“Berbasuhlah, dan bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan jahat dari depan mataKu, berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik, usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam, belalah hak hak anak yatim…….(setelah itu)…mari kita berperkara firman Tuhan, sekalipun dosamu merah seperti sirih, akan putih seperti kapur”
Demikian Sang pastor mengawali gagasannya dari nats Alkitab Perjanjian Lama pada sebuah dialog interaktif di
Siapapun yang mengenal Pastor Silaen, akan teringat dengan seorang pastor di Brazilia bernama Joao Bosco yang bekerja dalam kesetiakawanan dengan petani miskin, sebuah pemihakan rohani pada perjuangan rakyat miskin( option of the poor), yang pada akhirnya terbunuh oleh rezim penguasa tahun 1967.
Saya sudah pikirkan ini matang-matang, Indorayon hanya menimbulkan kehancuran bagi Toba Samosir, dari segi manapun tidak ada kebenaran dari keberadaan Indorayon, serta perilakunya terhadap alam dan rakyat. Saya bukan hanya sebagai pastor, tetapi sebagai manusia biasa merasa bertanggungjawab untuk mempertahankan memperjuangkan keadilan dan kebenaran, kedamaian dan keutuhan ciptaan, dengan segala macam cara ini harus diperjuangkan, saya juga berharap pada akhirnya semua orang akan punya harapan dan kesadaran yang sama. Saya sudah menyatu dengan rakyat porsea, dan satupun tidak akan bisa memisahkan ini dengan cara apapun. Ini bukan persoalan agama, tapi persoalan semua umat manusia, persoalan penindasan atas alam dan manusia oleh penguasa dan pengusaha yang zalim. Kezaliman ini jelas adalah penyembahan terhadap berhala uang, dengan segala cara telah dilakukan untuk uang, menindas membunuh memprovokasi dan mengintimidasi hanya demi uang, sehingga musuh kita jelas, penyembah berhala uang itu harus dilawan dan disadarkan supaya bertobat. Kata pastor ini menjawab ketika dipertanyakan latar dan spirit perjuangannya .
Pastor yang mengaku sejak kecil bercita cita jadi pastor ini lahir di Sidikalang, Kabupaten Karo, tahun 1952, menghabiskan masa kecil di desa Silaen Toba Samosir, hingga tamat sekolah Guru Atas (SGA) di Balige tahun 1968. Latar kehidupan agraris, masyarakat yang kuat solidaritas di desa, serta kehidupan yang keras banyak mempengaruhi karakter pastor di kemudian hari. Pengalaman hidup di Tobasa berupa keindahan alam, kesejukan udara, dan moralitas, budaya serta kedamaian tanah batak dirasakan langsung sejak kecil hingga mencapai cita-citanya termulia menjadi pastor, Hanya sedikit waktu bagi pastor untuk meninggalkan tanah batak, itupun masih diwilayah geografis yang masih tergolong tanah Batak, yakni di Parapat selama 5 tahun untuk mengikuti Sekolah Filsafat dan Teologi tahun 1970( yang sekarang telah pindah ke Siantar dan berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Filsafat ). Pastor mengawali pelayanan resminya sebagai pastor paroki di Pakkat tahun 1976, kemudian pindah ke pastoran Parapat tahun 1979, kemudian ditugaskan pada jabatan yang sama di pastoran Kisaran tahun 1984. Setelah dari pangururan, pada akhirnya pastor ditugaskan di pastoran Balige mulai tahun 1998, saat dimana pastor mulai terlibat langsung dalam pembelaan terhadap rakyat Porsea. Kepedulian terhadap rakyat kecil sudah ditunjukkan pastor jauh sebelum kasus porsea, ketika bertugas di Parapat tahun 1980, disaat mana rejim totaliter militeristik Soeharto berkuasa, pastor juga pernah menabuh kritik tajam terhadap pemerintah melalui Dinas Kehutanan karena penebangan hutan di wilayah Toba dan Samosir yang merajalela
Pemahaman dan pengalaman bersama rakyat yang cukup banyak semakin melengkapi pengetahuan pastor tentang kebobrokan perusahaan Pulp tersebut. Pastoe menyebtkan bahwa sebelum Indorayon beroperasi, dilakukan studi dan hasilnya tidak layak, namun dimanipulasi dan terus dilanjutkan karena manusia hanya berfikir soal uang. Secara ekonomi memang menghasilkan untung bagi pengusaha, Tapi dari sudut yg lain, rugi: Longsor di bulusilape, 14 orang mati tertimbun, Thn 1998, 5 orang mati, antara lain Panuju, dan Hermanto. Dari kemanusiaan sudah tidak layak lagi, munculnya pelacuran-pelacuran, ini yg tidak bisa kita terima, Sangat merusak lingkungan hidup, ekosistem di danau toba hancur, Pelanggaran HAM, karena kehadiran pabrik ini, Manusia sebagai ciptaan tertinggi telah menyalahgunakan kebebasannya,Hidup manusia telah terkontaminasi dengan materi, TPL kerjasama dengan pemerintah, dengan aparat keamanan, rakyat korban karena keberpihakan pemerintah, demokrasi telah dilucuti. Dunia mengerti apa itu demokrasi, tapi apa yang terjadi dengan penangkapan 16 orang masyarakat porsea. Mereka pikir dengan cara itu rakyat akan takut, yang paling jelas adalah sinetron lelucon pengadilan di Tarutung yang telah menvonis 2 hingga 4 tahun masyarakat porsea yang dituduh memecahkan sebingkai kaca kantor Camat. Mereka benar benar konyol sebenarnya. Tokoh-tokoh agama termasuk pimpinan HKBP, Pimpinan Katolik dan lainnya pernah meminta supaya tahanan bisa menikamti natal dan tahun baru di rumahnya, termasuk kepada dua orang pendeta yang ditahan, tapi itupun tidak diindahkan oleh pemerintah sama sekali, bahkan tahanan disiksa, apa pejabat ini tidak beragama? Kalau memang memang para pejabat seperti Bupati, Kapolres dan pejabat lainnya tidak menghargai tokoh agama, seharusnya para tokoh agama harus menentukan sikap dan memberi sanksi kepada pejabat bersangkutan. Saya tidak bisa mengerti lagi negara kita ini
Ditanyai sikap anak ke enam dari tujuh bersaudara ini terhadap sikap tokoh agama yang lain, Umat beragama harus menunjukkan identitas dan keterlibatannya untuk menyempurnakan doa-doa kita, dimanapun kapanpun kita harus menunjukkan identitas kita, , tugas dan tanggungjawab serta panggilan agama mempertahankan memperjuangnkan keadilan kebenaran, kedamaian dan keutuhan ciptaan, dengan segala macam cara ini harus kita perjuangkan .hingga saat ini terus rakyat diteror dan diintimidasi aparat karena berani menyampaikan aspirasinya, suara kebenaran. Dimana-mana di seluruh dunia yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia harus dikutuk, sebagaimana trjadi dinegara kita ,khususnya di Porsea. Pertanyaan kepada penguasa kita ini adalah apakah pemerintah, polisi dan aparat, serta penguasa tidak punya hati nurani lagi?. Saya melihat tidak lagi, sehingga perlu pertobatan. Akhirnya saya mau katakan, demi keadilan, demi keutuhan ciptaan, stop TPL dari porsea, kedua, dengan cara apapun bebaskan 16 orang tahanan dari masyarakat porsea, tarik aparat dari porsea, terimakasih semoga bermanfaat.
Selain dukungan penuh gereja Katolik atas perjuangan pastor, beliau juga mengaku bahwa perjuangan ini adalah panggilan pribadi yang harus dituntaskan, dan pemahamannya atas hal itu sudah selesai sejak lama. Namun pastor mengaku ada sedikit kendala dari pihak keluarga, namun itu telah dapat dimengerti sepenuhnya oleh seluruh saudara-saudaranya yang terdiri dari
Intimidasi,fitnah dan pelecehan merupakan makanan minuman sehari-hari bagi pastor ketika melakukan kerja-kerja hariannya, mengunjungi rumah rumah penduduk disekitar Porsea. Sekitar desember 2002, pastor mengaku pernah diintimidasi oleh segerombolan orang yang diyakini benar oleh pastor sebagai intel dari kepolisian. Pastor meyakininya karena sudah sering dilihat memasuki kampung namun tidak dikenali oleh penduduk, selain itu plat mobil yang mereka tumpangi itu sering terlihat parkir di depan Polsek Porsea. Salah satu diantara intel itu dengan kasar merampas catatan harian pastor, hanya karena pastor menulis sambil memperhatikan gerombolan orang sinting itu. Saya kenali orang itu, dan saya akan cari catatanku itu sampai dapat dan harus dikembalikan, kalau tidak dia saya yakini akan celaka,”Ungkapnya. Mereka juga menyebut saya anjing pelacak Indorayon,”Tambahnya sambil tertawa.
Keyakinan seorang pastor paroki ini adalah bahwa dalam waktu dekat TPL pasti tutup, ini benar-benar keyakinan saya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, iman saya mengatakan TPL akan kembali tutup. Sudah terlalu tinggi, terlalu lebar dan terlalu dalam dosa TPL terhadap rakyat, terhadap alam dan terhadap Tuhan, dan Tuhan tidak akan membiarkan dosa ini diteruskan,”demikian keyakinan pastor yang menurut Mangaliat, salah seorang pengamat hukum dan anggota Tim Pembela Kedaulatan Rakyat Korban PT. IIU yang sering bersama-sama pastor Silaen di Porsea ini sebagai “pastor 24 jam” .
Saurlin siagian/
Staf div. studi bakumsu/ ditulis tahun 2003
No comments:
Post a Comment