Kembali ke kita; ada dua ciri umum masyarakat kosmopolitan
Indonesia; masyarakat yang mengalami kekosongan karena terlalu lama berjarak
dari ‘sarang’ sosial dan ekologi nusantara. Kelompok kedua; masyarakat cosmopolitan
dan transisi agraris yang otaknya sudah berisi nilai, tapi cilakanya nilai –
ideologis- asing yang mencaci maki asal usulnya sendiri – ini setara malinkundang
ideologis. Namun, berita baiknya, masih ada sisa sisa kelompok kelompok sosial
baik perkotaan dan perdesaan yang masih hidup dengan, dan menghargai nilai dan
praktek sosial ekologi agraria nusantara. Percaya tidak?
Jika ada kemauan, tidak sulit melacak untuk kembali –
mengambil contoh masyarakat nusantara yang kita kenal Indonesia dalam 70 tahun
terakhir. Lihatlah cara berfikirmu, apakah cara berfikirmu telah berganti jauh
dengan cara berfikir satu-dua generasi dilingkungan alam dan sosial agraris
nusantara? Lihatlah apa yang kamu makan, apakah seluruh makanan yang kamu makan
berjarak jauh dari makanan agraris lingkungan alam sosial sekitarmu? Lihat lah
cara berpakaianmu, apakah kamu sedang secara utuh memakai pakaian penutup tubuh
dari lingkungan alam dan sosial yang berbeda– apa lagi penutup tubuh dari
sejarah masa lalu bangsa lain yang mana bangsa itu sendiri saja sudah berubah?
Melakukannya harus disadari sebagai kekalahan, namun, tidak menyadarinya adalah
kolonialisasi otak yang utuh, imperialisme otak yang sempurna. Bodoh tingkat
galaksi.
Jika demikian, curigailah sekolah dan kurikulummu,
curigailah lembaga lembaga yang membangun kamu sedemikian rupa menjauh dari
bumi manusiamu, curigailah dirimu dan para pendidikmu. Apakah sekolah dan
kampus tempatmu belajar, kebiasaan sehari harimu, agamamu, pekerjaanmu, telah
membuatmu semakin jauh dari keberadaan dan sifat ekologi sosial masyarakatmu.
Sekali lagi, terlalu lama pergi menyebabkan kekosongan, dan kekosonganlah yang
menyebabkan naluri mencari sesuatu yang baru muncul. Cilakanya yang baru itu
adalah asing dan destruktif.
Pulang, tak sekedar kembali harfiah, atau melawan migrasi
peradaban kosmopolitan, atau royo royo pulang kampung. Aktivis orde lama
menyebutnya turba, aktivis 90-an
menyebut integrasi atau live in, politisi parlemen jaman now
menyebutnya reses, perantau yang
pulang musiman menamainya mudik. Tidak sekedar itu.
Pulang, adalah suatu sikap, tatanan berfikir dan tatanan
kehidupan yang menghargai warna warni lanskap bumi dan kehidupan sosialnya. Pulang, adalah pertobatan, kembali dari singularitas dan singularisasi
kosmopolitan yang membosankan, menuju isi dan wajah warna warni asali di sarang
sosial ekologi bumi yang bebas dari penjajahan dan penindasan, kembali
ke ‘bumi manusia dengan segala
permasalahannya’. Hanya dengan
cara ini, kewarasan dan nalar bisa langgeng terpelihara.
*****
tulisan sore di udara- pulang- batikair -halim –KNO 26 okt
2018
Free Counter
No comments:
Post a Comment