Tahun 1990-1993 adalah tahun tahun yang berat bagi keluarga
kami. Gejolak politik gereja hampir saja mengoyak keutuhan keluarga kami, yang
terbukti ternyata sangat tangguh. Saya tidak
tahu banyak tentang pertikaian antara dua kubu di gereja hkbp- saya masih SMP
waktu itu. Tetapi yang saya tahu, karakter kedua orang tuaku terungkap sampai
ke akar-akarnya, disaat saat mereka menghadapi titik nadir dan kekalutan
kehidupan.
Ibu saya adalah seorang pembela radikal sae nababan, dan
secara terbuka mengungkapkan itu didepan publik, meskipun pendidikan ibu saya
rendah, tetapi hati nuraninya bicara sangat kencang dan berwibawa dihadapan
teman temannya. Bapak saya, seorang sintua gereja, lebih kalem, dan tidak terlalu
terbuka dengan pikirannya kepada publik, lebih moderat, sehingga terlihat ibu
saya jauh lebih menonjol kepemimpinannya disaat genting seperti itu. Tetapi ayah
saya luar biasa mengelola huru hara yang terjadi antar keluarga, antar kampung,
antar kecamatan, karena intervensi militer saat itu terhadap gereja. Disaat saat kebencian meningkat dan permusuhan
tidak terelakkan, bapakku masih bisa membuka komunikasi dengan musuh sekalipun,
mendatangi pimpinan musuh, dan mencoba meredam pertentangan yang menajam. Namun
tetap saja ketahuan, bahwa bapak saya sebenarnya berpihak kepada hati
nuraninya, sebagaimana ibuku.
Dampaknya, bapak saya dipensiun dini dari jabatan sintua
gereja, dengan umur yang relatif masih muda, dia menyandang gelar sintua
emeritus, dari gereja hkbp simare mare. Tetapi dia tidak menyerah, dia tetap
melakoni diri sebagai jemaat biasa. Ibu saya tidak, dia terlibat aktif di
gereja parlape-lapean, menjadi motor penggerak disana, dan tetap bersuara
lantang. Masing masing karakter ini punya keuntungan masing masing.
Aksi bapak saya setidaknya menghindarkan rumah kami dari
rencana penghancuran kelompok SAI Tiara. Kelompok SAI Tiara adalah kelompok
bentukan Militer untuk menghancurkan kelompok SSA atau setia sampai akhir, nama
untuk gerakan grassroot gereja dibawah pimpinan SAE Nababan. Akibat usaha bapak saya, rumah saya keluar
dari list penghancuran – ingat film schinder list- yang dibuat oleh sekelompok
pimpinan gereja resort sigumpar. Meskipun tetap was-was; kami harus mengungsi
berhari-hari ke rumah orang lain, keluarga juga, yang memihak kepada SAI TIARA.
Beberapa rumah tetangga kami banyak yang dihancurkan tengah
malam. Setelah dihancurkan, isinya dijarah, termasuk ternak seperti angsa,
bebek atau babi dari kandangnya. Lucunya, sebelum dihancurkan, biasanya pemilik
rumah mendapat peringatan supaya meninggalkan rumahnya, kalau tidak mau korban
didalamnya. Para pelaku jagal ini adalah orang orang dekat yang diperintah oleh
pimpinan gereja yang sudah diintervensi militer. Persis, sebuah kerja kesetanan
yang sistematis, dan sulit dijelaskan dengan akal sehat.
Belakangan setelah mahasiswa, saya semakin tahu konflik apa
yang terjadi sesungguhnya di gereja besar bernama hkbp itu. Beberapa laporan
yang saya baca menuliskan, bahwa pimpinan karismatik hkbp saat itu, sae
nababan, melakukan dua hal yang tabu pada jaman suharto: menolak masuk Golkar,
dan menolak berdirinya PT Inti Indorayon Utama di Porsea.
Selang beberapa waktu, militer mulai memasuki tubuh hkbp
melalui serangkaian intervensi dan pembunuhan karakter terhadap sae nababan,
hingga menciptakan kepemimpinan boneka yang lahir dari sinode istimewa,
bertempat di Hotel Tiara medan, satu satunya sinode yang dilakukan bukan di
kantor pusat hkbp, pearaja tarutung, sepanjang sejarah hkbp. Kelompok sae
nababan mengalami penyiksaan, penangkapan, bahkan, beberapa laporan bawah tanah
mencatat ratusan orang mati hingga kini tidak jelas pendokumentasiannya. Laporan
lain mencatat bahwa kelompok sae nababan banyak tertolong oleh keluarga dekat
yang menyembunyikan mereka, dan gereja tetangga seperti sekelompok orang di
gbkp yang luar biasa menyimpan banyak tokoh penting di shelter mereka.
Kembali ke keluarga saya; Ibu saya benar benar marah, ketika
guru huria gereja kami yang setia pada pimpinan SAE Nababan, diusir secara
paksa oleh sekelompok sintua-lagi lagi atas perintah ‘atasan’ . semua peralatan
rumah tangga, hingga pakaian, koper, dan tempat tidur dibuang secara terbuka ke
sungai terdekat, sungai Simare. Semua orang, laki laki perempuan dan anak anak
sehari hari melihat benda benda berharga itu mengapung di sungai. Ini tindakan
gila yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Secara pribadi, saya juga mengalami kekerasan psikis dari
orang orang sekitar saya yang mendukung SAI Tiara. Saya heran apa mereka benar
benar mengerti apa itu SAI Tiara, soalnya sekolah mereka juga tidak tamat
sekolah rakyat jaman dulu.
Suatu kesempatan, ketika saya berjalan kaki ke sebuah kedai
kecil, sekelompok orang tua disana yang berumur antara 50-an hingga 60-an
menegur saya. “Hei kau jangan datang datang kesini ya, kau anak orang yang tak
beres kau, kau juga mata-mata,” kata orang tua yg saat tulisan ini saya buat
masih hidup. Saya yang masih remaja, tidak mengerti apa-apa, dan menanyakan
kepada orang tua saya kenapa saya dibenci banyak orang. Mereka bilang, karena
kita membela yang benar.
Jika saya pulang kampung, saya selalu sempatkan melihat
orang tua yang keji itu, sekedar melihat lihat wajahnya dan terus bertanya
dalam hati, kenapa ya dia ini begitu sinis dan benci kepada saya yang saat itu
masih anak-anak? Ucapan dia diatas sangat membekas dalam ingatan saya.
Sebagai salah seorang penggiat hak asasi manusia, dan
sebagai jemaat hkbp, maaf saya harus menulis sejarah dan kenyataan pahit ini,
supaya kita belajar dari sejarah, dan anak cucu kita tidak mengulangi kejadian
yang menurut saya, sama kejinya dengan peristiwa 65......
Kedua orang tua saya sekarang sudah berumur diatas 70 tahun.
Bapak sudah mulai sakit sakitan, tetapi ibu masih sehat sekali, sesekali masih
mengunjungi rumah kami di medan. Saya salut dengan pilihan mereka. Semoga mereka
berdua, yang adalah pahlawan dan idola bagi saya selalu sehat dan setia
terhadap hati nuraninya. Mereka adalah hero dengan "h" kecil, bukan dengan "H" besar. Dengan damai mereka telah kembali bergereja setiap
minggu ke gereja hkbp simare mare, ditengah persawahan di desa kami. Meski
bapakku pensiun dini, dalam setiap kesempatan, masih menulis namanya dengan St.
Em. M. Siagian, artinya Sintua emeritus.