Pulang untuk Jaga Nalar

Naluri pergi atau berpindah adalah hasrat seluruh kehidupan, khususnya homo sapiens – mahluk yang mengalami ‘pergi’ paling jauh dibanding mahluk kehidupan lainnya. Pergi jauh dan menemukan pengetahuan, teknologi, agama, budaya, kelas sosial lain dan segala komplikasinya yang berpotensi besar membuat kita tersesat dan lupa jalan pulang; tersesat di kelas baru, tersesat di cara berfikir yang baru, tersesat di agama baru, dan menjadi manusia asing meniru secara utuh keberadaan dan cara berada yang baru.

Dunia sedang bergeser cepat- termasuk Indonesia- dari masyarakat agraria dan pedesaan bertransisi ke masyarakat perkotaan-kosmopolitan. Tahun 2004, adalah lini masa yang dikenang dunia sebagai titik dimana populasi kota diseluruh bumi telah melampaui populasi pedesaan, penduduk kota telah berjumlah 50+1. Populasi kota akan terus meroket karena tren urbanisasi. Tahun 2050, diprediksi populasi kota akan membubung tinggi menjadi 84 % dari total populasi manusia dimuka bumi. Kaitannya dengan tulisan ini; nilai dan praktik kosmopolitan perkotaan secara umum menggeser nilai dan praktik agraris perkampungan dan komunitas adat nusantara.

Kembali ke kita; ada dua ciri umum masyarakat kosmopolitan Indonesia; masyarakat yang mengalami kekosongan karena terlalu lama berjarak dari ‘sarang’ sosial dan ekologi nusantara. Kelompok kedua; masyarakat cosmopolitan dan transisi agraris yang otaknya sudah berisi nilai, tapi cilakanya nilai – ideologis- asing yang mencaci maki asal usulnya sendiri – ini setara malinkundang ideologis. Namun, berita baiknya, masih ada sisa sisa kelompok kelompok sosial baik perkotaan dan perdesaan yang masih hidup dengan, dan menghargai nilai dan praktek sosial ekologi agraria nusantara. Percaya tidak?

Jika ada kemauan, tidak sulit melacak untuk kembali – mengambil contoh masyarakat nusantara yang kita kenal Indonesia dalam 70 tahun terakhir. Lihatlah cara berfikirmu, apakah cara berfikirmu telah berganti jauh dengan cara berfikir satu-dua generasi dilingkungan alam dan sosial agraris nusantara? Lihatlah apa yang kamu makan, apakah seluruh makanan yang kamu makan berjarak jauh dari makanan agraris lingkungan alam sosial sekitarmu? Lihat lah cara berpakaianmu, apakah kamu sedang secara utuh memakai pakaian penutup tubuh dari lingkungan alam dan sosial yang berbeda– apa lagi penutup tubuh dari sejarah masa lalu bangsa lain yang mana bangsa itu sendiri saja sudah berubah? Melakukannya harus disadari sebagai kekalahan, namun, tidak menyadarinya adalah kolonialisasi otak yang utuh, imperialisme otak yang sempurna. Bodoh tingkat galaksi.

Jika demikian, curigailah sekolah dan kurikulummu, curigailah lembaga lembaga yang membangun kamu sedemikian rupa menjauh dari bumi manusiamu, curigailah dirimu dan para pendidikmu. Apakah sekolah dan kampus tempatmu belajar, kebiasaan sehari harimu, agamamu, pekerjaanmu, telah membuatmu semakin jauh dari keberadaan dan sifat ekologi sosial masyarakatmu.

Sekali lagi, terlalu lama pergi  menyebabkan kekosongan, dan kekosonganlah yang menyebabkan naluri mencari sesuatu yang baru muncul. Cilakanya yang baru itu adalah asing dan destruktif.

Pulang, tak sekedar kembali harfiah, atau melawan migrasi peradaban kosmopolitan, atau royo royo pulang kampung. Aktivis orde lama menyebutnya turba, aktivis 90-an menyebut integrasi atau live in, politisi parlemen jaman now menyebutnya reses, perantau yang pulang musiman menamainya mudik. Tidak sekedar itu.

Pulang, adalah suatu sikap, tatanan berfikir dan tatanan kehidupan yang menghargai warna warni lanskap bumi dan kehidupan sosialnya. Pulang, adalah pertobatan, kembali dari singularitas dan singularisasi kosmopolitan yang membosankan, menuju isi dan wajah warna warni asali di sarang sosial ekologi bumi yang bebas dari penjajahan dan penindasan, kembali ke   ‘bumi manusia dengan segala permasalahannya’.  Hanya dengan cara ini, kewarasan dan nalar bisa langgeng terpelihara.

Upaya ‘pulang’ ideologis ini tidak mungkin dilakukan sendiri sendiri. Para pemimpin kita perlu serius memikirkan sistem pendidikan, politik, dan sosial seperti apa yang memungkinkan kita bisa kembali pulang. Seperti pemimpin kosmopolitan Eropa memelihara simbol simbol kota tua mengenang leluhur mereka yang berumur ribuan tahun, seperti orang arab dan jahudi memelihara tradisinya yang sudah berumur millenium.

Pastikan bahwa masa lalumu tidak kamu hancurkan. Peliharalah sejarahmu sebaik baiknya, jagalah Borobudur jika itu bukti paling baru monumen masa lalu “kita”. Jagalah hutan alam tersisa, sisa peninggalan 30 ribu tahun peradaban tropis khatulistiwa. Jagalah nusantara, supaya nusantara kelak menjagamu dan anak cucumu.

*****

tulisan sore di udara- pulang- batikair -halim –KNO 26 okt 2018

Seingatku ini adalah tulisan keduaku seputar ‘pulang’ setelah tulisan yang pertama tahun 2008 yang lalu, tepat setelah pulang sekolah dari benua biru, tapi aku lupa tulisan pertama itu ada dimana sekarang.

Free Counter