Monday, March 27, 2006
KISAH PERTIKAIAN KAPITALISME VS PETANI
Kontradiksi antara kapitalisme dan petani sepertinya tidak akan pernah berakhir sepanjang sejarah. Masing masing kubu akan terus menerus saling menegasikan, bahkan mematikan, seolah ingin mengingatkan kita pada kisah peradaban pertama Jahudi tentang pertengkaran dua bersaudara, Kain yang bekerja sebagai petani, dan Habel si pedagang, anak keturunan hasil perkawinan Adam dan Hawa. Kisah tragis dari petani dan pedagang pertama ini berakhir dengan terbunuhnya sang juragan, Habel, karena alasan yang sangat mendasar, hasil produksi pak tani itu ditolak di pasar oleh Tu(h)annya. Kain sang pembunuh adiknya sendiri itu akhirnya mendapat hukuman kutukan penderitaan dan menjadi orang asing di tanahnya sendiri.
Terasing dari tanah menjadi semacam takdir yang mengalir. Kisah ini berlanjut setiap masa dari satu peradaban keperadaban berikutnya, nasib petani menjadi selalu menggetirkan, selalu saja kalah dipusaran market yang dipertuhankan para juragan- kapitalis. Kaum kapitalis, seakan mengingat dendam lama untuk senantiasa menindas petani. Akses petani terhadap tanah yang diputus oleh sistem kapitalisme membuat petani menjadi teralienasi dari tanah, bahkan terasing atas hasil produksi dan penentuan nilai produksi pertaniannya sendiri. Semuanya ditetapkan oleh sistem kapitalisme, mulai dari tanah, bibit, pupuk, pemasaran hingga harga hasil produksinya.
Namun sebaliknya, ditengah sejarah kekalahan-kekalahan petani, kaum kapitalis juga tidak bisa tidur nyenyak dengan perlawanan-perlawanan yang terus menerus dilakukan oleh petani hingga kini. Globalisasi sebagai agenda kapitalisme neo liberalisme melalui institusi institusi ekonomi dan keuangan internasional dihadang petani dengan agenda perlawanan dan jaringan sosial global di forum forum global pula. Seperti sertifikasi tanah dilawan dengan okupasi tanah kembali oleh gerakan petani tak bertanah ( MST) di Brazil, Masyarakat adat Zapata menjadi hantu menakutkan bagi pemerintah Mexico yang berhaluan neo liberal, pemimpin petani koka, Evo Morales yang saat ini memimpin Bolivia, merupakan sebagian contoh tidak hentinya geliat petani di berbagai belahan dunia.
Kapitalisme Menegasikan Petani
Mengutip pendapat Eric Hobsbawn (Noer Fauzi;2005), jaman ini adalah abad kematian bagi petani (The Death of Peasantry) menggantikan era petani yang telah mendominasi peradaban ratusan tahun hingga pada abad pertengahan. Hubungan antara abad pertengahan dengan abad dua puluh telah diputus oleh matinya petani dan bangkitnya kapitalisme. Dua esensi dan eksistensi yang kelihatannya tidak mungkin bersahabat, namun saling berlawanan dan saling mendominasi.
Sesuai dengan namanya, hakekat kapitalisme adalah akumulasi kapital. Kacamata akumulasi modal menjadi satu-satunya alat yang dipakai untuk memandang segala sesuatu. Sistem kapitalisme mengharuskan kerja-kerja manusia dinilai dengan keuntungan atau nilai lebih yang bisa dihasilkan olehnya. Tidak ada hal apapun yang luput dari kalkulasi untung rugi. Nilai-nilai sosial, budaya, politik hingga agama tidak luput dari kepentingan akumulasi kapital. Kebenaran adalah kapital itu sendiri. Keleluasaan gerak kapital tidak bisa dihalangi oleh apapun, oleh karena itu dibutuhkan liberalisme, yakni faham yang dari segi ekonomi dapat dipandang sebagai gagasan yang memberikan keluasaan seluas-luasnya kepada individu untuk melakukan akumulasi kapital. Market adalah aktor, bahkan tu(h)an dari dwitunggal kapitalisme-liberalisme ini. Segala regulasi diarus-utamakan untuk memberikan ruang kepada berkuasanya pasar melebihi negara dan institusi masyarakat lainnya.
Sementara petani berada disisi yang sama sekali berbeda yang justru mengganggu bahkan menggugat keleluasaan gerak kapitalisme - liberalisme. Hakekat petani yang punya relasi erat dengan tradisi, pandangan hidup, dan religi yang sakral tidak menjadikan ukuran untung- rugi dalam melakukan kerja-kerja petani. Aksi penolakan petani untuk menjual tanahnya terkadang bukan terkait dengan harga tanah, namun karena hubungan historis dan turun temurun terhadap tanah. Aksi penolakan rakyat India terhadap pembangunan waduk raksasa di Narmada membuktikan bahwa ganti rugi tanah bukan menjadi persoalan. Rakyat yang tergabung dalam Narmada Bachao Andolan ( NBA) atau gerakan menyelamatkan Narmada menolak pendirian waduk dengan alasan nilai sejarah dan religius (Noer Fauzi;2005), sehingga pembangunan DAM itu identik dengan pengenyahan sejarah, keyakinan, serta masa depan generasi mereka.
Agenda revolusi hijau kapitalisme yang dimaksudkan untuk melipatgandakan hasil produksi justru kontraproduktif dalam hitungan jangka panjang. Sebaliknya kualitas dan kuantitas produksi petani justru semakin buruk dengan segala teknologi dan obat-obatan yang ditawarkan para intelektual penopang kapitalisme itu. Buruknya kualitas hasil produksi pertanian menyebabkan munculnya pertanian alternatif yang dikenal sebagai pertanian organik, dengan tujuan mengembalikan kualitas hasil pertanian yang telah hancur oleh karena revolusi hijau. Namun usaha yang sesungguhnya sudah dijalankan petani sebelum revolusi hijau ini pun harus dibayar dengan sangat mahal, dimana proses produksi dan proses distribusinya membutuhkan sumber daya yang besar dan mahal pula.
Menjinakkan Petani Dengan Sustainable Development
Ekspolitasi yang kejam dari sistem kapitalisme terhadap alam tidak sekedar menelurkan kemaha-kayaan segelintir orang pemilik modal dan massifikasi kemiskinan, tetapi juga menghasilkan kehancuran alam yang tentunya mengganggu keberlangsungan kapitalisme itu sendiri. Dampak jangka panjang revolusi hijau ternyata menghancurkan ekosistem, kesuburan tanah serta penurunan produksi. Sertifikasi tanah petani berakibat modalisasi tanah yang secara perlahan memutus akses petani terhadap tanah, dan pada akhirnya ploretarisasi petani. Petani tak bertanah bertambah secara massif yang memaksa mereka menjadi buruh, baik buruh tani maupun buruh industri.
Respon petani atas ploretarisasi secara sistemik ini mendapat perlawanan pula, disebabkan oleh tidak sekedar pertentangan nilai-nilai, tetapi juga oleh karena ketidaksiapan sistem kapitalisme untuk menyediakan ruang yang mencukupi terhadap kebutuhan sosial dan ekonomi rakyat. Di lapangan kapitalisme ini, atau meminjam istilah Noer Fauzi, ditengah ruang pagelaran kuasa kapitalisme, masalah pengangguran semakin menggelembung yang menyebabkan munculnya migrasi buruh ke perkotaan bahkan lintas negara, hingga munculnya arus balik buruh menjadi petani kembali antara lain melalui reklaiming tanah (re-peasantisation). Hal seperti ini dapat dilihat dari apa yang dipraktekkan oleh eks buruh tambang timah yang melakukan reklaiming tanah dan beralih menjadi petani coklat di Bolivia.
Nasib kapitalisme sedang tergoncang sehingga terpaksa dan dipaksa harus merubah diri. Kegoncangan ini membangun kesadaran sosial dan politik diantaranya memandang perlunya memperhatikan masa depan ekologi sebagai sesuatu yang harus dipelihara keberlanjutannya yang kemudian disebut sebagai sustainable development. Struktur kapitalisme yang memaksa terjadinya kemiskinan secara massif (kemiskinan struktural) menjadi salah satu alasan sistem kapitalisme untuk merubah kebijakan terhadap bangsa-bangsa miskin dalam kerangka menjaga eksistensi dan keberlanjutan kapitalisme. Inilah kebijakan lembaga-lembaga internasional penopang kapitalisme yang disebut dengan kebijakan penyesuaian struktural ( structural adjustment policies)
Namun usaha penjinakan ini masih tetap menuai kegagalan bahkan perlawanan dari berbagai bangsa maupun komunitas miskin di berbagai belahan dunia. Realitas kemiskinan yang tidak bisa ditutup-tutupi bahkan hutang negara-negara miskin yang semakin menggelembung tentunya menjadi fakta tak terbantahkan sebagai salah satu basis materil utama dari ketidak –puasan dan perlawanan yang terjadi. Terlepas dari ‘kekalahan’ petani ini, perlawanan komunitas komunitas kecil yang masih eksis hingga saat ini patut menjadi cermin yang merefleksikan ketidaktuntasan persoalan dan kegagalan kapitalisme dengan kebijakan kebijakan penyesuaiannya. Kapitalisme masih harus berhadapan dengan komunitas perlawanan semacam Masyarakat Adat Zapatista di Mexico, hingga gerakan petani tak bertanah di Brazil dan Afrika Selatan.
Oase Petani
Jaman yang disebutkan Eric Hobsbawn sebagai era the end of peasantry ini tentunya masih debatable. Walaupun diakui bukan arus utama global, tetapi masih ada komunitas komunitas yang berwatak dasar dan mempraktekkan kolektivisme, solidaritas, dan keramahan terhadap alam. Komunitas-komunitas ini masih terus hidup dan sedang bersiap menggelar budaya tandingan (counter culture) ditengah ruang pagelaran kuasa kapitalisme yang rakus terhadap sesama dan alam.
Bahkan di awal menapaki abad dua puluh satu ini, gelombang komunitas-komunitas anti kapitalisme dan neoliberalisme ini justru semakin meluas, dan di beberapa tempat telah melembaga dalam institusi negara, menambah barisan negara yang sejak era perang dingin masih tetap konsisten dengan sikap menentang kapitalisme dan neoliberalisme. Para penambah barisan yang secara terang terangan menolak kapitalisme dan neoliberalisme ditunjukkan secara terang-terangan oleh antara lain pemimpin negara Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, mengikuti jejak Kuba, yang masih konsisten dengan pilihan yang sama sejak era perang dingin.
Petani bukan sekedar bicara pekerjaan bertani, tetapi mencakup watak, hakekat dan cara hidup yang bernegasi dengan kapitalisme. Oleh karena itu, penyelesaian masalah petani meliputi pemberian dan perebutan ruang untuk hidup dan eksis. Sulit dibayangkan masalah sosial global diselesaikan dengan upaya programatis semata, seperti program penyesuaian struktural yang dipraktekkan oleh lembaga-lembaga penopang kapitalisme selama ini. Kebangkitan petani di berbagai tempat yang sedang terjadi saat ini bisa berarti awal dari kebangkrutan bagi kapitalisme.
Penulis:
Sp_siagian@yahoo.com
www.bakumsu.or.id
Saturday, February 04, 2006
kantorku panas sekali
hari ini aku susah bekerja,
karena otakku buntu,
kenapa?
karena kantorku panas sekali,
listrik mati, terus genset ribut sekali.
aku ngga bisa ngerjai apa-apa,
produktivitas otak memang dipengaruhi oleh
suhu udara,
jika suhunya panas, otak susah bekerja,
jika suhunya dingin, otak akan bekerja dengan lancar,
sama dengan prosesor komputer,
dia akan hang kalau terlalu panas,
dan dia akan bisa bekerja dengan bagus saat dingin.
july 31, 2007, sekitar jam 2,46 pm.
Thursday, February 02, 2006
Undang-undang Anti Porno
membahas apa itu porno. Yang ada adalah sikap satu kelompok yang memaksakan defenisi mengenai porno, demikian juga dengan kelompok yang lain, mendefenisikan sendiri bagi dirinya apa itu porno. Masalahnya bagaimana mungkin lahir undang undang yang mengatur tentang porno, sementara tidak ada defenisi yang jelas mengenai porno itu sendiri. Ini adalah lelucon yang tidak lucu, karena hukum selalu bicara tentang keadilan bagi semua golongan, bukan mendahulukan defenisi satu kelompok, tetapi mengakomodir defenisi-defenisi dari setiap elemen dalam masyarakat.
Pernah DPR di Senayan mengundang beberapa tokoh yang sering mempersoalkan dan saling menuding siapa yang porno dan siapa pula yang tidak porno. Undangan yang nota benenya masih bagian yang sangat kecil dari proses assesmen pendapat rakyat itu justru berakhir dengan pertengkaran, misalnya antara Rhoma Irama, yang menuding-nuding Inul Daratista—mereka adalah sama-sama artis dangdut, hanya goyangan mereka berbeda—sebagai pengumbar porno. Agak lucu memang peristiwa ini, kita belum pernah dengar di parlemen India ada diskusi seputar goyangan di film India yang porno dan yang tidak porno. Tentunya film-film India yang telah lama mewarnai televisi di negeri kita itu, jauh lebih erotis, pakaian dengan bahan yang sangat sedikit, dibanding artis-artis dangdut Indonesia yang dituding sebagai penyebar ‘agama’ porno di Indonesia.
Kasus terbaru yang terjadi di negeri kita adalah wacana tentang akan beroperasinya majalah Playboy di Indonesia. Seperti jamur di musim hujan, suara-suara berbagai kelompok berdatangan. Ada yang menolak dengan gaung yang lebih besar dibanding kelompok yang memilih menunggu seperti apa wajah playboy Indonesia itu. Majalah dengan lambang kelinci itu merupakan media raksasa yang berkuasa di Amerika dan beberapa negara di dunia, dengan topik yang berkaitan dengan manusia ‘pra sejarah’ (manusia dengan kepolosan, karena belum ada pakaian). Namun manajemen mereka yang ada di Indonesia langsung menyampaikan pernyataan bahwa majalah playboy yang akan terbit di Indonesia itu akan disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia, yakni minimal bangsa yang beradab karena sudah mengenal pakaian.
Namun penjelasan itu justru semakin menyulut aksi-aksi massa yang lebih besar yang terjadi di berbagai kota di Indonesia yang semakin menguatkan wacana penolakan majalah itu. Aksi-aksi itu adalah sesuatu yang wajar ditengah kegalauan dan kerisauan kita tentang masa depan anak-anak negeri ini. Hampir tidak ada yang bisa memotong sekat-sekat budaya global yang menyerang setiap sudut di seluruh permukaan bumi ini. Sesungguhnya, jika mau lebih jujur pada diri sendiri, tidak ada apa-apanya majalah playboy yang beredar di Amerika sekalipun, dibanding, buku-buku porno yang bebas dijual di pasaran. Kita hanya perlu beri kode sedikit, penjual buku di jalanan sudah mengerti apa yang kita butuhkan. Selain itu tabloid-tabloid yang mengumbar syahwat juga dapat kita lihat setiap waktu di setiap sudut jalan di kota-kota, katakanlah kota Medan misalnya. Selain itu, kita berani katakan bahwa hampir tidak ada kota di Indonesia ini yang tidak memiliki lokalisasi atau pelacuran, bahkan di Asia, Indonesia terkenal sebagai salah satu negara dimana prostitusi-nya sangat tinggi, dengan beberapa lokasi prostitusi-nya yang terkenal. Media televisi juga menayangkan adegan-adegan yang mengumbar syahwat setiap malamnya. Dan terbukti, rating peminatnya sangat tinggi. Tidak ada asap kalau tidak ada api, media tidak akan tampilkan itu jika memang tidak ada penontonnya. Pertanyaannya adalah apa yang terjadi dengan diri kita? Kita harus koreksi diri.
Kita sangat prihatin dengan budaya bangsa kita yang semakin hari habis digerogoti budaya barat yang liberal dari segala hal, khususnya pornografi dan pornoaksi. Hal yang terpenting saat ini adalah membuat regulasi yang tegas terhadap pornografi dan pornoaksi. Negara kita adalah negara hukum, oleh karena itu regulasi yang jelas melalui Undang-undang sangat penting untuk segera dirumuskan. Kita mengharapkan RUU anti pornografi mendapat masukan dari seluruh elemen masyarakat, sehingga nantinya tidak menimbulkan polemik yang baru. /saurlin siagian/ februari 2006
Thursday, November 24, 2005
MENGHARGAI ALIRAN KEPERCAYAAN, MELESTARIKAN ALAM
PENGANTAR
Kehancuran ekosistem global sudah sampai kepada titik yang sangat menguatirkan eksistensi kehidupan di bumi. Penghancuran terus menerus terjadi seolah conditio sine qua non, sesuatu yang harus terjadi dan tidak ada yang bisa mengendalikan dan menghentikannya. Pemanasan global, kopongnya lapisan ozon yang fungsinya menjaga bumi dari panas matahari, krisis hutan, air dan makanan, hingga bencana bencana lintas negara yang terjadi akhir akhir ini seperti tsunami dan badai menjadi realitas yang terus menerus menerpa bumi.
Ribuan tahun umur peradaban manusia ternyata hanya menghasilkan kehancuran dirinya sendiri. Segala sesuatu bermakna terbalik. Pembangunan ternyata adalah penghancuran, kemajuan adalah kemunduran, dan kemajuan peradaban adalah kebiadaban. Tidak terkecuali agama-agama besar saat ini yang umurnya juga setua peradaban, perannya tidak terlihat dalam sejarah untuk menjaga kualitas kehidupan ke arah yang lebih baik, sebaliknya seringkali ikut dalam melegitimasi proses penghancuran kehidupan di bumi secara tidak langsung.
Proses penyebaran agama-agama besar ke seluruh dunia termasuk Indonesia utamanya seperti kristen dan islam, harus diakui ikut ambil bagian dalam proses ini, sementara komunitas lokal (native), masyarakat adat atau yang akrab disebut dengan indigenous people yang hidup selaras alam semakin kritis kondisinya. Padahal, sebagai komunitas yang langsung berinteraksi sehari-hari dengan alam dan hutan, merekalah juru kunci lenyap tidaknya sisa sisa hutan, peninggalan kejayaan alam dan peradaban masa lalu . Pelibatan masyarakat yang masih memiliki keyakinan, kearifan, dan nilai nilai luhur terhadap alam dan lingkungan hidup ini adalah salah satu hal terpenting dan mendesak saat ini, namun tidak berarti peran dan pelibatan agama-agama dominan dalam memulai mencintai dengan tulus alam dan lingkungan hidup sebagai sesuatu yang kurang penting.
NASIB KEYAKINAN MASYARAKAT LOKAL
Sudah menjadi hal yang umum bahwa upaya melestarikan lingkungan hidup berkaitan erat dengan wacana pelibatan masyarakat lokal, atau indigenous people. Namun, pelibatan keyakinan-keyakinan dasar dan kepercayaan yang mereka anut mengenai kehidupan alam yang dianggap suci dan sakral jarang menjadi wacana yang dieksplorasi dalam bingkai pelestarian alam dan lingkungan hidup. Kelihatannya masyarakat lokal juga hampir punah seiring dengan punah dan hancurnya kehidupan ekologi. Stigmatisasi yang negatif acap terjadi terhadap keyakinan mereka karena berbeda dengan agama –agama dominan.
Di negara Indonesia, orang yang memiliki dan menganut kepercayaan diluar lima agama yang direstui negara, disebut sebagai penganut aliran kepercayaan. Bahkan lebih jauh, acap kali penganut aliran kepercayaan dicap sebagai aliran sesat, tentunya versi agama-agama dominan itu. Ini adalah sebuah ironi, disatu sisi ada upaya membangkitkan kembali partisipasi masyarakat lokal dalam melestarikan lingkungan, tetapi disisi lain, keyakinan-keyakinannya yang mendasar tidak mendapat tempat untuk ditumbuh kembangkan. Usaha partikularisasi ini tentunya akan menimbulkan keterasingan bagi komunitas lokal, sementara penghormatan terdalam pada lingkungan hidup tempat mereka berinteraksi sehari-hari dapat diwujudkan atas dasar keyakinan yang telah dimiliki secara turun temurun untuk menghormati dan menjaga keutuhan alam.
Tentu ini adalah bias dari agama-agama besar yang ditopang oleh negara dalam mendefenisikan keyakinan atau kepercayaan kepada sesuatu yang transenden. Stigma ”aliran kepercayaan” atau bahkan lebih jauh ”animisme” yang dibuat sejak rejim orde baru berkuasa ini tentunya adalah pembodohan dan pembohongan, oleh karenanya memerlukan koreksi dan rehabilitasi, untuk menghentikan diskriminasi yang telah terjadi kepada penganut keyakinan lokal ini selama puluhan tahun. Secara administratif, mereka akan selalu kesulitan berhadapan dengan pemerintah karena Kartu Tanda Penduduk yang sulit diurus. Terkadang mereka harus memasukkan salah satu agama besar yang diakui oleh pemerintah demi kelancaran urusan adminstrasi, walaupun mereka tidak tahu sama sekali apa ajaran agama yang dicantumkan itu.
Ini adalah hal lain yang menyangkut persoalan struktural yang memerlukan perhatian dan pemecahan struktural pula dari pemerintah. Disisi yang lain, agama agama dominan juga sering menunjukkan ketidak-akrabannya dengan keyakinan keyakinan masyarakat lokal, seperti mencap animisme, sinkritis, atau sesat. Dinamika ditingkat agama-agama dominan juga menunjukkan perubahan terhadap pemaknaan masyarakat lokal dan lingkungan hidup
PERTOBATAN AGAMA DOMINAN
Fakta historis tidak bisa memungkiri bahwa agama-agama dominan punya andil dalam hancurnya lingkungan hidup yang dialami seluruh umat manusia di bumi ini. Legitimasi teologis yang diberikan agama-agama dominan, atau barangkali lebih tepat pemanfaatan dan manipulasi agama telah menjadi sertifikat penguasaan dan penjajahan bumi dan segala isinya secara rakus dan tanpa kendali oleh para penganutnya. Kerugian dan kerusakan alam yang tidak terkira ini tentunya juga telah menimbulkan kesadaran sebagaian agama-agama dominan atas perilakunya, sehingga buru-buru mencari dasar teologis baru yang lebih bersahabat dengan alam.
Tidak hanya agama,sesungguhnya ilmu dan filsafat pengetahuan juga pada awalnya ikut andil dalam melegitimasi eksploitasi alam yang tanpa ampun, dengan menempatkan manusia sebagai mahluk yang dianggap bernilai dan memiliki kelas spesies tertinggi dalam strata mahluk hidup. Sebelum pertobatan agama agama dominan ini, kiranya penting untuk menelisik secara umum seperti apa hubungan pengrusakan alam dengan keyakinan yang berkembang dan terlegitimasi selama ribuan tahun di lingkungan agama-agama dominan yang memiliki persfektif bias terhadap alam dan lingkungan.
Bencana banjir bahorok tahun 2004 yang menelan korban jiwa setengah juta orang disebut sebagai murka Tuhan terhadap warga yang sudah banyak melakukan dosa. Kotbah seperti ini acapkali kita dengar oleh tokoh tokoh agama besar ditelevisi. Padahal, ditemukan ternyata penggundulan hutan akibat legal logging dan illegal logging telah terjadi dengan sangat merajalela. Demikian juga peristiwa tsunami dan gempa di Aceh dan Nias. Alangkah malangnya nasib para korban, sudah jatuh ketimpa tangga dan cat pula, sudah ketimpa bencana, dicap pendosa lagi oleh kotbah kotbah para tokoh tokoh agama. Sesungguhnya cap itu harus ditempelkan dikening para penjarah hutan, koruptor dan aparat yang membeking para perampok berdasi itu. Sikap dan paradigma agama-agama dominan juga dapat disaksikan dari aktivitasnya yang cenderung karitatif dalam menanggapi persoalan lingkungan hidup. Memberikan bantuan karitatif tidak salah, tetapi tidak cukup untuk menjawab masalah yang memerlukan gagasan yang komprehensif.
Manusia dilihat sebagai strata tertinggi dan penguasa alam yang memanfaatkan alam untuk kemakmuran manusia. Dalam persfektif agama dominan, Allah memberi kewenangan penuh kepada manusia untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingannya. Tradisi berfikir barat yang tidak bisa lepas dari agama dominan juga mengukuhkan bahwa manusia adalah mahluk yang istimewa dibanding mahluk lainnya yang lebih rendah. Manusia memiliki jiwa, bisa berpikir, dan menciptakan sejarah, sementara binatang adalah mahluk mekanisitis yang tidak bisa melakukan meditasi terhadap dirinya sendiri. Pandangan yang seperti inilah yang disebut sebagai antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang istimewa sehingga layak melakukan apa saja terhadap objek alam untuk kepentingan dirinya sebagai subjek. Pandangan antroposentrisme inilah yang mendominasi pandangan agama-agama dominan selama ribuan tahun.
Disadari oleh kalangan penganut agama agama dominan bahwa telah terjadi kesalahan tafsir atas alam, sehingga mulai merekonstruksi tafsir baru yang lebih bersahabat dan menghargai lingkungan. Tahun 1986, untuk pertama kalinya tokoh tokoh agama besar melakukan pertemuan di Italia yang dikenal dengan deklarasi assisi. Dari pertemuan itu ditemukan bahwa ternyata agama-agama dominan seperti Kristen, Islam, Hindu dan Budha memiliki basis teologis kesadaran tentang lingkungan hidup. Tokoh tokoh agama menyampaikan pernyataan pernyataan diambil dari kitab masing masing, sebagai keberpihakan kepada lingkungan hidup dan genderang perang terhadap perusak lingkungan hidup.
Posisi dan peran agama dominan dapat menjadi sinergis dengan lingkungan hidup serta seluruh kehidupan yang terkait dengannya secara utuh. Upaya menghabisi ’agama’masyarakat lokal bisa bergeser ke arah saling menghargai dan saling menghormati. Dalam berbagai hal dapat bekerjasama dan bergandengan tangan dalam rangka menghempang laju kehancuran alam dan hutan yang masih tersisa.
’AGAMA’ MASYARAKAT LOKAL DAN LINGKUNGAN HIDUP
Sulit menemukan data yang pasti tentang jumlah penganut aliran kepercayaan di nusantara ini. Mengikuti publikasi The World Factbook(2001), dari 230 juta penduduk Indonesia terdapat 96 % jumlah penganut agama agama dominan seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Data ini mengisyaratkan bahwa jumlah penganut aliran kepercayaan bisa mencapai 4 % atau sekitar 9,2 juta jiwa. Namun dalam bingkai pelestarian alam, jumlah ini jauh lebih penting karena komunitas komunitas mereka yang setidaknya bersentuhan atau berinteraksi langsung dengan alam. Eksistensi mereka sangat tergantung terhadap kehidupan dan keberlangsungan lingkungan alam. Mereka tidak saja berkepentingan atas kehidupan yang bersumber dari alam dan hutan, tetapi berkepentingan atas lestari dan eksisnya hutan sebagaimana adanya, sebab eksistensi keduanya adalah saling hubungan yang tidak terpisahkan.
Bisa dikatakan bahwa komunitas lokal sekitar hutan menghargai hukum yang berlaku dengan alam lingkungannya, jauh dari logika ekonomi untung rugi para perambah hutan yang datang jauh dari luar komunitas mereka, katakanlah dari masyarakat perkotaan yang materialistis, dan memandang hutan dari kacamata dollar, bukan dari kacamata lingkungan alam sebagai entitas yang memiliki sirkulasi kehidupan yang harus dihormati dan dijaga hak-haknya untuk hidup dan lestari. Letak kesucian dan kesakralan yang dimiliki oleh alam –sebagaimana diyakini komunitas lokal- tidak mendapat tempat bagi logika dagang saudagar kota yang haus dengan keuntungan sesaat.
Kita tidak pernah mendengar gundulnya hutan ratusan hektar oleh karena komunitas tradisional yang tinggal dihutan. Namun kita selalu mendengar illegal logging yang dilakukan masyarakat kota yang memandang segala sesuatu dari segi keuntungan ekonomi sesaat. Jika ada orang orang dari masyarakat lokal yang terlibat dan tersubordinasi dalam rantai penggundulan hutan, sesungguhnya hal itu berakar pada ekspansi dan penjajahan nilai yang dilakukan oleh peradaban kota yang kapitalistis. Komunitas lokal tidak memandang alam sebagai sesuatu yang harus diekslpoitasi. Komunintas lokal yang seringkali di cap sebagai orang orang yang memeluk animisme atau aliran kepercayaan memiliki hubungan yang simbiosis dengan alam secara langsung, berbeda dengan masyarakat kota yang lebih merasa teralienasi dengan kehidupan alam.
Disekitar lereng gunung Sinabung di Sumatera Utara dikenal masyarakat Karo yang sebagian kecil masih menganut kepercayaan tradisional yang dikenal dengan Pemenah, dan disekitar gunung Pusuk Buhit di Samosir dikenal masyarakat Batak Toba yang sebagian masih menganut aliran kepercayaan Parmalim. Interaksi keselarasan hidup dengan alam dan hutan dapat diteladani dari mereka, setidaknya ritual mereka menggambarkan tingginya penghormatan terhadap hutan sekitarnya.
Aliran kepercayaan yang ada di Nusantara ini sebenarnya jauh lebih ramah lingkungan dari agama agama besar yang ada saat ini. Katakanlah aliran kepercayaan Parmalim di Tanah Batak, hutan yanh disebut tombak, adalah sesuatu yang sakral dan harus dijaga kehidupannya, karena merupakan air susu kehidupan bagi manusia. Mata air atau sumber air adalah homban, yang berarti suci dan haram hukumnya untuk dikotori. Demikian juga suku anak dalam yang hidup di propinsi Jambi. Mereka semakin terjepit dengan perambahan hutan yang diganti menjadi areal perkebunan. Bagi suku anak dalam yang hidupnya sangat erat dengan rimba, perkebunan monokultur sama dengan gurun pasir, karena tidak bisa memberikan kehidupan apapun bagi mereka. Masyarakat yang masih menganut aliran –aliran kepercayaan diluar agama besar masih banyak di seluruh nusantara, namun tidak ada perhatian untuk melestarikan faham dan nilai-nilai yang mereka miliki, ironisnya justru agama-agama besar acapkali melakukan ekspansi yang gencar terhadap faham dan nilai-nilai yang mereka anut.
Dari sudut pandang etika ekologi, keyakinan dan nilai nilai selaras alam yang dimiliki komunitas lokal lebih mendekati apa yang disebut Arne Naess(1973) dengan deep ecology, sebuah varian dari teori ekosentrisme yang berkembang sebagai antitesis terhadap antroposentrime yang dianggap telah menghancurkan alam selama ribuan tahun. Sintesa Naess menarasikan tidak sekedar keyakinan-keyakinan terhadap lingkungan, tetapi mencakup filsafat kearifan terhadap lingkungan atau ecosophy, serta gerakan ekonomi dan aksi politik selaras alam.
Tidak seperti faham antroposentrime yang memandang persoalan lingkungan hidup sebagi persoalan teknis, persoalan lingkungan hidup menyangkut paradigma dan watak berfikir yang harus diobah tentang alam. Alam adalah salah satu subyek yang memiliki hak untuk hidup dan bertumbuh sama dengan manusia. Disinilah letak relevansi aliran kepercayaan yang dimiliki komunitas-komunitas lokal untuk menjaga keutuhan dan kelestarian alam. Menganggap alam dan hutan sebagai sesuatu yang suci, yang tidak bisa dikotori dan dirusak, tidak beda jauh dengan maksud subyektifikasi terhadap alam sebagaimana dimaksudkan oleh Arne Naess.
PENUTUP
Pelibatan masyarakat lokal dalam menjaga dan mengembalikan kehidupan alam dan lingkungan hidup, tidak akan akan berjalan dengan baik tanpa pelibatan mereka secara utuh, menyangkut institusi sosial, ekonomi, politik, dan terutama pelibatan keyakinan keyakinannya terhadap alam dan lingkungan. Keyakinan-keyakinan yang nota-benenya adalah ’agama’ masyarakat lokal ini menjadi hal yang penting untuk digaris bawahi.
Agama-agama dominan yang pada masa lalu punya andil dalam pengrusakan alam, terlepas dari kekeliruan atau manipulasi ayat ayat dari masing masing agama, sudah seharusnya memberikan kontribusi penghargaan terhadap lingkungan hidup dan segala kehidupan didalamnya, termasuk menghargai dan mendorong kemajuan keyakinan-keyakinan masyarakat lokal yang bersahabat dengan lingkungan hidup. Apresiasi terhadap keyakinan keyakinal lokal menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam upaya menanggulangi persoalan lingkungan hidup.
Dari sudut kebijakan, pemerintah sudah saatnya mengakhiri diskriminasi terhadap masyarakat lokal yang memiliki keyakinan diluar agama-agama besar yang selama ini diakui. Klasifikasi penganut agama dan penganut kepercayaan termasuk kebijakan orde baru yang melanggar hak asasi manusia untuk bebas untuk menentukan keyakinan. Terakhir, kepada masyarakat lokal harus diberikan akses yang memadai untuk melestarikan keyakinan-keyakinannya, utamanya dalam melindungi alam dan lingkungan hidup. Setiap komunitas lokal memiliki kearifan lokal, nilai sendiri, metode sendiri, serta aksi aksi yang secara alami dimiliki untuk memecahkan persoalan dirinya sendiri tanpa intervensi dari luar komunitasnya.
Thursday, October 13, 2005
Carut Marut Dana Kompensasi
Masalah inilah yang menimbulkan luapan kemarahan rakyat dimana-mana. Dana yang diharapkan dan direncanakan untuk orang orang miskin itu, ternyata salah sasaran menjadi dana kompensasi orang kaya. Dinegeri ini, susah setengah ampun jadi orang miskin, dan alangkah enak dan senangnya jadi orang kaya. Sudah mampu, diberi kompensasi pula. Kita tidak dapat mengerti pikiran aparatur yang memberi peluang dan mengamini perilaku itu, sepertinya kaki di kepala, kepala di kaki, kata salah satu lirik lagu pop yang sedang populer saat ini. Untuk sekedar melihat ke latar belakang, kita perlu telusuri ide dana kompensasi ini dari asal usul dan penganjurnya.
Konsep pemberian subsidi cash kepada warga negara yang miskin sudah lama diterapkan negara negara yang menganut welfare state. Hampir seluruh negara negara di Eropa menerapkan kebijakan subsidi kepada rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Santunan berupa uang cash diberikan pemerintah secara langsung setiap bulannya melalui aparat setingkat kelurahan. Namun, pengalaman negara-negara welfare state itu ada semacam rasa malu masyarakat meminta dana tersebut dari pemerintah setempat, karena mereka dipulikasikan, didata dan diberikan identitas sebagai orang yang tidak bisa mandiri. Orang orang yang tergantung itu sendiri, secara umum memiliki stigma tersendiri sebagai orang yang tidak memiliki aturan hidup, urakan dan tidak biasa dalam pergaulan dan etika masyarakat. Kenyataannya, orang-orang yang mengambil dana dari kantor pemerintah itu, segera setelah mengambil uang cash tersebut justru menggunakan yangnya untuk membeli kebutuhan yang tidak primer, misalnya mereka menggunakan uang itu untuk membelikan minuman keras dan mabuk-mabukan. Ini menjadi dilemma tersendiri dinegara-negara maju.
Tuesday, October 11, 2005
gempa ..
Gempa
Gempa beberapa hari yang lalu di Pakistan dan negara- negara tetangganya menewaskan lebih dari 30.000 jiwa dan puluhan ribu lainnya luka-luka, mengingatkan kita kembali pada luka baru yang masih segar dalam ingatan, bencana tsunami dan gempa Aceh dan Nias, di negara kita. Korban di negara kita bahkan masih jauh lebih banyak, tercatat sekitar 220 ribu tewas, dan ratusan ribu lainnya terluka, kehilangan rumah dan mata pencaharian dilanda ‘mega bencana’ itu. Bencana-bencana yang terjadi kembali mengingatkan kita bahwa alam memiliki siklus yang harus terus menerus diwaspadai oleh manusia di bumi ini.
Selain
Tidak ada satu negarapun yang bisa luput dari bencana alam, oleh karena siklus dan pergerakan lapisan bumi yang terus menerus terjadi. Sekedar mengingatkan, negeri China beberapa kali diguncang gempa hebat yang menewaskan 235 ribu jiwa tahun 1920, 200 ribu pada tahun 1927, dan 242 ribu tahun 1976. Ditempat lain, yakni tahun 1923, Jepang juga pernah dilanda gempa hebat, melebihi korban oleh karena bom atom di
Kita disadarkan bahwa ternyata dengan kemajuan luar biasa teknologi manusia, tidak ada satupun yang mampu mengontrol alam. Kita malah lebih sedih karena kemajuan teknolgi umat manusia ini lebih menonjol dibidang persenjataan militer yang selalu dipamerkan negara-negara maju supaya dibeli oleh negara negara lain. Walhasil, bumi ini hanya memproduksi alat-alat teknologi yang cenderung menghancurkan bumi itu sendiri, sementara teknologi yang mensejahterakan, atau singkatnya mengendalikan bencana tidak terlalu dipikirkan di dunia. Kita mengenal teknologi militer yang berkembang luar biasa seperti pesawat tempur siluman, bom atom, kapal induk yang menyerupai
Saatnya dunia untuk berfikir lebih arif untuk memulai secara komprehensif ditingkat global untuk menciptakan teknologi yang berhubungan dengan penyelamatan, pencegahan, dan penanganan umat manusia dari bencana besar yang tidak mengenal ras, agama, politik dan negara ini. Lebih arif dan bijaksana kiranya jika umat manusia ini lebih menyediakan anggaran negara dan anggaran lembaga internasional untuk mengendalikan, memprediksi dan menjinakkan bencana bencana gigantik ini, dibanding menghabiskan anggarannya untuk menciptakan persenjataan pemusnah massal, atau anggaran untuk membangun kekuatan militernya.
ttg mafia peradilan
Quo Vadis Lembaga Peradilan
Kita dikejutkan dengan skandal yang diduga kuat terjadi ditingkat Mahkamah Agung, lembaga tertinggi yang dipercaya sebagai tumpuan terakhir benteng keadilan di negeri ini. Sangat ironis, jika lembaga yang diharapkan sebagai penegak keadilan justru menjadi akar sesungguhnya dari kebobrokan penegakan keadilan. Banyak kalangan saat ini mendesak agar ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan segera non-aktif. Beberapa anggota
Suara lantang juga telah datang dari senayan. Beberapa anggota DPR telah meminta supaya ketua MA mengundurkan diri dari jabatannya karena telah mencoreng wajah keadilan negri ini. Selayaknya ketua MA mempertimbangkan suara dewan yang antara lain disampaikan oleh Abdillah Thoha dari fraksi PAN itu. Inisiatif mengundurkan diri diharapkan datang dari ketua MA, untuk mengurangi atau memulihkan citranya yang sudah rusak dihadapan publik saat ini.
Walaupun kita harus menghormati asas praduga tidak bersalah, sejak lama telah menjadi konsumsi publik, atau lebih tepatnya rahasia publik, bahwa perkara apapun bisa diatur dengan sejumlah uang. Orang batak memberikan ungkapan yang terkenal “hepeng do mangatur negara on”. Sejak lama mafia peradilan adalah sesuatu yang nyata walaupun sangat sulit membuktikannya dengan data-data formil. Sudah sejak lama wajah peradilan ini buram, jauh sebelum Bagir Manan menjabat sebagi ketua MA. Ketua MA saat ini hanya melanjutkan system yang telah terbentuk selama puluhan tahun, yakni budaya suap.
Adagium yang mengatakan, ikan busuk pertama kali dari kepalanya layak menjadi contoh yang mendekati. Memberantas mafia peradilan harus diawali dari kepalanya. Jika unsur kepala ini bisa dibersihkan maka, akan lebih mudah melakukan pemberantasan suap dan mafia dijajaran kejaksaan dan kehakiman di seluruh
Hal yang menjadi pertanyaan adalah lembaga apa yang berhak melakukan pemeriksaan terhadap MA. Di era Megawati dan SBY, telah terbentuk Komisi Yudisial menjadi instrument yang dapat secara konstitusional memeriksa aparatur di Mahkamah Agung, walaupun lembaga ini adalah sama sama lembaga tinggi negara. Sementara urusan menonaktifkan pejabat tinggi negara itu, berada ditangan presiden sebagai lembaga eksekutif.
Presiden perlu mengambil langkah-langkah bijak, mengingat negara ini sedang dilanda seribu satu macam masalah yang mengancam tenggelamnya republik yang kita cintai ini. Kita berharap bahwa salah satu masalah mendasar kita adalah korupnya lembaga peradilan yang tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi rakyat. Ditengah segala kesulitan ini, rakyat akan sedikit terobati hatinya jika elit-elit yang masih saja tega-teganya melakukan ketidak-adilan dan korupsi, diadili dan berikan hukuman yang seberat-beratnya. Semoga.
favorit
Mengaktifkan Koter, untuk Apa?
BERMULA dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada HUT TNI ke-60, 5 Oktober lalu, bahwa TNI diminta berperan dalam perang melawan terorisme di Indonesia, wacana mengaktifkan kembali komando teritorial (koter) mulai menghangat dan ramai dibicarakan banyak pihak, yang pro maupun kontra. Apalagi, pada acara yang sama Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan bahwa “Komando teritorial bisa kami aktifkan kembali tanpa ada institusi lain yang merasa tersinggung.”
Awal dari itu semua adalah kasus pengeboman di Jimbaran dan Kuta Bali pada Sabtu (1/10) yang menewaskan sekurangnya 22 orang dan mencederai ratusan lainnya. Peristiwa itu membuat semua pihak segera menuding bahwa intelijen kita lemah, dan kebobolan yang kesekian kalinya. Pandangan yang menuding intelijen kita lemah ada benarnya, karena bila kita membandingkan dengan kemampuan jajaran intelijen pada masa lalu (baca Orde Baru), apa yang ada sekarang tidak ada artinya. Namun, harus diingat bahwa jajaran intelijen pada masa itu tulang punggungnya adalah komando teritorial yang dimiliki oleh TNI.
Peran dan fungsi intelijen itu rantainya dimulai dari Panglima ABRI, Kasospol, Asospol di berbagai Kodam, dan terus ke bawah hingga Korem, Kodim, dan Babinsa sebagai ujung tombak di desa-desa. Di jajaran pemerintahan sipil di tingkat provinsi sampai ke kabupaten/kota juga ada struktur dinas sosial dan politik (sospol) sebagai mitra komando teritorial. Kemudian, masih ada lembaga Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dengan para Panglima Kodam sebagai Pelaksana Khusus Daerah Kopkamtib (Laksusda) yang punya otoritas menangkap, menahan dll.
Dalam sejarahnya, koter adalah bagian dari sistem pertahanan rakyat semesta yang dibentuk semasa Perang Kemerdekaan (1945-1949), guna melancarkan perang gerilya. Terbukti efektif mengusir Belanda, para senior TNI mengembangkan terus konsep ini sebagai konsep
Harus diakui, struktur ini sangat berhasil dalam membersihkan PKI dan para pengikutnya. Selanjutnya, oleh Presiden Soeharto struktur teritorial ini juga digunakan membantu memenangkan Golongan Karya dalam setiap pemilihan umum. Sebagai pembina teritorial untuk pertahanan dan pembinaan keamanan wilayah, koter mampu mendata potensi konflik dan sumber ancaman keamanan, sehingga mudah melacak para pelakunya. Oleh rezim Orde Baru, komando teritorial sangat efektif memata-matai rakyat dan menindas siapa saja yang bersikap kritis dan oposan. Apalagi, pada masa itu berlaku UU Anti Subversi.
Di era Reformasi, dan dengan adanya UU TNI No 34 tahun 2004, peran dan fungsi komando teritorial ini harus dihapuskan bertahap dalam kurun
Pertanyaan yang mendasar: siapakah yang akan menggunakan koter itu? Kita ingatkan jangan sampai ia kembali digunakan untuk mendukung pemerintahan Yudhoyono-Kalla yang makin tidak populer hari-hari ini.
Menurut hemat kita, bila ingin menggunakan unsur-unsur komando teritorial dalam perang melawan terorisme maka, pertama-tama harus dirumuskan dengan tegas dan jelas apakah yang dimaksud dengan terorisme, supaya tidak diselewengkan. Kedua, komando teritorial itu dalam membantu peran intelijen tersebut tetap bergerak di bawah supremasi sipil, bahkan kalau perlu ia hanya menjadi konsultan lembaga-lembaga sipil seperti pemerintahan daerah atau Polri.
Dalam menghadapi terorisme, kita tidak setuju bila yang dikedepankan hanyalah pendekatan keamanan. Persoalan ini harus dihadapi bersama oleh segenap aparatur negara, termasuk TNI. Artinya, berbagai instansi pemerintah lainnya (di luar TNI dan Polri) yang punya peran penegakan hukum seperti Imigrasi, Bea Cukai, kependudukan dll juga harus terlibat dan bersama-sama bergerak dalam koordinasi yang baik dan padu, bukannya saling tak acuh. Penting sekali untuk menghidupkan kembali berbagai kearifan di masyarakat seperti dialog dan musyawarah antar tokoh masyarakat, pimpinan daerah hingga ke desa-desa, demi menciptakan suasana kondusif guna menangkal terorisme.
artikel favorit
Wertheim : Soeharto Dalang G30S ?
Prof. Dr. W.F. Wertheim
Pengantar: Cuplikan berita dari harian Republika edisi Jum'at 28 Juli: "Bagaimana dengan mantan Kolonel A. Latief yang kabarnya telah mengajukan grasi
Pertanyaan "Bagaimana dengan mantan Kolonel A. Latief yang kabarnya telah mengajukan grasi
SEJARAH TAHUN 1965 YANG TERSEMBUNYI
Oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim
Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di
Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!" Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang
Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir kup 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?.
Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di
Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang terkemuka.
Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari
Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu: "Aneh sekali: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen.
Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan. Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di
Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in
Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka - tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto menceritakan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht van de staatsgreep?" (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada malam kup?).
Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia" tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum."
Masa, heran - seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili.
Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' dan tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa. Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding. Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda, tahun 1949.
Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.
Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: "Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa
Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto, menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, melainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya hukumannya dikurangi.
Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana. Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak langsung' dalam peristiwa 30 S!
Jadi, sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta.
Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu.
Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim.
Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan-perundingan dan pertemuan-pertemuan, lagi pula tidak bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas perintah Aidit.
Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan DIA yang memberi perintah untuk membunuhi jenderal-jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya - tetapi ia tambah seolah-olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya' kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono dan Bono.
Agak jelas bahwa pada malam 30 September dua-dua, Soekarno dan Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.
Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar
Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi. Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung.
Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di
Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman-Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperiti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono. Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu analisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" pada tahun 1979.
Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme.
Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan politik
Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65
Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan 'de-classified', jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barang-barang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S. ke
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965?
Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya perkara masakre di
Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.
Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer
Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiarkan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggungjawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!".
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat
Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI'. Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965.
Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh 'terlibat persitiwa G30S/PKI'. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya.
Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal-jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderal-jenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.
Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka. Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu.
Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu.
Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis
Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk
Terima kasih!
Tuesday, October 04, 2005
HAM DAN KRISIS LISTRIK*)
Tidak ada penjelasan yang komprehensif dari pemerintah sebagai pertanggungjawaban publik atas terjadinya krisis listrik selain berita sepotong-sepotong di media tentang terjadinya kerusakan pembangkit listrik di beberapa tempat di Sumatera Utara. Bahkan sebelumnya, PT. PLN memperkirakan bahwa Total Daya Mampu listrik masih berada diatas Beban Puncak Sistem per tahun ( Majalah Bisnis Internasional, edisi Februari-Maret 2005, hal. 50), misalnya total daya mampu tahun 2005 sebesar 1.132 MW, sementara Beban Puncak Sistem diperkirakan hanya mencapai 1.108 MW.
Bukan menguraikan penyebab krisis listrik, pemerintah malah lebih menjelaskan akibat-akibat krisis, seperti mengeluhkan bahwa investor asing yang ingin membangun industri pengolahan logam harus mundur karena tidak adanya jaminan ketersediaan listrik ( Sumut Pos, 22 Juli 2005). Dari persfektif hak asasi manusia, pemerintah dapat disebutkan telah gagal untuk memenuhi (obligation to fullfil) kebutuhan dasar rakyat, mengingat listrik adalah alat produksi vital yang dimonopoli dan dikuasai negara untuk kebutuhan rakyat banyak sebagai amanat konstitusi. Sebaliknya, bahkan rakyat diminta untuk memaklumi jika hak dasarnya tidak mampu dipenuhi oleh negara.
Walaupun belum ada ketentuan HAM yang secara khusus dan langsung mengenai hak atas energi listrik sebagai hak asasi, namun berbagai hal menyangkut hak hak dasar atas sumber sumber kehidupan telah telah tercakup dalam konvensi hak hak ekonomi dan sosial budaya ( ekosob) dan hak-hak atas pembangunan. Walaupun kovenan dan deklarasi ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, pemerintah berkewajiban menghormati hukum internasional yang otomatis berlaku universal sebagai konsekuensi telah diratifikasinya hukum tersebut oleh hampir seluruh negara-negara di dunia.
Ditingkat nasional, hak-hak ekosob secara umum juga terkandung dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam UU HAM tersebut, tragedi listrik ini setidaknya dapat dihubungkan dengan beberapa pasal menyangkut hak atas pekerjaan (pasal 6), hak atas kehidupan yang layak ( pasal 40) dan hak atas jaminan sosial ( pasal 41). Mungkirnya pemerintah terhadap hak ekosob dapat dilihat pada pasal 11 ayat 1 kovenan ekosob tentang standar kehidupan yang layak dan berkecukupan serta langkah langkah pewujudannya, hak atas jaminan sosial ( pasal 9), dan hak atas pekerjaan ( pasal 6).
Kaitannya secara sederhana adalah bahwa upaya rakyat dalam mencari nafkah sehari-hari dan akses serta hubungan hubungan sosial dasar hampir seluruhnya berhubungan dengan pemanfaatan tenaga listrik; seperti lampu listrik rumah tangga, televisi, komputer, alat pendingin, dll. Lebih jauh alat-alat yang berhubungan dengan listrik juga mengalami kerusakan karena listrik yang tidak stabil.
Dengan demikian terdapat setidaknya dua aspek hak hak dasar yang lalai dipenuhi oleh pemerintah. Pertama adalah aspek memenuhi (obligation to fulfil). Pemerintah telah gagal memenuhi hak hak dasar dalam hal ini listrik sebagai kebutuhan dasar rakyat. Kedua, Aspek kewajiban untuk mengambil langkah langkah pemenuhan ( The duty to fulfil which requires the state to take appropriate measures towards the full realization of the right ) sebagai hak-hak dalam pembangunan( HRD, UNDP,2004). Dalam hal ini pemerintah telah gagal dalam melakukan langkah-langkah yang memastikan atau menjamin bahwa hak yang diabaikan akan segera dipenuhi. Sebaliknya justru yang dilakukan adalah penjelasan supaya rakyat memaklumi terjadinya krisis, bukan langkah-langkah produktif untuk menyediakan listrik yang cukup.
Persfektif ini diharapkan dapat membuka kesadaran pemerintah atas kelalaiannya memenuhi hak-hak dasar warganya, sebagai kegagalan utamanya dengan bercermin pada kovenan hak-hak ekonomi sosial budaya ( ekosob), yang telah dianggap menjadi hukum universal yang berlaku bagi setiap bangsa manapun di dunia.
*Saurlin siagian/ Divisi Studi- Bakumsu/okt/05