Sunday, March 31, 2013

Renungan Hari bumi 22 April 2013: Lonceng Gereja dan Pejuang Bumi dari Tapanuli


Giring-Giring

“Sudah puluhan tahun kami berseru-seru, ini adalah hutan sumber penghidupan kami turun temurun. Tetapi kami berbicara kepada orang yang tidak mau mendengar, dan kami menunjuk kepada orang yang tidak mau melihat. Menebang pohon ini sama dengan membantai nyawa kami. Maka sekarang kami dentumkan lonceng gereja, hanya lonceng gereja yang mampu mengusir kalian pergi”kata orasi seorang tokoh adat desa  Pandumaan, disaat kunjungan saya pada awal Maret 2013 yang lalu ke desa tersebut. Pandumaan adalah salah satu desa di pedalaman Sumatra, Indonesia.

Fhoto by Patricia Shirane
Lonceng gereja, atau biasa disebut ‘giring-giring’ di Tapanuli, dikenal umum sebagai pertanda acara-acara khusus keagamaan. Namun dalam sejarah panjang pertikaian Indorayon, sekarang PT. Toba Pulp Lestari, dengan masyarakat dataran tinggi Tapanuli, Lonceng gereja punya makna yang lebih luas. Lonceng gereja menjadi alat memanggil semua warga korban Toba Pulp Lestari, tidak peduli apa keimanan dan agama serta marganya, untuk berkumpul.

Jika lonceng gereja berbunyi pada waktu yang tidak lajim, maka itu membangkitkan adrenalin, membuat bulu kuduk berdiri, dan tanpa aba-aba dimana semua orang berhamburan lari menuju satu tempat dimana lonceng itu berbunyi. Lonceng itu berarti ada panggilan darurat yang perlu segera diatasi. Ada panggilan khusus untuk meninggalkan segala perkara pribadi, pekerjaan pribadi, menuju kepentingan bersama yang jauh lebih penting.  

Tidak hanya di Pandumaan dan Sipituhuta, dentang lonceng gereja telah menjadi tradisi belasan tahun yang dipakai oleh Suara Rakyat Bersama, SRB, yang diketuai Musa Gurning yang muslim, di Simpang Siraituruk, Toba Samosir,  salah satu basis perlawanan terhadap Toba Pulp Lestari. Lonceng gereja menjadi simbol perlawanan terhadap kejaliman dan ketidak-adilan.

Kriminal atau Pahlawan bumi ?

Ketika mendengar puluhan orang pemilik hutan kemenyan ditangkap oleh Brimob Polres Humbang Hasundutan, termasuk salah seorang yang dituakan, Haposan Sinambela, pada 25 Februari 2013, memori saya kembali pada kunjungan saya ke hutan kemenyan pada awal tahun 2009 yang lalu di Pandumaan, dipandu oleh bapak Sinambela.
Seorang petani yang ditahan mencium cucunya yang menjenguk

Sesampai ditengah hutan yang rimbun, dikejauhan terlihat kontras semacam warna putih padang gurun. Saya tidak bisa menahan kesedihan melihat hutan dibabat habis menjadi semacam gurun putih pada waktu itu. Saya bertekad bahwa dengan segala upaya, sisa hutan yang ada ini harus dipertahankan dan diperjuangkan. Menginap di dalam hutan adalah pengalaman dan ikatan tersendiri dengan hutan kemenyan ini, yang dibumbui cerita mistis bahwa kalau kita melakukan hal-hal yang ditabukan, maka kita tidak akan bisa keluar dari hutan.

Cerita tentang hutan magis ini berlanjut sembari menginap semalaman ditengah hutan, dipondok kecil berukuran tiga kali tiga meter, yang telah berumur puluhan tahun milik petani kemenyan. Pohon kemenyan yang dianggap penjelmaan anak gadis cantik yang menangis, dimana air matanya menjadi sumber penghidupan bagi petani ini, ternyata hanya tumbuh bersamaan dengan pohon pohon jenis lainnya. Sekitar 300-an kepala keluarga menggantungkan hidupnya hanya kepada tetesan getah, air mata, si pohon gadis ini. Jika pohon ini ditebang, warga desa tidak punya pendapatan lain untuk bertahan hidup. 

Tidak bisa diterima akal jika hutan kemenyan ini ikut ditebangi oleh perusahaan kertas Toba Pulp Lestari. Perusahaan ini memiliki konsesi seluas 269.000 hektar- empat kali luas Singapura- di dataran tinggi Tapanuli, dan warga desa hanya melindungi penghidupan mereka yang tidak lebih dari 5.000 hektar. TPL yang mendapatkan keuntungan bersih pertahun sekitar 620 milyar rupiah itu tidak akan kehilangan keuntungannya dengan membiarkan sepetak hutan adat itu tetap berdiri.

Ini soal akal sehat saja. Humas PT TPL selalu beralasan, menjalankan peraturan pemerintah, karena itu masuk dalam konsesi mereka. Jika perusahaan ini memakai akal sehat, tidak akan berpengaruh apa-apa jika mereka membiarkan hutan kemenyan itu tetap tegak dan mempersilahkan sekitar 1.000 jiwa tetap bisa melanjutkan hidupnya berdampingan dengan alam.

Sejak mendapatkan ijin beroperasi dari pemerintah Indonesia 30 tahun yang lalu (1983), perusahaan pabrik bubur kertas, Toba Pulp Lestari, yang pabriknya berada di kawasan Sosor Ladang Porsea ini tidak pernah berhenti menjadi sumber konflik dengan masyarakat Tapanuli. Sejak ratusan tahun sejarah Tapanuli, Toba Pulp Lestari mencatatkan diri sebagai satu satunya korporasi yang memiliki konsesi ratusan ribu hektar, ditengah tengah masyarakat yang sangat kuat dengan tradisi adat istiadat, dan tradisi lisan kollektif terhadap hak kepemilikan. Hal ini berbenturan dengan Toba Pulp Lestari yang hanya bermodalkan secarik kertas mengklaim seluruh hutan menjadi miliknya. Sejak ratusan tahun Tapanuli mengenal era yang disebut penyair legendaris Sitor Situmorang sebagai era kedamaian dan kemakmuran, atau jika tidak salah disebut dengan istilah ‘splendour era’. Era ini hilang seiring dengan kehadiran korporasi di Tapanuli.

Baru-baru ini, APRIL, induk perusahaan PT TPL membuat komitmen tidak akan menebang hutan alam untuk kebutuhan kertas mereka. Komitmen yang dibuat pada bulan januari 2013 itu dilanggar hanya dalam hitungan hari, dengan menebangi hutan alam di Humbang Hasundutan. Jadi pertanyaannya, siapakah yang kriminal dan merusak ?
Courtesy of GP

Bagi aparat kepolisian, petani kemenyan yang memperjuangkan hutan adalah kriminal, dengan menangkapi mereka dan menjadikan 16 orang petani hingga saat ini sebagai tahanan. Tetapi bagi warga desa, mereka adalah pejuang pejuang bagi keluarga mereka yang butuh melanjutkan hidup. Bagi warga dunia yang mencintai lingkungan hidup, mereka adalah pahlawan-pahlawan yang patut dibela dan dilindungi.   Tanggal 22 April, umat bumi merayakan hari bumi dan menyematkan penghargaan kepada para pejuang bumi. Tidak berlebihan jika para ‘kriminal’ versi polisi ini harus dihargai sebagai para pejuang bumi. Mereka harus dibebaskan tanpa embel embel ‘tahanan luar’, dan dikenal sebagai para pejuang hutan yang akan dikenang.

Saurlin





Free Counter Locations of visitors to this page

No comments: