orang parpem sebagai penghinaan yang dalam, karena tendensinya yang negatif sebagai lahan ‘basah’ tempat rupiah bertabur. Pemerintah telah menyamakan Parpem dengan proyek pemerintah yang memang tidak proyek namanya jika tidak korupsi- setidaknya pada masa orde baru itu. Kampanye ketingkat desa mulai dilakukan oleh ‘orang-orang pemerintah’ walapun mereka tidak diterima dengan baik;
“Kampanye mereka justru kontra produktif, karena mereka tidak tahu bahwa orang-orang desa yang tidak terlalu kenal dengan ‘orang pemerintah’ itu, kenal benar dengan Borong dan Selamat. Mereka sudah banyak membantu desa-desa di Karo masa itu. Walaupun cara kerja Borong tidak semua bisa saya pahami[iv], tapi sudah menjadi kenyataan desa-desa menerima dia dengan baik. Ada satu kasus, si’X’ pernah berhadapan langsung dengan desa binaannya parpem. Pendeta itu kerjaannya kotbah di gereja, bukan mengurusi pembanguan, katanya. Setelah mengucapkan itu, semua orang mengamuk ke dia, karena memburuk-burukkan Borong. Padahal jabatannya sebagai pimpinan tertinggi gereja kala itu”[v]

Keputusan yang paling krusial berikutnya adalah pemecatan secara sepihak Borong Tarigan,cs dari Parpem, dan mengangkat orang-orang baru yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan Parpem, termasuk akademisi dari salah satu universitas negeri di Sumatera Utara. Tidak hanya Borong cs, yang tidak mengerti, donor juga menyampaikan ketidak-mengertian dengan kebijakan tersebut[vi]. Sistem ditubuh GBKP yang selama ini memutuskan sesuatu dengan cara musyawarah, tiba-tiba segalanya diputuskan secara dengan cara-cara yang tidak dikenal, yang disebut sebagai cara-cara golkar:
“Si ‘X’ itu orang golkar sampai dia menjadi ketua moderamen dia pakai sistem golkar, digolkar kan tidak ada ditanya bawahan untuk membuat keputusan, semua dari atas, jadi oleh karena itulah dia yang berkuasa, di Jakarta lebih berkuasa penasihat daripada ketua lagi. Itulah yang dipakainya, dia tidak tahu walaupun orang memilih golkar, sama saya sistem golkar itu tidak disukai oleh jemaat”[vii]

Sindiran ‘pancoran’ itu telah menyulut genderang perang, karena dengan demikian parpem ke depan akan dipakai sebagai sapi perah tempat korupsi. Sampai disini, kerja-kerja Parpem dalam melakukan pemberdayaan rakyat sedang diuji. Pekerjaan yang sudah berlangsung 15 tahun itu tentu akan menunjukkan dirinya sendiri dalam menghadapi sebuah tantangan, bertahan hidup, atau akan diselewengkan. Akhirnya, dengan tegas,” Kita sepakati menolak keputusan pemberhentian moderamen”[viii]. Masyarakat mulai demo ke kantor pusat GBKP di Kabanjahe.
“Pokoknya perjuangan ini macam-macamlah. Kalau mereka(rakyat) lihat nyata dan benar yang kami perjuangkan, kan mereka( rakyat) marah jika ada yang mengganggu kita. Saya hanya katakan kepada mereka (dampingan), saya akan keluar dari parpem. Dan mereka terkejut, menanyakan, kenapa dan jadi bagaimana kelanjutan dari program parpem? Saya bilang itu bukan soal saya lagi. Kalau mau ini masih harus dikerjakan, silahkan sampaikan kepada moderamen, pergi saja kesana(mempertanyakan). Jadi mereka datangi moderamen tiap hari, terkadang 10 orang, 20 orang, terus menerus, dari puluhan kelompok yang sudah terbentuk di basis desa. Pertanyaannya sama saja, tentang penghentian kami. Jadi persoalannya bukan kami yang mau berkuasa di moderamen, tetapi silahkan dipilih, dan jika kami dipilih itu soal lain”[ix].

Resistensi dari basis desa ini tentu tidak dibayangkan sebelumnya, hingga berlangsung selama berbulan-bulan. Tuntutan jelas dan keras, “Sinode Luar Biasa” untuk memilih moderamen baru. Tuntutan ini akhirnya dikabulkan dengan mengadakan sinode luar biasa GBKP, tanggal 23- 26 Juli 1991 bertempat di Pusat PWG GBKP Kabanjahe. Hanya saja, agendanya agak meluas, dengan membahas isu korupsi di parpem. Walaupun begitu agenda utama tidak terbendung, yakni pergantian kepengurusan Moderamen karena tuntutan dari jemaat yang meluas. Sidang ini berjalan dengan kawalan ketat ratusan aparat keamanan dari tentara dan kepolisian. Sekitar seratusan massa yang pendukung sikap pemerintah, berada diluar sidang, sementara massa yang sebelumnya menuntut sidang istimewa, tidak datang[x].

Agenda pertama membahas dugaan korupsi ditubuh Parpem. Dalam sesi ini, dihadirkan auditor yang telah bekerja selama 6 bulan untuk membuktikan benar tidaknya ada korupsi di parpem. Tidak seperti biasanya, terdapat banyak peserta sidang yang tidak dikenal, dengan memakai badge nama sebagai “auditor” dan “konsultan”. Setelah lebih sepuluh tahun, seorang peserta tak dikenal itu mengaku sebagai intel yang disusupkan untuk mempertahankan kepemimpinan moderamen yang didukung oleh pemerintah[xi].

Uniknya, terdapat kesimpulan yang ‘abu-abu’ dari auditor tentang dugaan korupsi tersebut. Akuntan publik yang mempresentasikan hasil auditnya mengatakan bahwa dia tidak menemukan penyelewengan dan korupsi di Parpem, tetapi juga mengatakan bahwa dia tidak berani mengatakan hasil auditnya benar atau salah. Peserta sidang yang sudah terbentuk dua kubu itu menjadi marah. ”Ini sebenarnya sudah tidak fair. Berangkat dari negatif thinking, memaksakan bahwa terjadi korupsi di tubuh parpem, meskipun mereka tidak ada yang mampu membuktikannya, termasuk auditor itu”[xii]. Akhirnya, diputuskan bahwa tidak ada ditemukan korupsi ditubuh Parpem. Dengan demikian, simpati dan dukungan semakin besar kepada pengurus-pengurus Parpem. Artinya, surat pemberhentian mereka dari Parpem harus segera dicabut karena tidak berdasar. Kemudian, mereka bergerak cepat untuk sesi selanjutanya, yakni menyampaikan ketidak-percayaan lagi terhadap moderamen, dan menuntut segera dilakukan pergantian kepengurusan moderamen.

Sidang mengakomodir beberapa pendapat yang disimpulkan dengan apa yang disebut dengan ”opsi-opsi”. Opsi pertama adalah berdamai (kepengurusan yang berjalan tidak diganggu, dan SK tentang pemecatan pengurus parpem dicabut, opsi ini berasal dari pemerintah), opsi kedua adalah adalah menyalahkan semua (opsi yang dianggap netral, yakni kedua belah pihak bersalah, sehingga dibutuhkan rekonsiliasi, opsi ini berasal dari orang-orang yang merasa tidak terlibat dalam salah satu kubu), opsi ketiga adalah menolak campur tangan pemerintah dan melakukan pemilihan pengurus moderamen baru (opsi ini datang dari para pengurus Parpem dan para simpatisannya, menganggap konflik ini terjadi bukan karena keinginan gereja, tetapi karena campur tangan pemerintah untuk menentukan pimpinan gereja).

Pengambilan keputusan dilakukan dengan voting secara tertutup, yang mana akhirnya dimenangkan oleh opsi ketiga. Konsekuensinya adalah keputusan mengenai pemecatan terhadap para pengurus dan staff parpem dibatalkan, dan kemudian dilakukan pemilihan terhadap pengurus moderamen baru, setelah dikukuhkannya pemberhentian moderamen hasil intervensi pemerintah itu. Terpilihlah E.P. Ginting sebagai ketua Moderamen, dan Selamat Barus sebagai wakil ketua Moderamen yang baru.

Keputusan sinode luar biasa ini tentunya belum mengakhiri persoalan. Kubu yang merasa tidak puas, membentuk kepengurusan sendiri dibeberapa klasis yang bisa di pengaruhinya di kota Medan, sehingga terjadilah klasis didalam klasis.

Menanggapi hal ini, terdapat dua pemikiran yang berbeda dari moderamen baru. Pertama, menolak klasis baru karena bertentangan dengan aturan dan peraturan GBKP. Kedua, membuat ini semacam perkecualian dalam peraturan ditubuh GBKP, untuk menghindari konflik yang menajam. Opsi kedua ini dianggap lebih realistis, walaupun melanggar aturan GBKP. Dialog pun dibuka terhadap kelompok yang membangun klasis baru itu.
“Waktu itu saya mengatakan harus dibangun dialog. Artinya sampai dimana ada titik temu, disitu kita bicara, dan sampai dimana kita belum bisa bertemu, jangan kita langgar, begitu. Dengan semangat jangan sampai GBKP terpecah, ini titik temu yang saya maksud. Dalam rapat, kita sebutkan kenapa tidak bisa, demi untuk menyelesaikan konflik. Karena peraturan tata gereja itu tidak turun dari sorga kan? Itu manajemen yang kita ciptakan untuk mengatur diri kita. Jadi oke, diterima, walaupun bertentangan dengan tata gereja, Jadi kita melangkah dari titik dimana kita bisa bertemu, bukan berangkat dari titik mana kita berkonflik”[xiii]

Manajemen konflik ini ternyata sukses. Sejak reformasi bergulir, kelompok yang sempat terbentuk itu akhirnya menyatu kembali dengan klasis semula. Persoalan telah diselesaikan melalui ujian waktu yang membuktikan kebenaran atau kesalahan atas apa yang diperjuangkan oleh masing masing pihak.

[i] Untuk kepentingan ‘internal gereja’, tidak disebutkan secara eksplisit aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa ini.
[ii] Dalam buku ‘50 Tahun PGI’, pada bagian tulisan A.A. Yewangoe, “Dari Dewan ke Persekutuan, Menuju G.K.Y.E, Jakarta, 2000, halaman 293.
[iii] Wawancara Anggapen Ginting Suka, op.cit. Anggapen menambahkan, bahwa perselisihan itu sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Beberapa hal disebabkan antara lain oleh Anggapen Ginting Suka menolak untuk masuk menjadi penasihat Golkar, kedua, Anggapen tidak suka dengan cara-cara orang golkar yang masuk ke gereja untuk mengambil perhatian dengan cara memberikan sumbangan lelang.
[iv] Anggapen Ginting Suka mengaku kurang memahami cara kerja Borong, tetapi yakin bahwa Borong tidak korupsi. “Sebenarnya “korupsi itu tidak ada”. Saya kenal baik pekerjaan mereka. Yang ada adalah pemakaian dana yang disatu sub program lebih sedikit dari dana yang dianggarkan, dan di sub program lain lebih besar dari yang dianggarkan. Jadi tetap tidak ada korupsi disitu,”Katanya.
[v] Kutipan langsung wawancara Anggapen Ginting Suka, idem.
[vi] Wawancara Anggapen Ginting Suka,idem.
[vii] Kutipan langsung wawancara Anggapen Ginting Suka, idem.
[viii] Kutipan Wawancara Selamat Barus, 2006
[ix] Kutipan Langsung wawancara Selamat Barus, idem.
[x] Wawancara Ebenezer Ginting, Januari 2007.
[xi] Diskusi FGD dengan para pendiri Parpem, Januari 2007.
[xii] Kutipan wawancara Borong Tarigan, op.cit.
[xiii] Kutipan wawancara Selamat Barus, op.cit.

2 comments:

sri diana ginting suka said...

Mengutip langsung pembicaraan Bapak Anggapen Ginting Suka, bahwa GBKP menerima segala warna, baik kuning,merah maupun hijau.

alexgints said...

situasi saat itu adalah terlalu kuatnya pemerintah orde baru mengatur manyarakat. sebagian jemaat adalah aktivist Golkar dan sebagian penetua gereja terdiri dari aparat birokrasi KOPRI dan anggota PEPABRI yang semuanya menginduk ke GOLKAR . Belum lagi anggota gereja yang juga menginduk ke KINO KINO GOLKAR. Pertarungan di SINODE adalah mereka yang mendukung GOLKAR dan mereka yang tidak setuju Pemerintahan ORDE BARU mewarnai Keputusan Synode. Keadaan ini diatur secara baik oleh kelompok ORDE BARU di GBKP Jakarta dan mereka yang ada di DPD GOLKAR SUMUT. Beberapa pendeta muda, penetua di iming iming janji janji agar terjadi perubahan pimpinan synode .Padahal sebenarnya yang terjadi GOLKAR nisasi GBKP. Synode pun akhirnya dimenangkan oleh pendukung ORDE BARU. Tetapi tidak lama bertahan.Berkat campur tangan Tuhan akhirnya kelompok ORDE BARU di gusur dari pimpinan Synode dan mengusung Pdt Dr E P Ginting ,Sth untuk melanjutkan kepimpinan Pdt Dr Anggapen Ginting Suka,Sth yang berorientasi Community Development dan Community Organizer dan setia menjalankan untuk hidup dalam Kebenaran sebagaimana Teologia Calvin mengajarkannya.