teknik wawancara mendalam, bahan kuliah S2 by George Aditjondro
SUDAH banyak literatur tentang metodologi penelitian membahas tentang teknik wawancara (interview). Namun saya tidak puas membaca berbagai literatur yang hanya berbicara tentang ‘teknik’, dan kurang berbicara tentang filsafat di balik ‘teknik’ atau ‘metode’ itu. Menurut saya, kita perlu mulai dari latar belakang filsafati, sebelum berbicara tentang ‘teknik’ atau ‘metode’, apalagi kalau mau berbicara tentang wawancara mendalam (in-depth interview) dan kata kerjanya, in-depth interviewing.
Kalau diperkenankan memberikan kesaksian pribadi, saya mulai mendapatkan insight tentang wawancara mendalam (in-depth interviewing ) selama menjalani interogasi yang total memakan 20 jam di kantor Polsek Yogyakarta, dari bulan November 1994 s/d Januari 1995, ketika “Negara” menuduh saya menghina satu lembaganya. Lembaga apa atau siapa? Dalam surat panggilan tidak disebutkan secara eksplisit. Tapi dari pertanyaan-pertanyaan para interogator, ternyata yang dimaksudkan adalah Kepala Negara, waktu itu, Soeharto.
Lantas, apa sebaiknya menjadi landasan filosofis interview? Mengikuti kegemaran Paulo Freire dalam membongkar-bongkar kata, buatku, interview adalah pertukaran pandangan antara peneliti dan mitranya, dari akar kata “inter” (antar) dan “view” (pandangan). Berarti, bertukar pandangan, atau, dengan terjemahan sedikit bebas, “saling menyelami isi hati”. Jadi, melakukan wawancara mendalam, merupakan suatu proses saling menyelami isi hati.
Yang saya maksud di sini bukan wawancara dalam rangka psikoanalisa. Juga bukan wawancara dalam rangka konseling pastoral atau konseling “sekuler”, sebab dalam kedua setting tersebut tetap dipertahankan hirarki antara pewawancara dan yang diwawancarai. Yang saya maksud di sini, wawancara mendalam (in-depth interviewing) yang bertolak dari paradigma penelitian pembebasan, yang telah saya uraikan dalam Handout No. 2, di mana:
“ peneliti pembebasan …… melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang diteliti, bukan sebagai ‘orang kampus’ yang datang mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi ‘orang kampung’. Berbeda dengan peneliti konvensional yang bagaikan tupai meloncat dari satu ‘proyek’ penelitian ke ‘proyek’ lain, peneliti pembebasan bersama-sama mitra penelitiannya menyusun agenda aksi untuk menegakkan kedaulatan mereka agar dapat mengembangkan potensi diri mereka secara penuh. Untuk itu ia harus bersedia memberikan komitmen jangka panjang untuk bekerja bersama masyarakat mitra penelitiannya.”
Letak ketimbalbalikan dalam wawancara mendalam adalah, mitra penelitian juga berhak berkenalan dengan pewawancara dengan seluruh jati dirinya, mengetahui apa tujuan wawancara, dan penggunaan hasil penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan, antara lain, dengan wawancara mendalam itu. Dalam penelitian konvensional, khususnya dalam penelitian antropologi, itu adalah bagian dari penciptaan kepercayaan mitra terhadap peneliti (rapport creating), yang oleh sebagian antropolog diatasi dengan mengawini seorang laki-laki atau perempuan dari komunitas yang ingin ditelitinya. Itu adalah bagian dari apa yang sering disebut, going native (‘menjadi orang asli’), walaupun tidak semua peneliti yang menikah dengan perempuan atau laki-laki setempat, bermaksud ‘menjadi orang asli’.
Selesai melakukan penelitian lapangan selama setahun, para (calon) antropolog meninggalkan masyarakat yang ditelitinya, dengan membawa berbagai artifak sebagai memento (kenang-kenangan) dari masyarakat tersebut, sekaligus sebagai dekorasi di rumah atau kantornya, untuk mengklaim legitimasi sebagai orang yang dapat berbicara “atas nama” komunitas yang sudah ditelitinya.
Berbeda dengan antropolog yang melakukan penelitian skripsi, tesis, disertasi doktor dan post-doktoral, buat peneliti pembebasan wawancara mendalam dapat menjadi “semen perekat” dengan komunitas yang didampinginya. Itu sebabnya, peneliti harus bersedia “ditelanjangi” oleh para mitranya, menertawakan ketakutan-ketakutan dan prasangka-prasangka yang dimiliknya sebelum bergaul dengan intim dengan komunitas itu, dan berbagi rasa dengan mereka sebagai sesama manusia, bukan sebagai “pakar”.
Sebagai bagian dari kesetaraan itu, segala macam teknik pencatatan dan perekaman informasi yang ingin dilakukan oleh peneliti, sebaiknya hanya dilakukan dengan persetujuan mitra penelitian. Baik itu bersifat penggunaan alat pencatat, tape recorder, apalagi camcorder. Denah yang menggambarkan peristiwa-peristiwa penting yang ingin digali oleh peneliti, sebaiknya juga dimintakan pada mitra untuk menggambarkannya. Baru kemudian dalam laporan penelitian, denah hasil karya para mitra itu digambar kembali oleh peneliti atau artis grafik, apabila memang diperlukan.
DATA YANG DIHARAPKAN
SEPERTI pada questionnaire atau pedoman wawancara, ada tiga kelompok informasi yang dapat diharapkan dari serangkaian wawancara mendalam, yakni:
1. Keterangan tentang jati diri subyek wawancaranya, termasuk kedudukannya dalam komunitasnya;
2. Keterangan tentang pandangan sang subyek tentang “dunia sekitarnya”, khususnya tentang hal-hal yang ingin diketahui oleh si pewawancara;
3. Keterangan tentang pandangan sang subyek tentang:
(a) bagaimana ia dapat survive dalam dunia sekitarnya, atau
(b) bagaimana ia dapat mengubah dunia sekitarnya supaya kondisi hidupnya lebih ideal, atau paling tidak, lebih nyaman.
Seringkali, hal-hal yang menyangkut kelompok informasi kedua memerlukan percakapan-percakapan yang panjang, tidak langsung, agak berputar-putar, untuk menggali ingatan-ingatan yang secara sadar atau tidak sadar, ditekan ke bawah permukaan. Atau, merupakan hal-hal yang kurang nyaman atau terlalu sensitif untuk dibicarakan dengan si pewawancara yang baru dikenal. Misalnya, dalam wawancara mendalam dengan perempuan-perempuan di daerah Poso dan sekitarnya, yang bertujuan menggali ingatan kolektif mereka tentang kerusuhan dan kekerasan yang tak kunjung berakhir, pengajuan pertanyaan-pertanyaan itu perlu dilakukan secara sangat hati-hati. Para perempuan yang diwawancarai, perlu merasa akrab dan penuh percaya dulu dengan si pewawancara, yang tidak selalu sejenis kelamin dengan mereka. Kata kuncinya adalah “empati”, kemampuan merasakan apa yang mereka derita dan bersimpati dengan mereka.
Contoh lain lagi, adalah kesulitan mewawancarai para pengungsi Timor Leste di kamp-kamp pengungsian di Timor Barat, kalau orang-orang yang mereka takuti ada di sekitar mereka, dan dapat mendengarkan seluruh proses wawancara itu. Makanya, tempat di mana wawancara berlangsung kadang-kadang sangat penting.
Berbicara soal tempat, kita harus membedakan wawancara-wawancara menyangkut peristiwa yang sudah menjadi memori kolektif, yang dapat dilakukan di warung, di musholla, di mesjid, atau di biara, dan wawancara yang menyangkut hal-hal yang masih bersifat rahasia (menurut adat istiadat), sekuriti (menyangkut perlawanan terhadap kekuasaan formal), dan yang menyangkut hal-hal yang sangat privat, seperti masalah seks.
Hal-hal yang menyangkut pengalaman traumatis yang berkaitan dengan pelecehan seksual, praktis hanya akan diungkapkan perempuan korban kepada pewawancara perempuan, dalam ruang tertutup yang sangat privat pula. Salah seorang peneliti pelecehan seksual terhadap perempuan, menceritakan pengalamannya mewawancarai perempuan korban sambil mencuci rambutnya di kamar mandi. Dalam hal ini, pewawancara kadang-kadang terikat kaki dan tangannya, untuk tidak mempublikasikan hasil wawancara mendalam itu. Konfidensialitas itu pernah dilanggar oleh satu kelompok perempuan di Poso, yang membocorkan hasil wawancara mereka dengan para perempuan korban kepada pers lokal, yang serta merta menyiarkan kesaksian para perempuan yang dijuluki Koramil (‘korban rayuan militer’) tersebut.
Sebaliknya, seorang kawan dari Komnas Perempuan di Jakarta, tidak mau melepas hasil wawancara dengan para korban mutilasi genital yang dilakukan sekelompok milisi dari Jawa yang datang ke Seram, kepada seorang peneliti militerisme seperti penulis sendiri. Terpaksa saya hanya berulangkali menggunakan tulisan seorang feminis (Hutabarat 2003: 216), serta hasil-hasil wawancara saya dengan sejumlah narasumber laki-laki, tanpa mengungkapkan jati diri para korban, dalam berbagai tulisan saya (misalnya, Aditjondro 2004: 51-2).
KODIFIKASI SEBAGAI ALAT BANTU PENGGUGAH MEMORI
WAWANCARA yang hanya bersifat interaksi bilateral di antara dua pribadi tetap akan dipengaruhi struktur kekuasaan terselubung atau ‘hirarki’ di antara peneliti dan yang diteliti. Makanya, mengikuti pedagogi Paulo Freire, sebaiknya kegiatan tanya-jawab antara kedua mitra peneliti itu dimediasi oleh satu atau lebih kodifikasi, yakni representasi dari apa yang menjadi sorotan bersama (lihat Handout No. 2). Malah, kodifikasi yang berupa gambar, musik, bunga, atau makanan yang mengeluarkan aroma tertentu, cocok dengan filsafat Merleau-Ponty, yang menekankan bahwa manusia lebih dulu belajar dengan pancaindranya, sebelum belajar dengan otaknya. Semboyan Descartes “aku berfikir, maka aku ada” (cogito ergo sum), digantinya menjadi, “aku mengecap, maka aku ada” (lihat Handout No. 3).
Wawancara mendalam sebaiknya dilakukan sambil berjalan-jalan di kebun, diselingi pertanyaan tentang bunga, tanaman obat, atau pohon buah yang tumbuh di situ, atau sesudah kembali ke rumah, diselingi pertanyaan tentang foto-foto yang dipajang di ruang tamu, diselingi singgah di dapur, serta obrolan sembari makan bersama. Proses ini jauh lebih kreatif, eksploratif, dan egaliter, ketimbang wawancara sambil duduk berhadap-hadapan, atau bahkan sementara yang diwawancara berbaring di tempat tidur karena sakit atau lelah (yang mengingatkan kita pada sofa praktek psikiater).
Ada satu hal yang harus diperhatikan dalam wawancara mendalam, yang menggunakan kodifikasi sebagai alat bantu penggugah memori. Barang-barang tertentu dapat mengundang memori yang sangat mendalam akan orang-orang yang dikasihi yang sudah meninggal, atau sedang mengembara untuk waktu yang lama. Menariknya, dari wawancara saya dengan beberapa orang narasumber yang perempuan, kodifikasi yang paling menggugah memori mereka bukannya foto orang-orang yang mereka kasihi, melainkan pakaian yang pernah dipakai sang kekasih semasa hidupnya atau pada saat ia sedang berada di rumah di tengah pengembaraan yang panjang, serta buku-buku yang pernah dibacanya atau lama berada di perpustakaan pribadinya. Baju, yang masih ada di pakaiannya, setipis apapun, lebih merupakan hal yang peka bagi perempuan ketimbang laki-laki.
Barang-barang lain, buatan orang yang dikasihi, atau dibeli dalam perjalanan bersama, juga dapat mengundang memori pasangan atau anak-anak mereka. Benda-benda mati itu bisa bercerita lewat mulut mereka yang hadir dalam sejarah masuknya benda-benda itu ke dalam lingkaran anak-anak manusia itu.
Jadi, pewawancara yang berempati dengan mitranya, harus berhati-hati sekali dan cepat menunjukkan empatinya, apabila mitranya meletus dalam luapan emosi kesedihan apabila barang-barang itu dipertanyakan cerita asal usulnya. Namun dari sudut penelitian untuk mengungkapkan isi hati mitra yang sesungguhnya, luapan emosi itu dapat menjadi pembuka jalan untuk berceritera tentang kejadian-kejadian traumatis yang kaya makna dari sudut kemanusiaan.
Pewawancara yang sudah mulai dapat menciptakan rapport dengan mitra dan keluarganya, juga perlu berhati-hati di mana ia duduk di rumah sang mitra. Boleh jadi, pada saat ia diundang makan di meja makan bersama mitra dan keluarganya, ia duduk tepat di kursi yang biasanya dilowongkan untuk sang tokoh yang sudah meninggal dalam peristiwa traumatis, seperti konflik etno-linguistik atau peristiwa lain yang berakhir dengan kematian yang tidak wajar. Anak-anak dari ayah yang meninggal dalam keadaan yang tidak wajar, suka ‘menikmati’ kenangan sang ayah, dengan menduduki kursi kesayangan sang ayah. Atau, seperti yang sering dilakukan seorang keponakan perempuan saya, yang ayahnya meninggal secara tidak wajar, ia suka duduk di depan meja tempat ayahnya sering melakukan hobinya memperbaiki alat-alat elektronika. Pada saat ia cuci piring, ia juga sering teringat pada ayahnya, sebab ayahnya sering membantu dia cuci piring.
Berbeda dengan interaksi dengan orang dewasa, wawancara mendalam dengan anak-anak, lebih bagus dimediasi dengan gambar. Dalam Festival Anak Perdamaian di Kompleks Kantor Sinode GKST di Tentena, sekitar dua bulan sebelum Deklarasi Malino untuk Poso, pada umumnya yang digambar anak-anak adalah orang yang memegang senjata, rumah tinggal dan rumah ibadah yang dibakar, orang yang dibunuh, dan lain sebagainya (lihat Handout No. 3).
Gejala serupa diamati oleh Andi Baso (26), Ketua Remaja Islam (RISMA) Desa Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir. Ia menggambarkan efek psikologi konflik Poso yang diekspresikan anak-anak di wilayahnya dalam gambar-gambar mereka:
“… waktu kami mengadakan lomba menggambar, biasanya anak-anak kalau menggambar gunung berwarna hijau. Tapi waktu itu [sesudah kerusuhan Poso – GJA] [anak-anak] rata-rata menggambar gunung warna merah. Waktu kami tanyakan, kenapa gunungnya berwarna merah, anak-anak itu menjawab, gunungnya terbakar. Yang lain ada juga yang menggambar rumah, warnanya dua macam, ada yang berwarna merah, dan ada yang berwarna putih. Anak-anak itu menjelaskan, rumah warna merah milik orang Kristen, dan warna putih milik orang Islam, jadi kalau ada perang bisa diketahui” (Ishak 2003: 86).
Berarti, dalam menggali persepsi dan memori anak-anak, jauh lebih efektif dari pada melakukan wawancara dengan kata-kata, adalah memberikan kertas dan pinsil warna kepada anak-anak, untuk menggambarkan kesan mereka tentang topik yang ingin kita teliti.
Kesimpulannya, serangkaian wawancara mendalam yang berhasil, tidak terbatas pada proses tanya-jawab yang bilateral, seperti dalam interogasi maupun psikoanalisa, melainkan dalam interaksi antara dua manusia atau lebih, dimediasi oleh berbagai kodifikasi yang mengingatkan sang mitra akan “dunia” dengan siapa ia punya hubungan emosional yang kuat. Entah cinta, maupun benci.
METAFOR DAN IDIOM-IDIOM YANG SARAT MEMORI
PERCAKAPAN-percakapan yang ’berhasil’, seringkali melahirkan ucapan-ucapan berupa metafora atau idiom, yang dapat dijadikan ’pegangan’ dalam percakapan lebih lanjut dengan para mitra. Dalam percakapan awalnya dengan seorang saksi mata gejolak sosial pasca-referendum di Timor Leste, seorang mahasiswa IRB menemukan, bahwa respondennya itu suka-suka mengulang-ulang kata-kata ”sapi makan bangkai”, ketika bercerita tentang pelariannya dari enclave Oikussi (yang termasuk Timor Leste) ke Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT.
Kata-kata itu tidak perlu ditafsirkan secara harafiah, sebab sejak kapan sapi yang herbivora, menjadi karnivora? Kata-kata itu mungkin merupakan indikator banyaknya mayat manusia yang bergelimpangan, sehingga sapi-sapi hampir tidak punya tempat untuk merumput. Ungkapan itu dicatat oleh sang mahasiswi, untuk menjadi salah satu pegangan dalam rencana penelitiannya bersama para pengungsi Timor Leste yang terpaksa (atau dipaksa?) menetap di Timor Barat, yang sudah memasuki tahun ketujuh.
Idiom dari Timor itu mengingatkan saya pada istilah yang muncul setelah konflik Poso, 1998-2000, yakni bahwa ”kalau di Palu orang makan ikan, di Poso ikan makan orang”. Ungkapan ini timbul karena banyak mayat korban yang hanyut atau dibuang ke Sungai Poso, kemudian dimakan oleh ikan di muara sungai itu.
Metafor-metafor, idiom-idiom atau ungkapan-ungkapan yang ’tidak biasa’ seperti itu penting untuk dicatat, untuk dijadikan pijakan percakapan lebih lanjut antara peneliti dan mitranya. Sebab, mungkin tanpa kita sadari, dalam percakapan lisan orang banyak sekali menggunakan metafor. Sebab metafor dan idiom adalah ”wahana” orang untuk menyampaikan ide-ide yang lebih kompleks, atau ide-ide yang sarat emosi (Lakoff & Johnson 1980).
Metafor-metafor yang paling populer juga menunjukkan transformasi kita dari masyarakat agraris ke masyarakat pasca agraris, sebagaimana terungkap dalam eksplorasi di kelas mata kuliah Metodologi Penelitian IRB, yang menemukan segudang (metafor!) metafor yang menggunakan sifat-sifat ayam. Misalnya: kamar berantakan seperti kandang ayam; tulisan seperti cakar ayam; tidur-tidur ayam sambil mendengarkan kuliah; panas-panas tahi ayam; ayam kampung untuk menggambarkan PSK lokal; ayam kampus untuk menggambarkan mahasiswi yang berdwifungsi sebagai PSK; jago kandang untuk menggambarkan laki-laki yang hanya berani menunjukkan kekuasaannya di lingkungannya sendiri.
Daerah-daerah konflik seperti Aceh (dulu) maupun di Poso (masih), sangat kaya dengan metafor-metafor yang menggambarkan pelecehan seksual oleh personil aparat bersenjata, sehingga bentuk perlawanan kultural rakyat setempat. Seiring dengan pergeseran dominasi militer yang mulai membagi peranan dengan polisi sebagai ‘penjaga keamanan’ di daerah-daerah konflik, istilah-istilah plesetan itu juga bergeser dari Koramil (‘korban rayuan militer’) dan Babinsa (babini di sana-sini, beristeri di sana-sini) ke SSB (sisa-sisa Brimob) dan Selebrites (selera Brimob & Perintis). Sedangkan di Aceh ada pemaknaan lain buat Kopassus, yakni korps pegang susu (Aditjondro 2006).
Namun pada saat yang sama, muncul pula berbagai istilah untuk melecehkan perempuan setempat yang mau berpacaran dengan personil aparat bersenjata, seperti “perempuan gatal”, “perempuan organik” (bandingkan dengan ‘senjata organik’), dan “penggoda”. Sedangkan di Poso, khususnya di daerah Tentena yang kini dihuni ribuan pengungsi Nasrani yang lari dari kota Poso dan sekitarnya, muncul istilah tapol, singkatan dari tampa bapolo’ (tempat berpelukan) bagi perempuan setempat yang mau berpacaran dengan anggota TNI dan Polri, yang dikonotasikan sebagai PSK (idem).
Metafor-metafor yang lebih bersifat labeling itu juga diterapkan terhadap anak-anak yang lahir akibat ulah para personil aparat bersenjata yang menjadikan perempuan setempat sebagai obyek hiburan mereka. Timbul istilah “Kostrad Kecil” atau “Brimob Kecil” (Hutabarat 2003: 218), yang dapat menimbulkan stigma kepada bocah-bocah tak bersalah itu. Namun kalau itu memang muncul dari percakapan dengan orang-orang dewasa, peneliti perlu mencatatnya, mengkajinya bersama para orang tua, tapi tidak menggunakannya di depan dan kepada anak-anak di daerah konflik.
PENUTUP
BEGITULAH gambaran singkat penulis tentang teknik wawancara mendalam, yang dilakukan dalam paradigma penelitian pembebasan. Wawancara mendalam hendaknya menjauhi hal-hal yang mengukuhkan struktur kekuasaan dan hirarki antara peneliti dan yang diteliti, dan melepaskan diri dari proses tanya-jawab yang hanya berputar pada kata-kata, dengan mediasi berbagai bentuk kodifikasi yang sudah hadir di tengah-tengah lingkungan mitra penelitian, serta ’berpegang’ pada metafor-metafor yang muncul dari memori dan mulut para mitra wawancara.
Yogyakarta, 6 Mei 2006.