Sependek ingatanku, tragedi besar di indonesia dalam dua abad terakhir hanya dua; pertama tragedi pembantaian g30s tahun 1965, dan yang kedua tragedi kematian Engeline tahun 2015. Dua peristiwa ini benar benar membuatku ingin muntah. Yg pertama pembantaian ratusan ribu orang tak bersalah, dan yang kedua pembunuhan berencana kepada seorang anak kecil mungil dengan cara yang keji dan dengan tujuan yang jauh lebih keji pula; jika konstruksi yg dipaparkan media tidak keliru.
Pembunuhan massal tahun 65 berakar pada pertarungan keras dua kutub yang terjadi pada abad 20; sebuah peristiwa politik yang kemudian memfasilitasi hasrat gelap dan dendam manusia untuk membunuh sesamanya. Dan... kematian engeline, adalah kematian yang berakar belikat dengan kejiwaan peradaban abad 21 di indonesia. Maaf seribu kali maaf, telah menuduh dan melibatkan kita semua dengan kematian yang terakhir ini. Juga maaf..jika mungkin saya ingin menghidari membaca berita tentang engeline ini, tetapi sekuat aku menghindarinya, media disekelilingku seolah memaksaku memandang berita ini. Saya tergoncang dengan peristiwa ini, teristimewa karena saya punya anak kecil berumur 5 tahun yang setiap tidur wajahnya yang bersih mulia aku pandangi. Sebegitu sayangnya aku padanya sehingga nyamuk seekorpun tidak akan kubiarkan terbang dikamarnya, apalagi menyakitinya
....engeline si malaikat kecil yg cantik dan pinter diakhiri hidupnya secara keji, dikuburkan tidak wajar...kemudian kematiannya diperalat untuk mengumpulkan uang dengan berbagai cara. Sesakit apakah bangsa kita?
Betul, di abad sebelumnya jejak pembunuhan massal di bali adalah salah satu yg paling keji, seperti yg terjadi di jawa dan sumatra..tetapi mustikah aku membandingkan dua peristiwa kelam ini untuk menggambarkan trajektori sakit jiwa yang kita derita? Bagaimana syaraf kejiwaan menyakiti sesama ini terus berlanjut diantara sesama kita?
Sore ini aku bertemu dengan seorang teman lama separuh baya, dan kami bercerita panjang lebar tentang peristiwa saling menyakiti antara sesama masyarakat kita yang, sepertinya kami mendekati sepakat, persis, adalah juga gejala kejiwaan yang menurun dari generasi ke generasi.
Sementara penyakit lama belum sembuh, kita juga sudah diserang tanpa ampun ‘penyakit penyakit’ baru yang bisa lebih beringas dan tanpa serum. Kita semakin gamang dengan semakin menjauhnya kita dari kedirian kita, dari identitas otentik kita yang sesungguhnya.
Ketika masa lalu kita telah dijajah dan terjajah dengan senjata dan pedang (plus kitab suci), kini kita telah di-dan-terjajah oleh bukan hanya apa yg kita pakai dan kita makan, tetapi oleh nilai, gagasan, dan keyakinan keyakinan palsu yang datang bertubi tubi dari segala penjuru. Kita tidak hanya minder dengan diri kita sendiri, lebih parah dan akut adalah melupakan bahwa kita pernah menjadi sesuatu yang otentik, yg sekarang menjadi manusia seolah-olah dan seolah olah manusia. Engeline harus menjadi korban karena kita ingin menjadi orang lain, engeline harus mati karena kita tidak tahu lagi sesungguhnya kita ini siapa dihadapan engeline, malaikat suci itu.
Kita telah begitu banyak kehilangan bagian bagian tubuh kita; kita sudah kehilangan pengalaman spasial sebagaimana nenek moyang kita memilikinya dulu. Kita tidak bertemu hutan lagi, kita tidak bertemu air sungai lagi, kita tidak bertemu binatang binatang lagi disekeliling kita. Dan lebih mengerikan...sesama kita..oh kawan...sesama kita..sudah tidak pernah bertemu lagi; jari-jari kita sudah sibuk melakukan scroll down android, dan sesekali ketak ketik, berjam jam tanpa bicara dengan teman dekat yang ada disamping kita..jiwa kita sudah terpancung jauh, menyembah samsung, dan nokia yang maha kuasa.
Kita bahkan sudah tidak punya nyali untuk menyembuhkan diri kita sendiri. Ayoo..hai orang asing datanglah..dengan begitu aku merasa yakin masalahku ini bisa selesai....ayoo..hai pemiling uang dari negri asing..investor yg maha kuasa..datanglah...kami miskin butuh dibantu....ayooo hai budaya asing...berkuasalah disini..sebab kami tidak berbudaya lagi..ayoo lembaga PBB..datanglah..penyelamat yang maha kuasa..selamatkanlah danau toba kami yang indah..dari kehancuran..sebab kami tidak tahu lagi memulai darimana...datanglah bersama dengan uangmu.
Ayo minta minta...dengan tangan secara fisik dijalanan raya untuk bangun gereja atau masjid..dengan terang benderang pakai tulisan ‘donasi’. Ayo minta minta..dengan buat proposal ke orang orang asing itu..dengan jujur atau dengan boong boongan... ayolah..kami benar benar tidak berdaya..kami musti bermain drama ini untuk memancing kamu datang membantu kami...
Aku ingin ambil contoh paling dekat dihadapanku tentang kebohongan. Aku menyaksikan teman temanku pinter bermain drama pendek, posting sesuatu plus gambar di media sosial. Aku tahu kamu tidaklah begitu, dan aku tahu kamu bukanlah itu, tetapi kenapa kamu harus bermain drama dan melankolia seolah hidupmu ada di sinetron picisan? Kepentingan kepentingan begitu banyak tersembunyi secara tidak begitu rapi membuat kita hanya bisa tersenyum bahkan terbahak-bahak menyadari ketelanjangan ketelanjangan seperti itu.
Sejak kapankah kami mulai melupakan leluhur kami? Sejak kapankah kami lupa terhadap diri kami yang sesungguhnya? Sesakit apakah masyarakat kita? Sesakit apakah komunitas kecil gerakan sosial kita?
@kingkong, july13, 2015. ....engeline si malaikat kecil yg cantik dan pinter diakhiri hidupnya secara keji, dikuburkan tidak wajar...kemudian kematiannya diperalat untuk mengumpulkan uang dengan berbagai cara. Sesakit apakah bangsa kita?
Betul, di abad sebelumnya jejak pembunuhan massal di bali adalah salah satu yg paling keji, seperti yg terjadi di jawa dan sumatra..tetapi mustikah aku membandingkan dua peristiwa kelam ini untuk menggambarkan trajektori sakit jiwa yang kita derita? Bagaimana syaraf kejiwaan menyakiti sesama ini terus berlanjut diantara sesama kita?
Sore ini aku bertemu dengan seorang teman lama separuh baya, dan kami bercerita panjang lebar tentang peristiwa saling menyakiti antara sesama masyarakat kita yang, sepertinya kami mendekati sepakat, persis, adalah juga gejala kejiwaan yang menurun dari generasi ke generasi.
Sementara penyakit lama belum sembuh, kita juga sudah diserang tanpa ampun ‘penyakit penyakit’ baru yang bisa lebih beringas dan tanpa serum. Kita semakin gamang dengan semakin menjauhnya kita dari kedirian kita, dari identitas otentik kita yang sesungguhnya.
Ketika masa lalu kita telah dijajah dan terjajah dengan senjata dan pedang (plus kitab suci), kini kita telah di-dan-terjajah oleh bukan hanya apa yg kita pakai dan kita makan, tetapi oleh nilai, gagasan, dan keyakinan keyakinan palsu yang datang bertubi tubi dari segala penjuru. Kita tidak hanya minder dengan diri kita sendiri, lebih parah dan akut adalah melupakan bahwa kita pernah menjadi sesuatu yang otentik, yg sekarang menjadi manusia seolah-olah dan seolah olah manusia. Engeline harus menjadi korban karena kita ingin menjadi orang lain, engeline harus mati karena kita tidak tahu lagi sesungguhnya kita ini siapa dihadapan engeline, malaikat suci itu.
Kita telah begitu banyak kehilangan bagian bagian tubuh kita; kita sudah kehilangan pengalaman spasial sebagaimana nenek moyang kita memilikinya dulu. Kita tidak bertemu hutan lagi, kita tidak bertemu air sungai lagi, kita tidak bertemu binatang binatang lagi disekeliling kita. Dan lebih mengerikan...sesama kita..oh kawan...sesama kita..sudah tidak pernah bertemu lagi; jari-jari kita sudah sibuk melakukan scroll down android, dan sesekali ketak ketik, berjam jam tanpa bicara dengan teman dekat yang ada disamping kita..jiwa kita sudah terpancung jauh, menyembah samsung, dan nokia yang maha kuasa.
Kita bahkan sudah tidak punya nyali untuk menyembuhkan diri kita sendiri. Ayoo..hai orang asing datanglah..dengan begitu aku merasa yakin masalahku ini bisa selesai....ayoo..hai pemiling uang dari negri asing..investor yg maha kuasa..datanglah...kami miskin butuh dibantu....ayooo hai budaya asing...berkuasalah disini..sebab kami tidak berbudaya lagi..ayoo lembaga PBB..datanglah..penyelamat yang maha kuasa..selamatkanlah danau toba kami yang indah..dari kehancuran..sebab kami tidak tahu lagi memulai darimana...datanglah bersama dengan uangmu.
Ayo minta minta...dengan tangan secara fisik dijalanan raya untuk bangun gereja atau masjid..dengan terang benderang pakai tulisan ‘donasi’. Ayo minta minta..dengan buat proposal ke orang orang asing itu..dengan jujur atau dengan boong boongan... ayolah..kami benar benar tidak berdaya..kami musti bermain drama ini untuk memancing kamu datang membantu kami...
Aku ingin ambil contoh paling dekat dihadapanku tentang kebohongan. Aku menyaksikan teman temanku pinter bermain drama pendek, posting sesuatu plus gambar di media sosial. Aku tahu kamu tidaklah begitu, dan aku tahu kamu bukanlah itu, tetapi kenapa kamu harus bermain drama dan melankolia seolah hidupmu ada di sinetron picisan? Kepentingan kepentingan begitu banyak tersembunyi secara tidak begitu rapi membuat kita hanya bisa tersenyum bahkan terbahak-bahak menyadari ketelanjangan ketelanjangan seperti itu.
Sejak kapankah kami mulai melupakan leluhur kami? Sejak kapankah kami lupa terhadap diri kami yang sesungguhnya? Sesakit apakah masyarakat kita? Sesakit apakah komunitas kecil gerakan sosial kita?
Free Counter