Monday, June 26, 2006

BAHAYA LATEN ORDE BARU

Bangunan Dasar Orde Baru
Dalam buku hasil penelitian Daniel Dhakidae,PhD. berjudul “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru”, orde baru disamakan dengan rejim fasisme Hitler di Jerman. Pemerintah Orde baru memiliki partai sebagai mesin politik, tentara sebagai hardware kekuasaan yang selalu siap mendukungnya, serta indoktrinasi P4 kedalam seluruh segmentasi masyarakat sebagai software. Harapan akhirnya adalah lahirnya Indonesia-men atau manusia Suharto, yang disamakan Daniel dengan Uberman-nya Hitler. Disisi lain pemerintah orde baru menerapkan sistem ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan. Pembangunan menjadi ‘agama’ yang tidak bisa diganggu gugat atau dikritik kebenarannya. Kritik berarti berlawanan dengan negara dan dicap sedemikan rupa sebagai musuh negara, ekstrimis, atau bahkan komunis yang harus dimusnahkan. Cap itu selalu menjadi alat legitimasi menghabisi lawan politik dan gerakan pro demokrasi di Indonesia. Bangunan dasar politik – ekonomi ini dibangun rejim Suharto sejak tahun 1966 hingga digugat dan dilengserkan tahun 1998.
Manifestasi dari bangunan ini yang telah terbuka jelas di muka publik adalah terjadinya pembunuhan sistematis terhadap kalangan yang mengkritik pemerintah oleh aparat militer, utang raksasa- 136 milyar dollar- yang hampir mustahil untuk dibayar, munculnya jurang kesenjangan yang sangat dalam antara mayoritas miskin dan minoritas kaya, konflik antar kelompok yang berkepanjangan, pendidikan yang terbelakang, pengangguran, harga-harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi dan berbagai bentuk kemiskinan lainnya. Inilah buah dari pembangunan yang selama 32 tahun diusahakan oleh rejim Suharto di Indonesia. Inilah pembangunan yang berbuah keterbelakangan.

Agenda Reformasi
Perjuangan agenda reformasi tahun 1998 harus diakui menghasilkan beberapa perubahan yang reversible terhadap proses demokratisasi. Diantara tuntutan reformasi itu, terdapat beberapa agenda yang terpenuhi seperti turunnya Suharto dari kursi presiden, dicabutnya dwifungsi ABRI, serta adanya proses yang lebih demokratis dalam pemilihan umum. Pada awal pasca reformasi ini, orde baru menjadi semacam ‘musuh bersama’ masyarakat yang harus diganti dengan sistem yang baru, karena dianggap menjadi akar dari segala persoalan, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia dan kemiskinan di Indonesia.
Hanya saja, semangat ini hanya menjadi euforia sesaat saja, agenda menyeluruh reformasi ternyata begitu cepat dilupakan masyarakat. Jatuhnya Suharto tidak dibarengi dengan perubahan sistem yang dibangunnya dengan sabar selama 32 tahun. Pergantian Suharto secara personal tidak diikuti dengan pergantian sistem. Sistem yang tidak tersentuh itu menyebabkan mudahnya ‘rombongan’ orde baru kembali memasuki arena kekuasaan, bahkan kembali mengendalikan pemerintahan. Dalam terminologi sosiologi, bangunan dasar ini biasa disebut sebagai masalah laten (latent problems) yang kasat mata dan sulit disentuh.
Maka sebagai konsekuensi dari kondisi ini, tidak heran jika korupsi, kolusi dan nepotisme masih merajalela, kemiskinan, kelaparan, pengangguran semakin bertambah, sementara utang pemerintah semakin menumpuk. Level manifest problems, atau tumpukan masalah yang terlihat dengan jelas ini tentunya akan terus menerus terjadi tanpa ada perubahan mendasar pada level yang latent .

Bahaya Laten Orde Baru atau Komunis?
Kampanye anti komunis yang dilancarkan Suharto di jaman orde baru ternyata cukup ampuh. Suharto yang acap kali menyebut semua yang tidak setuju dengan kebijakannya sebagai komunis, memperoleh efek ‘mimesis’ bagi aparat negara hingga sekarang. Sekelompok orang tua bangka yang mempertanyakan pelanggaran hak asasi manusia malah dicap komunis.
Di jaman Suharto, petani yang menolak digusur dari tanahnya disebut komunis, jika terjadi kerusuhan sosial akan dihubungkan dengan komunis, mahasiswa yang demonstrasi disebut komunis. Ikonisasi komunis telah menjadi alat yang sangat ampuh memberangus daya kritis rakyat pada masa itu. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik ditingkat internasional yang disebut dengan perang dingin antara blok barat dan blok timur, antara kekuatan liberalisme dan komunisme.
Komunisme sebagai ideologi tentunya adalah sesuatu yang latent, sebagai ideologi politik yang berkembang pada abad 19 hingga abad 20. Namun diawal abad 21 ini, adalah lelucon yang tidak lucu menyebut komunisme sebagai hantu yang menakutkan. Di dunia internasional, isu komunisme dianggap bukan lagi sebagai ‘hantu yang menakutkan, sebagaimana terjadi di eropah pada abad 19, malah diawal abad 21 ini telah tergantikan oleh issu baru dari isu terorisme, hak asasi, kesetaraan, krisis energi , ekologi hingga isu krisis ekologi. Dengan demikian, mengkampanyekan bahaya laten komunisme sebagaimana dimuat media belakangan ini menjadi tidak berdasar.
Justru yang harus direfleksikan kembali oleh semua pihak adalah telah kembalinya orde baru menguasai seluruh ranah politik. Aktor-aktor dan institusi orde baru telah kembali berkuasa yang dimanifestasikan oleh masih langgengnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Semakin tingginya utang luar negeri, pengangguran dan kemiskinan yang semakin bertambah, ketidakberpihakan pemerintah kepada petani, tingginya harga-harga kebutuhan pokok, penggusuran-penggusuran paksa serta kejahatan hak asasi manusia lainnya, sebagai indikasi dari telah berkuasanya aktor dan institusi yang sama pada jaman orde baru berkuasa.
Bahaya laten orde baru ini tentu jauh lebih berbahaya daripada mencari-cari kambing hitam, apalagi dengan mengalihkan isu dan mempersalahkan kuburan “komunisme”. Bangsa ini memerlukan jawaban yang kongkrit dan segera untuk menghentikan pengangguran, kelaparan, dan kemiskinan yang terus menerus semakin meningkat, hingga agenda yang paling mendesak: menghentikan korupsi dengan cara seksama dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Saurlin Siagian
Alumni FISIP USU Medan
Bekerja di Perhimpunan BAKUMSU Medan

Tuesday, June 13, 2006

Kepentingan Dibalik Proyek Pelurusan Sungai Deli

Pengendalian Banjir dan Penggusuran
Sungai Deli menjadi headline berita beberapa hari terakhir, setidaknya oleh dua hal. Pertama, mulai terjadinya penggusuran paksa ( involuntary resettlement) terhadap perumahan penduduk termasuk pekuburan di sepanjang bantaran sungai yang menimbulkan konflik dan perlawanan dari masyarakat. Kedua, berita banjir yang menjadi langganan masyarakat disekitar bantaran sungai Deli setiap hujan datang dan memakan banyak korban.
Sepintas lalu masalah ini sepertinya berhubungan sebab akibat. Seolah –olah masalah banjir ini hendak dipecahkan oleh pemerintah melalui penggusuran penduduk disepanjang bantaran sungai Deli. Tetapi jika dicermati, ada beberapa hal yang justru kontradiktif yang membuat hubungan banjir dan penggusuran bisa absurd. Disatu sisi pemerintah gencar melakukan penggusuran terhadap perumahan dan termasuk terhadap pekuburan dengan alasan pengendalian banjir, namun disisi lain para pengusaha berebut untuk membeli lahan dan lokasi disepanjang pinggiran sungai Deli. Deli River CafĂ© misalnya, adalah proyek besar salah satu pengusaha yang sedang melakukan pembangunan persis dibantaran sungai Deli.
Pertanyaannya adalah mengapa bangunan milik rakyat digusur, sementara pengusaha difasilitasi untuk mendirikan bangunan ditempat yang sama-sama dibantaran sungai Deli? Jawaban bahwa penggusuran dilakukan untuk mengatasi banjir kota Medan tentunya menjadi usaha pembodohan dan penjinakan terhadap rakyat korban yang sedang digusur, karena banjir itu sendiri adalah akibat dari sebuah proses kompleks mengenai ekosistem yang meliputi kondisi sungai, penggundulan hutan dan perubahan iklim yang semua proses itu kebanyakan berada di hulu sungai. Dengan melihat fakta disepanjang bataran sungai Deli, jawaban yang lebih logis justru penggusuran terhadap rakyat dilakukan untuk melanggengkan pengusaha untuk memiliki tanah disepanjang bantaran sungai. Praktek politik ekonomi tanah sedang berlangsung, dan seperti biasa, mengorbankan rakyat yang buta terhadap informasi yang secara sengaja ditutup aksesnya oleh pemerintah.

Politik Ekonomi Tanah
Hubungan logis premis ini dapat dimulai dari adanya sebuah mega proyek berjudul Medan Floodway Control Project yang sudah dimulai sejak tahun 1995 . Proyek diawali dengan riset yang dilakukan oleh konsultan proyek dari Jepang bernama Japan Bank For International Cooperation ( JBIC) untuk melakukan usaha komprehensif pengendalian banjir di kota Medan, yakni mengantisipasi banjir yang pernah melanda kota Medan pada era 80-an hingga menelan korban yang besar. Riset yang dilakukan merekomendasikan pembangunan kanal sepanjang 3,8 kilometer di hulu sungai yang menghubungkan sungai Deli dengan sungai Percut, perluasan sungai Percut dan pembangunan jembatan pendukung disepanjang sungai Percut.
Proyek paling ambisius tentunya adalah penyatuan dua sungai besar, yakni sungai Deli dengan sungai Percut. Tujuannya adalah untuk mengendalikan debit air sungai Deli yang melewati pusat kota Medan. Kelebihan debit air yang menimbukan banjir itu dipindahkan ke sungai Percut yang akan diperlebar dan diperdalam. Proyek ini membutuhkan keberanian untuk melakukan penggusuran di sepanjang areal padat bangunan dan penduduk kota meliputi Titi Kuning, daerah STM Ujung, hingga Harjosari.
Proyek ini disetujui dan mendapatkan dukungan utang dari ADB dan JBIC yang nilai totalnya masih simpang siur, karena pemerintah tidak pernah menginformasikan kepada publik berapa nilai mega proyek ini yang sesungguhnya. Salah satu media mencatat angka 155 Milyar untuk pembebasan tanah, dan 480 milyar untuk pekerjaan fisik ( Kompas, 7 Desember 2004). Proyek ini adalah salah satu dari 584 proyek JBIC di Indonesia dengan nilai total seluruh proyek 3.095.400.000 yen Jepang hingga tahun 1998 ( www.bappenas.co.id, 2004). Utang ini akan dibayar dalam jangka 10 hingga 30 tahun dengan bunga antara 2,3 hingga 3 % pertahun.
Proyek kanalisasi dalam rangka pengendalian banjir Medan ini seharusnya telah selesai tahun 2004, namun karena persoalan kesulitan pembebasan tanah, proyek masih menyisakan pekerjaan separuh dari total proyek yang masih terus berlanjut hingga saat ini. Pihak donor proyek juga memberikan keringanan, seiring dengan terjadinya bencana gempa dan tsunami di Sumatera bagian barat. Bagi proyek kanalisasi yang semrawut dan berlarut-larut itu, bencana tsunami menjadi semacam ‘blessing in disguise’, karena proyek bisa berlanjut dan lepas dari ancaman pemutusan dana.
Dengan demikian, dalam waktu yang tidak terlalu lama, jika proses kanalisasi telah selesai, daerah sepanjang sungai Deli akan menjadi sorga baru bagi pebisnis, lokasi sangat strategis yang aman dari banjir. Sebuah alat kontrol di hulu sungai akan memindahkan kelebihan debit air sungai Deli ke sungai Percut melalui kanal sepanjang 3,8 Kilometer yang melewati daerah Titi Kuning, STM Ujung dan Harjosari II. Tentunya informasi seperti ini tidak pernah diketahui masyarakat secara transparan, khususnya masyarakat disepanjang sungai Deli yang hanya mampu menonton tanahnya menjadi rebutan para pemilik modal.
Rakyat disepanjang sungai Percut sudah lebih dulu mengalami apa yang sedang dan akan dialami masyarakat di sepanjang bantaran sungai Deli. Tidak ada tanggapan yang baik dari pemerintah ketika rakyat menyampaikan keluhan dan ketidak setujuan atas masalah yang terjadi sepanjang proyek berlangsung. Lembaga donor termasuk bagian dari yang mengabaikan prinsip transparansi, keadilan dan prinsip hak asasi manusia serta tidak perduli dengan penggusuran paksa tanpa ganti rugi bagi korban penggusuran disepanjang bantaran sungai.
Penggusuran disepanjang bantaran sungai Deli hanya sebuah kamuflase atas sebuah proyek yang jauh lebih besar yang melibatkan utang luar negeri, kepentingan pemerintah dan kepentingan pemodal tanpa memikirkan kepentingan rakyat korban penggusuran. Tidak heran jika peta perencanaan kota hanya mampu diakses oleh pengusaha sebagai privilage yang diperoleh dari birokrasi pemerintah

Kesimpulan
Ada beberapa level institusi yang memiliki peran penting dalam kasus ini. Pertama level lembaga pemberi utang . Kesan yang didapat adalah lembaga donor seperti JBIC dan ADB tidak perduli dengan apapun yang terjadi terhadap masyarakat, asalkan proyeknya berjalan, mau mampus pun rakyat lokal korban proyek akibat dari dana yang mereka cairkan tidak menjadi bahan pertimbangan yaang penting. Level kedua adalah Pemerintah Lokal. Pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk mensosialisasikan segala informasi yang selayaknya harus diketahui oleh korban langsung dari proyek pembangunan sesuai dengan ketentuan pembangunan. Tidak ada media informasi yang disediakan bagi rakyat, katakanlah papan informasi proyek, pemberitahuan proyek melalui media massa, atau melalui lembaga-lembaga sosial lainnya, akibatnya rakyat korban tidak memiliki akses sama sekali terhadap pembangunan yang akan dilakukan terhadap lingkungannya sendiri.
Level yang paling diuntungkan adalah pihak pengusaha dan pengembang (kontraktor) yang memperoleh akses yang mudah terhadap informasi dan pembangunan. Merekalah yang bisa berekspektasi dan berspekulasi atas akses yang dimilikinya terhadap pembangunan. Sementara rakyat tidak memiliki posisi tawar apapun, sehingga dengan leluasa digusur dengan ganti rugi yang ditentukan pemerintah. Informasi yang seyogyanya diperoleh publik, ternyata hanya diperuntukkan pemerintah kepada pengusaha. Rakyat tidak pernah diberitahu jika tanah yang mereka tempati disepanjang bantaran sungai Deli menjadi daerah yang aman dari banjir, jika proyek kanalisasi di hulu sungai telah rampung dikerjakan.
Tak ubahnya seperti era Orde Baru, rakyat masih belum memiliki posisi tawar apapun dalam pembangunan, rakyat hanya menjadi penonton, dan acapkali menjadi korban dari pembangunan itu sendiri. Para pelaku dan penikmat pembangunan, masih belum berubah hingga kini, yakni birokrasi pemerintah dan pengusaha yang kolusi dan bekerjasama erat serta kekal.
By:Saurlin

Jenda Tarigan, ½ Dewa dari Tanah Karo

Istri saya, sudah puluhan tahun hilang ingatan, matanya buta, dan sudah tidak waras, dia tidak tahan menanggung penderitaan yang kami alami. Kami berdua tinggal digubuk kecil ini, jauh dari penduduk desa. Saya sendirian harus memenuhi kebutuhan kami berdua.

Jenda,81 tahun, yang terlihat masih kuat dan lebih muda dari umurnya itu, harus bekerja ekstra mengurus istrinya sendirian, Namsam br Ginting, 79 tahun. Merawat, memberikan makan, menggantikan baju, bahkan memandikan istrinya sebagai pekerjaan sehari-hari. Sekali dalam seminggu berangkat ke pasar Kabanjahe untuk belanja keperluan berdua. Jenda sebenarnya ingin sekali menuntut pemerintah atas perlakuan yang diterimanya, tetapi oleh karena beban luar biasa yang harus ditanggung sendiri itu, Jenda memilih untuk merawat dan memenuhi nafkah istrinya.

Sulit dibayangkan bahwa Jenda Tarigan, pimpinan PKI Tanah Karo, masih hidup sehat sementara puluhan bawahannya tewas dibantai oleh militer tahun 1965 di Tanah Karo. Jenda saat ini menghabiskan waktunya di sebuah desa di lereng gunung Sinabung. Berikut kisah perjalanan dan pandangannya seputar peristiwa 65 .

Tertangkap setelah di Hutan selama 11 Tahun

Sebenarnya kami memilih menyingkir ke desa karena garis perintah partai, bukan karena takut, jadi kita patuhi garis dari komite sentral di Jakarta. Jabatan saya disamping saya adalah orang pertama PKI di kabupaten Karo, saya juga anggota CDB Propinsi, jadi tahu semua surat menyurat partai. Sebenarnya kami memiliki kekuatan jika ada perintah untuk melawan. Namun karena pilihan menyingkir itu kami jadi menderita sampai sekarang. Menderita apa yang tidak layak kami terima, karena dituduhkan melakukan sesuatu yang tidak pernah kami lakukan.

Paling lama saya di hutan Sibayak ini sama hutan Sinabung . Pelarian di Hutan mula-mula 4 orang. Sudah itu tiga orang tertangkap, tinggal saya sendiri. Saya pun dapat juga akhirnya tahun 1976. Jadi 11 tahun saya di hutan, sejak 1965. saya disidang tahun 1978
Pertama kali saya lari dari dari kantor (sekretariat PKI Kab Karo-red), terus ke rumah, pertama kali saya lari ke desa raja Bernah, di bawah gunung Sibayak. Saya bisa tertangkap, karena ada satu anak muda yang kecil umur sebelas tahun, dia nampak kami, waktu itu kami 2 orang, terus dikasih tahu kami ke kepala kampung, di daerah Sukanaluh. Terus kami dicari sama masyarakat dan militer, terus disergapnya kami dalam satu gubuk di desa Sukanaluh. Malam itu jam dua.

Penangkapannya, waktu itu malam hari, sudah saya dengar datang berdesir desir (suara rumput) itu. Mereka saya tahu aparat keamanan, terus saya buka pintu, lari saya, jangan lari, katanya. Begitupun saya tetap lari, terus dikejarnya dari belakang. Lalu jangan lari katanya lagi, sambil ditembak keatas, lari juga saya, lalu ditembaknya saya. Kena kaki saya, disini ( menunjuk paha), tidak tembus, pelurunya (bersarang) di dalam . Peluru itu sudah tidak ada sekarang, sudah dioperasi waktu itu. Jadi, begitupun sudah kena, saya lari terus, sudah banyak darah yang keluar, tak mau saya berhenti, dari pada menyerah lebih baik mati saya pikir. Lama kelamaan dikejarnya terus, akhirnya sudah dekat dipukulnya kepala saya, pake gagang senjata, jatuh. Barulah diikatnya, baru dibawanya ke kantor polisi Kabanjahe. Sampai di kabanjahe, dibawa ke rumah sakit, dioperasinya peluru itu. Sudah itu baru aku dibawa kerumah sakit MOBRIG ( Mobil Brigade, sekarang Brimob) di Medan. Sudah itu sembuh, baru dibawa ke jalan Gandi, disitulah saya lama ditahan.

Saya diadili dengan saksi yang meringankan dari Ketua PR , Ambil Ginting. Waktu itu hukuman saya divonis 17 tahun, tapi yang saya jalani 15 tahun. Sudah itu saya dibawa ke Suka Mulya, terus ke penjara jalan Listrik.

Setelah Keluar dari Penjara
Setelah keluar dari penjara, kondisi keluarga sudah morat marit lah, istri saya buta huruf, matanya juga buta, karena peristiwa itu dia stress, anak anak semua udah berpencar pencar, lantaran hidupnya sudah terlantar. Ibunya sudah sakit saraf. Matanya sudah tidak beres. Ada anak dibawa keluarga yang satu, dan ada yang dibawa ke tempat lain, begitu.

Namun begitu, keberadaan saya sebagai orang PKI, dapat mereka terima sebagai bapak, tetapi tidak mereka terima sebenarnya mendapat stigma yang seberat itu, sebagai pembunuh dan sebagainya. Umumnya semua keluarga menerima. Maka itu, sebenarnya keluar dari penjara , ada gereja yang menawari kalau mau tinggal ditempat yang disediakan khusus bagi mantan tahanan, itu punya yayasan gereja. Saya Tanya semua keluarga, bagaimana saya bilang, ngga mereka bilang, bapak dirumah saja, katanya. Bapak musti kemari , katanya. Saya diterima dengan baik.

Tetangga dan masyarakat disini umumnya juga menerima saya secara diam-diam( di desa Gambir), karena (jika secara terbuka ada penerimaan terhadap saya) takut sama pemerintah. Ada yang bilang sama saya, sama Suharto nya dia takut, kalau sama saya dia tidak takut. Saya ada cerita pelarian, pernah itu waktu kita masih pelarian di hutan, ada orang yang melihat, dipikirnya babi hutan, jadi diajaknya orang orang kampung. Terus mereka melihat saya, terus dibilang, eh kau nya itu silih, oh baguslah kau masih selamat, terus dikasihnya uang dikasihnya rokok, lantaran senang dia. Itulah makanya masyarakat tidak ada masalah dengan aku. Mereka terus mengajak saya makan malam. Jadi sebenarnya mereka tidak takut sama kita tapi karena takutnya dia sama Suharto, makanya dia ngikut. Begitu. Dalam hati apa dia sama kita, sangking takutnya, macam itu orang orang kampung itu, bawa parang itu semua, tapi karena lihat aku, wah wah terus katanya dikasih rokok. Malah malam diantar nasi sama beras.

Persepsi seputar G 30 S
Bagi saya peristiwa itu juga belum jelas. Ada yang mengatakan bahwa itu usaha-usaha PKI, padahal PKI jelas jelas tidak ada instruksi untuk melakukan perlawanan, untuk melakukan kup. Itu jelas, saya sebagai orang pertama di kabupaten ini jelas itu. Tidak ada instruksi dari pimpinan daerah mengatakan bahwa kita akan begitu ( melakukan kup), itu tidak ada.

Justru setelah peristiwa 1 Oktober itu ( maksudnya peristiwa 30 September 1965 pembunuhan 7 militer di Jakarta) . Apa kata CDB? Instruksi dia bilang waktu itu,(oleh Rakut Sembiring, CDB Sumatera Utara,), dia bilang bahwa ini peristiwa Angkatan Darat, jadi maka itu diantara orang orang itu ( diantara kekuatan keuatan politik masa itu) dalam hal ini kita mendukung dan berpartisipasi pada prior yang maju. Maksudnya yang maju adalah yang mendukung Sukarno. Jadi tidak ada kita melakukan itu (kup). Itulah perintah yang sampai kepada kita sebagai pimpinan kabupaten.

Jadi akhirnya datang lagi lah CDB, katanya kita patuh sama Sukarno. Kita tidak bisa melakukan apa-apa. Sementara dilapangan kita sudah kucing kucingan, kita sudah dicari cari aparat. Sampai waktu itu saya bilang juga sama Rakut, kalau begitu kita nanti, akhirnya ditangkapi, saya bilang. Kalau orang sudah kejar kejar kita, bagaimana saya bilang. Tapi bagaimana? Katanya, CC bilang bahwa kita patuh pada Sukarno sebagai presiden republik Indonesia. maka itu kita patuh sama dia. Lain nanti kalau situasi sudah berubah, kita tunggu lagi dari atas, katanya. Itu saya waktu itu bertengkar sama CDB, saya debat dia. Masa kita lari-lari saja, habis kita, saya bilang. Kita tidak bisa berbuat diluar itu katanya, kita harus patuh pada CC katanya.

Karir Organisasi

Awal mula saya aktif di organisasi, mula-mula saya memimpin Pandu Indonesia, itu sebelum Indonesia merdeka sudah ikut berjuang. Sudah itu beralih menjadi pemuda sosialis Indonesia (pesindo), sudah itu beralih lagi ke Pemuda Rakyat (PR) ,dari pemuda rakyatlah saya menjadi pimpinan partai komunis. Kalau saya tidak salah, tahun 59 barangkali mulai jadi ketua partai. Di kabupaten istilahnya CS atau Komite Seksi. Di DPRD kabupaten menjabat satu periode. Mulai 58 hingga 65 itu. Kami ada tujuh orang pimpinan di tanah Karo, cuma saya dan Kumpul Ginting yang selamat. 5 orang ditangkap dan dibunuh.

Saya pendidikan politik dulu di Sentral Komite. Sekolah partai sentral di Jakarta. Lamanya 4 bulan. Baru saya jadi pimpinan inti di sini. Selain di DPRD dan partai, saya di Front nasional juga, disitu aku ketua. Front nasional tanah Karo itu ada 4 partai besar; PNI, PKI, Murba, dan Parkindo.

Keseharian

Saya bungkuk seperti ini sekarang karena disiksa dulu di tahanan, sekarang disini pun, dibuah zakar saya ini, bengkak, karena disiksa. Aku kena usus turun di tahanan. Terlalu banyak disiksa. Saya dipukul memakai kayu, jenis broti. Sama tahanan lain ada saya lihat dimasukkan kedalam air semalaman, ada yang dilistrik.

Sekarang, sehari hari saya keladang lah. Ibu tidak bisa bekerja apa-apa lagi, ngasih makan dia pun saya. Saya jadi bapak rumah tangga-lah,heehee. Masak, mencuci, ke ladang, begitu. Juga memandikan dia setiap hari. Kebutuhan bisa dikatakan cukup makan lah.

Harapan saya ke depan, bagaimana supaya nama baik dipulihkan. Kita tidak ada terlibat dan tidak ada melakukan kudeta itu. Untuk itu harapan kita, supaya nama baik kita dipulihakan sebagai warga negara . Kalau masa kami dulu, sedikitpun tidak ada keinginan untuk hanya uang. Kami berjuang untuk rakyat, malahan kalau ada yang mengatakan kami orang yang beruang, kami malu, karena kami sendiri sangat berat kondisi keuangannya, biarpun anggota DPRD. Kalau dulu dapat gaji dibelikan pupuk, dibelikan cangkul untuk rakyat. Kalaupun ada honorer kami itu untuk beras. Kami bagikan untuk rakyat. Itu saja. Kalau sekarang sangat jauh beda, jadi anggota dewan berarti ada mobil dan kaya raya.

By: king/studi bakumsu

Bom waktu di Sibolangit

Sedikitnya 288 orang penduduk desa Bandar Baru kecamatan Sibolangit digusur oleh militer dengan tuduhan terlibat Gestok ( terlibat PKI) pasca peristiwa September 1965. Penduduk yang telah tinggal dan mengelola tanah sejak tahun 1953 itu digusur begitu saja, tanpa ganti rugi, bahkan mendapat cap terlibat organisasi yang dilarang pemerintah orde baru pada masa itu. Penduduk juga dituduh sebagai penggarap tanah milik negara. Lahan bumi perkemahan Sibolangit, seluas kurang lebih 300 HA , saat ini dikelola oleh Pengurus Kwartir Daerah Pramuka Propinsi Sumatera Utara, selain beberapa bagian yang telah dibagikan kepada pejabat dan eks pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Deli Serdang. Sebagian tanah dimaksud telah menjadi milik beberapa pejabat, diantaranya seluas 16.502 M2 diperuntukkan kepada 30 orang pejabat, pengurus PKK, BPN dan pengurus Kwarda ditingkat kabupaten dan kecamatan melalui surat resmi mantan bupati Deli Serdang H Ruslan Mansyur, tahun 1994. Camat Sibolangit, Haris Ginting, ketika dikonfirmasi membenarkan perubahan status tanah itu, namun mengakui kebijakan itu bukan dilakukan oleh dirinya.

Proses penggusuran terjadi sekitar tahun 1970. “Tanaman padi kami yang sudah menguning diratakan oleh militer dengan memakai buldozer, kami tidak bisa melawan karena dicap PKI,”Kata NB, salah seorang korban penggusuran. Sebelumnya, lokasi itu sudah dipakai sebagai Tempat Penahanan Sementara ( TPS) bagi orang yang dianggap terlibat PKI mulai tahun 1965. Lokasi itu sendiri juga dipakai sebagai tempat kerja paksa bagi tahanan selama puluhan tahun, hingga berdiri bumi perkemahan Sibolangit. Salah satu karya besar tapol di Sibolangit adalah patung selamat datang pramuka yang tepat dipinggir jalan memasuki desa Bandar Baru. Pelukis yang sekalian tapol yang banyak terlibat dalam pekerjaan patung besar itu adalah seniman Punanta Sembiring dan Pelawi.

Era penjajahan Belanda, tanah ratusan hektar di Sibolangit itu adalah perkebunan yang dikontrak dari rakyat oleh warga keturunan bernama Hok Ceng Lie. Tahun 1954, seorang pengusaha bernama Paruhum, mengelola tanah itu setelah ditinggalkan oleh Hok Ceng Lie, namun sebentar saja, karena ternyata, tanah itu tidak produktif lagi untuk perkebunan homogen. Mulai tahun 1954 itu pula masyarakat mulai memfungsikan lahan sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam, termasuk lokasi pekuburan.

Pasca tahun 1965, tanah itu diambil alih oleh militer dengan cara yang sangat menyakitkan, yakni dengan menghancurkan seluruh perumahan dan tanaman milik rakyat, khususnya tanaman padi yang sudah menguning, tidak luput dari traktor yang dikerahkan militer. Tahun 1974, tanah itu kemudian dipergunakan oleh Pramuka sebagai tempat perkemahan sesuai dengan surat Bupati Deli Serdang No. 10111/3 tanggal 7 Agustus 1974.

Sebagian rakyat yang kembali tinggal disekitar lokasi bumi perkemahan, harus mengalami dua kali kesusahan. Penggusuran yang dahulu pernah dilakukan, kembali dipraktekkan dengan menggusur rumah dan tanaman milik rakyat setempat sebagai mana dialami oleh El,58 tahun. El kembali mendirikan rumah berdekatan dengan eks rumahnya yang digusur pemerintah beberapa tahun sebelumnya. Hingga 2006, masyarakat desa disekitar Bumi Perkemahan Sibolangit mulai melakukan upaya-upaya penuntutan kembali tanah mereka kepada pemerintah daerah Deli Serdang. Suatu saat, kami akan mengambil kembali hak kami yang dirampas itu,”kata El.