Tulisan dari salah satu milis,
memperingati seorang nasionalis Siauw Giok Tjhan,
ditulis oleh sahabatnya, Go Gien Tjwan...
Siauw Giok Tjhan, Sahabat-ku
Oleh: Go Gien Tjwan
Pada tanggal 20 November 1981, secara mendadak Siauw Giok Tjhan meninggal dunia, jauh dari tanah air yang ia cintai. Ia meninggal 30 menit sebelum memberi ceramah di dalam sebuah forum terbuka yang diselenggarakan oleh para mahasiswa sejarah dan para akhli Indonesia di Universitas Leiden.
Ceramah yang tidak sempat dipersembahkan Siauw berjudul: Kegagalan Demokrasi Parlementer di Indonesia. Ia tentunya bermaksud menceritakan pengalamannya sendiri sebagai seorang anggota lembaga legislatif Indonesia dari tahun 1946 hingga tahun 1966, di saat mana, demokrasi, walaupun demokrasi terpimpin, berakhir. Di dalam ceramah itu, Siauw bermaksud untuk mencanangkan optimisme-nya, bahwa kekuasaan militer di Indonesia tidak akan berhasil mengalahkan kekuatan rakyat yang menginginkan demokrasi dan pada akhirnya rakyat Indonesia akan menikmati alam demokratis.
Tempat wafatnya Siauw – di dekat salah satu gedung Universitas Leiden – merupakan tempat simbolis bersejarah. Karena di universitas inilah semangat perjuangan melawan rasisme yang dikembangkan oleh Nazi dimulai di negeri Belanda, ketika Rektor Cleveringa mengajak para kolega dan mahasiswa-nya untuk mogok sebagai tanda protes terhadap dikeluarkannya mahasiswa-mahasiswa Yahudi. Tempat itu simbolis, karena Siauw Giok Tjhan adalah seorang pemimpin karismatik di Indonesia yang dengan gigih melawan diskriminasi rasial yang ditujukan terhadap golongan Tionghoa.
Akan tetapi simbol tempat yang dimaksud di atas tidak lagi relevan bilamana kita bandingkan objektif perjuangan golongan Yahudi di Eropa dan golongan Tionghoa di Indonesia.
Pada akhir abad ke 19, seorang wartawan Austria bernama Theodor Herzl mendorong kelahiran gerakan Zionisme di Eropa, yang setelah perjuangan sengit selama lima dekade dan holocaust di era Nazi, berhasil mendirikan sebuah negara yang dinamakan Israel. Pada awal abad ke 20, orang Tionghoa di Indonesia tidak menginginkan hapusnya golongan mereka sebagai golongan terpisah. Mereka ingin memperbaiki posisi dan status mereka dengan jalan memperkuat posisi komunitas mereka dan membantu usaha memperkuat Tiongkok sehingga ia mampu mencegah penindasan terhadap golongan Tionghoa di luar Tiongkok.
Pada tahun 1934, wartawan muda Siauw Giok Tjhan, yang baru saja lulus dari HBS di Surabaya, memilih jalan lain. Ia masuk Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Orang yang bergabung di dalam partai ini menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka dan oleh karena itu, mereka mendukung perjuangan para pejuang nasionalis mencapai kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, partisipasi Siauw di dalam gerakan mencapai kemerdekaan di zaman kolonial Belanda itu masih berkaitan dengan jaringan komunitas peranakan Tionghoa yang tidak memiliki banyak persamaan dengan mereka yang berasal dari komunitas Tionghoa totok. Bahkan, dalam banyak hal, kedua komunitas itu saling bertolak belakang.
Sebagai editor harian Mata Hari yang menyalurkan aspirasi perjuangan mencapai Indonesia Merdeka dan yang pada masa peperangan Sino-Jepang bersikap anti Jepang, nama Siauw berada di dalam daftar orang yang harus ditahan oleh Jepang ketika mereka masuk dan menduduki Indonesia pada tahun 1942. Anehnya, Jepang membiarkan Siauw, yang berhasil meloloskan diri dari penangkapan di Semarang, hidup sebgai seorang pemilik toko eceran di kota Malang selama masa pendudukan Jepang. Di masa pendudukan Jepang itulah, Siauw berkesempatan untuk meninjau berbagai masalah politik dan memformulasi rencana perjuangan di saat perang dunia ke II berakhir. Pada waktu itu Siauw sudah melihat bahwa ada kemungkinan Indonesia menjadi negara yang merdeka, tetapi sebagai bagian dari “Kemakmuran Bersama” – Commonwealth Belanda dengan status “dominion”.
Di masa itulah, Siauw tampil pertama kalinya sebagai seorang pemimpin masyarakat yang cakap. Dengan menggunakan posisinya sebagai pemimpin Kebotai (semacam polisi Tionghoa) yang diciptakan oleh Jepang, Siauw menjalin hubungan erat dengan para pemimpin organisasi-organisa si para-militer Indonesia yang diciptakan oleh Jepang. Ia mengirakan bahwa organisasi-organisa si para-militer ini akan memainkan peranan penting setelah Jepang meninggalkan Indonesia.
Perkiraan Siauw ternyata tepat. Organisasi-organisa si perjuangan yang revolusioner pada tahun 1945 berasal dari organisasi-organisa si para-militer tersebut di atas. Dan, terjalinnya hubungan baik antara Siauw dan para pemimpin organisasi-organisa si pemuda ini menguntungkan posisi Siauw sendiri. Ia tampil sebagai seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang bisa diterima di Jawa Timur, karena ketika itu tidak banyak sosok Tionghoa yang memiliki pengalaman dalam berjuang.
Ia memperingatkan komunitas Tionghoa, baik yang peranakan maupun yang totok, bahwa kebahagiaan golongan Tionghoa di Indonesia hanya bisa dipastikan tercapai kalau mereka turut berpartisipasi dalam gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1945, ia mendirikan Angkatan Muda Tionghoa. Untuk membuktikan para pejuang Indonesia lainnya bahwa komunitas Tionghoa tidak berpeluk tangan, pada tanggal 9 November 1945, ia mengajak beberapa pemuda Tionghoa dari Malang untuk pergi ke medan pertempuran di Surabaya. Pada tanggal 10 November itu, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan, kelompok Malang itu menemui beberapa pemuda Tionghoa yang juga turut dalam barisan pemuda Indonesia.
Akan tetapi Siauw beranggapan bahwa berjuang untuk revolusi Indonesia sebagai kelompok terpisah adalah tindakan yang salah. Pada waktu itu, para mantan pemimpin PTI sudah memutuskan untuk tidak lagi mendirikan partai yang berasaskan suku atau golongan etnis di zaman kemerdekaan. Oleh karena itu, Siauw, pada tahun 1946, masuk Partai Sosialis, partai gabungan antara partai-partai yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Sjahrir.
Pada tahun 1946, Siauw diangkat sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan antara tahun 1947 dan 1948, ia menjadi menteri negara dengan tugas khusus, memobilisasi potensi sosial dan ekonomi masyarakat Tionghoa dalam mendukung Republik yang baru terbentuk itu. Pada masa yang sama, Siauw turut dalam Inter-Asian Relations Conference yang diselenggarakan di New Delhi, India. Walaupun kehadirannya di KNIP terganggu dengan penahanannya sebagai akibat Peristiwa Madiun dan Serangan Belanda antara tahun 1948 dan 1949, Siauw tetap mempertahankan keanggotaan di Badan Pekerja KNIP. Setelah kedaulatan Indonesia diakui penuh pada tahun 1950, Siauw menjadi anggota DPR dan masuk ke dalam fraksi SKI (Serikat Kerakyatan Indonesia), yang terdiri dari tokoh-tokoh Batak.
Sumbangan penting Siauw di dalam sejarah Indonesia berkaitan dengan cara penyelesaian masalah minoritas Tionghoa yang ia canangkan. Ketika beberapa tokoh Tionghoa ingin mendirikan sebuah organisasi yang akan dinamakan Baperwatt (Badan Permusyawaratan Warga Turunan Tionghoa) pada tahun 1954, untuk menyelesaikan masalah kewarganegaraan Indonesia yang dihadapi golongan Tionghoa, ia diundang untuk membantu melahirkan organisasi ini.
Pengalamannya dalam bidang politik dan reputasi politiknya di dalam berbagai kancah politik menyebabkan ia memiliki kewibawaan politik yang tinggi. Oleh karena itu, dalam rapat pembentukan Baperwatt yang diselenggarakan pada tanggal 13 Maret 1954, Siauw berhasil meyakinkan para peserta rapat untuk mengubah rancangan anggaran dasar Baperwatt. Ia menyatakan bahwa penyelesaian masalah minoritas Tionghoa merupakan bagian dalam perwujudan nasion Indonesia.
Siauw juga menekankan bahwa banyak tokoh politik nasional ketika itu telah mengabaikan tugas sejarah – mewujudkan nasion Indonesia – yang penting ini. Karena mereka menaruh kepentingan partai dan pribadi di atas kepentingan membangun nasion Indonesia, mereka telah melanggar Undang-Undang Dasar yang menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban bagi semua Warga Negara Indonesia. Mereka menjalankan praktek-praktek diskriminasi rasial terhadap masyarakat Tionghoa yang banyak sudah menjadi WNI.
Menurut Siauw, kebijakan rasialistis ini harus dilawan dengan tindakan-tindakan positif dengan meyakinkan seluruh rakyat Indonesia bahwa di negara Indonesia, hanya ada satu bangsa, yaitu bangsa (nasion) Indonesia. Oleh karena itu, organisasi yang dibentuk, menurut Siauw, tidak bisa bernamakan Baperwatt, melainkan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia).
Untuk menunjukkan komitmen-nya, Siauw mendorong dipilihnya kawan lamanya, Sudarjo Tjokrosisworo, seorang wartawan kawakan dari golongan yang dinamakan “asli”, menjadi ketua Baperki cabang Jakarta Raya yang dibentuk pada tanggal 14 Maret 1954.
Akan tetapi, tindakan ini tidak menolong timbulnya persepsi masyarakat dan catatan dalam sejarah bahwa Baperki merupakan organisasi Tionghoa. Walaupun demikian, Siauw senantiasa menyatakan bahwa terpisahnya suku-suku dan golongan-golongan etnis di Indonesia itu adalah warisan kolonialisme dan Baperki mendorong terwujudnya integrasi politik dan sosial golongan Tionghoa di dalam tubuh nasion Indonesia dalam memperbaiki posisi rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Di dalam praktek politik Baperki menganjurkan agar unsur-unsur sosial dalam masyarakat peranakan berintegrasi, memasuki organisasi-organisa si mayoritas yang terbuka bagi semua warganegara sesuai dengan selera masing-masing. Hendaknya pemuda atau mahasiswa peranakan berintegrasi dengan pemuda atau mahasiswa mayoritas dalam satu organisasi; kaum buruh peranakan menjadi anggota-anggota serikat buruh mayoritas, kaum guru peranakan berintegrasi dalam PGRI, dan seterusnya.
Sikap ini ternyata dihargai oleh banyak tokoh nasionalis, termasuk Presiden Soekarno yang kemudian mendukung perjuangan Baperki.
Di bawah pimpinan Siauw Baperki berkembang sebagai organisasi yang mampu melindungi posisi massa-nya, masyarakat Tionghoa di Indonesia dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik. Baperki berkembang menjadi organisasi massa Tionghoa terbesar di dalam sejarah Indonesia. Kenyataan ini, yang terwujud karena dukungan Presiden Soekarno dan banyak tokoh kiri, terutama mereka yang berasal dari PKI, menyebabkan kehancuran Baperki dan banyak pemimpinnya ditangkap ketika kekuasaan pemerintahan jatuh ke tangan Jendral Soeharto pada tahun 1965-1966.
Sebagai seorang Marxist, Siauw Giok Tjhan sadar bahwa keberadaan diskriminasi rasial tidak diciptakan dalam situasi “kosong” (vacuum). Ia berkembang akibat adanya struktur ekonomi sosial peninggalan kolonialisme Belanda. Pada awal perkembangan Baperki, Siauw menyatakan harapannya agar segera tercipta iklim politik di dalam masyarakat Indonesia yang tidak memungkinkan berkembangnya diskriminasi rasial. Sebuah formulasi yang agak kabur, akan tetapi dapat diterima oleh banyak pimpinan politik pada masa itu. Setelah tahun 1959, terutama di dalam zaman Demokrasi Terpimpin, mengikuti irama dan slogan politik yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno, formulasi Siauw menjadi tegas. Perkataan “masyarakat” diubah menjadi “masayarakat sosialis”. Perkataan “integrasi” diubah menjadi “integrasi revolusioner” .
Oleh musuh-mush politik Baperki, terutama mereka yang mencanangkan konsep “assimilasi total”, pernyataan-pernyata an Baperki yang didasari oleh formulasi Soekarno ini, dianggap mengandung komunisme. Dengan sendirinya, musuh-musuh Soekarno, terutama banyak perwira Angkatan Darat mendukung kelompok yang menentang konsep “integrasi” dan mendukung konsep “asimilasi total”. Yang dimaksud dengan “assimilasi total” ternyata hanyalah digantinya nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama Indonesia dan hilangnya kebudayaan Tionghoa. Mereka tidak menganjurkan atau memaksakan pergantian agama ke Islam dan kawin campuran. Yang menjadi dasar program assimilasi itu sebenarnya adalah anti-komunisme dan karena itulah program itu diterima oleh sekelompok masayarakat pada ketika itu.
Dengan jatuhnya Soekarno dan dihancurkannya PKI dan partai-partai yang mendukung demokrasi, Baperki turut diserang oleh kelompok kanan.
Pimpinan Baperki menyadari bahwa corat-coret pada dinding-dinding kota sangat berbahaya sebab merupakan kampanye hasutan untuk melancarkan program anti-Tionghoa. Siauw Giok Tjhan, ketua umum Baperki mengajak saya berlobby kepada beberapa menteri yang kami rasa mempunyai simpati terhadap Baperki dan cukup luas pandangannya untuk mengerti betapa gawatnya situasi bagi orang Tionghoa. Diantara menteri yang kami kunjungi adalah Wakil Perdana Menteri I Subandrio.
Siauw menyatakan: “Saya ketua umum Baperki. Saya bertanggung jawab atas tindak tanduk Baperki. Saya minta sekarang ditangkap dan minta hakim membuktikan bahwa tuduhan-tuduhan terhadap Baperki itu benar”. Subandrio hanya menjawab dalam bahasa Ngoko: “aku pahami bahwa kalian khawatir, tapi ketahuilah bahwa aku sendiri takut sebab tidak tahu apa dampak kejadian ini semua. Hanya satu yang kalian boleh tahu. Kalau aku berjumpa dengan Aidit akan kucaci-maki dia”.
Usaha Siauw untuk meredakan arus anti-Tionghoa gagal. Pada bulan November 1965, Siauw Giok Tjhan ditahan. Saya sebagai salah seorang pemimpin Baperki juga ditahan pada bulan yang sama.
Pada waktu saya meringkuk sebagai tahanan politik , lebih dulu di Kilidikus (Kompi Penyelidik Khusus) Lapangan Banteng, kemudian di penjara Salemba dari akhir 1965 sampai 1966, saya hanya satu kali diperiksa dalam rangka apa yang dinamakan penumpasan G30S.
Pemeriksaan itu yang dinamakan interogasi bagi saya merupakan pengalaman sejarah yang dengan gamblang membuktikan bahwa Orde Baru (Orba) diilhami oleh ideologi Nazi Jerman. Istiláh Orde Baru ternyata merupakan terjemahan konsepsi Hitler untuk mewujudkan Neuordnung Europas: Orde Baru Eropa.
Dalam interogasi itu kepada saya diberlakukan azas sebuah negara totaliter : pembalikan fakta dan adanya pelanggaran kaidah negara hukum bahwa penguasalah yang harus membuktikan bahwa seorang terdakwa telah melanggar hukum.
Saya ditanya apa sebab saya ditahan, bukan jaksa yang memberitahukan kepada saya mengapa saya ditahan. Jawab saya singkat: saya tidak tahu. Tanya jaksa: kalau begitu jawablah apa sebab Baperki dilarang oleh semua Pepelrada. Jawab saya: saya tidak tahu tapi saya bisa menerka. Kemudian sang jaksa menyetujui saya untuk bercerita sbb:
Dasar moral kaum Nazi untuk membasmi seluruh umat Yahudi bisa diketemukan dalam buku penyair resmi partai Nazi NSDAP, namanya Dietrich Eckart dan buku yang saya maksudkan berjudul : Der Bolschewismus von Moses bis Lenin, bolsyewisme (komunisme) - sedari nabi Musa sampai Lenin. Dalihnya berbunyi bahwa Yahudi dan komunis itu sinonim. Tidak peduli dia bankir raksasa bernama Rothschildt atau penyair termashur Heinrich Hein mereka komunis, sebab YAHUDI.
Sejalan dengan paham rasis ini sekarang di Indonesia sedang didalihkan bahwa karena RRT negara komunis maka semua orang Tionghoa adalah komunis dan pemimpin-pemimpin masyarakatnya - dalam hal ini terutama yang dari Baperki harus diamankan.
Betapa ganjil prasangka ras ini dapat dilihat dari cora-tcoret pada dinding-dinding kota Jakarta yang berbunyi: “Baperki cukong atau kasir PKI”, tapi sekaligus juga: “Baperki antek atau jongos PKI”. Saya simpulkan bahwa anti-semitisme Nazi sama dengan anti-sinicisme ORBA dengan satu kekecualian. Nazi Jerman dalam undang-undangnya dan pengumuman resmi tidak menggunakan istilah hina Saujude melainkan hanya Jude. Sedangkan oleh ORBA istilah hina Cina digunakan secara resmi, bukan Tionghoa.
Siauw dibebaskan pada bulan Mei 1978 tanpa prose pengadilan apapun. Kartu Penduduknya dibubuhi tanda ET (Eks Tapol). Pada bulan September 1978, ia pergi ke negeri Belanda untuk berobat. Penderitaan di penjara yang berkepanjangan telah mengakibatkan satu matanya buta, satu matanya yang lain hanya memiliki visi 70% dan ia memiliki sakit jantung yang cukup parah.
Pada waktu ia wafat, kelompok yang mendukung assimilasi kelihatannya menang di atas angin. Akan tetapi, kelompok ini ternyata gagal melahirkan tokoh berkaliber Siauw Giok Tjhan yang memiliki visi politik yang luas dan besar. Memang, di zaman Orde Baru yang diciptakan Soeharto, tidak akan mungkin tumbuh pemimpin berkaliber Siauw Giok Tjhan. Yang mungkin tumbuh adalah cukong-cukong yang menjadi kronies pimpinan Orde Baru.
Perjuangan Siauw untuk terwujudnya nasion Indonesia yang ia selalu katakan sebagai nasion yang tidak mengenal diskriminasi rasial dan terwujudnya masyarakat di mana setiap orang bebas dari rasa takut di anak-tirikan, adalah perjuangan, yang menurut Siauw sendiri, memerlukan waktu panjang. Keyakinan ini, yang ia dengan teguh pertahankan hingga detik terakhir dalam hidupnya, membuat Siauw seorang “nation-builder” yang gugur sebagai seorang patriot Indonesia. Ia adalah seorang sosialis yang ingin membawa golongannya berintegrasi ke dalam tubuh nasion Indonesia tanpa menanggalkan kebudayaannya.
Saturday, March 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
Sori, salah tekan keypad, jadi terkirim sebelum rampung kutulis. Bagusnya dihapus aja. Ok bang..
the first comment has been deleted,
but nothin special there, so that was ok actually. i put the article in my blog to respect, actually his daughter, living now in amsterdam, maylee. really proud of her becoz her passionate to her very beloved country indonesia, particularly to the oppressed people. she is like my family here.
king.
Post a Comment