Wednesday, May 16, 2007

“BELAJAR PERADABAN DARI SIKEBEN”

by Saurlin----07

Jika ingin dengan segera mengetahui tingkat peradaban sebuah komunitas, lihatlah seperti apa mereka memperlakukan kepentingan umum, dan jika ingin tahu akhlak setiap orang, lihatlah seperti apa mereka memperlakukan toilet, disitulah topengnya akan tersingkap.

Jika sekedar ingin berkunjung ke desa Sikeben, ungkapan diatas layak dipakai untuk meneropong secara singkat kehidupan sebuah desa seluas 500 ha dengan penduduk 370 jiwa yang dianggap ideal ini[i]. Lihat saja fasilitas umumnya, dan lihat secara khusus bagaimana bersihnya toilet mereka. Desa ini, pertama diawali dengan pemandangan atas jalan masuk desa dengan ubinan semen-paving block- yang tertata dengan rapi dan bersih sekitar dua kilometer lebih. Sekitar setengah kilo meter lagi menuju desa, ubinan itu disambung oleh aspal yang masuk hingga pelosok dusun. Diperjalanan menuju desa serasa memasuki perumahan elit diperkotaan yang walaupun berlembah dan berbukit, jalanan mulus dan bersih, seolah ada dinas kebersihan yang setiap hari menyapu jalanan sehingga bersih dan tanpa semak belukar kiri dan kanannya. Kamar mandi atau toilet mereka bisa dikatakan sama bersihnya dengan beranda depan. Keran air tidak perlu ditutup sampai air meluber, karena air dari pipa yang masuk ke setiap rumah itu memang berlebih untuk kepentingan semua warga desa, sehingga tidak perlu ditutup krannya.Air kran itu ditarik empat kilometer dari hulu sungai desa ke pemukiman dengan sistem gravitasi[ii]. Sungai Petani, yang telah diolah menjadi sumber air minum milik desa, berada disatu sisi, dan sungai Pepei, yang dipakai untuk memutar turbin listrik, sehingga membuat desa ini tidak ikut merasakan padamnya listrik milik PLN saban hari di Sumatera Utara.

Lanskap desa ini berada diatas perbukitan dengan dua sungai utama yang melewatinya. Di puncak perbukitan, ada fasilitas umum desa seperti sekolah dan gereja. Disalah satu puncak terdapat rumah pesanggerahan yang cukup luas milik Biara Santa Klara Khatolik yang asri oleh rimbunan pohon-pohon besar. Biara yang hadir tahun 1992 ini menginspirasikan banyak hal tentang Sikeben. Biara ini adalah miniatur desa yang terlihat tenang, dan asri dipuncak bukit. Biara ini menancapkan pengaruh di desa dengan keheningannya. Para biarawati yang mengkhususkan diri dalam doa ini, tidak jarang terlihat gotong royong membersihkan jalan, mereka terkadang mengumpulkan dana dari pengunjung pesanggerahan untuk memperbaiki jalan jika ada yang berlubang[iii].

Kepentingan kepentingan umum di desa ini dikelola utamanya oleh kepala desa, tokoh desa, pengurus SAM ( Sarana Air Minum), semacam PAM Desa, pengurus PLTL( Pembangkit Listrik Tenaga Lau), Pembangkit Listrik Otonom milik desa, dan pengurus CU ( Credit Union), semacam ssstem perekonomian koperasi yang mengandalkan kekuatan kolektivitas. Kepala desa termasuk dalam anggota CU, SAM dan PLTL itu sendiri. Masing masing memiliki kompetensi dibidangnya. Pengurus PLTL mampu mengatasi masalah dibidang kelistrikan desa, katakanlah jika terjadi gangguan listrik, kerusakan teknis turbin, pembagian air ke turbin dan untuk persawahan warga, serta pembiayaan dan pengumpulan dana untuk kepentingan jalannya PLTL. Pengurus SAM memiliki kompetensi dalam mengatur soal kebutuhan air minum dan memelihara saluran pipa-pipa air yang panjangya berkilo-kilo meter itu. Sementara pengurus CU berkepentingan terhadap lepasnya anggota dari kapitalis kaum pengerat desa, seperti pengijon dan rentenir. Belakangan, anggota anggota kelompok CU ini sedang memikirkan untuk terlibat dalam organisasi petani, yang memungkinkan mereka mengakses dan mengontrol keputusan yang lebih tinggi dari sekedar persoalan desa mereka. Bentuk organisasi yang belum kongkrit itu diharapkan sebagai perwakilan suara mereka di bidang politik[iv]

Saat ini, warga desa sedang disibukkan dengan pembangunan sebuah jambur desa yang berukuran besar. Luas bangunan sekitar limapuluh meter kali empat puluh meter, dan tinggi bangunan delapan sampai sepuluh meter, dibangun dengan gotong royong, dan hanya dana untuk membeli sebagian material terkumpul dana sekitar 50 juta rupiah[v]. Itu tentunya luar biasa, bangunan yang ditaksir bisa seharga 350 juta lebih itu, bisa dibangun dengan harga hanya 50 juta rupiah. Ini adalah ironi ditengah negara yang korupsi adalah salah satu mata pencaharian terbesar pegawai negerinya ini[vi]. Ya, iyalah, disamping sumbangan uang, semua warga desa berlomba untuk memberikan sumbangan, seperti papan, broti, batu, semen, hingga tenaga.

Mereka telah menghabiskan waktu bergotong-royong lebih banyak daripada kerja sendiri sendiri. Dari turbin listrik, Bendungan dan pipa air SAM, hutan desa yang terjaga, “bank” bersama warga desa bernama CU, hingga berita tak pernah kehilangan cangkul di ladang menjadi bukti sekilas mata atas tradisi kerjasama yang telah berlangsung di desa ini turun temurun. Tentu, tradisi kerjasama dibanding kerja sendiri sendiri ini dalam melakukan banyak hal, menjadi pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab, dari pada sekedar mengapa PLTL, SAM, atau CU ada di desa ini. “Roh” apa yang membuat desa ini menjadi gandrung dengan gotong royong menjadi pertanyaan yang menantang.

Dari Lumbung hingga Kelaparan

Tidak begitu jelas hal ihwal hengkangnya pemilik perkebunan karet yang disebut warga dengan Tuan “Planger” dari desa ini tahun 50-an. Tuan Planger, yang belakangan mendatangi desa ini kembali melalui kedatangan orang yang mengaku keturunannya, sangat masuk akal didera kebangkrutan karena situasi sosial pasca kemerdekaan di era presiden Sukarno. Sukarno dikenal tidak bersahabat dengan investasi asing pada masa itu. Hal yang sama juga terjadi di wilayah desa-desa lain seperti Sibolangit yang saat ini menjadi bumi perkemahan milik Propinsi Sumatera Utara. Perkebunan teh di Sibolangit ditinggalkan oleh pemilik modalnya tahun 1954, dan secara perlahan-lahan diduduki oleh masyarakat setempat. Tempat itu menjadi lokasi persawahan, tempat tinggal dan juga pekuburan. Namun pada akhirnya mereka digusur oleh pemerintah orde baru pasca tahun 1965 dengan tuduhan PKI. Saat ini lahan itu menjadi bumi perkemahan, dan sebagian kecil telah dibagi-bagi pejabat pemerintah disana menjadi milik pribadi[vii].

Pemukiman awal desa Sikeben adalah para pekerja kebun karet keturunan suku Jawa yang sampai saat ini masih tinggal sebahagian di dusun II Sikeben. Pasca kepergian Tuan Planger itu, arus migrasi dari gunung dengan cepat mengisi ruang kosong tanpa pemilik itu. Pelan-pelan untuk menghapuskan ingatan soal “kebun karet”, penduduk menebangi pohon karet itu dan menggantinya dengan tanaman biasanya yang ditanam di gunung, seperti tanaman holtikultura dan persawahan. De-plangerisasi dilakukan juga dengan cara membakar rumah lengkap dengan kolam renang dan kantor tuan Planger yang pada saat itu berdiri megah disalah satu puncak perbukitan. “Masyarakat desa melakukan itu supaya tidak dibilang-bilang penggarap terus”, kata pak Sembiring.

De-planting pohon-pohon karet ini tidak dilakukan terencana, tetapi seiring dengan kedatangan penduduk. Penduduk yang datang membuka lahannya sendiri-sendiri dengan menebang pohon karet sebagai lahan baru menaman padi, cabai, jagung, tomat, wortel dan tanaman gunung (baca: Karo gugung) lainnya. Sebagian pendatang juga memanfaatkan pohon karet yang ada untuk dijual lom (getah)-nya. Mereka kemudian dikenal sebagai penjual lom. Kelihatannya lokasi ini sangat cocok dengan tanaman baru itu, sehingga disebut sebagai lumbung penghasil pertanian utama sekitar tahun 60-an. Biarpun tidak terlalu jelas asal muasalnya, nama “Keben” yang berarti lumbung ini, kemungkinan besar berasal dari kondisi awal tersebut.

Era kejayaan dimasa awal ini berlangsung sekitar 10 tahun pertama, antara 60-an hingga 70 an. Untuk menjual hasil-hasil dari desa, masyarakat berjalan kaki sekitar 45 menit menuju pasar tradisional di Bandar Baru, ibukota kecamatan Sibolangit. Selain pejalan kaki, angkutan untuk muatan yang lebih besar memakai kuda beban.

Konsentrasi pemukiman desa terbentuk di dua dusun. Dusun satu adalah Sikeben awal, bentuk pemukiman tradisional Karo dengan ditengah-tengahnya terdapat sebuah jambur, tempat melakukan pertemuan desa dan acara acara adat. Dusun ini berada di salah satu perbukitan, atau tepatnya disisi tebing bukit yang agak landai, sedikit dibawah puncak perbukitan. Seiring dengan semakin padatnya dusun awal ini, penduduk mulai membangun rumah di pemukiman baru yang tempatnya lebih rendah, yang saat ini disebut dengan dusun dua. Masalah utama penduduk terkait sulitnya mengambil air bersih yang jauh dilereng perbukitan.

Korban utamanya adalah para ibu-ibu (nande) yang harus menenteng ember dari pancuran berisi air untuk keperluan air minum. Segala keperluan untuk mandi dan mencuci harus turun naik tebing. Air pancuran yang ada dialirkan kebeberapa tempat dengan memakai bambu bulat yang dilobangi. Selain untuk memisahkan tempat pancuran antara laki-laki dan perempuan, pancuran itu diperbanyak untuk menambah tempat dan memperpendek jarak tempuh. Dengan demikian, air adalah barang yang sangat mahal, dan mandi adalah pekerjaan yang menyusahkan.

Dikemudian hari, sekitar pertengahan tahun 60-an hingga 70-an itu, didapati banyak penyakit timbul terhadap masyarakat yang dianggap sebagai akibat kebiasaan hidup yang tidak bersih, utamanya penyakit TBC. Setelah itu, berkembang kebiasaan warga untuk tidak memakai gelas untuk minum bergantian baik sesama dalam satu keluarga, karena perkembangan penyakit menular ini yang sangat mengkuatirkan. Kondisi ini semakin parah di awal tahun 1970, karena munculnya penyakit tanaman padi yang kemudian dikenal sebagai hama wereng. Karena tidak memiliki beras, penduduk desa mulai memakan makanan yang dibawa dari luar, yang disebut dengan ‘bulgur’, sejenis tepung yang biasanya diberikan untuk makanan ternak. Untuk mendapatkan uang, para ibu-bu pergi ke orang kaya untuk memohon pinjaman, dan perlahan menjadi terikat karena tidak mampu membayar utang bersama bunga-bunganya.

Perlahan namun pasti, kondisi sosial dan ekonomi semakin parah di desa ini. Tahun demi tahun kondisi padi semakin buruk. Warga desa semakin kehilangan percaya dirinya. Perilaku sosial juga semakin parah, seperti mulai munculnya mabuk-mabukan hingga mulai menghisap ganja. Desa lumbung ini seperti mendapat kutukan menjadi desa yang penuh dengan masalah dan kesulitan.

Pergumulan Mencari Bentuk, Upaya Lepas dari Keterpurukan

Masa sekitar 5 tahun kesusahan, membuat desa ini benar benar hancur percaya dirinya. Tahun 1972, seorang pendeta muda GBKP, Pdt. Borong Tarigan, yang baru tamat dari STT HKBP Nommensen ditempatkan di desa ini sebagai pendeta jemaat. Sebelum kedatangannya, desa ini sudah mulai dikunjungi oleh Pendeta yang lebih senior, Pdt. Selamat Barus bersama seorang kolega asingnya, Leland Eyers, seorang volunteer dari Gereja Methodis Amerika. Posisi sebagai pendeta jemaat membuat Pdt. Borong Tarigan memiliki hubungan langsung dan sehari-hari dengan desa Sikeben.

Pdt. Selamat Barus bersama Leland tentunya sudah mulai bekerja disana, karena melihat kehancuran yang mendera desa ini dengan luar biasa. Tidak ada obat mujarab yang ditemukan untuk menyelesaikan masalah ini, selain belajar dari pengalaman, bahkan terkesan coba-coba (trial and error). Leland, seorang pendeta dan sekaligus insinyiur pertanian dari Amerika, adalah termasuk orang yang terlibat dalam proses inisiasi IRRI di Philipina yang bertujuan mengembangkan bibit jenis baru pertanian padi[viii].

Mengatasi wereng yang mengganas di Sikeben, praktek revolusi hijau pun dilakukan dengan membawa bibit unggul oleh Leland Reich dari Philipina. Bukan hanya dibidang pertanian, kelaparan ini juga hendak dipecahkan dengan membawa model budidaya baru peternakan ayam, yang kemudian dikenal sebagai ayam broiler, dan proyek peternakan domestik sapi bagi warga desa. Niat baik ini ternyata tidak menghasilkan seperti apa yang diharapkan. Pendek cerita, tiga proyek ini dinyatakan sebagai proyek gagal. Desa tetap dalam keterpurukan.

Proyek bibit unggul hanya bertahan satu tahun. Di tahun pertama menghasilkan, tapi tahun berikutnya tidak menghasilkan lagi, selain karena jenis hama baru yang menyerang, cuaca yang tidak cocok dianggap sebagai salah satu penyebab gagalnya padi unggul tersebut. Proyek lembu juga gagal, karena ketidakjelasan mau kemana dijual susu lembunya yang melimpah. Kegagalan proyek ayam broiler adalah pemasarannya. Ayam yang dirasa aneh ini dianggap tidak layak untuk dikonsumsi, daging dan telornya. Daging ayam yang hanya berumur 1 bulan itu dianggap masih anak ayam, sementara telurnya yang warnanya kemerah-merahan serta kulitnya yang tipis, dianggap sebagai telur ‘embun’ atau telur prematur yang tidak bisa ditetas.

Tidak sulit bagi mereka untuk dipercayai oleh orang desa, karena jabatan pendeta yang mereka sandang, sehingga tidak terjadi penolakan terhadap mereka atas inovasi yang mereka bawa dari luar, sekalipun itu ternyata gagal. Selain itu penduduk desa sedang merasa butuh bantuan dengan kondisi yang mereka alami. Bagi mereka, pendeta-pendeta itu termasuk aneh, karena mencampuri urusan perut mereka, sesuatu yang pada awalnya tidak lajim bagi pendeta yang dianggap seharusnya berkotbah di gereja saja.

Salah satu pendeta yang mereka anggap pada awalnya lebih nyeleneh lagi adalah pendeta baru mereka, Pdt. Borong Tarigan, karena pendeta yang satu ini mengurusi kerjaan layaknya pekerjaan kontraktor, seperti terlibat dalam membangun jembatan desa, membangun sarana air minum, dan membangun infrastruktur listrik. Hari-hari mereka diisi oleh kehadiran orang-orang yang menjadi sahabat desa ini, ketimbang sebagai pengkotbah yang datang pada hari minggu. Ketiga orang itu meminta supaya pertemuan-pertemuan dilakukan untuk membicarakan banyak hal soal desa dan kebutuhan desa.

Kehadirian sebuah proyek tidak datang begitu saja. Pertemuan-pertemuan desa yang melibatkan orang orang luar itu menjadi penentu apa yang harus dilakukan. Dengan demikian sebuah proyek dianggap sebagai proyek bersama dan milik bersama desa. Lahirnya proyek padi unggul, ayam broiler, dan lembu bersumber dari masalah kelaparan yang melanda desa. Demikian juga lahirnya proyek air minum, proyek listrik dan pembangunan jalan menuju desa, lahir dari pertemuan-pertemuan desa yang diselenggarakan desa bersama Pdt. Borong dan teman-temannya.

Diskusi bersama memutuskan satu perkara menjadi kebiasaan di desa. Pdt. Selamat menyebut istilah menemukan masalah bersama melalui diskusi ini dengan diagnosa masalah. Konsekuensi dari musyawarah adalah tanggungjawab untuk mengimplementasikan bersama keputusan. Salah satu pekerjaan yang cukup berkesan tentunya adalah gotong royong selama 3 tahun terus menerus itu. Gotong royong memang sudah dilakukan sebelumnya, namun tidak se intens tiga tahun berturut turut itu, untuk merintis jalan menuju desa, merintis pembuatan listrik, dan merintis pembuatan sarana air minum. Melalui usaha Borong Tarigan, gotong-royong ini mendapat perhatian khusus dari sebuah lembaga asing, Christian World Service (CWS), sehingga menyumbangkan beras, pakaian bekas, dan uang terhadap masyarakat desa tersebut[ix].

Desa yang sedang bertumbuh ini juga melihat perlunya untuk memastikan bahwa tanah tempat mereka beranak pinak selama puluhan tahun itu adalah benar-benar tanah warga desa. Selain usaha melenyapkan semua atribut yang berbau Tuan Planger, warga desa juga mengusahakan proses legalisasi tanah kepada pemerintah. Beberapa orang aktivis dari kota Medan, sempat terlibat dalam memperjuangkan legalisasi tanah ini, antara lain Muchtar Pakpahan yang pada saat itu bekerja sebagai staf di Biro Bantuan Hukum Universitas HKBP Nommensen, dan salah seorang aktivis perburuhan di Medan, Diapari Marpaung[x].
“Orang swiss itu datang sekitar tahun 80-an. Karet itu sudah ditebang semua oleh masyarakat. Masyarakat bersatu dan pemerintahan desa juga tidak mau mengakui. Mereka datang satu motor(baca: Mobil), dan beberapa orang, menemui kepala desa. Tapi kepala desa kami pada waktu itu tidak mau menandatangani apa yang diminta orang itu. Karena dilihat ada perlawanan, ya udah mereka pulang. Masyarakat dan kepala desa melakukan perlawanan”[xi]
Tanah yang sempat dipersoalkan oleh keturunan Tuan Planger pada tahun 1980 itu, akhirnya selesai dengan kemenangan dipihak warga desa[xii]. Legalisasi tanah itu sebagai milik penduduk desa bersamaan dengan kebijakan pertanahan pemerintah saat itu yang disebut dengan Prona ( Program Nasional).

Menghidupkan Tradisi Berbuah Kalpataru
Gotong royong untuk kepentingan umum desa selama tiga tahun adalah jangka waktu yang fantastis. Sebelum hal ini terjadi, gotong royong hanya dilakukan pada waktu yang disepakati secara insidentil sebagai kegiatan sampingan. Tapi kali ini gotong royong menjadi kegiatan utama yang harus dilakukan selama tiga tahun berturut-turut. Tidak ada perintah dari kekuatan luar, seperti perintah kerja paksa dari Belanda atau romusha dari Jepang, sebagai mana pernah terjadi puluhan tahun sebelumnya. Keputusan sepenuhnya adalah dalam musyawarah desa yang dipimpin oleh petani-petani desa. Gotong-royong diputuskan dilakukan sebanyak dua kali seminggu, selama tiga tahun!

Itu terjadi antara tahun 1976 hingga tahun 1979[xiii]. Padahal, baru saja mereka mengalami banyak kegagalan kegagalan, seperti gagalnya operasi turbin karena terlalu besar dan dianggap berbahaya. Tentunya turbin bukan barang murahan yang bisa dipahami dengan mudah, sedikit salah bisa berakibat fatal, misalnya gagal menjadi energi listrik, listrik yang tidak terkontrol atau bahkan bisa kesetrum. Turbin awal yang gagal ini berasal dari bantuan sebuah donor dari Swiss melalui Parpem GBKP, dan pada gilirannya mendapat perhatian serius dari sebuah lembaga non pemerintah dari Jerman, EZE[xiv].

Sepertinya gotong royong tidak bisa dikerjakan secara sambilan lagi seperti sebelum-sebelumnya, gotong royong harus menjadi pekerjaan utama semua warga desa, laki-laki dan perempuan. Dalam tiga tahun yang melelahkan ini, kegiatan utama yang disepakati untuk dikerjakan bersama antara lain, pembangunan secara permanen pembangkit listrik tenaga lau, pembangunan sarana air minum sepanjang 4 kilometer, pembangun gilingan padi tenaga air, pembangunan jalan lingkar desa meliputi dusun satu dan dusun dua, dan penanaman pohon dihulu sungai untuk menjaga kelestarian dan konsistensi air sungai. Seperti telah diuraikan, proyek yang paling banyak gagalnya adalah proyek listrik.

Proyek listrik telah dibangun sejak tahun 1970-an, namun mengalami kegagalan operasi hingga mengalami pergantian turbin sampai empat kali. Tapi kebencian pada kegelapan telah menggandrungi semua warga desa, sehingga tidak bosan-bosannya mengulangi dari awal membangun infrastruktur listrik, serta mengumpulkan dana untuk mewujudkan impian penerangan itu. Peran asistensi staf-staf Parpem GBKP menjadi penting kepada warga desa untuk suatu saat kelak digantikan sebagai teknisi infrastruktur. Saat ini, sehari hari PLTL telah dikelola oleh warga desa yang diketuai oleh Pak Selesai Tarigan, sementara Abdi Tarigan, bertugas teknisi sekaligus bertugas mengawasi, menghidupkan dan mematikan listrik PLTL setiap harinya. Tahun 2007, Pak Selesai Tarigan mendapat gaji tanpa dipotong pajak sekecil Rp. 10.000 sebulan, sementara Abdi Tarigan mendapat ‘uang capek’ sebesar Rp.150.000 per bulan. Abdi mendapat lebih besar karena harus turun naik gunung setiap hari untuk memeriksa keadaan PLTL.

Menyadari pentingya sumber air untuk kelangsungan PAM, PLTL dan pengairan untuk persawahan, maka gotong royong dilakukan untuk menanami pohon di sepanjang hulu sungai Pepei dan sungai Petani, meliputi hutan Lindung Sibolangit. Dalam waktu yang bersamaan, gotong royong pembangunan pipa air sepanjang 4 kilometer itu juga rampung dilakukan.

Sementara itu, Kredit Union atau CU, agak terlambat dibentuk dibandingkan dengan beberapa bentuk kolektivisme diatas. CU baru dibentuk tahun 90-an. Dengan masuknya Kongsi Tarigan, salah seorang staf Parpem yang membidangi kredit union ke desa ini. Namun demikian kebiasaan kolektif yang sudah lama terbina, membuat desa ini menerima konsep ekonomi kerakyatan ini dengan cepat. Perkembangan terakhir, hingga tahun 2007, tercatat anggota CU sebanyak 260 orang, dengan asset sebesar 250 juta rupiah. Sejak eksistensi CU, desa ini secara total telah bebas dari rentenir.

Presiden Republik Indonesia pada waktu itu, Suharto, menghargai prestasi desa ini dengan memberikan penghargaan Kalpataru tahun 1985. Dalam dokumen menteri lingkungan hidup tercatat bahwa pemberian Kalpataru ini sebagai prestasi Parpem dibidang teknologi air bersih[xv]. Namun dalam pidato Dr. Emil Salim, menteri lingkungan hidup era itu yang datang ke desa Sikeben untuk memberikan penghargaan Lingkungan itu, mengatakan bahwa prestasi Parpem bukan karena keterlibatan membangun sarana air minum, tetapi kemampuan menghidupkan nilai local, yakni gotong royong dalam memelihara dan melestarikan kehidupan warga desa[xvi]. Tradisi gotong royong memang bukan sesuatu yang datang dari luar, karena sudah berlangsung dalam kehidupan pedesaan di pelosok Karo, seperti yang ada dalam tradisi kuta dan kesain. Itulah yang dihidupkan kembali dan menjadi tradisi yang hidup terus menerus hingga sekarang.

Penutup

Desa “oase kolektivitas” itu kini hampir tidak butuh ‘pemerintah’ lagi. Dari dua sungai yang melintas di perbatasan desa berbukit-bukit ini, satu, sungai Lau Petani, dipakai untuk air minum yang telah dialirkan ke setiap rumah warga, satu lagi, sungai Pepei, dipakai untuk memutar turbin listrik, untuk kebutuhan energi di desa ‘Lumbung’ itu, selain untuk kebutuhan persawahan. Pagi pagi sekali, para nande telah dibangunkan oleh kokok ayam dan rengekan babi yang ada di belakang rumah, kemudian mereka menanak nasi dan memasak ikan- hasil pancingan suami semalam sore hari di sungai- untuk kebutuhan anak-anak yang mau sekolah.
Setelah matahari terbit, para laki-laki bangun pagi, merokok dan sarapan, kemudian berbincang sejenak dengan istri yang lagi makan sirih. Sejenak memeriksa kandang babi yang sedang makan, sebelum dia bergegas ke ladang sawah. Setelah nande memberesi rumah dan ternak, menyusul suami dari belakang- mereka punya tradisi berjalan, laki-laki harus agak di depan, dan perempuan mengikut dari belakang- dengan membawa rantangan untuk bekal makan siang di ladang.
Anak-anak yang pulang sekolah, ada yang datang menyusul orang tuanya ke ladang, ada yang langsung ke kebun tomat atau cabai untuk menyiangi, juga memeriksa kandang babi, ngangon kerbau, kambing, atau lembu. Sore hari, anak-anak tanggung dengan riang berkumpul di lapangan luas, main bola atau main voli. Anak perempuan terlihat menyiram tanaman atau bunga-bunga-an di pekarangan, memakai air yang ditarik pake selang dari depan rumah, membersihkan semua di dalam dan di luar rumah, sementara para laki-laki ada yang memancing ikan ke sungai. Peralatan-peralatan mengolah sawah mereka tinggalkan di sawah seperti cangkul dan babat, dan yang pasti, tidak hilang. Terlihat juga kerbau berjalan beriring seperti malas pulang, kenyang seperti lintah bulat yang kekenyangan. Para laki-laki itu, ada yang langsung ke kedai main catur, minum tuak, dan ngobrol tentang apa saja. Tuak pa Ginting di dusun 2 , satu-satunya yang jual tuak di desa itu, terkenal sangat bagus dan cepat habis sebelum benar benar malam.
Sekitar pukul sembilan malam - jika tidak ada pertemuan di jambur untuk membicarakan bersama kondisi air untuk air minum dan untuk listrik, atau membicarakan CU bersama staf Parpem yang datang- setiap keluarga sudah berada di rumah - rumah mereka rata-rata sudah beton dan atap seng, dengan kamar antara dua atau tiga buah. Setelah puas ngobrol, nonton TV, atau belajar, malam yang dingin menggigil harus disertai selimut tebal bagi anak-anak di kamarnya, sementara orang tua –suami-istri- menikmati malam hangat, tentunya di kamar khusus mereka”. Mereka kemudian terlelap, melupakan segalanya, melupakan masa lalu yang kelam dan pahit, ketika tahun 70-an mereka menderita kelaparan selama dua tahun karena wereng, puluhan menderita berbagai penyakit seperti TBC, dan melupakan masa dimana anak anak remaja memakai ganja[xvii]


[i] Terpilih sebagai pemenang lomba desa termaju, tahun 1980 se-Sumatera Utara.
[ii] Sistem mengalirkan air dari tempat yang lebih tinggi ketempat yang lebih rendah.
[iii] Diskusi dengan Suster Ruth N OFM. Cap, Januari 2007.
[iv] Wawancara dengan budi Sembiring, Januari 2007
[v] Jumlah uang ini disebutkan oleh ketua panitia, Pdt. Borong Tarigan, mantan direktur Parpem, yang sekarang tinggal sebagai warga biasa desa di desa Sikeben.
[vi] Bisa dibaca: budaya korupsi ditubuh aparat negara
[vii] Lebih jauh dalam tulisan Saurlin Siagian, berjudul Bom waktu di Sibolangit, terbitan Media Soerak edisi Agustus 2005.
[viii] Wawancara Pdt. Selamat Barus, 2006.
[ix] Pada awalnya, sumbangan CWS yang sudah dibawa dengan truk tersebut, hendak dibawa pulang oleh petugasnya, karena mereka kebingungan mengapa penanggungjawab barang-barang itu seorang pendeta Jemaat. Menurut petugas tersebut, seorang pendeta tidak bisa menanggungjawabi barang-barang seperti itu. Namun setelah Borong mengatakan dia sebagai Kepala Padat Karya GBKP, akhirnya logistik itu diturunkan juga dari truk. Wawancara Borong Tarigan, 2006.
[x] Diskusi dengan Mochtar Pakpahan, Desember 2006.
[xi] Wawancara kepala desa Rakutta Sembiring Depari.
[xii] Kepala Desa menolak menandatangani surat pernyataan yang dibuat oleh keluarga Planger, tentang kepemilikan tanah di desa Sikeben.
[xiii] Wawancara Budi Sembiring, op.cit.
[xiv] Wawancara Pdt. Borong Tarigan, 2006. Turbin yang dibangun, telah mengalami pergantian hingga empat kali, hingga mendapatkan turbin yang stabil seperti sekarang ini. EZE melalui Parpem GBKP, pada akhirnya menyetujui puluhan program pembangkit listrik tenaga mikro di berbagai desa di Tanah Karo, bekerjasama dengan Parpem.
[xv] http://www.menlh.go.id/kalpataru/Penerima/DataWeb/tahun_1980-2002.htm
[xvi] Wawancara Pdt. Selamat Barus, 2006.
[xvii] Bahan bahan ini utamanya berasal dari observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap:
Budi Sembiring (Pengurus SAM)
Selesai Tarigan,51 tahun ( ketua PLTL)
Suster Ruth N OFM. Cap ( Biarawati Santa Klara Sikeben)
Rakutta Sembiring Depari( Kepala Desa)
Pdt. Borong Tarigan (Tokoh Desa)

No comments: