Saya baru saja menyadari fakta yang membuat hati miris;
ternyata 70 % penduduk di Janjimaria desa Parbagasan, tidak memiliki tanah.
Sawah terhampar luas disebelah timur dan utara pedesaan ini ternyata berada di
tangan masyarakat yang tinggal di kota. Status penduduk mayoritas adalah
penyewa tanah. Sekitar 15 persen penduduk adalah buruh tani, yang sehari hari
bekerja untuk mendapatkan upahan dari ladang orang lain, entah itu ladang
penyewa tanah atau pemilik tanah. Ini adalah observasi sederhana saya kepada
beberapa keluarga selama 7 hari minggu terakhir 2012 dan minggu pertama awal
tahun 2013 di desa ini.
Tristan berlari mengejar bebek, Toruhuta, Janjimaria |
Inilah gambaran kampung ini: Tidak lebih dari 2 orang yang
memiliki sawah sekitar 2 hektar dan tidak ikut mengerjakan sawah. Dan tidak
lebih dari 5 orang yang memiliki sawah sekitar 1 hektar, dan tidak lebih dari
15 orang yang memiliki sawah 0,5 hektar. Sebanyak 20 kk yang memiliki tanah
tidak lebih dari 0,7 hektar. Selebihnya mayoritas adalah penyewa tanah tanpa
tanah sama sekali. Pemilik tanah 0,5 hektar ke bawah, yang mengusahai langsung
tanahnya, sekaligus adalah penyewa tanah.
Bentuk sewa menyewa tanah adalah dengan memakai sistem bagi
hasil yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Pemilik tanah mendapatkan
sebanyak 30 % dari hasil kotor panen padi. Tidak hanya itu, terkadang jumlah itu
bukan 30 %, melainkan sejumlah sewa tetap, yang tidak bisa diganggu gugat,
tanpa mempertimbangkan baik buruk hasil panen padi.
Ongkos proses produksi mulai dari turun kesawah (mangombak),
menanam, panen, hingga padi sampai dirumah tidak diperhitungkan dalam sistem
bagi hasil sedemikian. Dalam sistem bisnis modern, antara pemilik alat produksi
(dalam hal ini tanah) dan pekerja (pelaksana pekerjaan dalam hal ini penyewa
tanah) membagi keuntungan setelah dikurangi semua pengeluaran proses produksi.
Lihat perbandingan sistem yang adil dan tidak adil dibawah ini:
Sistem yang adil: Sewa = (Hasil Panen – Proses Produksi) : Pemilik + Penyewa
Sistem yang tidak adil: Sewa = Hasil Panen: (Pemilik +
Penyewa)
Warga desa ini sesungguhnya diselamatkan bukan oleh
pertanian padi mereka, tetapi oleh pekerjaan pekerjaan sambilan lainnya,
seperti menanam jagung dan ubi di kebun, berternak ikan, babi, kerbau, ayam,
bertenun ulos, manirat (membuat hiasan di ulos), hingga menarik beca.
Hamparan sawah dilihat dari mualpultak |
Tidak semua tahan dengan kesulitan kehidupan yang dihadapi.
Banyak orang sudah bergantung kepada orang kaya di desa dengan cara mengutang
bayar panen (marsali). Dampak dari ketidakmampuan keluar dari kemiskinan ini
sudah mulai ada. Beberapa warga sudah mulai kehilangan impian mereka untuk
sejahtera. Mereka memilih untuk tidak bekerja keras lagi, pergi minum tuak ke
kedai, atau sekedar main batu (main kartu dengan memakai batu domino), dan
beberapa orang muda terlihat bermain judi tuo.
Gerombolan Horbo ditengah huta |
Sistem ini harus dirobah kalau tidak mau melihat warga desa
ini terus miskin puluhan tahun bahkan ratusan tahun lagi. Sekeras apapun mereka
bekerja tidak akan ada perubahan nasib mereka. Sekarang keputusan ada ditangan
anda pemilik tanah yang sesungguhnya masih keluarga dekat para penyewa tanah.
Kebanyakan mereka adalah saudara kandung abang – adik, dan saudara perempuan,
ada juga tulang, amang boru, dan lain lain yang masih sedarah. Anda tidak seharusnya mendapatkan keuntungan
dari darah para saudara kandung kita, mungkin hanya karena anda laki-laki yang
mendapatkan warisan, meski sudah berkecukupan di perantauan sana.
Jika anda-anda para pemilik tanah yang tinggal di kota kota
besar seperti Jakarta, Medan, Lampung, Siantar, Balige, dan lain-lain mau
berbagi rasa dengan mereka keluarga kita di desa dengan cara memakai sistem
bagi hasil yang adil, maka anda telah melakukan sesuatu yang luar biasa untuk
merubah desa ini ke arah yang lebih baik.
Saurlin, par lumban tonga-tonga, Janjimaria, awal januari
2013.