*) Tulisan tahun 2007 ini sengaja saya tampilkan ulang, mengenang kembali karya Almarhum yang meninggal hari ini Minggu 3 Agustus 2014 sekitar pukul 15.00 WIB di Taman Jubileum, GBKP Gelora Kasih, Sukamakmur, Bandar Baru, Deli Serdang, Sumatera Utara.
************
”Saya sering menatap dari atas (bukit) di Bandar Baru
tempat saya sebagai pendeta Jemaat, saya pandang ke bawah. Ada dua yang berbeda
kontras antara bandar baru dengan desa desa disekelilingnya. Semua rumah yang
beratap seng, pasti bungalow-bungalow itu, dan semua rumah yang beratap daun
rumbia, pasti rumah penduduk desa. Petani yang benar-benar bekerja susah payah,
sangat miskin, sementara orang yang tidak susah payah kerja, kaya. Ini menjadi
kegelisahan tersendiri bagi saya setelah menjadi pendeta untuk 13 desa se
kecamatan Bandar Baru”
Kutipan ini
sepertinya sudah bisa menceritakan semuanya, mengapa Pdt. Borong ingin
melakukan pemberdayaan pedesaan. Namun jika ditelisik lebih jauh, ternyata
kesadaran akan persoalan pedesaan ini sudah terbentuk sejak lama. Borong adalah
anak desa terpencil, bernama Selakkar, kecamatan Bandar Baru, sekitar 15
kilometer dari ibukota kecamatan Bandar Baru, desa yang sangat kesulitan secara
ekonomi. Satu momentum penting bagi Borong muda adalah ketika bertemu dengan
”agama-agama’ sewaktu menempuh sekolah menengah atas di Kabanjahe. Borong
memiliki kelompok diskusi, 5 orang teman satu kost, yang mendiskusikan
agama-agama yang menurut mereka hal yang baru dan menarik saat itu, kemudian
mereka sendiri akan memilih agama yang menurut mereka menarik. Mereka, yang
semuanya menganut pemenah itu merencanakan untuk mendiskusikan agama satu
persatu. Rencananya giliran pertama adalah membaca kitab agama kristen,
kemudian dilanjutkan dengan membaca kitab Alquran.
Selesai diskusi
tentang agama Kristen, diskusi tentang Alqur-an tidak dilanjutkan karena
kesulitan bahan. Akhirnya Borong masuk kristen bersama teman temannya, segera
pergi ke gereja dan minta didaftarkan. Rupanya syaratnya, Borong harus
melepaskan jimat-jimat yang dikantonginya, sebagai penjaga badan yang diberikan oleh orang tua. Hingga kini, Borong
masih ingat dengan mantra-mantra yang diajarkan kepadanya, bahkan Borong sempat
sudah bisa mengobati penyakit dan keracunan dengan hanya membaca mantra. ”Tidak apalah, katanya”,kemudian Borong menjadi
Kristen. Tahun 1960, Borong dibaptis.
Setelah melanjutkan
studi ke Fakultas teknik Universitas Sumatera Utara, tahun 1962, Borong muda
langsung aktif ke gereja, bahkan menjadi guru sekolah minggu dan pembaca
’ting-ting’(pengumuman) di gereja GBKP Batang Serangan, tempat Selamat Barus
sebagai pimpinan gereja, yang belakangan menjadi koleganya di Parpem. Di kampus
USU yang saat itu masih di Jalan Gandhi, Borong juga sempat memasuki GMNI,
under bow-nya PNI. Tetapi tidak bisa merasa tenang, karena konflik yang tinggi
di kampus antara organisasi-organisasi mahasiswa seperti CGMI, GMNI, GMKI,
Masyumi dan HMI. Terkadang Borong merasa kiamat sudah dekat, karena setiap hari
ada saja demo besar besaran, saling unjuk kekuatan antara massa yang satu
dengan massa yang lain, termasuk ormas-ormas besar saat itu. Oleh karena itu
Borong semakin tertarik membaca alkitab, khususnya Wahyu.
Ketika terjadi
peristiwa G 30 S, terjadi perubahan besar di Indonesia yang berdampak luas
termasuk ke Sumatera Utara. Tepat pada saat kejadian ini, bersama TB.
Simatupang, Borong sedang berada di Nias melakukan kerja bakti yang disebut
dengan Kelompok Kerja Oikumene (KKO), dimana Borong sebagai salah satu utusan
dari gerejanya.
”Tahun 1965 saya ikut Tim Kerja Oikumene di Nias, disitu
pertama kali saya ketemu dengan TB Simatupang, disitu pula terjadi G 30 S. Pas
Jubileum 100 tahun BNKP. Pada waktu itu mau di perkuatlah gereja ini begitu.
Kami di sana membuat jembatan di Teluk Dalam. T.B. Simatupang mendapat kabar
bahwa terjadi pembunuhan terhadap petinggi militer di Jakarta, yang kemudian
dikenal dengan G 30 S.(Oleh karena itu) harus pulang segera ke Jakarta, tidak
tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Tapi sudah kira kira cemas cemas
lah”.
Dimana mana
terdapat penghakiman massal terhadap orang orang yang dituduh terlibat PKI. Ini
juga punya dampak terhadap agama-agama. Kristen salah satu yang mendapat
keuntungan. Banyak yang masuk ke Kristen, bukan persoalan mereka terlibat atau
tidak dengan persoalan politik, tetapi dengan memiliki agama resmi, warga
merasa lebih aman. Dengan demikian terjadi kekurangan para pelayan gereja untuk
melayani orang orang yang mau masuk kristen itu.
Di gereja GBKP
Batang Serangan, Borong termasuk salah satu yang diminta untuk ikut dalam
pelayanan. Oleh karena itu Borong harus ikut pelatihan yang lamanya sekitar 2
minggu. Disitu diajari bagaimana cara membabtis orang, dan sebagainya.
Pelatihnya Pdt. Boden Grafen, seorang Belanda yang datang dari Papua.
”Saya kursus oleh Pdt. Bodergrafen, tapi sebelumnya saya
sudah guru sekolah minggu GBKP dulu. Setelah pelatihan itu, pergi ke kampung
kampung mengajari orang. G 30 S masih berkecamuk. Saya juga ke Langkat,jalan
kaki puluhan kilometer, disana ada perkampungan komunis, semuanya ditangkap,
romobongan Beheng Keliat, ada perkampungan 5 hektar disitu. Dikampung itu saya
mengajar orang untuk naik sidi. Hanya 1 bulan, dan langsung bisa dibabtis
begitu, heheee. Seberanya, jalan yang parah menuju desa-desa itu menjadi
pergumulan khusus bagi saya”.
Setelah itu Borong
terlibat ke desa-desa untuk melakukan pelayanan. Keprihatinan yang muncul saat
itu adalah susahnya masuk desa, sungai tanpa jembatan, sehingga harus berenang,
serta memprihatinkannya kehidupan masyarakat desa saat itu.
Kampus USU saat itu
tidak berjalan dengan baik, sementara Borong sudah aktif dalam pelayanan di
Gereja. Akhirnya dengan konsekuensi diputus dana dari kampung, Borong memutuskan untuk mendaftar di sekolah pendeta
ke Siantar, STT HKBP Nommensen, dan meninggalkan USU pada tahun 1967. Orang tua
sangat menentang keputusan ini dan pada akhirnya tidak membiayai kuliah Borong
lagi.
Setelah diterima
sebagai mahasiswa STT, proses selanjutnya adalah mencari biaya kuliah dan
akomodasi. Tidak jauh dari Kampus, terdapat sebuah rumah kosong, yang ternyata
adalah rumah salah seorang dosen asing yang ada di STT Siantar. Borong bersama
seorang temannya, Usman Meliala, mengajukan permohonan untuk tinggal dirumah
itu.
Permohonan itu
diterima pemilik rumah, dengan syarat mereka harus memotong rumput halaman dan
kebun rumah yang tergolong luas, juga melayani tamu yang datang ke rumah
tersebut. Rumah itu ternyata hanya dipakai jika ada pertemuan pertemuan saja.
Seperti mendapat durian runtuh, mereka juga akhirnya mendapat uang pengganti
lelah memotong rumput sebanyak Rp. 7000 setiap bulan. Menurut ukuran tahun
70-an, tentu uang itu sudah lebih dari cukup buat mereka. Sebagian dari uang
itu mereka berikan kepada mahasiswa yang kesulitan ekonomi.
Dikampus, terdapat
dua dosen yang dianggap Borong cukup berkesan, Bayern dan Pdt. F. Siregar.
Bayern, dosen berkewarganegaraan Jerman dan perwakilan VEM pada saat itu,
memiliki pemahaman teologi yang menurut Borong sangat menarik perhatiannya.
Belakangan, Bayern memiliki peran besar atas terbangunnya kerjasama besar antara
EZE dengan Parpem GBKP. Secara
sederhana, Borong menyebut teologi itu dalam satu kalimat : ”Keselamatan itu
sudah ada, tetapi harus diperjuangkan, tidak ada perubahan tanpa perjuangan”.
Sementara itu, Pdt. F Siregar memiliki daya tarik diberikannya kebebasan
akademik kepada mahasiswa, yakni dibebaskan kotbah apa saja bagi mahasiswa,
sebelum pelajaran dimulai.
Tahun 1971, menjadi
tahun yang berkesan khususnya bagi Borong Tarigan dan Usman Meliala. Rumah
tempat mereka melayani menjadi salah satu penginapan peserta Sidang Raya DGI
VII yang diselenggarakan di Siantar. Peserta yang menginap dirumah itu
kebetulan adalah orang kunci dalam sidang tersebut, diantaranya SAE Nababan
(Sekjen DGI), dan TB Simatupang. Sehari-hari mereka mendapat kesempatan untuk
cerita di rumah pada pagi hari dan malam hari. Perdebatan di sidang-sidang DGI
tentunya menjadi topik pembahasan di rumah. Borong dan Usman tentu menguasai
wacana di sidang, karena mereka, sebagai senior di kampus, adalah sebagai
panitia lokal sidang raya tersebut. Cerita tentang teologi sosial, peran sosial
gereja dan pembangunan menjadi wacana yang akrab bagi mereka.
Asal Usul jabatan
”Kepala Padat Karya”
Tahun 1971, Borong
diangkat menjadi pendeta yang ke 30-an di GBKP segera setelah menamatkan
sekolahnya dari STT. Modal keterlibatan masyarakat yang sudah sering dilakoni
sebelumnya menjadi sangat berharga dan memberikan warna berbeda dalam melakukan
kerja kependetaan ke desa-desa se-kecamatan Sibolangit. Waktu lebih banyak
dihabiskan dengan diskusi di Jambur desa daripada di altar gereja. Masalah desa
ditemukan melalui media diskusi jambur. Muncullah jawaban-jawaban atas masalah
masalah kongkrit yang dihadapi, yang menuntut tindak lanjut penyelesaian
kongkrit. Ternyata, masalah pada waktu itu terpusat pada kesuntukan masyarakat
pada kebutuhan fisik dan fasilitas umum yang tidak memadai seperti akses jalan
ke desa, air minum, listrik dan masalah pertanian mereka. Tentu Borong juga
merasakan hal yang sama sebagai pendeta yang tinggal sehari-hari bersama-sama
dengan warga desa.
Salah satu kegiatan
yang paling berkesan adalah ketika diputuskannya gotong royong secara terus
menerus dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah bersama tersebut. Ketiga
dilakukan gotong royong untuk membangun jalan sepanjang lebih dari 4 kilometer,
kondisi desa saat itu sedang carut marut dilanda kelaparan. Namun kondisi ini
tidak menghentikan usaha warga untuk meneruskan niatnya. Borong Tarigan mencoba
membangun kontak dengan lembaga dari luar bernama CWS ( Christian World
Service) untuk memberikan bantuan terhadap kebutuhan warga desa itu sembari
melakukan gotong royong itu.
Gayung bersambut,
CWS datang dengan bantuan beberapa truk beras, pakaian bekas dan logistik
lainnya menuju desa. Sesampai di jalan menuju desa, timbul masalah siapa
penanggungjawab gotong royong itu, sebagai orang yang bertanggungjawab nantinya
terhadap bantuan yang diberikan oleh CWS. CWS ternyata tidak membenarkan
seorang pendeta untuk menanggungjawabi bantuan semacam itu. Borong Tarigan
tidak kehabisan akal, merasa sangat rugi jika bantuan itu harus pulang karena
tidak ada yang bisa menandatangani surat pertanggungjawaban, Borong Tarigan
mengaku sebagai Kepala Padat Karya GBKP. Petugas CWS itupun langsung
menyodorkan kertas untuk ditandatangani, tanda setuju barang bantuan itu
diturunkan dari truk dan diserahkan kepada warga desa.
Lelucon ’kepala
padat karya” ini tentunya bisa jadi masalah besar kalau tidak segera dibereskan
dengan ketua Moderamen GBKP, yang pada saat itu dijabat oleh Pdt. Anggapen
Ginting Suka. Akhirnya, karena merasa tidak tenang, Borong Tarigan bergegas
berangkat ke Kabanjahe, melaporkan kepda moderamen jabatan baru yang dibuatnya
sendiri itu di tubuh GBKP.
”Aduh aku sudah salah ini pak, aku sudah bilang sebagai
kepala padat karya GBKP kepada petugas CWS, karena kalau tidak, bantuan yang
sangat berharga bagi desa itu akan dibawa pulang. Terpaksa aku berbohong kepada
mereka, karena jika saya bilang pendeta, mereka tidak mau memberikan bantuan
itu”. Ketua moderamen tersenyum saja sama saya, dan dia bilang,”Udah, ngga
apa-apa itu”. Sejak saat itu, sesama pendeta menyebut saya sebagai kepala padat
karya”
Belakangan, jabatan
ini menjadi jabatan yang benar benar ada dan disahkan secara formal di tubuh
GBKP tahun 1975, dengan kepalanya yang pertama (dan terakhir) dijabat oleh
Borong Tarigan. Struktur yang kemudian diganti menjadi unit infrastruktur ini berada
dibawah Departemen pelayanan pembangunan yang diketuai oleh Pdt. Selamat Barus
pada waktu itu.
Bulan oktober 1974,
Borong Tarigan memperoleh kesempatan dari gereja untuk mengikuti pelatihan di
Cikembar yang diselenggarakan oleh Depelpem DGI selama tiga bulan. Pertemuan
itu membahas proyek-proyek gagal yang ditangani oleh gereja sebelumnya, dan
memikirkan model baru bentuk proyek yang
akan dilakukan. Setiap peserta diberikan kesempatan untuk memikirkan apa
yang tepat untuk dilakukan didaerahnya masing-masing yang kemudian akan
dievaluasi bersama.
Bulan februari
1975, setelah pulang dari pelatihan Borong membuat proposal kecil membuat
sebuah jembatan ditempat yang sangat terpencil, desa Laja kecamatan Sibolangit,
sekitar 10 kilometer dari ibu kota kecamatan. Nilainya sebesar Rp. 375.000.
Kemudian untuk memenuhi persyaratan DGI, Borong memohon tandatangan dari Ketua
Moderamen. Setelah satu minggu tidak ada tanggapan, Borong mendatangi Ketua
Moderamen kembali. Moderamen menyuruh Borong Tarigan meminta surat resmi dari
DGI bahwa DGI memohon tandatangan moderamen.
Akhirnya Borong
Tarigan tidak pernah lagi meminta tanda-tangan moderamen, setelah melaporkan
hal itu kepada DGI, karena DGI setuju mencairkan dana itu tanpa tanda tangan
dari moderamen. Hal membuat moderamen GBKP kaget, dan segera tersebar kepada
pendeta-pendeta lainnya bahwa Borong mendapat dana pembangunan. ”Kepala padat
karya itu mendapat proyek lagi” . Hal semacam ini tentunya sangat sensitif,
ditengah sulitnya keuangan yang dihadapi gereja, pasca pemandirian gereja,
sepeninggalan NZG sekitar tahun 40-an.
Gaji pendeta sangat
kecil. Sebagai contoh, gaji Borong Tarigan sebagai pendeta sebesar Rp. 2.200 per bulan, dan mendapat beras 2, 5
kaleng per bulan, jauh dibawah gaji ketika Borong sebagai tukang babat rumput
halaman rumah majikannya di Siantar, sebesar Rp. 7.000 per bulan.
Proyek pembangunan
jembatan itu ternyata cukup berhasil menurut ukuran DGI, setelah mereka
melakukan kunjungan ke desa itu. Pada pelatihan berikutnya, tahun 1976, yakni
yang dikenal sebagai generasi ke II Cikembar, Borong Tarigan diminta menjadi
salah seorang narasumber. Topik yang disampaikan adalah bagaimana sebuah
masalah di desa ditemukan, merencanakan sebuah proyek, melaksanakan hingga
melaporkannya.
Pada kesempatan itu
Borong menyampaikan perlunya memikirkan semacam bank untuk membangun
kemandirian ekonomi masyarakat pedesaan dan gereja. Hal ini bercermin pada
gagalnya proyek-proyek gereja dan hilangnya dana itu begitu saja. Usul Borong
itu menarik perhatian Pelpem DGI, dan mereka berniat mengirim Borong untuk
orientasi ke sebuah bank pedesaan yang dianggap berhasil di Palakogon,
Philipina Selatan. Sepulang dari Philipina inilah, mulai terpikirkan untuk
membangun bank secara kongkrit di pedesaan tanah Karo, yang kemudian bersama
Selamat Barus dan bantuan M.P. Ambarita, bank didirikan awal tahun 90-an,
bank yang kini kita kenal dengan Bank Perkreditan Rakyat Pijer Podi Kekelengan
(BPR PPK).
Free Counter