Pemikiran Steven Lukes terhadap konsep Power memiliki makna yang radikal, seperti judul buku singkatnya tersebut. Tulisan itu di terbitkan ditengah debat mengenai demokrasi di Amerika. Sebuah pertanyaan dasar yang ingin dijawab adalah, bagaimana memahami power secara teoretis dan bagaimana menelitinya secara empiris? Pertanyaan ini ingin mengkarakterisasi demokrasi politik di Amerika, apakah sebuah demokrasi yang genuine –pluralist democracy, atau sebuah demokrasi yang didominasi oleh elit berkuasa. Benarkah ada konsensus yang genuine? Atau hanya mengasumsikan saja bahwa konsensus itu genuine?
Disinilah letak investigasi Lukes berhasil menelanjangi defenisi power yang disampaikan oleh kalangan behaviouralis, seperti Robert Dahl, yang kemudian Lukes sebut sebagai pengertian power satu dimensi. Power hanya dilihat sebagai sesuatu yang terdistribusi secara manis dalam masyarakat atau system politik. Melihat power eksis, ketika si A memiliki kekuasaan untuk menyuruh B melakukan apa yang A maui, terlepas B setuju atau tidak( power over). Dalam konteks pengambilan keputusan, kalangan behavioralis ini hanya melihat konflik kepentingan yang terlihat (observable) yang diekspresikan oleh pilihan pilihan keputusan yang ada dalam partisipasi politik yang ada.
Defenisi yang disampaikan oleh Bachrach dan Baratz digelari oleh Lukes, sebagai lebih maju sedikit, menyebutnya power dua dimensi. Selain percaya terhadap dimensi pertama, Bachrach dan Baratz melihat bahwa, power, dimanifestasikan oleh individu atau organisasi, ketika mampu membangun bias dalam sebuah pengambilan keputusan (mobilization of bias), jadi pengambilan keputusan itu bukan sesuatu yg disepakati ‘manis’ oleh semua yang hadir dan berpartisipasi begitu saja. Ada sebentuk nilaiw, keyakinan2, game yang secara sistematik beroperasi untuk keuntungan seseorang atau kelompok. Contoh kongkritnya misalnya organisasi intelijen. …contohnya CIA pasti berupaya mempengaruhi siapapun didunia ini yang punya pengaruh besar…( lupa siapa yg nulis ini), dengan cara membujuk, menyuap, atau melenyapkannya (heheee…emang ada intelijen yang tidak seperti itu?)
Lukes menilai, walaupun sudah lebih maju, konsep kekuasaan ini masih kritik yang belum mendasar terhadap kaum behaviouralis: masih melihat kemungkinan kepentingan individualis (too individualistic), dan tidak melihat issu potensial mendasar yang tidak mungkin lepas dari politik (marx bilang, menurut saya dengan defenisi yg berbeda, kontradiksi pokok). Lukes menyebut ini sebagai power tiga dimensi yang merupakan kritik mendasar terhadap fokus behaviouralis. Power, adalah, bukan hanya sekedar kemampuan memerintah orang atau kelompok untuk melakukan apa yang diinginkan, terlepas diinginkan atau tidak diinginkan oleh yang diperintah(1 dimensi), tidak juga sekedar kepentingan individu atau kelompok untuk menciptakan/memobilisasi bias atas konsensus (2 dimensi), tetapi juga kemampuan men-setting agenda dan menyediakan pilihan-pilihan terbatas atas keputusan. Ini juga berarti kemampuan mengekslusi (mengeluarkan) pilihan-pilihan yang dianggap secara mendasar bertentangan dengan kepentingannya, disadari maupun tidak.
Menurut saya, contoh (tidak) sederhananya adalah neoliberalisme. Ini bukan sekedar kekuasaan sebuah institusi, baik negara, maupun korporasi, apalagi individu untuk mengeksersais kepentingan dan keberlangsungannya, meskipun, Ya benar, bahwa neoliberalisme bisa dieksersais oleh individu, korporasi ataupun negara. Dalam konteks power, neoliberalisme lebih pada konstruksi ide yang maha luas, yang terstrukturasi dan terkulturasi secara global.
Negara dunia ketiga, yang mengalami krisis maupun tidak, sebagai negara berkembang, disetting sebagai ‘developing countries’. developing countries menjadi kata, stigma, acuan, teori, dan praktek yang dipakai sehari hari menamai negara negara bukan eropah(barat) dan US. Maka, semua agenda untuk mereka disetting dalam secara keseluruhan dalam konteks neoliberalisasi, dimanapun, diseluruh pelosok bumi ini yang dirinya disebut sebagai developing countries. agenda ini bisa ditelusuri dalam lembaga-lembaga multi lateral seperti UN, juga WB, IMF, dll. Inilah kejamnya settingan agenda, dan pilihan pilihan terbatas yang diciptakan sedemikian rupa.
Menurut saya konsep Lukes, yang pendek tapi bernas ini menarik kembali diangkat kepermukaan. Kenapa Steven Lukes menarik, karena ada optimisme untuk menginvestigasi kekuasaan, tidak seperti Foucault yang pesimis bahwa kekuasaan itu tidak bisa diteliti (unresearchable), karena berada dimana mana, dan siapapun tidak bisa lepas dari kekuasaan. Noone can escape from power. Power is kind of absurd animal to be researched. Lagian, aku pusing baca Foucault..heheee….
saurlin siagian
Bahan bacaan: Lukes, S. (2005) Power A Radical View (Second Edition ed.). Basingstoke: Pargrave Macmillan.
Free Counter
Thursday, September 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment