Thursday, July 29, 2010

Tanah Adat Masyarakat Tapanuli Terancam

Rabu, 28 Juli 2010 | 21:27 WIB
MEDAN, KOMPAS.com - Tanah adat masyarakat Tapanuli terus terancam aktivitas PT Toba Pulp Lestari. Meski telah berdiri sejak 27 tahun lalu, konflik masyarakat lokal dengan perusahaan penghasil bubur kertas tersebut terus terjadi.
Di sisi lain, PT Toba Pulp Lestari (TPL) meminta agar tudingan maupun klaim masyarakat terkait dirambahnya tanah adat ditujukan ke pemerintah selaku pemberi konsesi hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI). TPL juga mengklaim, telah melakukan upaya pelestarian hutan alam dengan tetap membiarkan areal konsesi HPHTI yang dijadikan blok tanaman kehidupan, dibiarkan seperti adanya dan tak diubah dengan tanaman eucalyptus, bahan baku bubur kertas.
Koordinator Divisi Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Saurlin Siagian menuturkan, terdesaknya tanah adat masyarakat Tapanuli oleh aktivitas HPHTI TPL, ikut membuat hutan alam yang tadinya diusahakan oleh masyarakat lokal ikut rusak. Menurut Saurlin, tanah adat masyarakat Tapanuli banyak di antaranya berupa hutan alam dengan nilai konservasi tinggi.
"TPL bertanggung jawab terhadap rusaknya hutan alam yang memiliki nilai konservasi tinggi di sekitar Tapanuli. Selain itu, TPL juga ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem Danau Toba," ujar Saurlin di Medan, Rabu (28/7/2010).
Saurlin mengatakan, dari banyak kasus konflik masyarakat lokal dengan TPL, setidaknya ada empat kasus yang paling menonjol dan masih mengemuka hingga saat ini, yakni penghancuran hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan, konflik antara Parsadaan Tano Adat Sitakkubak, Aek Lung, Kecamatan Dolong Sanggul, Humbang Hasundutan dengan TPL, konflik tanah adat warga Huta Parlombuan, Desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara dengan TPL, dan konflik masyarakat Bulu Silape, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir dengan TPL
Menurut Saurlin, penghancuran hutan kemenyan di Humbang Hasundutan merupakan salah satu kasus yang menonjol. Hutan kemenyan yang telah diusahakan ratusan tahun oleh masyarakat lokal ditebang, karena dinilai masuk ke kawasan HPHTI TPL. Dari sekitar 30.000-an hektar hutan kemenyan di Humbang Hasundutan, kini hanya tersisa 7.400 hektar. "Sekarang hutan tersisa tersebut menjadi habitat hewan langka seperti harimau dan beruang, karena di sekitarnya tak ada yang tersisa. Ini tentu membahayakan karena warga biasa menyadap getah kemenyan di hutan tersebut," kata Saurlin.
Ketua Petani Kemenyan Desa Panduman Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan James Sinambela menuturkan, areal hutan kemenyan yang tersisa itu sekarang ini juga sering mendapat tekanan. Hutan kemenyan yang tersisa sekarang dikelilingi oleh HPH TI-nya TPL, kata James.
Direktur PT TPL Juanda Panjaitan mengatakan, aktivitas TPL sepenuhnya berdasarkan areal konsesi yang diberikan pemerintah. "TPL ini enggak punya tanah, yang punya tanah itu negara. Pemerintah memberikannya kepada kami dalam bentuk konsesi, jadi kalau mau komplain, mestinya bukan ke TPL, tetapi ke pemerintah," kata Juanda.
Juanda menuturkan, TPL selalu merespon secara positif tudingan penyerobotan areal yang diklaim milik masyarakat. Dalam kasus hutan kemenyan di Humbang Hasundutan, menurut Juanda, TPL sudah memberitahu kepada warga, agar menandai tanaman kemenyan yang disadap secara teratur sehingga TPL tidak akan menggantinya menjadi eucalyptus.
Selain itu, Juanda juga mengatakan, ada upaya TPL untuk terus memelihara hutan alam dengan menjadikannya blok tanaman kehidupan. "Kalau sudah jadi blok tanaman kehidupan, kami tak akan mengubahnya sampai kapan pun. Tetapi masyarakat juga jangan sampai menebangnya," ujar Juanda.
Free Hit Counters
Free CounterLocations of visitors to this page

No comments: