Peta Labuhan Batu Utara |
Kualuh Leidong, biasa disingkat Ledong, adalah legenda bagi seantero
Sumatra. Tanjung Leidong, ibu kota Kualuh Leidong, Labuhan Batu Utara, menjadi pusat magnet kawasan
ini, sebuah pelabuhan kecil yang berada di sudut paling timur pesisir Sumatra
Utara. Tanjung Leidong ini menyimpan
segudang keunikan dan misteri bagi pengunjungnya. Bermacam-macam stigma
terhadap kota kecil di Selat Malaka ini, mulai dari tempat tujuan pelarian,
gudang perompak kapal, penghasil udang, hingga produsen padi terbesar di
Sumatra Utara. Tinggal sejenak di kota pelabunan ini, serasa berada di setting
film layar lebar, Pirates of the
Carribean. Jika ada orang muda Tapanuli, dataran tinggi Sumatra, yang
bertindak kriminal, dan melarikan diri, biasanya beberapa tahun kemudian akan
ketahuan, yang bersangkutan ada di Leidong, kota pelabuhan itu.
Stasiun Kereta Aek kanopan |
Kota berpenduduk plural -Tionghoa, Batak, dan Melayu ini sejak lama dikenal
sebagai sentra konsentrasi padi dan hasil laut. Konon, hingga saat ini, kecamatan
Ledong yang berpenduduk sebanyak 28.612 jiwa ini masih mengekspor beras ke
Malaysia dan Singapura, ditengah kebijakan impor beras besar-besaran oleh
pemerintah Indonesia. Kota kecil ini, menjadi kontrol puluhan tahun puluhan
desa yang mengitarinya. Konsentrasi kekayaan se kabupaten berada pada
sekelompok orang di kota kecil yang terkesan “angker” tapi eksotis ini. Konon,
terdapat dua orang mafia besar masing masing di dua pelabuhan berdekatan, satu
orang berada di tanjung Balai, kabupaten Asahan dan satu orang lagi, berada
disini, pelabuhan Tanjung Leidong, kabupaten Labuhan Batu (sebelum dipecah
tiga). Kepada dua orang inilah terkonsentrasi kepemilikan dan kekayaan dua
kabupaten ini.
Jalan Aek Kanopan - Leidong |
Kota kecil ini dapat ditempuh melalui laut dan darat. Naik kapal laut dari
kota Tanjung Balai menuju Leidong memakan waktu 5 jam dengan ongkos
Rp.10.000. Via jalan darat, bisa
ditempuh dari ibukota Kabupaten Labura, Aek Kanopan, dengan memakai mobil atau
sepeda motor off road, dengan waktu tempuh sekitar 7 hingga 8 jam. Jalan ini
rawan longsor hingga patah, mengingat bahan jalan yang masih hanya terbuat dari
timbunan tanah.
Tgl 31 Agustus, 2011, siang hari, saya bersama satu orang teman tiba di Tanjung
Ledong, setelah menempuh perjalanan melelahkan, melewati jalan tanah berlumpur
dan licin, 4 jam dari pedalaman desa Tanjung Mangedar, dengan memakai sepeda
motor. Pinggang serasa mau patah karena jalan yang benar benar buruk. Tiga hari
sebelumnya, di perjalanan dari kota Aek Kanopan menuju Tanjung Mangedar, sepeda motor kami harus ditandu karena jalan
yang terputus total oleh banjir sepanjang 30 meter, akibat hujan deras.
Perjalanan saya ditemani seorang penduduk lokal desa Tanjung Mangedar, Kualuh
Leidong.
Ular banyak ditemui di perkebunan sawit |
Setelah perjalanan melelahkan melewati ‘lautan’ perkebunan sawit, di
kejauhan mulai kelihatan pemukiman, itulah kota Tanjung Leidong. Segera setelah
melewati pintu kota, terlihat mencolok di pintu rumah kotak merah berisi
–semacam- lidi yang dibakar, di kiri
kanan jalan, menandakan rumah-rumah khas Tionghoa. Rumah rumah itu sederhana, terbuat dari papan
berlantai dua yang kelihatannya sudah berumur puluhan tahun.
Perut yang keroncongan mengantar kami ke sebuah kedai bakmi. Didalam kedai
itu terlihat banyak laki-laki sedang bermain kartu. Dari bahasanya, bisa
dipastikan mereka adalah suku Tionghoa. Kedai bakmi ini terkenal di seluruh
kecamatan. Si pemilik kedai di kenal luas, termasuk oleh anak-anak. Ade, 8
tahun, anak petani tempat saya menginap di Tanjung Mangedar bertanya ketika
kami pulang, “Bang, ada bawa bakmi A Hong[1]
ngga?
Leidong ditengah sawit |
Tidak banyak aktivitas hari itu. Orang orang lanjut usia terlihat duduk di
depan rumah, memandangi kami yang terlihat asing. Satu dua orang mendongakkan
kepala dari balik jendela lantai dua, memandang penuh curiga, tetapi kemudian
menghilang. Tidak banyak kendaraan lalu lalang di jalan. Lengang. Kami terus
melanjutkan perjalanan dengan lambat ke salah satu tempat yang warganya banyak
bekerja membuat kerupuk udang. Teman saya mengaku mengenal seorang penjual
kerupuk udang di pemukiman itu.
Kecurigaan orang-orang sepertinya berkurang, ketika kami singgah di salah
satu rumah suku Tionghoa, kenalan teman saya. Cerita tentang runtuhnya kota
yang pernah bersinar itu-pun perlahan mengalir.
Sejak tahun 2000-an, ada dua yang menyebabkan redupnya kota kecil ini. Hancurnya
tangkapan ikan adalah penyebab utama. Nelayan sudah sangat kesulitan mencari
ikan di laut. Untuk dimakan saja sulit, kata seorang pria berumur 40 tahun. Mereka
tidak tahu mengapa ikan begitu sulit didapatkan.
Rumah di Tanjung Leidong |
Faktor utama kedua adalah konsentrasi pemungutan hasil panen padi tidak
lagi ke kota Tanjung Leidong, karena telah dibukanya akses jalan (meskipun
masih jalan dengan timbunan tanah) menuju Aek Kanopan, ibu kota di daratan jauh
Labuhan Batu Utara. Ada beberapa pabrik besar penggilingan padi di Ledong yang
redup, termasuk milik seorang pengusaha besar A Han. Untuk memastikan mesin
bisa berjalan rutin, pengusaha akhirnya memasok padi dari luar Kualuh Leidong. Untuk
memastikan kondisi penggilingan padi itu, kami melanjutkan perjalanan lagi.
Di sebuah sudut, menuju penggilingan padi, terdapat rumah kayu berlantai
dua. Disana terlihat banyak perempuan dewasa. “Kata orang, itu rumah bordil,
itu dulunya ramai sekali, tetapi sekarang tidak, seiring dengan sulitnya
perekonomian di sini”, Ungkap temanku itu.
Dari luar tembok yang tingginya sekitar 3 meter, terlihat penggilingan padi
itu memang luar biasa besar dengan terowongan mesin membubung ke langit, tidak
seperti penggilingan padi pada umumnya yang berukuran kecil. Sulit mencari
informasi mengenai keberadaan dan kepemilikan rice mill yang sedang tidak
beroperasi itu. Pendekatan kepada seorang pekerja bengkel di samping mill itu
tidak berhasil. Dua orang sudah kami coba tanya, tetapi mereka bilang tidak
tahu perihal mill itu.
Next gens of Leidong |
Tidak jauh dari penggilingan padi, terdapat dermaga penambatan Kapal. Dermaga ini mengejutkan saya, karena disana
terparkir kapal-kapal berbadan besar dan jet ski. Di beberapa kapal tertulis
Aero Speed Jakarta, dan Ocean Star II Jakarta. Kapal-kapal ini menunjukkan “kelas”
dari kota kecil ini. Tentu ada sesuatu yang luar biasa, harta karun yang sulit
dituliskan, tentang kota kecil ini.
Dengan sedikit kecewa, kami melanjutkan perjalanan ke sudut lainnya. Sepanjang
perjalanan kami telah melewati beberapa klenteng dengan ukuran sedang. Tetapi disudut
barat kota, terdapat klenteng yang berukuran besar sekali, dilahan seluas lapangan
bola berdiri kokoh sebuah klenteng dengan dominasi ornamen merah, menghadap ke
selat Malaka.
Kunjungan ke klenteng ini mengakhiri perjalanan kami. Tidak terasa hari
sudah sore hari, sementara masih banyak misteri yang belum terjawab. Kami segera
pulang, mendahului mendung yang menunjukkan tanda hujan akan segera turun.
Free Counter