Awal mula penciptaan bumi, dewa
langit menciptakan dua teritori. Teritori pertama adalah untuk dewa dewi yang
telah memilih menetap di bumi, itulah Tapian Nauli, yang diciptakan mirip
sorga, karena para penghuninya yang berasal dari sorga. Teritori kedua adalah
perkampungan manusia biasa, yang disebut Mula Tompa.
Tapian Nauli terdiri dari Pulau
dan danau yang indah, tempat para peri, dewa dan dewi untuk bersantai sehari
hari, dengan junjungan tertinggi mereka, sang dewi, Deak Parujar. Tempat dimana
segala jenis makanan, minuman yang sehat dan segar tersedia. Air danau tempat
mandi dan minum sekaligus, karena airnya yang segar dan menyehatkan.Tempat
embun bergulung gulung segar yang jika dihirup membuat kulit menjadi bersinar, tempat madu asli yang jika diminum akan
membuat nafas menjadi harum seperti bunga. Segala kebutuhan tersedia disana. Binatang
binatang, burung, dan ikan, bercengkrama dengan akrabnya dengan para dewa dan
dewi. Tempat sang dewi utama, Deak Parujar, melanjutkan hobbi surgawinya,
menenun kain.
Mula Tompa adalah sebuah perkampungan
manusia yang setiap hari terlihat hiruk pikuk, tempat segala jenis manusia
berkumpul dan bertarung mencari nafkah. Setiap orang harus bekerja keras di
ladang untuk mencari sesuap makanan, setiap orang harus berburu ke hutan dengan
bersusah payah untuk mendapatkan daging hewan liar. Siang dan malam tiada istirahat, namun mereka
tetap dengan kondisi yang sulit, tetap menderita. Sesekali mereka diijinkan
sekedar menengok tempat tinggal para dewa dewi di tepian danau indah, tapian
nauli. Mereka semakin gusar melihat dirinya yang semakin susah, sementara dewa
dewi di Tapian Nauli menikmati hidup yang makmur tanpa kekurangan sesuatu
apapun.
Suatu kali penduduk di Mula Tompa
melakukan rapat kampung. Kondisi yang semakin memprihatinkan di kampung telah
memaksa mereka untuk bertemu membicarakan nasibnya. “Buah Pepohonan kita tidak semanis
buah pepohonan di Tapiannauli, umbi-umbian ini tidak selezat yang disana,”Kata
seorang tetua. “Air sungai kita juga tidak sejernih danau mereka, udara yang
kita hirup juga berbeda dengan udara mereka yang harum”,Kata seorang tetua
lainnya. Seorang pemuda memanggul busur menimpali,”Saya tidak bisa menemukan
buruan lagi di hutan kita, sementara disana mereka bercengkrama dengan hewan
hewan”.
“Pantaslah kulit kita lebih jelek dari mereka,
sementara kulit mereka memancarkan sinar cahaya. Nafas kita lebih bau dari
mereka, badan kita kurus kerempeng, tidak seperti mereka yang gemuk. Ini jelas
tidak adil,”kata seorang tetua. “Malah kita harus membanting tulang bekerja,
sementara mereka tiap hari hanya berpesta pora, tidak ada ratap tangis disana,”Tambah
yang lainnya. Pertemuan itu menjadi hiruk pikuk. Mereka bicara bersahut
sahutan.
“Betul, ini tidak adil, kita
harus meminta bagian dari wilayah Tapian Nauli”. “Kita harus mengepung dan
mengalahkan mereka, dan mengambil alih Tapian Nauli itu”. Tidak mungkin, mereka
itu dewa dewi, kita hanya manusia biasa, kita akan mati kalau mereka tahu
tujuan kita. “Nafasnya bisa berubah api yang menyala nyala”. “Pepohonan,
binatang, air, dan udara bisa berbicara kepada mereka”.
Sesaat hening setelah menyadari
kekuatan para dewa dewi itu, seorang tetua menyampaikan usul “Yang Mulia, saya
mengusulkan dibentuk tim investigasi untuk mengetahui apa saja kelemahan
kelemahan mereka”. Semua peserta rapat menyetujui usulan itu. Dikirimlah lima
orang yang paling pintar dan paling kuat diantara mereka untuk melakukan
penyelidikan ke tanah yang menyerupai kepingan sorga itu.
Sesampai di Tapian Nauli, ke lima
orang itu disambut baik oleh para dewa dewi, mereka dibebaskan mengambil dan
memakan seperlunya dari tanah mereka, tetapi tidak boleh membawa lebih dari apa
yang bisa mereka makan. Ketika mereka mencicipi madu yang diberikan, mereka
merasakan kulit mereka lebih berkilau. Ketika mereka meminum air danau yang
jernih itu, terasa nafas mereka menjadi wangi. Kelima orang itu melanjutkan
perjalanannya hingga ke istana utama tempat dewi junjungan seluruh mahluk, dewi
deak parujar, sedang menjalankan hobbinya, menenun ulos.
Ada yang unik disaat para peri
cantik itu bernyanyi, dewi Deak Parujar tertidur pulas, demikian juga dengan dewa
dewi lainnya. Tetapi ketika mereka berhenti bernyanyi, para dewa dewi itu
terbangun kembali. Yakin telah menemukan kelemahan para dewa dewi itu, kelima
orang utusan itu pun pulang ke kampung, dan menceritakan kelemahan dewa dewi
itu kepada para tetua kampung.
Keputusan penting pun diambil,
yakni dewa dewi itu akan diculik, supaya warga kampung bisa menguasai kepingan
sorga itu. Untuk memuluskan penculikan, dibentuklah tim paduan suara untuk
mempelajari lagu lagu yang dinyanyikan para peri itu. Juga, sebuah gedung besar kedap suara dibangun
sebagai tempat baru dewa dewi itu nantinya, berikut alat pemintal dan alat
tenun untuk sang ratu utama. Setelah berbulan bulan latihan dan menyiapkan
niatnya, tim terbaik dari kampung dikirimkan, terdiri dari tim paduan suara dan
tim pemandu tenda kamuflase tempat para dewa dewi itu akan dimasukkan.
Tibalah waktu dimana para peri
sedang menjalankan kebiasaannya berenang ke danau meninggalkan para dewa dewi
yang sedang kedatangan tamu dari Mula Tompa. Tamu yang jumlahnya tidak biasa
itu kemudian mulai bernyanyi lagu lagu kesukaan dewa dewi.
Benarlah apa yang mereka
perkirakan. Dewa dewi itu senang, dan meminta mereka menyanyikan terus menerus
lagu-lagu itu dihadapan sang Ratu dan dewa dewi. Seketika, para dewa dewi
itupun tertidur pulas. “Bernyayi terus, dan angkatlah mereka ke tandu tandu
yang telah disiapkan,”Kata pemimpin rombongan penculik dari desa itu.
Di perjalanan, mereka bernyanyi
terus menerus, berhari hari, bergantian, sampai ada shift siang dan malam, hingga sampai di kampung. Para dewa dewi
itupun dimasukkan ke dalam gedung besar mirip Tapian Nauli. Regu paduan suara
terus diperintahkan untuk bernyanyi sepanjang waktu.”Jangan sampai mereka
terbangun sedetik pun,”Kata pemimpin rombongan penculik Mula Tompa. Dewa dewi
itu telah dibuai dan diperangkap di gedung itu.
Tibalah saatnya penduduk Mula
Tompa menduduki Tapian Nauli. Dengan bergegas mereka bergerak bersama sama menuju
Tapian Nauli. Setelah tiba, mereka mengambil apa saja yang ada di Kepingan
Sorga itu. Mereka makan dan minum sepuasnya. Bukan hanya itu, madu-madu asli
mereka masukkan ke dalam botol, air-air jernih di danau itu mereka masukkan
kedalam galon-galon yang sudah disiapkan. Mereka juga mulai membangun tempat
tinggal baru untuk mereka sendiri ditempat itu. Nafas mereka menjadi wangi,
kulit mereka jadi bercahaya, dan umur mereka menjadi panjang. Masing masing
mengumpulkan emas dan berlian berlomba lomba untuk kekayaan sendiri.
Bertahun tahun tanpa henti, mereka
mengeruk segala yang ada ditempat itu. Mereka bawa pulang, dan sebagian mereka
tumpuk dilumbung dan menjualnya ke perkampungan lain. Mereka alpa, bahwa apa
yang mereka lakukan telah merusak dengan sangat parah danau, merusak tanah, dan
merusak pepohonan. Kepingan sorga itu telah terluka parah.
Hewan hewan telah habis dibunuh
oleh penduduk. Pohon-pohon melayu, Danau menangis, Udara merintih, Tanah yang
berubah gersang bersedih. Pepohonan mulai meraung,”Mengapa mereka menghancurkan
kita?”. Tanah menyahut,”Dewa dewi telah mereka ambil dari kita, sekarang kita
sendiri pun telah dihancurkan mereka. Kita harus membalas kejahatan mereka.
Mari kita tunjukkan bagaimana kekuatan kita”.
Ditengah pesta pora penduduk Mula
Tompa, tiba tiba datanglah angin puting beliung dan hujan deras, selain itu
gelombang air sungai melimpah ruah seperti air bah, tanah bergoyang bertanda
gempa dasyat, dan menyemburkan api yang menyala nyala, meletus membentuk jamur
raksasa di langit. Penduduk kocar kacir dan berseru seru minta tolong satu
dengan yang lainnya. Air yang menggunung menyapu bersih seperti menumpahkan amarah
terhadap warga kampung itu. Ratusan bahkan ribuan orang mati terlindas ganasnya
alam itu.
Mereka yang selamat meratapi
kehancuran tiada tara yang mereka alami. Tidak ada yang tersisa kecuali pakaian
yang melekat di badan, bahkan pakaian mereka telah compang camping, dan
badannya luka-luka. Dengan lunglai mereka pulang ke kampung asal, Mula Tompa. Sembari
bertanya tanya apa gerangan yang membuat bumi marah. Seorang tetua berkata,”Kita
butuh bantuan dewa dewi yang telah kita tawan itu. Kita harus segera
membebaskan mereka dari kampung untuk menyelamatkan kita.
Merekapun bergegas menuju gedung
besar tempat dewa dewi itu terlelap tidur selama bertahun tahun. Mereka masih
menyaksikan regu paduan suara masih terus menyanyikan lagu lagu secara
bergantian. Tetua yang selamat dari bencana dasyat itu meminta paduan suara itu
berhenti bernyanyi. “Kita sekarang telah mendapat bencana besar, mari hentikan
nyanyian ini, sebelum kemarahan alam Tapian Nauli menghampiri kita ke sini.
Kita harus bangunkan dewa dewi itu, kiranya dewa dewi dan ratu juga
menyelamatkan kita,”Teriaknya.
Regu paduan suara itu pun
menghentikan nyanyian itu. Tetapi alangkah terkejutnya mereka, karena dewa dewi
itu tidak bangun dari tidurnya. Dengan wajah yang putus asa mereka menggoncang
goncang tubuh dewa dewi yang wajahnya terlihat tersenyum itu. Tidak ada respon
sama sekali, dewa dewi itu telah tidur untuk selamanya. Dewa dewi itu telah
tertidur terlalu lama, mabuk oleh pujian lagu lagu indah. Awan gelap, bergulung gulung diudara, ratap tangis penyesalan dan menyembah nyembah, tidak mampu membangunkan dewa dewi itu. Dewa dewi itu telah
menjadi patung yang tersenyum, selama-lamanya...
King, Januari 22, 2015.
Free Counter