Kenapa orang Aceh tidak mengusir Batak pada periode kecamuk konflik diakhir orde baru, 1998-1999, seperti suku-suku lainnya? Pertanyaan ini sedikit terjawab dengan penjelasan berikut.
Awal abad XIX, pertukaran pelajar dan perwira perang telah terjadi secara reguler antara dua rejim. Ini adalah era ketika SM Raja XI masih sibuk membangun puing2 ekonomi, sosial, dan angkatan perang, pasca dihabisi oleh rejim paderi dari sumatra barat. Sementara Sultan Atjeh mengerti bahwa koalisi dibutuhkan dengan tetangga untuk antisipasi serbuan sibontar mata yang sudah diwanti wanti - karena sudah tersiar luas, kerajaan2 lainnya di nusantara sudah ditundukkan.
Perwira Batak belajar tentang pemerintahan dan khususnya pertahanan laut, sementara perwira Atjeh belajar strategi dan taktik gerilya, yang sudah dipraktikkan lumayan "sukses" oleh pasukan SM Raja saat menghadapi keganasan pidori (terbukti pasukan pidori pulang sendiri).
Hasil belajar dari Atjeh ini, sepertinya mempengaruhi corak kepemimpinan SM Raja berikutnya karena penasihat2 militernya meminta penguatan struktur pemerintahan yang sebelumnya-- yang terlalu mengedapankan posisinya sebagai spiritual leaders--menjadi political leader.
Uniknya, Atjeh menghormati keyakinan tetangganya -spiritualitas Batak, demikian juga kerajaan SM raja - menghormati keislaman Atjeh. Tidak ada ekspansi agama, seperti yang dilakukan bonjol ke tanah batak, beberapa dekade sebelumnya.
Ketika relasi kedua 'kerajaan' ini sedang baik-baiknya, belanda menyerang Atjeh, 1873. Taktik perang gerilya, dan melibatkan pasukan SM Raja, telah membuat perang ini sebagai salah satu perang paling mahal dan lama bagi kolonial, tidak kurang 31 tahun lamanya. Secara simbolik perang Atjeh berakhir tahun 1904, namun sesungguhnya gerilya terus berlangsung (bahkan sampai era orde baru Indonesia).
Ketika perang berkecamuk, level kerjasama kedua belah pihak tidak hanya dalam urusan logistik, Intel, kurir, dan pengiriman bantuan pasukan, tetapi di lingkaran dalam istana. Memahami penempatan perwira masing masing untuk mengawal orang nomor satu adalah suatu relasi yang sulit dipahami, bahwa suatu negara mengirim perwiranya untuk mengawal raja dari negara lain.
Ketika perang Batak berkecamuk, tercatat beberapa orang perwira Atjeh hidup mati bersama SM Raja, bergerak dari satu hutan ke hutan yang lain. Ada beberapa panglima SM Raja yang mengganti namanya untuk memperarat persaudaraan dengan para perwira Atjeh yang ada diantara mereka; Aman Tumagas Tinambunan, menjadi Teuku Azib, dan Teungku Nyak Bantal (Situmorang).
Dalam pertempuran terakhir, seperti dicatat Raja Buntal, meninggal dan dikuburkan dilokasi pertempuran antara lain; Tengku Ben, Tengku Nyak Buntal, Matsawang, Rimpu, dan Boru Lopian. Sementara Jenazah SM Raja dibawa pulang.
Saurlin.
(referensi; O.L., Napitupulu, Perang Batak (1972), Prof WB Sidjabat, Ahu SM Raja (1982)). tulisan ini interpretasi ulang penulis.
Free Counter