Giring-Giring
“Sudah puluhan tahun kami berseru-seru, ini adalah hutan
sumber penghidupan kami turun temurun. Tetapi kami berbicara kepada orang yang
tidak mau mendengar, dan kami menunjuk kepada orang yang tidak mau melihat. Menebang
pohon ini sama dengan membantai nyawa kami. Maka sekarang kami dentumkan
lonceng gereja, hanya lonceng gereja yang mampu mengusir kalian pergi”kata
orasi seorang tokoh adat desa Pandumaan,
disaat kunjungan saya pada awal Maret 2013 yang lalu ke desa tersebut.
Pandumaan adalah salah satu desa di pedalaman Sumatra, Indonesia.
Fhoto by Patricia Shirane |
Jika lonceng gereja berbunyi pada waktu yang tidak lajim,
maka itu membangkitkan adrenalin, membuat bulu kuduk berdiri, dan tanpa aba-aba
dimana semua orang berhamburan lari menuju satu tempat dimana lonceng itu
berbunyi. Lonceng itu berarti ada panggilan darurat yang perlu segera diatasi. Ada
panggilan khusus untuk meninggalkan segala perkara pribadi, pekerjaan pribadi,
menuju kepentingan bersama yang jauh lebih penting.
Tidak hanya di Pandumaan dan Sipituhuta, dentang lonceng
gereja telah menjadi tradisi belasan tahun yang dipakai oleh Suara Rakyat
Bersama, SRB, yang diketuai Musa Gurning yang muslim, di Simpang Siraituruk,
Toba Samosir, salah satu basis
perlawanan terhadap Toba Pulp Lestari. Lonceng gereja menjadi simbol perlawanan
terhadap kejaliman dan ketidak-adilan.
Kriminal atau Pahlawan
bumi ?
Ketika mendengar puluhan orang pemilik hutan kemenyan
ditangkap oleh Brimob Polres Humbang Hasundutan, termasuk salah seorang yang
dituakan, Haposan Sinambela, pada 25 Februari 2013, memori saya kembali pada
kunjungan saya ke hutan kemenyan pada awal tahun 2009 yang lalu di Pandumaan,
dipandu oleh bapak Sinambela.
Sesampai ditengah hutan yang rimbun, dikejauhan terlihat
kontras semacam warna putih padang gurun. Saya tidak bisa menahan kesedihan
melihat hutan dibabat habis menjadi semacam gurun putih pada waktu itu. Saya
bertekad bahwa dengan segala upaya, sisa hutan yang ada ini harus dipertahankan
dan diperjuangkan. Menginap di dalam hutan adalah pengalaman dan ikatan
tersendiri dengan hutan kemenyan ini, yang dibumbui cerita mistis bahwa kalau
kita melakukan hal-hal yang ditabukan, maka kita tidak akan bisa keluar dari
hutan.
Cerita tentang hutan magis ini berlanjut sembari menginap
semalaman ditengah hutan, dipondok kecil berukuran tiga kali tiga meter, yang
telah berumur puluhan tahun milik petani kemenyan. Pohon kemenyan yang dianggap
penjelmaan anak gadis cantik yang menangis, dimana air matanya menjadi sumber
penghidupan bagi petani ini, ternyata hanya tumbuh bersamaan dengan pohon pohon
jenis lainnya. Sekitar 300-an kepala keluarga menggantungkan hidupnya hanya
kepada tetesan getah, air mata, si pohon gadis ini. Jika pohon ini ditebang,
warga desa tidak punya pendapatan lain untuk bertahan hidup.
Tidak bisa diterima akal jika hutan kemenyan ini ikut
ditebangi oleh perusahaan kertas Toba Pulp Lestari. Perusahaan ini memiliki
konsesi seluas 269.000 hektar- empat kali luas Singapura- di dataran tinggi
Tapanuli, dan warga desa hanya melindungi penghidupan mereka yang tidak lebih
dari 5.000 hektar. TPL yang mendapatkan keuntungan bersih pertahun sekitar 620
milyar rupiah itu tidak akan kehilangan keuntungannya dengan membiarkan sepetak
hutan adat itu tetap berdiri.
Ini soal akal sehat saja. Humas PT TPL selalu beralasan,
menjalankan peraturan pemerintah, karena itu masuk dalam konsesi mereka. Jika
perusahaan ini memakai akal sehat, tidak akan berpengaruh apa-apa jika mereka
membiarkan hutan kemenyan itu tetap tegak dan mempersilahkan sekitar 1.000 jiwa
tetap bisa melanjutkan hidupnya berdampingan dengan alam.
Sejak mendapatkan ijin beroperasi dari pemerintah Indonesia
30 tahun yang lalu (1983), perusahaan pabrik bubur kertas, Toba Pulp Lestari,
yang pabriknya berada di kawasan Sosor Ladang Porsea ini tidak pernah berhenti
menjadi sumber konflik dengan masyarakat Tapanuli. Sejak ratusan tahun sejarah
Tapanuli, Toba Pulp Lestari mencatatkan diri sebagai satu satunya korporasi
yang memiliki konsesi ratusan ribu hektar, ditengah tengah masyarakat yang
sangat kuat dengan tradisi adat istiadat, dan tradisi lisan kollektif terhadap
hak kepemilikan. Hal ini berbenturan dengan Toba Pulp Lestari yang hanya
bermodalkan secarik kertas mengklaim seluruh hutan menjadi miliknya. Sejak
ratusan tahun Tapanuli mengenal era yang disebut penyair legendaris Sitor
Situmorang sebagai era kedamaian dan kemakmuran, atau jika tidak salah disebut
dengan istilah ‘splendour era’. Era ini hilang seiring dengan kehadiran
korporasi di Tapanuli.
Baru-baru ini, APRIL, induk perusahaan PT TPL membuat
komitmen tidak akan menebang hutan alam untuk kebutuhan kertas mereka. Komitmen
yang dibuat pada bulan januari 2013 itu dilanggar hanya dalam hitungan hari,
dengan menebangi hutan alam di Humbang Hasundutan. Jadi pertanyaannya, siapakah
yang kriminal dan merusak ?
Bagi aparat kepolisian, petani kemenyan yang memperjuangkan
hutan adalah kriminal, dengan menangkapi mereka dan menjadikan 16 orang petani
hingga saat ini sebagai tahanan. Tetapi bagi warga desa, mereka adalah pejuang
pejuang bagi keluarga mereka yang butuh melanjutkan hidup. Bagi warga dunia
yang mencintai lingkungan hidup, mereka adalah pahlawan-pahlawan yang patut
dibela dan dilindungi. Tanggal 22
April, umat bumi merayakan hari bumi dan menyematkan penghargaan kepada para
pejuang bumi. Tidak berlebihan jika para ‘kriminal’ versi polisi ini harus
dihargai sebagai para pejuang bumi. Mereka harus dibebaskan tanpa embel embel
‘tahanan luar’, dan dikenal sebagai para pejuang hutan yang akan dikenang.
Free Counter